Selasa, 20 Mei 2014

EMBUN FEAT JINGGA 3



(Metode Cinta)

Senja ini menjadi saksi, bahwa dua orang yang berbeda telah menyatu.

“Aku masih sangat ingat, bagaimana caramu mendekatiku. 4 tahun yang lalu.” Ujar Embun.

Bahkan di hamparan pasir putih pantai Anyer ini, kami menatap langit, menghadap matahari terbenam. Bernostalgia, mengenang peristiwa-peristiwa manis yang kami lalui bersama.

“Raja dan Ratu 2010 jatuh kepada… Abid Zuhdi dan Jingga Yasmina.” Sebut MC, diiringi tepukan tangan seluruh siswa dan siswi baru angkatan 2009/2010 SMA Pandawa Lima, beserta dewan guru dan para alumni sekolah yang diundang.

Aku dan Abid sama-sama tidak percaya, tidak menyangka atau apalah itu namanya. Kami benar-benar terkejut. Akhirnya, kami pun maju ke depan lapangan. Naik ke podium yang disediakan khusus untuk penobatan Raja dan Ratu 2010.

“Mahkota akan diberikan oleh kak Embun Dirgantara dan kak Anita Sintya, selaku alumni juga mantan Raja dan Ratu 2003. Kepadanya kami persilahkan.” Lanjut MC.

Kali ini detak jantungku bekerja lebih cepat dari yang ku bayangkan. Aku, anak baru di kelas X SMA Pandawa Lima, berusia 15 tahun. Merasakan cinta pada pandangan pertama, ke Embun Dirgantara. Ha, sungguh tidak mungkin. Tibak bisa tidak bisa. Embun 10 tahun di atas aku. Embun yang dewasa, usianya mungkin sekitar 25 tahun. 25 tahun untuk seorang lelaki itu ya pastinya sudah menikah atau setidaknya sudah memiliki satu anak. Ya tuhan, perasaan macam apa ini. Apa aku sudah gila?

“Selamat ya. Jadilah Ratu yang lebih baik dari ratu-ratu sebelumnya.” Ucap Anita ketika selesai memakaikan mahkota ke atas kepala Abid Zuhdi dan aku menyalaminya. Dia juga berpesan untuk Raja 2010, yang tidak sempat ku dengar. Tapi aku melihatnya sekilas. Ha, pandanganku hanya fokus pada Embun Dirgantara. Bagaimana tidak, dia yang akan memakaikan mahkota di atas kepalaku.

Terdiam. Aku menikmati masa. Masa ketika seseorang yang ku suka berada sangat dekat denganku. Hanya berjarak selangkah. Aku menunduk dan dia memakaikan mahkota Ratu 2010, mahkota yang terbuat dari ranting kayu dan aneka macam permen. Tapi yang membuatku senang bukan main adalah, Embun berbisik di telingaku dan kata-katanya itu yang sampai sekarang masih aku ingat dengan jelas.

“Aku ingin lihat seperti apa kamu 4 atau 5 tahun kemudian. Semoga menjadi Ratu sesungguhnya.” Begitu harapnya.

“Ha, mengingat itu aku jadi malu. Menurut teman-teman, aku terlalu berani. Menyukai kakak alumni yang usianya 10 tahun di atasku adalah sebuah aib. Bahkan mereka menyebutku ‘tukang mimpi’. Karena bagi mereka, aku tidak akan pernah mendapatkanmu.” Ungkapku.
Heuh. Apa perkataanku barusan ada yang terdengar aneh? Mengapa Embun menatapku sedemikian tajamnya? Berusaha memamerkan mata elangnya begitu? Ha, sombong sekali. Apa lelaki tampan di dunia ini hanya dia seorang?

“Kamu sudah membuktikan pada mereka, bahwa perasaanmu sejak awal tidak pernah salah. Sekarang kamu sudah memiliki apa yang kamu impikan. Kamu telah berhasil.” Kata Embun.

