Kamis, 03 Oktober 2013

Afgansyah Reza - SABAR #SabarGan Cerpen 2



 A PROMISE 
 


“Liaaan.”

Safaa berhasil keluar rumah dengan sembunyi-sembunyi. Sudah tengah malam, kalau Safaa bilang sama Ayah pasti tidak akan diijinkan. Lian menjemputnya untuk melihat pesta kembang api di pelepasan malam tahun baru 2013.

“Kamu yakin mau pergi?” Tanya Lian sambil memakaikan helm di kepala Safaa.

“Iya. Udah yuk cepetan berangkat, takut Ayah kebangun dan lihat kita disini.”

Motor ninja hitam itu melaju kencang. Dari atas bukit, Safaa menikmati keindahan langit di malam hari sangat begitu indah, apalagi ini malam tahun baru. Banyak kembang api yang warna-warni dalam keramaian menyambut datangnya 2013.

“Wah bagus banget. Ini pertama kalinya aku keluar malem dan bisa liat pesta kembang api sama kamu, Lian. Makasih ya sayang.” Safaa memeluk Lian.

“Tapi ini yang terakhir juga ya. Kamu gak boleh keluar malem lewat dari jam 09. Ini udah jam 01 loh.”

“Iya deh.” Safaa menjawab ragu. Bersama Lian, seperti berada di dunia baru yang jauh berbeda dari dunianya bersama Ayah.

Senin pagi. Safaa bersiap-siap ke kantor. Ayah sudah rapi sedari tadi.

“Safaa. Jangan lupa nanti makan siang sama teman kantor Ayah ya. Ayah jemput kamu di kantor jam 12.”

“Iya ayah.”

Siangnya. Ayah mengajak Safaa makan siang di sebuah restoran Padang. Sekaligus mempertemukannya dengan Pak Andy dan Billy. Setelah mereka berkenalan, mereka makan siang bersama sambil mengobrol.

“Waktu kamu kuliah di California, gimana perasaan kamu Bill setelah kembali lagi ke Indonesia?”

“Biasa aja om. Disana kan buat kuliah jadi pas balik kesini, aku lebih ngerasa bahwa aku punya tanggungjawab yang besar untuk menggantikan Papa di perusahaan.”

“Kamu pekerja keras sekali ya berarti. Baru selesai kuliah langsung sigap mengurus perusahaan. Bagus. Anak muda yang begini yang seharusnya lebih banyak ada di Indonesia. Pemikirannya maju terus. Hahahahahaha.”

“Billy ini anaknya pemalu loh, Johan. Dia tidak bisa dekat dengan perempuan. Makanya dia lebih suka bekerja ketimbang cari pacar. Hehehehe.” Sambung Andy, Papanya Billy.

“Ohya. Safaa juga sama. Dia tidak pernah keluar sampai larut malam. Jam 09 maksimal dia sudah ada di rumah. Kalau dia mau pergi kemana-mana, dia selalu ijin sama saya. Kalau gak saya ijinkan, dia tidak pergi.”

“Penurut ya?” Tanya Andy.

“Iya. Bagaimana kalau Billy nanti malam ajak Safaa keliling Jakarta? Ke cafĂ©, makan malam, sebagai tanda pertemanan yang baru dimulai.” Usul Johan, Ayah Safaa.

“Hhm boleh om. Kalau gitu, jam 07 aku jemput kamu ya Safaa.” Kata Billy.

Safaa tidak setuju, dalam benaknya sebenarnya ingin menolak. Tapi Ayah terus-menerus menjebloskannya masuk ke dalam lingkaran persahabatan dengan Billy. Selama beberapa minggu kedekatan Safaa dan Billy semakin memuncak, hal itu nyatanya membuat Johan dan Andy merasa senang. Tujuan mereka untuk menjodohkan Safaa dengan Billy akan bisa tercapai. Setelah Johan mengungkapkan hal itu pada Safaa, Safaa lantang menolaknya.

“Ayah. Ayah tau kan, aku punya Lian yah. Lian satu-satunya orang yang selalu ada buat Safaa. Safaa gak mau dijodohin sama Billy. Safaa bisa pilih pasangan hidup Safaa sendiri yah.”

“Anak itu tidak jelas masa depannya. Dari dulu ayah gak suka. Semenjak SMA, kamu berteman dengan anak itu, kamu mulai ngelawan Ayah. Ayah gak suka.”

