A PROMISE
“Liaaan.”
Safaa
berhasil keluar rumah dengan sembunyi-sembunyi. Sudah tengah malam, kalau Safaa
bilang sama Ayah pasti tidak akan diijinkan. Lian menjemputnya untuk melihat
pesta kembang api di pelepasan malam tahun baru 2013.
“Kamu
yakin mau pergi?” Tanya Lian sambil memakaikan helm di kepala Safaa.
“Iya.
Udah yuk cepetan berangkat, takut Ayah kebangun dan lihat kita disini.”
Motor
ninja hitam itu melaju kencang. Dari atas bukit, Safaa menikmati keindahan
langit di malam hari sangat begitu indah, apalagi ini malam tahun baru. Banyak
kembang api yang warna-warni dalam keramaian menyambut datangnya 2013.
“Wah
bagus banget. Ini pertama kalinya aku keluar malem dan bisa liat pesta kembang
api sama kamu, Lian. Makasih ya sayang.” Safaa memeluk Lian.
“Tapi
ini yang terakhir juga ya. Kamu gak boleh keluar malem lewat dari jam 09. Ini
udah jam 01 loh.”
“Iya
deh.” Safaa menjawab ragu. Bersama Lian, seperti berada di dunia baru yang jauh
berbeda dari dunianya bersama Ayah.
Senin
pagi. Safaa bersiap-siap ke kantor. Ayah sudah rapi sedari tadi.
“Safaa.
Jangan lupa nanti makan siang sama teman kantor Ayah ya. Ayah jemput kamu di
kantor jam 12.”
“Iya
ayah.”
Siangnya.
Ayah mengajak Safaa makan siang di sebuah restoran Padang. Sekaligus mempertemukannya
dengan Pak Andy dan Billy. Setelah mereka berkenalan, mereka makan siang
bersama sambil mengobrol.
“Waktu
kamu kuliah di California, gimana perasaan kamu Bill setelah kembali lagi ke
Indonesia?”
“Biasa
aja om. Disana kan buat kuliah jadi pas balik kesini, aku lebih ngerasa bahwa
aku punya tanggungjawab yang besar untuk menggantikan Papa di perusahaan.”
“Kamu
pekerja keras sekali ya berarti. Baru selesai kuliah langsung sigap mengurus
perusahaan. Bagus. Anak muda yang begini yang seharusnya lebih banyak ada di
Indonesia. Pemikirannya maju terus. Hahahahahaha.”
“Billy
ini anaknya pemalu loh, Johan. Dia tidak bisa dekat dengan perempuan. Makanya
dia lebih suka bekerja ketimbang cari pacar. Hehehehe.” Sambung Andy, Papanya
Billy.
“Ohya.
Safaa juga sama. Dia tidak pernah keluar sampai larut malam. Jam 09 maksimal
dia sudah ada di rumah. Kalau dia mau pergi kemana-mana, dia selalu ijin sama
saya. Kalau gak saya ijinkan, dia tidak pergi.”
“Penurut
ya?” Tanya Andy.
“Iya.
Bagaimana kalau Billy nanti malam ajak Safaa keliling Jakarta? Ke café, makan
malam, sebagai tanda pertemanan yang baru dimulai.” Usul Johan, Ayah Safaa.
“Hhm
boleh om. Kalau gitu, jam 07 aku jemput kamu ya Safaa.” Kata Billy.
Safaa
tidak setuju, dalam benaknya sebenarnya ingin menolak. Tapi Ayah terus-menerus
menjebloskannya masuk ke dalam lingkaran persahabatan dengan Billy. Selama
beberapa minggu kedekatan Safaa dan Billy semakin memuncak, hal itu nyatanya
membuat Johan dan Andy merasa senang. Tujuan mereka untuk menjodohkan Safaa
dengan Billy akan bisa tercapai. Setelah Johan mengungkapkan hal itu pada Safaa,
Safaa lantang menolaknya.
“Ayah.