Tiba-tiba aku mencium bau desir pasir yang membawaku kembali ke waktu dimana aku memperjuangkan semuanya sendirian. Ya, sejak Embun mengatakan harapannya padaku. Aku menjadi sangat percaya diri, optimis dan pekerja keras. Aku belajar giat agar lulus dengan nilai terbaik. Aku juga membeli buku diary khusus untuk mencurahkan perasaanku ke Embun. Dan aku bangkit dari keterpurukkan dalam menulis, karena Embun adalah inspirasiku. Aku menjadikannya sebagai fondasi imajinasi. Bahwa suatu saat nanti aku bisa meluncurkan sebuah buku, karya tulisku yang bertajuk Embun feat Jingga. Dan lihat, sekarang aku ada disini bersama Embun.

“Berhasil karena aku menggunakan metode cinta yang benar. Aku pernah menyukai seseorang di masa kecil. Kata Ibu, itu adalah cinta pertama. Ketika SMA, aku mengalami perasaan yang sama. Menyukai seseorang untuk kedua kalinya. Dan Ibu bilang, itu cinta pada pandangan pertama. Aku sempat tanya sama Ibu, apa perasaanku ini tidak wajar? Lalu Ibu menjawab, cinta datang kepada siapa saja tanpa memandang usia, apa profesinya atau bagaimana keadaannya. Cinta yang sesungguhnya tidak kenal sebuah alasan. Karena cinta itu rasa. Bukan status.” Jelasku.

Hey, mata elang itu berbinar-binar. Aku perhatikan, keduanya memancarkan cahaya kecil. Aku lihat lebih dalam lagi, dia malah menarikku masuk ke masa setahun silam.

“Ak-hir-nya ku menemukanmu. Sa-at hati iii-ni mulai merapuh. Ak-hir-nya ku menemukanmu. Sa-at raga iii-ni ingin berlabuh. Ku ber-harap, engk…” Aku sedang latihan vocal di studio tempat Embun rekaman. Tapi apa daya, berkali-kali diulang, justru suaraku semakin memburuk. Entah salah lirik, salah nada, salah fokus dan sebagainya.
“Gak gitu nadanya. Gini, ku berhaa-rap enggkaulaaah ja-wabaaan segalla risau hatiku.” Ajar Johan. Si produser yang punya banyak uang. Bahkan ia bisa membayar komposer mahal sekalipun untuk datang ke studionya. Bukan orang yang tidak tahu apa-apa tentang musik sepertiku.

Embun hanya tersenyum menyemangati dari balik pintu. Dia tahu aku sedang berjuang dan kuat mental. Berapapun cacaian atau makian yang terlempar untukku, aku tetap mau belajar. Aku harus bisa, aku pasti bisa. Aku akan selalu bersama dengan Embun, seorang musisi yang digemari banyak orang. Mana mungkin aku punya muka untuk membuatnya malu karena memiliki kekasih yang tidak bisa bernyanyi. Ha, walau aku sadar suaraku tidak begitu bagus atau merdu. Setidaknya aku bisa bernyanyi di depan Embun.

Latihan cukup. Di rumah, aku begadang selama beberapa malam. Menyelesaikan proyek naskah novel pertamaku. Lalu lanjut menyusun konsep baru tentang sebuah simfoni. Ya, aku akan memberi Embun satu kejutan. Kejutan yang ku kerjakan bersama teman-teman bandnya, tanpa sepengetahuannya tentunya.

Di hari ulang tahun Embun yang ke-29 tahun. Aku menggelar orkestra sederhana untuk memperingati hari lahir seseorang yang ku cintai. Dihadiri beberapa musisi seperjuangannya, sahabat-sahabat lamanya, juga keluarga besarnya yang selalu mendukungku. Aku bahagia, akhirnya aku bisa menjadi apa yang dia harapkan. Aku menjadi ratu di hatinya. Karena metode cinta yang ku pakai, ‘Lakukan dengan sungguh-sungguh. Maka cinta akan menghampirimu.’

“Berjuang untuk cinta tidak sulit bukan?” Tanya Embun memastikan. Aku mengangguk.
“Begitu pun dengan impian. Mengejar cinta artinya kamu sudah melakukan banyak hal. Karena cinta kamu menjadi juara, karena cinta kamu belajar bernyanyi, karena cinta kamu mendadak jadi EO, karena cinta kamu jadi punya keluarga baru, karena cinta kamu benar-benar memetik hasil. Kamu menjadi lebih baik dari sebelumnya. Menjadi Jingga yang warnanya cerah.” Lanjutnya.

