(Puisi
Tanpa Judul)
Kembali ke Jakarta.
“Hey, apa kalian tidak punya
tempat favorite yang lebih menarik daripada Anyer? Semua gambar-gambar disini
hanya pemandangan pantai. Membosankan. Aku heran dengan gaya berpacaran
kalian.” Celoteh Fajar ketika melihat foto-foto di kamera Embun.
Embun tak mempedulikannya.
Sementara aku, aku membenarkan pendapat Fajar.
“Kamukan tahu seperti apa
kembaranmu itu.” Balasku.
“Ya, aku tahu persis. Dari dulu
dia memang tidak berubah.”
Sebentar lagi kami sampai di
daerah rumahku. Kami melewati sebuah sekolah SMA swasta. Sudah lewat jam
pulang, ternyata masih ada beberapa siswi yang bertengger di pinggir jalanan.
Letaknya memang di depan jalan raya besar. Dan lihat, Fajar berulah. Dia
membuka kaca mobilnya dan mendongak ke arah siswi-siswi SMA itu. Tak lupa
melambaikan tangan. Ha, tebar pesona sekali. Dasar resek.
“Mereka bukan fansmu. Tidak
perlu bertingkah bak seorang superstar. Memalukan.” Cibir Embun.
“Syirik saja.” Fajar mendengus
kesal. Aku hanya menggelengkan kepala. Keduanya selalu punya topik untuk
dipermasalahkan. Apa ini menyenangkan? Sebuah permainan begitu? Hu.
Okay, tiba di rumah. Aku turun
dari mobil setelah berpamitan dengan Embun dan Fajar.
“Akhir bulan kalian boleh ikut
aku ke Ambon. Kebetulan aku ada kerjaan disana. Sesekalilah liburan ke luar
kota.” Teriak Fajar.
“Ha, yang benar? Antusias banget
nih.”
“Iya. Seminggu saja. Persiapkan
dari sekarang.”
“Siaaap.” Aku mengacungkan
jempol.
Embun menatapku pergi sampai tak
terpandang lagi. Fajar sangat baik. Dia mengerti apa yang ku mau dan apa yang
ku inginkan dari Embun. Akhirnya akan ada waktu dimana aku dan Embun bersama
dalam waktu yang lama. 7 hari.
“Tidak ada cium tangan, cium
kening atau cipika-cipiki gitu? Hampa rasanya melihat hubungan kalian yang
begini-begini saja.” Ulas Fajar, seketika Embun melajukan mobilnya dengan
cepat.
“Memangnya kenapa?”
“Bukan seperti orang pacaran.
Kalian lebih mirip om dengan keponakannya.”
“Ah, sial.” Embun kesal. Dia
melempar Fajar dengan kotak tisu.
17 jam kemudian.
Pagi yang sama menurut Indah.
Penjual Koran di sekitar Pancoran yang masih berusia 10 tahunan. Menulis puisi
sebelum berangkat bekerja, lalu mulai menjual koran sampai petang. Kegiatannya
hanya itu semenjak dua tahun silam. Tepatnya ketika dia berhenti sekolah karena
kekurangan biaya.
Indah tinggal di sebuah panti
asuhan di Tebet. Bersama 12 anak lainnya, hanya Indah yang mau bekerja sebagai
penjual koran. Teman-temannya tetap betah berdiam diri di rumah sambil menjahit
dan menyulam yang hasilnya akan dijual ke para donator.
Indah berbeda. Dia memilih
banyak hidup di luar daripada di dalam atau disitu-situ saja. Karena hal itu
dia lakukan untuk sebuah misi. Misinya demi persahabatan.
“Hey, ada berita apa pagi ini?”
Tanyaku seraya membuka kaca mobil.
Lampu merah yang mengambil waktu
ratusan detik itu cukup sia-sia jika tidak digunakan sebaik-baiknya. Ketika
melihat anak penjual koran ini, aku merasa dia berusaha menyampaikan sesuatu.
Jadi, aku putuskan untuk memanggilnya sebentar.
“Menteri agama ketahuan korupsi
bu.” Jawabnya sambil menyodorkan koran yang dia pegang. Dia juga menggendong
banyak koran. Hu, pasti butuh perjuangan ya agar bisa makan dan minum
selayaknya.
“Selain itu?” Aku cukup terharu.
Kasihan anak ini, batinku.
“Kekalahan tim Uber Indonesia.”
Sebutnya lagi, polos sekali.
“Anak pintar.” Kataku, menepuk
bahunya.