Ayah tau kan, aku punya Lian yah. Lian satu-satunya orang yang selalu ada buat
Safaa. Safaa gak mau dijodohin sama Billy. Safaa bisa pilih pasangan hidup
Safaa sendiri yah.”
“Anak
itu tidak jelas masa depannya. Dari dulu ayah gak suka. Semenjak SMA, kamu
berteman dengan anak itu, kamu mulai ngelawan Ayah. Ayah gak suka.”
“Ayaaah.
Lian masih kuliah, kalau dia lulus nanti, dia bakalan kerja yah. Dia mau
ngelamar Safaa, nikahin Safaa. Please ayah, dengerin Safaa sekali ini aja.”
Safaa memohon. Ayah sudah jera.
Suatu
hari ketika Lian menjemput Safaa untuk mengantarnya pulang ke rumah, di kantor,
Lian bertemu Pak Johan.
“Om.”
Lian ingin mencium tangan Ayah Safaa. Tapi diabaikannya.
“Untuk
apa kamu disini? Apa sebenarnya tujuan kamu mendekati anak saya?”
“Maaf
om. Saya terbiasa menjemput Safaa disini. Dan saya gak ada tujuan apapun untuk
mendekati Safaa. Karena dari SMA, kita memang sudah berteman baik.”
“Kalau
begitu berteman biasa saja. Jangan memacarinya sehingga dia mampu melawan saya
demi kamu.”
Lian
sangat tersinggung tapi tetap menghormati Pak Johan sebagai Ayah Safaa.
“Minggu
depan Safaa akan bertunangan dengan Billy. Anak laki-laki yang jauh lebih baik
daripada kamu. Saya harap setelah itu, kamu benar-benar menjauhinya. Jangan
dekati perempuan yang punya tunangan. Ingat itu.”
Pak
Johan lekas pergi. Lian memikirkan teguran Pak Johan barusan. Setelah sampai di
depan rumah Safaa, mengantarnya pulang dengan membisu selama di perjalanan,
Lian terlihat lesu.
“Ini
terakhir kalinya aku antar kamu pulang. Maaf kalau besok-besok aku gak bisa
antarjemput kamu lagi.”
“Oh
iya. Kamu kan minggu depan uas ya. Iya deh gak papa. Kamu semangat ya
belajarnya. Semoga nilai kamu bagus-bagus, ujiannya lancar. Pokoknya kalau
nanti nilainya udah ketauan, kamu harus traktir aku loh.
Hehe” Safaa
menanggapinya dengan positif dan ceria.
“Aku
mau kita putus.”
“Ih
kamu jangan bercanda. Aku lagi seneng tau, tadi aku dapet…”
“Aku
serius, Safaa.”
Tanpa
memberi alasan, Lian pergi begitu saja. Safaa kebingungan, apa yang terjadi
dalam hubungannya?
Di
hari pertunangan Safaa dengan Billy yang hanya dihadiri oleh keluarga juga
kerabat dekat, Safaa menyempatkan diri keluar kamar diam-diam dengan loncat
dari atas, sekuat tenaga dan keberaniannya, Safaa akhirnya bisa menemui Lian di
persimpangan jalan.
“Lian.”
“Safaa.”
Lian melihat Safaa dari ujung kaki sampai ujung rambut. Hari ini penampilan
Safaa lebih cantik, tidak seperti biasanya yang sederhana dan cuek.
“Aku
mau tunangan sama Billy.” Safaa menangis. Berat hati untuk mengucap kenyataan
yang tidak diinginkannya.
“Hey.
Ini pertama kalinya kamu nangis di depan aku. Aku gak suka.”
Safaa
mengusap air matanya lalu memeluk erat tubuh Lian.
“Udah
ya, kamu jangan nangis lagi.” Lian melepaskan pelukan Safaa.
“Aku
gak mau, aku gak suka sama Billy.”
“Kenapa?
Billy ganteng kok, dia baik sama kamu, dia kelihatannya juga sayang banget sama
kamu.”