Aku baru sadar sekarang. Cinta menuntunku melakukan banyak hal. Hal-hal yang mengagumkan. Aku mengerti, aku paham. Aku bisa menghadapi ini semua, melewati segalanya, karena kekuatan dari cinta. Cinta yang mengepakkan dua sayap untuk menyatu dan terbang bersamanya, yaitu Embun dan Jingga.

EMBUN FEAT JINGGA 2



(Cinta Masa Kecil)

“Lagu terakhir, untuk seseorang di table 11, Jingga Yasmina. Akhirnya ku menemukanmu, dari Naff.”

Perkataan Embun itu membuatku jadi pusat perhatian para pengunjung di You Rock Café ini. Sebagai vokalis band, suaranya memang pantas disebut ‘berciri khas’. Bagus, tapi tidak terlalu merdu. Hanya saja, dia kekasihku. Hal yang biasa bagi orang lain, akan luar biasa bagiku bukan. Hal kecil yang tidak dilihat orang lain, akan terlihat di mataku bukan.

Lagu Naff yang sedang dinyanyikannya nyaris menerbangkanku. Beruntung aku cepat sadar, bahwa aku tidak punya sayap.

“10 tahun tidak bertemu, rasanya seperti mimpi. Ternyata bertemu di tempat seperti ini.” Ucap seorang lelaki dengan penampilan yang sangat rapi bak pengusaha muda atau seorang pemimpin berkekuasaan tinggi.

Aku memperhatikannya dari atas kepala sampai ujung kaki. Beberapa detik kemudian, aku seperti kembali ke masa lalu. Ketika kelas 5 SD. Ya, lelaki yang menghadapku ini bernama Aditya Putera. Lebih tepatnya, dia cinta masa kecilku.

“Hey, Aditya. Apa kabar?” Aku menyapanya dengan senang hati.
“Baik. Boleh duduk disini?”
“Oh, ya. Silahkan.” Aditya duduk di sebelahku.

Embun bernyanyi sambil menatap kami sinis. Mau menjelaskan pun belum ada waktu. Biarlah. Ini pertama kalinya aku dan Aditya bertemu lagi. 10 tahun berpisah, kami sama-sama mengalami banyak perubahan.

Kenaikan kelas 6 SD Aditya pindah ke Pekanbaru, Riau. Tahun lalu dia baru pulang ke Jakarta. Dan sekarang kami bertemu disini. Ah, padahal aku sudah lupa dengan lelucon cinta masa kecil kami. Aku pernah pipis di celana ketika Aditya menembakku di depan semua anak-anak kelas 5. Tahukah, yang lebih memalukan adalah, buku diaryku tentang Aditya ketahuan sama guru olahraga. Sejak saat itu, dibuat peraturan dilarang pacaran. Hubunganku dengan Aditya jadi tidak jelas. Sampai akhirnya dia pindah sekolah, pindah tempat tinggal, dan kami benar-benar hilang komunikasi.

“Aku harus berterima kasih pada vokalis band itu. Karena dia menyebut namamu, kita bisa bertemu sekarang.” Kata Aditya.
“Dia pacarku.” Kataku malu-malu.
“Ohya? Bukankah kita belum putus?” Tanya Aditya. Aku sedikit takut dan kebingungan.
“Maaf, aku bercanda.” Lanjutnya. Aku bisa tenang.
“Oo-okey. Sekarang kamu sibuk apa?” Tanyaku basa-basi. Padahal aku mulai resah. Raut wajah Embun gusar, seperti membara atau curiga atau cemburu. Entahlah, aku hanya khawatir bila terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan.
“Aku pemilik café ini.” Singkat Aditya.
“Benarkah? Tapi selama beberapa bulan Embun disini, aku tidak pernah melihatmu.”
“Jadi namanya Embun?”
“I-iya.”
“Aku punya orang kepercayaan, sesekali aku kesini jika ada keperluan.”
“Oh.” Pandanganku mengarah ke lelaki yang akan menghampiri kami.

Embun. Aku bisa lihat ada warna merah di kedua matanya. Tubuhnya memanas. Detak jantungnya tidak beraturan. Tapi dia berusaha menyembunyikan itu semua. Pura-pura baik-baik saja.