“Dua koran.” Lanjutku.
Indah memberiku dua koran dan
aku memberinya selembar uang seratus ribuan. Mungkin karena terlalu gembira.
Kertas yang mengepal di tangan kanannya sampai terjatuh ke pangkuanku. Dan
detik-detik lampu merah pun berakhir. Embun melajukan kendaraannya.
“Ini apa?” Gumamku sambil
membuka kertas kusut itu.
Kita
dipertemukan
Lalu
dipisahkan
Apa
akan ada pertemuan kembali?
Setelah
aku tahu kita benar-benar berpisah
Begitu isinya. Aku dan Embun
saling menatap.
“Apa?” Tanya Embun. Aku
menyodorkan kertas tersebut. Dia membacanya cepat, hingga aku menerimanya lagi.
“Nanti kita kembalikan.” Kata
Embun. Dia sadar raut wajahku cemas dan khawatir. Aku hanya tidak tenang.
Kertas ini pasti teramat penting bagi pemiliknya.
Siang yang mencekam. Di
perempatan lampu merah baru saja terjadi sebuah kecelakaan motor. Embun
memarkir mobilnya ke sebuah pertokoan. Lalu menggandeng tanganku untuk
menyeberang jalan dan mencari keberadaan anak penjual koran tadi.
Ternyata, Indah ada di antara
kerumunan orang yang mengerubungi si korban kecelakaan. Aku yang melihatnya
lantas menarik tubuhnya menjauh dari peristiwa tersebut. Dan kami menepi di
dekat halte busway.
“Ibu yang tadi pagi?” Tanyanya.
“Iya. Melihat kejadian begitu,
kamu hanya menonton saja?”
“Tidak. Aku yang memanggil
polisi untuk menolongnya.”
“Bagus. Ohya, ini punyamu?” Aku
mengembalikan kertas kusut yang kemungkinan adalah miliknya. Ah, memang benar
miliknya. Kalau bukan, siapa lagi? Apa kertas kusut itu turun dari langit?
“Wah, terima kasih. Aku kira
kertas ini sudah hilang.” Senangnya.
Embun menyaksikan percakapan
kami dengan senyum yang tertahan. Dia aneh. Selalu aneh.
“Kamu tidak sadar? Anak itu
memanggilmu ibu. Sudah dua kali. Tadi pagi dan siang ini.” Ungkap Embun. Aku
pun cemberut.
“Karenamu aku jadi terlihat
lebih tua. Pekalah sedikit.” Protesku.
“Ha, apa iya? Banyak yang tidak
menyangka bahwa aku sudah 29 tahun. Mereka mengira aku masih 20 tahunan.” Embun
mengelak.
“Kalau 20 tahunan sepertimu,
lalu aku ini berapa? 10 tahunan begitu?”
Kami ceroboh. Bodoh sekali. Anak
itu pergi tapi kami tidak tahu. Benar-benar orang dewasa yang penuh lelucon.
Ups, lihat di bawah. Gumpalan kertas lagi. Apa mungkin anak itu hobi
menjatuhkan barang-barang kecil yang dia pegang?
Hari
ini kecelakaan kedua yang ku lihat secara langsung
Setelah
kecelakan yang mengambilmu dariku
Begitu isinya. Embun jalan lebih
dulu, dia meninggalkanku. Ah, tega.
Kami mencari anak penjual koran
itu. Dan menemukannya di sebuah halte depan universitas.
Ini makan siang ternikmat bagi
Indah. Es soda, es krim, nasi dan dada ayam goreng. Juga beberapa snack ringan
yang sempat ku beli tadi di minimarket sebelah.
“Kapan-kapan, boleh kakak main
ke panti asuhan kamu?” Tanya Embun.
Ouh, manisnya. Haruskah memasang
tampang sekeren itu saat bicara dengan seorang belia? Aku pun masih belia
sebenarnya. Hanya saja, aku lebih banyak bergaul dengan orang-orang dewasa.
Jadi, aku terlihat sedikit lebih tua.
“Boleh saja.” Singkat Indah. Dia
sibuk dengan puing-puing makanannya.
“Biasanya, Indah kalau malam
melakukan apa di panti asuhan?” Tanyaku kali ini.
“Merapikan rajutan-rajutan yang
sudah jadi.”
“Oh.” Panjangku.
“Kalau boleh tahu, kenapa Indah
hobi menjatuhkan kertas puisi yang Indah buat?” Embun bercanda. Aku menyenggol
lengannya.
