Senin, 14 Oktober 2013

Afgansyah Reza - SABAR #SabarGan Cerpen 6



CINTA PERTAMA
 

A Photo by DAVICHI


“Taniaaa.” Sasa memeluk sahabatnya.

“Sasa. Loe kenapa? Kok seneng banget?”

“Yang harusnya seneng itu elo bukan gue.”

“Loh kenapa?”

Sasa duduk di samping Tania yang sedang berpacaran dengan laptopnya.

“Nih.”

Selembar kertas kecil bertuliskan satu nomor telepon.

“Nomor siapa nih?” Tanya Tania.

“Ravi.”

Tania terkejut.

“Hah. Ravi? Kok bisa?”

“Tania. Tadi gue makan di restoran biasa terus gue ketemu Ravi lagi take a way, bungkus buat Mamanya katanya. Terus sempet ngobrol gitu dan dia ngajak loe dinner ntar malem. Mau ya tan?”

“Sasa. Loe tau kan gue punya Ahsan, jadi gue gak boleh deket sama siapapun, apalagi sama Ravi.”

“Tapi tan, loe udah 4 tahun gak ketemu sama dia. Ya udahlah, cuma sebatas silaturahim sama temen SMA aja kok gak lebih.”

“Hhh. Gimana sama Ahsan?”

“Tenang deh, itu urusan gue. Gue jamin Ahsan gak bakalan tau. Okey.”

“Iyaaa.”

Empat tahun lalu, saat perpisahan SMA. Di panggung wisudaan, Tania menyatakan perasannya pada Ravi. Hal yang membuat Tania sakit bukanlah karena Ravi telah menolaknya, tapi karena Ravi ingin berkuliah di Boston. Selama empat tahun tanpa komunikasi, Tania menelan nama Ravi dalam-dalam ke hatinya. Meski kini dirinya telah bersama Ahsan, yang baru dipacarinya dua bulanan. Jujur, Ravi masih menjadi penguasa pikirannya. Sebagai cinta pertama, Ravi belum mudah dilupakan. Padahal Ahsan sangat menyayangi Tania, entahlah! Mungkin Ahsan memang bukan orang yang bisa membuat Tania move on.

Jam 07 malam. Tania sudah duduk rapi dan tertib di Delisious Café. Sasa mengumpat di pojok café dekat barista. Ravi datang dengan seorang perempuan yang mengandengnya mesra.

“Hay tan.”

Tania terpaku, bukan karena ketampanan Ravi tapi karena seseorang di sampingnya.

“Ha-y.” Tania membendung sesak di dadanya.

“Apa kabar?”

“Alhamdulillah baik.”

Mereka bersalaman.

“Tan, ini Indri, calon isteri aku.”

A banget rasanya. Tania ingin menangis sekeras mungkin. Tapi ia masih sok tegar.

“Oh, iya. Hallo. Tania.”

“Indri.”

Sasa menepuk jidatnya. Bodoh, dalam hati.

“Tania, I’m sorry beibh.” Pelan Sasa.

Tania, Ravi dan Indri duduk bersama. Hening, sepertinya Ravi tahu kalau Tania kesakitan.

“Ini, undangan pernikahan kita. Kamu datang ya kak.” Kata Indri.

Sebuah undangan yang cantik dan menyedihkan itu diterima Tania dengan paksa. Terpaksa pura-pura biasa saja.

“Iya. Insya allah dateng ya.” Kata Tania dengan ragu.

“Sebentar aku ada telepon.” Ravi ijin lalu keluar.

Tania sembunyi mengusap air matanya yang tidak sengaja jatuh.

“Kakak ingat aku?”

“Siapa ya?”

“Aku Indri kak. Yang waktu kakak selesai diwisuda, aku peluk kakak dan ngucapin selamat.”

Tania ingat. Jadi, Indri yang ini adalah adik kelas yang waktu itu peluk Tania tiba-tiba. Pantas, Indri peluk Tania seakan ada sesuatu. Ternyata mereka sudah berhubungan sejak itu. Hebat ya. Bisa gak ada yang tahu.

“Kamu, jadi kamu yang waktu itu…”

“Iya kak.”

“Oh, ya, selamat ya.”

“Iya kak makasih ya. Pokoknya aku mau kakak dateng ke pernikahan aku sama Ravi. Karena dulu aku itu ngidolain kakak banget. Surat-surat yang sampai di mading, puisi sama cerpen aku yang kepilih terbit di mading, itu semua buat kakak.”

Tania ingat lagi. Surat-surat pengagum rahasia yang tertuju untuknya waktu itu banyak banget. Tulisannya sama. Jadi, itu dari Indri. Terus puisi sama cerpen yang waktu itu ada memo pesan khusus untuk Tania, itu juga karya Indri. Oh my…God.

“Kenapa kamu suka banget sama aku?”

“Gak tau kak. Temen-temen aku pada suka sama anak osis cowok, tapi aku sukanya sama kakak. Jangan negative ya kak. Bukannya lesbian. Tapi aku tuh suka aja gitu sama kakak. Hehe.”

Sasa menggerutu di persembunyiannya.

“Aduh, adik kelas gak tau diri nih. Itu si Tania mantan Ravi tauuu. Oon nih ah. Kalau masih SMA, gue ospek lagi loe. Mateee.”

Tak lama, Ravi kembali.

“Eh tadi aku udah pesen loh, gak papa ya?”

Tania dan Indri mengangguk.