“Aku sudah selesai. Ayo pulang.” Ajak Embun. Tatapannya seperti ingin memangsaku. Sedikitpun dia tidak menoleh ke arah Aditya. Ha, andai Embun tahu. Lelaki yang bersamaku ini adalah pemilik café tempat ia bekerja. Kalau tidak sopan, apalagi tidak ramah, ia bisa disingkirkan.
“Baiklah. Aku pulang. Senang bertemu denganmu lagi Aditya. Sampai jumpa.” Ujarku.

Aku bangkit dan Embun langsung menarik tanganku, membawaku pergi. Baru beberapa langkah, Aditya menghentikan kami.

“Apa kalian punya urusan penting? Jika tidak, aku masih ingin bicara banyak.”

Aku bisa merasakan, Embun memegang tanganku begitu erat. Sepertinya dia tidak ingin kehilangan. Sesekali bertatapan lalu Embun mendekati Aditya, tentu masih menggandengku.

“Aku pemilik café ini, Aditya Putera.” Aditya mengulurkan tangan, Embun belum juga meraihnya. Ah, orang ini. Apa perlu aku yang teriak dan mengatakannya.
“Dia teman SD-ku.” Ucapku siapa tahu bisa menyelamatkan.
“Embun Dirgantara.” Akhirnya mereka berjabat tangan.
“Duduklah sebentar. Aku dan Jingga lama tidak bertemu.” Pinta Aditya.

Aku mengeluarkan sesuatu dari dalam tasku dan memberikannya pada Aditya. Sebuah kartu nama. Semoga bisa memuaskannya dan segera enyah dari keadaan yang sungguh menyiksa ini.

“Kami harus pergi sekarang. Kamu bisa menghubungiku di nomor handphone yang tertera. Tetaplah menjadi Aditya yang ku kenal. Kami permisi.” Kali ini aku yang menarik tangan Embun, meninggalkan suasana yang mengepung amarahnya dalam emosi semata.

Sesampainya di parkiran, aku dan Embun masih bungkam. Lihat, bahkan saat menaiki motor sport touring bikenya, Embun tak juga menatapku. Ha, seperti berjalan dengan patung. Mesin sudah dinyalakan, tapi aku belum mau dibonceng. Dia masih kaku dan dingin. Aku jadi canggung.

“Kenapa? Kamu ragu? Kalau begitu, kembalilah. Kamu boleh menemui lelaki itu sepuas yang kamu mau. Aku bisa pulang sendiri.” Kesal Embun.

Benar saja. Dia berlalu dengan cepat. Aku ditinggalkan. Ah, tidakkah dengar sedikit penjelasan dariku. Jika begitu, aku yang rugi.

Tak berapa lama, aku memutuskan untuk pulang berjalan kaki. Perjalanan yang cukup lama bisa menjadi perenunganku. Tidak peduli bagaimana kedua kakiku akan pegal atau tubuhku akan lemah, kecapaian dan semacamnya. Aku hanya perlu mengoreksi diri. Berteman pada sepi dan situasi malam yang penuh teka-teki.

1 kilometer telah ku lintasi. Aku cek handphone, tidak ada pesan atau panggilan dari Embun. Ternyata dia marah sungguhan. Apa begini cara memperlakukan seorang perempuan? Seorang kekasih atau apalah sebutannya. Intinya aku ini orang yang dicintainya. Setidaknya begitu isi dari lagu Naff yang ia nyanyikan di café tadi.

Di persimpangan jalan dekat perumahan elite, ada seekor anjing hitam besar yang sedang memburu makanan atau sedang menyelidik atau apapun itu, yang pasti, aku takut. Aku lirik sekelilingku, tak ada orang selain aku dan suara jangkrik yang terus meramaikan langkahku. Ya, aku berlari, balik arah. Beruntung, aku pernah menang lomba lari di jam pelajaran olahraga sewaktu SMA dulu. Jadi, anjing itu tidak mudah mengejarku.

Ha, betapa terkejutnya. Aku melihat Embun menuntun motor sport bikenya. Aku berjalan tergesa-gesa hingga kami saling berpas-pasan.

“Motormu kenapa?” Tanyaku.
“Kamu yang kenapa? Seperti ketakutan.”
“A-aku tadi, di-dikejar anjing.”

