Jumat, 23 Mei 2014

EMBUN FEAT JINGGA 6



(Puisi Tanpa Judul)

Kembali ke Jakarta.

“Hey, apa kalian tidak punya tempat favorite yang lebih menarik daripada Anyer? Semua gambar-gambar disini hanya pemandangan pantai. Membosankan. Aku heran dengan gaya berpacaran kalian.” Celoteh Fajar ketika melihat foto-foto di kamera Embun.

Embun tak mempedulikannya. Sementara aku, aku membenarkan pendapat Fajar.

“Kamukan tahu seperti apa kembaranmu itu.” Balasku.
“Ya, aku tahu persis. Dari dulu dia memang tidak berubah.”

Sebentar lagi kami sampai di daerah rumahku. Kami melewati sebuah sekolah SMA swasta. Sudah lewat jam pulang, ternyata masih ada beberapa siswi yang bertengger di pinggir jalanan. Letaknya memang di depan jalan raya besar. Dan lihat, Fajar berulah. Dia membuka kaca mobilnya dan mendongak ke arah siswi-siswi SMA itu. Tak lupa melambaikan tangan. Ha, tebar pesona sekali. Dasar resek.

“Mereka bukan fansmu. Tidak perlu bertingkah bak seorang superstar. Memalukan.” Cibir Embun.
“Syirik saja.” Fajar mendengus kesal. Aku hanya menggelengkan kepala. Keduanya selalu punya topik untuk dipermasalahkan. Apa ini menyenangkan? Sebuah permainan begitu? Hu.

Okay, tiba di rumah. Aku turun dari mobil setelah berpamitan dengan Embun dan Fajar.

“Akhir bulan kalian boleh ikut aku ke Ambon. Kebetulan aku ada kerjaan disana. Sesekalilah liburan ke luar kota.” Teriak Fajar.
“Ha, yang benar? Antusias banget nih.”
“Iya. Seminggu saja. Persiapkan dari sekarang.”
“Siaaap.” Aku mengacungkan jempol.

Embun menatapku pergi sampai tak terpandang lagi. Fajar sangat baik. Dia mengerti apa yang ku mau dan apa yang ku inginkan dari Embun. Akhirnya akan ada waktu dimana aku dan Embun bersama dalam waktu yang lama. 7 hari.

“Tidak ada cium tangan, cium kening atau cipika-cipiki gitu? Hampa rasanya melihat hubungan kalian yang begini-begini saja.” Ulas Fajar, seketika Embun melajukan mobilnya dengan cepat.
“Memangnya kenapa?”
“Bukan seperti orang pacaran. Kalian lebih mirip om dengan keponakannya.”
“Ah, sial.” Embun kesal. Dia melempar Fajar dengan kotak tisu.

17 jam kemudian.

Pagi yang sama menurut Indah. Penjual Koran di sekitar Pancoran yang masih berusia 10 tahunan. Menulis puisi sebelum berangkat bekerja, lalu mulai menjual koran sampai petang. Kegiatannya hanya itu semenjak dua tahun silam. Tepatnya ketika dia berhenti sekolah karena kekurangan biaya.

Indah tinggal di sebuah panti asuhan di Tebet. Bersama 12 anak lainnya, hanya Indah yang mau bekerja sebagai penjual koran. Teman-temannya tetap betah berdiam diri di rumah sambil menjahit dan menyulam yang hasilnya akan dijual ke para donator.

Indah berbeda. Dia memilih banyak hidup di luar daripada di dalam atau disitu-situ saja. Karena hal itu dia lakukan untuk sebuah misi. Misinya demi persahabatan.

“Hey, ada berita apa pagi ini?” Tanyaku seraya membuka kaca mobil.

Lampu merah yang mengambil waktu ratusan detik itu cukup sia-sia jika tidak digunakan sebaik-baiknya. Ketika melihat anak penjual koran ini, aku merasa dia berusaha menyampaikan sesuatu. Jadi, aku putuskan untuk memanggilnya sebentar.

“Menteri agama ketahuan korupsi bu.” Jawabnya sambil menyodorkan koran yang dia pegang. Dia juga menggendong banyak koran. Hu, pasti butuh perjuangan ya agar bisa makan dan minum selayaknya.
“Selain itu?” Aku cukup terharu. Kasihan anak ini, batinku.
“Kekalahan tim Uber Indonesia.” Sebutnya lagi, polos sekali.
“Anak pintar.” Kataku, menepuk bahunya.
“Dua koran.” Lanjutku.