“Duh sorry banget ya. Kayaknya aku harus balik deh, soalnya Sasa barusan sms, dia udah nunggu di rumah.”

“Kok buru-buru banget tan?” tanya Ravi.

“Iya sorry ya.”

“Yah kak. Kenapa?”

“Gak papa kok. Kasihan Sasa udah nunggu. Sorry ya. Assalamualaikum.”

Tania jalan lambat karena lemas. Tubuhnya belum sanggup menerima kenyataan kalau cinta pertamanya direbut adik kelas.

“Indri, kamu tunggu disini sebentar ya. Aku mau susul Tania.”

“Iya.”

Ravi membelai rambut calon isterinya penuh kasih sayang. Lalu ia berlari menyusul Tania.

“Tania. Sebentar.” Panggil Ravi.

Tania mengusap air matanya yang berkecuran.

“Kamu nangis?”            

“Eng-gak.”

“Aku minta maaf ya.”

“Buat apa?”

“Buat ini.”

“Gak papa.”

“Tania. Please jangan kaku sama aku. Aku tahu aku tetap cinta pertama kamu dan aku gak mau kamu lupain itu.”

“Udahlah rav, jangan bicara soal itu lagi.”

“Karena Indri.”

“Ya, karena Ahsan juga.”

“Ahsan. Ahsan senior kita yang kapten basket itu?”

“Iya.”

“Kamu sama dia. Taniaaa, aku gak tau gimana perasaan aku saat ini. Aku harap yang terbaik buat kita.”

“Yang terbaik adalah aku sama Ahsan dan kamu sama Indri. Simple.”

Indri mendengar pembicaraan karena dia berdiri lama di dekat pintu.

Beberapa hari kemudian. Indri membatalkan pernikahan saat sedang di dalam mobil bersama Ravi. Ravi kehilangan kendali karena sangat terkejut. Kecelakaan pun tak dapat dicegah. Indri koma. Ravi luka-luka biasa dan akan cepat sembuh. Di rumah sakit, kedua keluarga tak satupun yang tahu tentang hal yang menyebabkan kecelakaan. Semua murni diduga akibat Ravi terkantuk saat mengemudi.

Tania membaca surat-surat dari Indri di waktu SMA. Tentang kesukaan Indri pada Tania. Karena Tania yang apa adanya, tegas dan pemberani. Tania juga mandiri, pintar menulis, disenangi banyak guru, teman, suka bergaul, baik hati. Setiap lembar surat itu menjatuhkan penyesalan di benak Tania. Kalau saja ia tidak membahas masa lalunya dengan Ravi malam itu, pasti Indri tidak akan membatalkan pernikahannya dan terjadi kecelakaan seperti ini.

“Tan. Udah ya, jangan nangis terus. Mendingan sekarang kita ke rumah sakit deh. Kita jenguk Indri. Siapa tahu nanti dia baikan. Ya?” Sasa menenangkan hati Tania.

“Ini salah gue ya sa. Gue egois.”

“Jangan gitu dong tan. Kan gue yang awalnya bikin loe sama Ravi ketemu lagi. Gue jadi merasa bersalah juga.”

Mereka berpelukan mengeluarkan sesal. Di rumah sakit, Tania dan Sasa juga Ahsan, mereka menjenguk Indri. Satu pesan masuk dari Nadha dibaca Sasa. Sebuah MMS. Gambar yang diambil dari facebook. Berisi status Indri kemarin.

-Aku akan mengembalikan sepasang cinta pertama yang sempat ku pisahkan. Maaf, apapun yang terjadi, kalian memang ditakdirkan untuk bersama.-

“Indri bilang dia gak mau jahat sama kakak kelas idolanya. Dia juga minta aku buat balik sama kamu.” Kata Ravi.

Tania memegang erat tangan Ahsan.

“Ini status facebooknya Indri kemarin.” Sasa memperlihatkan MMS tadi ke Tania.

Tania menangis keras. Sebagai perempaun, ia juga bisa merasakan apa yang dirasakan Indri saat ini. Meskipun perasaannya juga sakit.

“Aku gak tau aku harus gimana. Intinya yang aku tau, aku harus lepas kamu tan. Seperti Indri, yang berjiwa besar dan sangat hebat.”

“Ahsan.”                            

“Tania. Aku sayang sama kamu, aku mau kamu jadi yang terakhir buat aku. Tapi aku gak bisa paksa takdir Tuhan. Aku harus berhenti cinta sama kamu. Karena ada orang yang bisa menyayangi kamu lebih dari aku.”

Ahsan memegang tangan Tania dan Ravi lalu menyatukannya. Tania memeluk Ahsan sebagai tanda maaf dan terima kasih.

Beberapa minggu kemudian. Indri mulai sembuh. Ravi dan Tania merawatnya penuh cinta. Juga Sasa dan Ahsan yang selalu menemani. Mereka selalu bersama di setiap ada waktu. Mereka ke sekolah dan bertemu dengan siswa-siswi disana. Memberikan motivasi dan inspirasi kepada anak-anak osis. Berbagi ilmu dan pengalaman. Bercerita, bermain, seru-seruan. Tepat di hari pernikahan Ravi dan Tania. Indri menjadi sangat cantik sekali. Ia didandani Sasa dan Ahsan curi kesempatan. Lelucon yang Ahsan dan Indri timbulkan menjadi sebuah harapan kalau Indri tidak rapuh, justru ada semangat baru yang berbeda dan membuat Indri ceria kembali. SEKIAN.


Salah satu sosok yang memotivasi Penulis (DELISA NOVARINA)