Lihat. Embun tertawa terbahak-bahak. Apa dia tidak tahu seberapa takutnya aku terhadap binatang mengerikan itu? Hitam besar, berbulu lebat dan giginya runcing. Kalaupun ada yang kecil, imut, lucu, berbulu halus putih dan cukup menggemaskan, pastilah anak anjing itu cerewet. Hah.

“Apa ada yang lucu?” Aku cemberut.
“Aku membayangkan bagaimana kamu berlari secepat mungkin untuk menyelamatkan diri. Apa barang-barangmu masih lengkap? Tidak ada yang ketinggalan?” Tanya Embun, masih dengan tawa yang ia coba lenyapkan.

Tiba-tiba aku sedih, aku ingat kejadian di masa kecilku dengan Aditya. Saat aku mengejarnya sepulang menghadiri pentas seni sekolah. Aditya tidak bilang kalau ia akan pergi ke Pekanbaru. Ia hanya memberiku gantungan kunci, itupun tak sengaja aku hilangkan. Aku lupa terjatuh dimana.

Sejenak Embun iba dengan ekspresi wajahku. Lalu ia meraih tubuhku ke dalam pelukannya. Dan air mataku pun keluar, aku menangis.

“Maaf, aku tidak ada maksud membuatmu bersedih.” Ungkapnya.
“Aditya itu bukan siapa-siapaku. Kamu jangan begitu. Seenaknya meninggalkanku. Aku kan jadi dikejar anjing.”
“Iyaaa. Ini aku mengikutimu. Kamu tenang saja.”

Sekarang aku yang menertawainya. Lucu sekali. Dia menuntun motornya, demi mengikutiku. Ha, aku terharu.

“Kenapa tertawa?” Embun melepas pelukannya.
“Kamu bilang kamu mengikutiku? Aku kira motormu ini mogok.”
“Mana mungkin aku benar-benar meninggalkanmu sendirian. Aku tidak rela kamu bicara lama dengan lekaki itu. Aku bisa lihat, dari tatapannya, dia sangat merindukanmu.”
“Wah, manis sekali. Kamu cemburu ya?”
“Apa-apan ini? Aku hanya tidak suka cara dia memaksamu untuk bersama.”
“Wajar saja. Dia pacar pertamaku, aku pun pacar pertamanya. 10 tahun berpisah dan kami baru bertemu kembali di café tadi. Ternyata itu miliknya. Dunia memang sempit ya.” Ups. Aku tidak sadar, aku telah menambah rasa cemburu di hatinya.
“Maksudmu apa? Dia cinta masa kecil yang masih kau harapkan begitu?”
“Tidak tidak. Jangan salah sangka.”

Embun menaiki motor sport bike hitam yang gagah dan stylish itu. Lalu menyalakan mesin.

“Ayo pulang. Sebelum anjing itu berhasil mendapatkanmu lagi.” Ajak Embun

Ha, akhirnya. Aku diboncengi dengan kekasih hati yang setia ada selama beberapa tahun belakangan ini. Tersenyum bersama, tertawa bersama, menangis bersama, marah bersama, kesal bersama, kecewa bersama, berjuang bersama dan semoga selalu bersama.

Kami pun melaju. Menyatukan kembali segala rasa yang kami lewati hari ini.

Di sepanjang perjalanan, aku terus merayunya agar melupakan kisahku dengan Aditya. Biarlah itu menjadi masa laluku dengannya. Dan Embun adalah orang yang ku pilih untuk menjadi masa depanku. Masa laluku adalah masa laluku, masa lalunya adalah masa lalunya. Tidak bisa masa laluku menjadi masa lalunya atau masa lalunya menjadi masa laluku. Karena setiap orang memiliki jalan hidupnya masing-masing.

“Siapapun pasti punya cinta di masa kecil. Termasuk kamu, termasuk aku. Yang penting sekarang, menatap mantap ke depan. Menoleh ke belakang bukan berarti kembali, tapi mempelajari. Bahwa masa lalu adalah pengalaman yang mencerdaskan kita di masa depan.”

Begitu Embun berujar. Aku jadi tahu, seberapa besar perasaannya untukku. Dan seberapa banyak peranku mempengaruhi jalan hidupnya saat ini.