Mungkin kali ini memang
bukan cinta pertamaku, bukan juga cinta pertamanya. Tapi kita sama-sama sadar.
Perasaan yang kita punya itu adalah perasaan yang kita setujui masing-masing.
Dan ternyata kita sejalan, kita memiliki prinsip atau komitmen yang searah.
Kita menyepakati bahwa cinta yang ada di antara kita hanyalah cinta yang patut
dirahasiakan. Artinya, kita membiarkan cinta ini ada, tumbuh atau tetap hidup
sampai kapanpun. Tapi kita tidak menuntut cinta itu untuk saling memiliki atau
harus selalu bersama.
Usiaku 10 tahun di
bawahnya. Aku mengerti benar, bagaimana anak seusiaku belajar mengenal cinta.
Cinta yang sesungguhnya adalah rasa. Bukan sebuah ucapan atau permainan atau
pertunjukkan yang selayaknya dipertontonkan.
Aku menyebutnya embun.
Embun menyebutku jingga. Pertemuan pertama kami terbilang cukup berkesan.
Buktinya sampai sekarang hubungan kami masih berlanjut dengan baik.
Ya. Aku melihatnya
bermain gitar, bernyanyi, menyanyikan lagu yang ku suka. Dari situlah aku
tertarik untuk mengenalnya lebih jauh. Awalnya, tidak ada pikiran untuk mau
memahaminya lebih dalam lagi atau sampai berujung pada jatuh cinta. Tapi
ternyata, suasana hati dan keadaan di sekitar kami mendukung hal itu untuk
terjadi.
Hari demi hari, embun
dan jingga pun bersahabat. Hanya sahabat. Mungkin itu sudah lebih dari teman,
tapi tidak lebih dari teman dekat.
Kami saling bercerita,
berbagi, bertukar pikiran. Embun, laki-laki dewasa yang pintar, teguh
pendirian, tidak mudah terpengaruh dan apa adanya. Menurut embun, jingga itu
perempuan yang kurang konsisten. Meski begitu, embun mengakui bahwa jingga
adalah perempuan yang tangguh dan penyabar. Jingga pekerja keras, mau berjuang
dan simpati/empati terhadap siapapun.
Suatu ketika, kami
bertemu. Berbicara tentang hubungan kami, tentang bagaimana nanti dan nantinya.
Sebagai yang lebih muda, tentu aku yang harus menyesuaikan diri dengannya.
Aku benar-benar
terkejut. Embun memiliki rencana-rencana hidup yang sama denganku.
Pemikiran-pemikiran kita tentang dunia ini, persepsi-persepsi kita mengenai
impian dan cita-cita, itu semua sama persis. Tapi untuk selera musik, buku,
film, makanan, tempat wisata, Negara impian, selera embun jauh lebih fenomenal dibanding
seleraku. Mungkin karena embun terlahir lebih dulu kali ya daripada aku. Embun
mengagumkan, memukau, membuat jingga sampai terdiam beberapa lama dan akhirnya
merenung.
Ada satu hal yang
mengharuskan aku dan embun untuk tidak meneruskan cerita cinta ini. Ya, embun
sudah dimiliki orang lain. Aku tahu orang lain itu siapa. Aku pernah bertemu
dengannya. Kami pernah berbicara berdua, kami pernah makan bersama. Bertiga, eh
berempat.
Aku bersyukur, aku
menikmati sekali apa yang telah terjadi di antara kami. Dari perjalanan ini,
aku belajar bagaimana itu besar hati, bagaimana itu ikhlas, bagaimana itu
bersabar, bagaimana itu menyayangi dengan tulus, bagaimana itu berteman dengan
siapa saja, bagaimana itu menjadi dewasa sebelum waktunya, bagaimana itu
menerima kenyataan pahit, bagaimana itu menjaga kisah cinta yang harus
dirahasiakan dan lain-lain.
Embun yang membuka
pintu hatiku kembali. Embun juga yang bisa menutupnya. Embun yang mengajarkanku
banyak hal tentang cinta. Cinta pada diri sendiri, cinta pada keluarga dan
cinta pada Tuhan.
Kami sering bertengkar,
kami pernah tidak bersama dalam waktu yang lama. Dan itu semua ulah embun. Tapi
tujuannya baik, agar aku dapat mengambil hikmah dari apa yang aku alami.
Beberapa bulan yang
lalu, aku bilang pada embun. Aku ingin menulis sebuah novel, novel tentang
kisah cinta kita. Embun mendukung, embun senang jika aku bangkit lagi, semangat
lagi. Dan pada saatnya, aku menemukan seseorang, seseorang yang menginspirasi. Seseorang
yang memberi judul pada novelku tentang embun dan jingga. Seseorang yang
kebetulan juga seusianya, seprofesi dengannya, sekritis caranya dan
seperjuangan dengannya.
Berhari-hari aku
menyusun bab dan kalimat-kalimat puitis yang ku kumpulkan dari percakapanku
dengan embun. Kurang dari dua bulan, novel itu pun selesai. Aku kirim ke
penerbit dan tinggal menunggu edar.
Aku menghela nafas
dalam-dalam. Karena aku merasa aku telah melakukan hal yang tepat dan pantas
untuk mengabadikan kisah embun dengan jingga.
Kami memiliki rasa yang
tidak bisa dirasakan oleh orang lain, selain diri kami berdua.
Sejak menulis novel,
aku dan embun tidak pernah bertemu lagi. Kami menjalani kehidupan kami
sendiri-sendiri. Embun dengan jalan hidupnya, aku dengan jalan hidupku. Tapi kami
tetap berkomunikasi. Di email, sms, telepon, dm twitter, inbox facebook dan
sebagainya.
Aku sangat menanti
kehadiran novelku ini, novel tentang embun dan jingga. Karena embun bilang, ia
akan muncul jika aku menginginkannya terus-menerus.
Embun
dan Jingga
“Hanya
kita yang tahu arti cinta yang kita punya.”