Indah memberiku dua koran dan aku memberinya selembar uang seratus ribuan. Mungkin karena terlalu gembira. Kertas yang mengepal di tangan kanannya sampai terjatuh ke pangkuanku. Dan detik-detik lampu merah pun berakhir. Embun melajukan kendaraannya.

“Ini apa?” Gumamku sambil membuka kertas kusut itu.

Kita dipertemukan
Lalu dipisahkan
Apa akan ada pertemuan kembali?
Setelah aku tahu kita benar-benar berpisah

Begitu isinya. Aku dan Embun saling menatap.

“Apa?” Tanya Embun. Aku menyodorkan kertas tersebut. Dia membacanya cepat, hingga aku menerimanya lagi.
“Nanti kita kembalikan.” Kata Embun. Dia sadar raut wajahku cemas dan khawatir. Aku hanya tidak tenang. Kertas ini pasti teramat penting bagi pemiliknya.

Siang yang mencekam. Di perempatan lampu merah baru saja terjadi sebuah kecelakaan motor. Embun memarkir mobilnya ke sebuah pertokoan. Lalu menggandeng tanganku untuk menyeberang jalan dan mencari keberadaan anak penjual koran tadi.

Ternyata, Indah ada di antara kerumunan orang yang mengerubungi si korban kecelakaan. Aku yang melihatnya lantas menarik tubuhnya menjauh dari peristiwa tersebut. Dan kami menepi di dekat halte busway.

“Ibu yang tadi pagi?” Tanyanya.
“Iya. Melihat kejadian begitu, kamu hanya menonton saja?”
“Tidak. Aku yang memanggil polisi untuk menolongnya.”
“Bagus. Ohya, ini punyamu?” Aku mengembalikan kertas kusut yang kemungkinan adalah miliknya. Ah, memang benar miliknya. Kalau bukan, siapa lagi? Apa kertas kusut itu turun dari langit?
“Wah, terima kasih. Aku kira kertas ini sudah hilang.” Senangnya.

Embun menyaksikan percakapan kami dengan senyum yang tertahan. Dia aneh. Selalu aneh.

“Kamu tidak sadar? Anak itu memanggilmu ibu. Sudah dua kali. Tadi pagi dan siang ini.” Ungkap Embun. Aku pun cemberut.
“Karenamu aku jadi terlihat lebih tua. Pekalah sedikit.” Protesku.
“Ha, apa iya? Banyak yang tidak menyangka bahwa aku sudah 29 tahun. Mereka mengira aku masih 20 tahunan.” Embun mengelak.
“Kalau 20 tahunan sepertimu, lalu aku ini berapa? 10 tahunan begitu?”

Kami ceroboh. Bodoh sekali. Anak itu pergi tapi kami tidak tahu. Benar-benar orang dewasa yang penuh lelucon. Ups, lihat di bawah. Gumpalan kertas lagi. Apa mungkin anak itu hobi menjatuhkan barang-barang kecil yang dia pegang?

Hari ini kecelakaan kedua yang ku lihat secara langsung
Setelah kecelakan yang mengambilmu dariku

Begitu isinya. Embun jalan lebih dulu, dia meninggalkanku. Ah, tega.

Kami mencari anak penjual koran itu. Dan menemukannya di sebuah halte depan universitas.

Ini makan siang ternikmat bagi Indah. Es soda, es krim, nasi dan dada ayam goreng. Juga beberapa snack ringan yang sempat ku beli tadi di minimarket sebelah.

“Kapan-kapan, boleh kakak main ke panti asuhan kamu?” Tanya Embun.

Ouh, manisnya. Haruskah memasang tampang sekeren itu saat bicara dengan seorang belia? Aku pun masih belia sebenarnya. Hanya saja, aku lebih banyak bergaul dengan orang-orang dewasa. Jadi, aku terlihat sedikit lebih tua.

“Boleh saja.” Singkat Indah. Dia sibuk dengan puing-puing makanannya.
“Biasanya, Indah kalau malam melakukan apa di panti asuhan?” Tanyaku kali ini.
“Merapikan rajutan-rajutan yang sudah jadi.”
“Oh.” Panjangku.
“Kalau boleh tahu, kenapa Indah hobi menjatuhkan kertas puisi yang Indah buat?” Embun bercanda. Aku menyenggol lengannya.
“Ehm, maksud kak Embun, Indah menulis puisi itu untuk siapa?” Sambungku.