“Ih
pokoknya aku gak suka.”
“Udah
gak papa. Kamu turutin kemauan Ayah kamu. Setelah aku lulus kuliah, aku bakalan
kerja di astra. Kalau aku kerja, aku kumpulin uang buat ngelamar kamu. Aku
janji.”
“Janji?”
Tanya Safaa.
“Janji.”
Tegas Lian.
Hari
itu, pertunangan Safaa dengan Billy lancar. Pernikahan mereka akan berlangsung
tahun depan, tepat di usia Safaa yang ke-24.
Tanpa
Lian, hidup Safaa sangat biasa. Safaa menciptakan keceriaannya sendiri. Billy
memang anak yang baik dan sangat menyayangi Safaa dengan tulus. Tapi Billy
tidak tahu cara membahagiakan Safaa. Safaa hanya akan tertawa lepas dengan
orang yang dicintainya, Lian.
Setahun
kemudian. Beberapa hari lagi Safaa berulang tahun dan pernikahannya dengan Billy
akan digelar bulan depan.
“Sureprizeee.”
Lian datang ke kantor Safaa.
“Liaaan.”
Safaa gembira dan langsung meraih tubuh Lian untuk dipeluknya.
Di
puncak bukit tempat Lian mengajak Safaa bertahun baru 2013. Lian menceritakan
semua hal yang ia lakukan setahun belakangan ini. Safaa menjadi pendengar yang
baik dan cukup antusias dengan usaha keras Lian hingga akhirnya ia bisa bekerja
di Astra dan sudah memiliki rumah minimalis mewah persembahan untuk Safaa
ketika menjadi isterinya nanti.
“Kalau
Ayah tau, pasti Ayah setuju sama hubungan kita. Waaaaah. Aku gak sabar mau
kasih tau Ayah.”
“Tapi
faa. Billy?”
“Billy
biarin aja. Siapa suruh dia mau tunangan sama aku. Padahal kan dia tau aku udah
punya pacar.”
“Iya?
Jadi kamu bilang sama Billy?”
“He’eh.
Aku certain semuanya dengan jujur ke Billy tanpa aku lebih-lebihin sedikit pun.”
“Kayaknya
dia udah sayang banget sama kamu ya?”
“Entahlah.”
“Ih
jahat kamu.”
“Ih
enak aja. Enggak.”
Mereka
asik bercanda. Di perjalanan pulang. Safaa terus mengganggu Lian hingga
konsentrasinya berkendara tidak terkendali. Sebuah mobil kijang di depannya pun
ditabrak.
Di
rumah sakit, dirawat di ruang yang berbeda. Safaa mengalami kritis dan beberapa
hari tak sadarkan diri. Sedangkan Lian, ia luka berat tapi bisa sembuh dalam
waktu cepat. Pak Johan sangat membenci Lian atas kejadian yang menimpa anaknya.
Billy selalu ada di samping Safaa, berharap Safaa cepat sadar dan lekas sembuh.
Lalu mereka menikah dan hidup bahagia. Billy membayangkan hal-hal baik yang
akan terjadi di kehidupannya dan Safaa setelah pernikahan. Dengan kesedihan
yang amat dalam, Billy shalat, Billy berdoa, Billy memohon kesembuhan Safaa
pada yang maha kuasa. Untuk menyatukan mereka kembali, membuat Safaa menjadi
milik Billy.
Di
hari ulang tahun Safaa. Lian datang membawa birthday’s cake dan seikat bunga
kesukaan Safaa. Kedatangannya justru menimbulkan keributan, hingga ia diusir
dari ruangan dan tak diijinkan masuk menjenguk Safaa. Billy melihat air mata
yang keluar dari mata Safaa, berharap Safaa akan sadar. Billy terus berdoa,
sampai akhirnya Safaa menyebut nama Lian. Billy pun mengajak Lian masuk dengan
persetujuan Pak Johan yang terpaksa ia dapatkan.