“Ehm, maksud kak Embun, Indah
menulis puisi itu untuk siapa?” Sambungku.
Spontan, Indah terdiam. Melirik
kami sekilas lalu pergi mencuci tangan. Aku dan Embun cuma bisa kebingungan.
Menjelang sore, kami mengantar Indah
pulang. Panti asuhan tempat tinggalnya ternyata tidak semenyedihkan apa yang ku
bayangkan. Disana, kami disambut beberapa anak yang lucu-lucu. Juga seorang
wanita paruh baya yang menjadi bunda bagi mereka semua.
“Indah memang gemar membuat
puisi. Setahu saya, itu dia lakukan semenjak kehilangan orang yang
disayanginya.” Ujar Bundadari. Begitu dia disapa.
Kami diajak berkeliling panti.
Dan pemberhentian terakhir adalah, kamar Indah dan tiga anak lainnya. Bundadari
memperlihatkan dinding kamar yang dipenuhi dengan tulisan-tulisan tangan Indah.
Tembok bercat warna putih itu menjadi sangat seni. Banyak coretan pulpen
disana. Ada gambar-gambar dua orang yang bergandengan pula. Tampak seperti
sepasang sahabat.
Nama lengkapnya, Indah Sifwa.
Dia ditemukan Bundadari di depan gerbang panti asuhan. Tak lama kemudian,
Bundadari kedatangan seorang ibu yang sakit-sakitan. Ibu itu menitipkan Dinda,
anak satu-satunya pada Bundadari. Hingga mereka pun tumbuh dalam kebersamaan.
Tidak bisa dipisahkan. Kemana-mana selalu berdua. Makan berdua, mandi berdua,
main berdua, tidur berdua.
Suatu ketika, Indah menyaksikan
kematian menjemput Dinda. Dinda kecelakaan, tertabrak mobil saat mereka sedang
membeli makanan di warung persimpangan jalan.
Sejak itulah, Indah merasa sangat
kehilangan. Kehilangan sosok yang menjadi sahabatnya, belahan jiwanya, teman
seperjuangannya, teman sepermainannya, teman sehati sepikirannya. Indah menjadi
penyendiri. Berteman dengan koran-koran. Berharap ia bisa sangat pintar,
seperti apa yang selalu Dinda inginkan.
Menulis puisi tanpa judul adalah
pelampiasan perasaannya terhadap kesepian. Indah tidak pernah memberi judul
pada setiap puisinya, itu karena Indah merasa bahwa Tuhan-lah yang lebih tahu
judul apa yang pantas untuk puisi-puisinya tersebut.
Mendengar segalanya tentang
Indah, aku jadi berpikir keras. Seberapa kuat Indah tetap menjalani hidupnya
tanpa seseorang yang cocok dengan dirinya? Seberapa tegar Indah melewati
hari-harinya tanpa keceriaan bersama seorang sahabat? Seberapa mampu Indah mewujudkan
mimpi-mimpi Dinda yang selamanya tidak akan pernah bisa ditemuinya kembali?
Mungkin Indah terlalu hebat untuk menjadi seperti sekarang. Dia anak perempuan
yang benar-benar tangguh.
“Belajar apa saja hari ini?”
Tanya Embun mengetes.
“Aku… tidak boleh kalah dari
anak usia sepuluh tahunan. Dia, Indah. Luar biasa. Menerima hal yang paling
sulit dalam hidup ini yaitu kehilangan, memang seperti puisi tanpa judul. Tapi
pada akhirnya, dia menjadi cermin untuk siapa saja. Dan akan ada indah-indah
yang lain, yang sama kuatnya, yang sama tegarnya, yang sama mampunya.” Aku
hampir mengeluarkan air mata.
Embun menatapku lekat-lekat.
“Jika ingin menangis, menangis
saja. Tidak perlu gengsi begitu.” Ujarnya.
“Ish, kamu ini. Jangan
menjatuhkanku, bisa tidak?” Aku lekas mengusap air mata yang menetes.
“Siapa yang menjatuhkanmu? Aku hanya
memastikan, bahwa canggung itu sudah punah sejak lama.”
“Ya, nih, aku menangis, puas!”
Aku menyerah.
Kami beranjak dari panti asuhan
ke rumah. Embun mengantarku sampai depan gerbang. Lalu dia pulang. Indah memberiku
sebuah pelajaran hari ini. Pelajaran hidup, pelajaran yang tidak didapat di
sekolah. Tapi di lingkungan sekitar, tepatnya dimanapun kita berada.