Spontan, Indah terdiam. Melirik kami sekilas lalu pergi mencuci tangan. Aku dan Embun cuma bisa kebingungan.

Menjelang sore, kami mengantar Indah pulang. Panti asuhan tempat tinggalnya ternyata tidak semenyedihkan apa yang ku bayangkan. Disana, kami disambut beberapa anak yang lucu-lucu. Juga seorang wanita paruh baya yang menjadi bunda bagi mereka semua.

“Indah memang gemar membuat puisi. Setahu saya, itu dia lakukan semenjak kehilangan orang yang disayanginya.” Ujar Bundadari. Begitu dia disapa.

Kami diajak berkeliling panti. Dan pemberhentian terakhir adalah, kamar Indah dan tiga anak lainnya. Bundadari memperlihatkan dinding kamar yang dipenuhi dengan tulisan-tulisan tangan Indah. Tembok bercat warna putih itu menjadi sangat seni. Banyak coretan pulpen disana. Ada gambar-gambar dua orang yang bergandengan pula. Tampak seperti sepasang sahabat.

Nama lengkapnya, Indah Sifwa. Dia ditemukan Bundadari di depan gerbang panti asuhan. Tak lama kemudian, Bundadari kedatangan seorang ibu yang sakit-sakitan. Ibu itu menitipkan Dinda, anak satu-satunya pada Bundadari. Hingga mereka pun tumbuh dalam kebersamaan. Tidak bisa dipisahkan. Kemana-mana selalu berdua. Makan berdua, mandi berdua, main berdua, tidur berdua.

Suatu ketika, Indah menyaksikan kematian menjemput Dinda. Dinda kecelakaan, tertabrak mobil saat mereka sedang membeli makanan di warung persimpangan jalan.

Sejak itulah, Indah merasa sangat kehilangan. Kehilangan sosok yang menjadi sahabatnya, belahan jiwanya, teman seperjuangannya, teman sepermainannya, teman sehati sepikirannya. Indah menjadi penyendiri. Berteman dengan koran-koran. Berharap ia bisa sangat pintar, seperti apa yang selalu Dinda inginkan.

Menulis puisi tanpa judul adalah pelampiasan perasaannya terhadap kesepian. Indah tidak pernah memberi judul pada setiap puisinya, itu karena Indah merasa bahwa Tuhan-lah yang lebih tahu judul apa yang pantas untuk puisi-puisinya tersebut.

Mendengar segalanya tentang Indah, aku jadi berpikir keras. Seberapa kuat Indah tetap menjalani hidupnya tanpa seseorang yang cocok dengan dirinya? Seberapa tegar Indah melewati hari-harinya tanpa keceriaan bersama seorang sahabat? Seberapa mampu Indah mewujudkan mimpi-mimpi Dinda yang selamanya tidak akan pernah bisa ditemuinya kembali? Mungkin Indah terlalu hebat untuk menjadi seperti sekarang. Dia anak perempuan yang benar-benar tangguh.

“Belajar apa saja hari ini?” Tanya Embun mengetes.
“Aku… tidak boleh kalah dari anak usia sepuluh tahunan. Dia, Indah. Luar biasa. Menerima hal yang paling sulit dalam hidup ini yaitu kehilangan, memang seperti puisi tanpa judul. Tapi pada akhirnya, dia menjadi cermin untuk siapa saja. Dan akan ada indah-indah yang lain, yang sama kuatnya, yang sama tegarnya, yang sama mampunya.” Aku hampir mengeluarkan air mata.

Embun menatapku lekat-lekat.

“Jika ingin menangis, menangis saja. Tidak perlu gengsi begitu.” Ujarnya.
“Ish, kamu ini. Jangan menjatuhkanku, bisa tidak?” Aku lekas mengusap air mata yang menetes.
“Siapa yang menjatuhkanmu? Aku hanya memastikan, bahwa canggung itu sudah punah sejak lama.”
“Ya, nih, aku menangis, puas!” Aku menyerah.

Kami beranjak dari panti asuhan ke rumah. Embun mengantarku sampai depan gerbang. Lalu dia pulang. Indah memberiku sebuah pelajaran hari ini. Pelajaran hidup, pelajaran yang tidak didapat di sekolah. Tapi di lingkungan sekitar, tepatnya dimanapun kita berada.