“Happy
Birthday Safaa. Hey. Ini tangisan kedua kamu di hadapan aku. Kamu tau kan? Aku
gak suka liat cewek nangis. Kamu pasti sembuh. Kamu ingat janji aku sebelum
kamu dan Billy bertunangan? Di persimpangan jalan di dekat rumah kamu. Aku punya
janji yang harus aku tepati. Kalau kamu mau aku menepati janji itu, kamu sadar ya,
kamu cepet sembuh. Kita akan menikah.”
Di
ruangan itu hanya ada Safaa yang tak berdaya, Lian yang terus menangis sambil
berbicara pada Safaa dan Billy yang respect dengan cinta Lian dan Safaa. Tak lama
kemudian, Safaa menggerakkan jari-jarinya, lalu matanya terbuka, dan ia pun
sadar. Billy memanggil dokter dan suster, Pak Johan pun langsung mengusir Lian
lagi. Safaa membaik, keadaannya mulai pulih setelah Lian mengingatkan janjinya.
Billy
yang merawat Safaa mulai dari makan, minum obat, membacakan cerita lucu,
bernyanyi, membantu berjalan hingga apapun yang Safaa butuhkan, Billy selalu
menyiapkannya. Di kamar Safaa. Safaa dan Billy sedang menonton film drama
komedi Thailand. Tiba-tiba Safaa memegang tangan Billy.
“Bil.
Kamu laki-laki yang baik. Kamu pantas dicintai. Tapi maaf, aku gak bisa
mencintai kamu. Aku yakin, kamu akan mendapatkan perempuan yang lebih baik dari
aku. Tolong batalkan pernikahan kita ya?”
Billy
sangat terkejut mendengar perkataan Safaa. Ada rasa kecewa, marah, kesal, kasihan,
satu padu bercampur dalam kecintaannya pada Safaa.
“Aku
sudah membatalkannya tanpa perlu kamu minta.”
Safaa
tak percaya. Setelah menyadari cincin di jarinya dan di jari Billy tidak ada,
Safaa heran.
“Cincinnya
udah aku jual terus uangnya aku tabung lagi deh.”
Safaa
tertawa kecil.
“Maksud
kamu?”
Lian,
Pak Johan dan Pak Andy datang tiba-tiba. Mengejutkan Safaa dan mereka membawa
hadiah yang banyak sekali. Ada bunga, cokelat, boneka, buku, buah-buahan dll.
“Safaaa.”
Teriak Pak Andy.
“Anakku.”
Sambung Pak Johan.
“Faa.
Aku bawa banyak makanan buat kamu. Dibantu Ayah sama Pak Andy.” Kata Lian.
Safaa
gembira. Tapi ia masih bingung.
“Jadi
kapan kamu menikahi putriku? Katanya laki-laki, jangan menunda hal baik,
secepatnyalah, sebelum didului sama yang lain. Hahahahaha” Tanya Pak Johan.
“Iya
loh, atau enggak nanti aku sama Papa yang bertindak duluan.” Billy bercanda.
“Hehehe
boleh-boleh.” Ujar Pak Andy.
“Tunggu
deh. Maksudnya apa sih? Ayah udah setuju hubungan aku sama Lian?”
“Iya.
Dan ayah mau, bulan depan kalian menikah. Kamu itukan sudah 24 tahun Safaa. Udah
tua, ayah pengen cepet dapet cucu.”
“Ayaaah.”
Safaa berlari memeluk Ayah penuh rasa sayang, bahagia dan terima kasih.
“Pak
Andy, Billy, Safaa minta maaf ya kalau selama ini Safaa ada salah.”
“Iya
Safaa.” Kata Pak Andy.
Safaa
langsung memeluk Lian. Rasanya ini takkan berakhir. Kisah cinta mereka sejak
pertama di masa SMA, hingga kini saatnya mereka menikah, masih sama. Cinta tiada
akhir. Hanya maut yang memisahkan. Di kehidupan abadi pun, mereka tetap
sepasang bidadari dan bidadara yang sejati. SEKIAN.