“Ayaaah. Lian masih kuliah, kalau dia lulus nanti, dia bakalan kerja yah. Dia mau ngelamar Safaa, nikahin Safaa. Please ayah, dengerin Safaa sekali ini aja.” Safaa memohon. Ayah sudah jera.

Suatu hari ketika Lian menjemput Safaa untuk mengantarnya pulang ke rumah, di kantor, Lian bertemu Pak Johan.

“Om.” Lian ingin mencium tangan Ayah Safaa. Tapi diabaikannya.

“Untuk apa kamu disini? Apa sebenarnya tujuan kamu mendekati anak saya?”

“Maaf om. Saya terbiasa menjemput Safaa disini. Dan saya gak ada tujuan apapun untuk mendekati Safaa. Karena dari SMA, kita memang sudah berteman baik.”

“Kalau begitu berteman biasa saja. Jangan memacarinya sehingga dia mampu melawan saya demi kamu.”

Lian sangat tersinggung tapi tetap menghormati Pak Johan sebagai Ayah Safaa.

“Minggu depan Safaa akan bertunangan dengan Billy. Anak laki-laki yang jauh lebih baik daripada kamu. Saya harap setelah itu, kamu benar-benar menjauhinya. Jangan dekati perempuan yang punya tunangan. Ingat itu.”

Pak Johan lekas pergi. Lian memikirkan teguran Pak Johan barusan. Setelah sampai di depan rumah Safaa, mengantarnya pulang dengan membisu selama di perjalanan, Lian terlihat lesu.

“Ini terakhir kalinya aku antar kamu pulang. Maaf kalau besok-besok aku gak bisa antarjemput kamu lagi.”

“Oh iya. Kamu kan minggu depan uas ya. Iya deh gak papa. Kamu semangat ya belajarnya. Semoga nilai kamu bagus-bagus, ujiannya lancar. Pokoknya kalau nanti nilainya udah ketauan, kamu harus traktir aku loh. 

Hehe” Safaa menanggapinya dengan positif dan ceria.

“Aku mau kita putus.”

“Ih kamu jangan bercanda. Aku lagi seneng tau, tadi aku dapet…”

“Aku serius, Safaa.”

Tanpa memberi alasan, Lian pergi begitu saja. Safaa kebingungan, apa yang terjadi dalam hubungannya?

Di hari pertunangan Safaa dengan Billy yang hanya dihadiri oleh keluarga juga kerabat dekat, Safaa menyempatkan diri keluar kamar diam-diam dengan loncat dari atas, sekuat tenaga dan keberaniannya, Safaa akhirnya bisa menemui Lian di persimpangan jalan.

“Lian.”

“Safaa.” Lian melihat Safaa dari ujung kaki sampai ujung rambut. Hari ini penampilan Safaa lebih cantik, tidak seperti biasanya yang sederhana dan cuek.

“Aku mau tunangan sama Billy.” Safaa menangis. Berat hati untuk mengucap kenyataan yang tidak diinginkannya.

“Hey. Ini pertama kalinya kamu nangis di depan aku. Aku gak suka.”

Safaa mengusap air matanya lalu memeluk erat tubuh Lian.

“Udah ya, kamu jangan nangis lagi.” Lian melepaskan pelukan Safaa.

“Aku gak mau, aku gak suka sama Billy.”

“Kenapa? Billy ganteng kok, dia baik sama kamu, dia kelihatannya juga sayang banget sama kamu.”

“Ih pokoknya aku gak suka.”

“Udah gak papa. Kamu turutin kemauan Ayah kamu. Setelah aku lulus kuliah, aku bakalan kerja di astra. Kalau aku kerja, aku kumpulin uang buat ngelamar kamu. Aku janji.”

“Janji?” Tanya Safaa.

“Janji.” Tegas Lian.

Hari itu, pertunangan Safaa dengan Billy lancar. Pernikahan mereka akan berlangsung tahun depan, tepat di usia Safaa yang ke-24.

Tanpa Lian, hidup Safaa sangat biasa. Safaa menciptakan keceriaannya sendiri. Billy memang anak yang baik dan sangat menyayangi Safaa dengan tulus. Tapi Billy tidak tahu cara membahagiakan Safaa. Safaa hanya akan tertawa lepas dengan orang yang dicintainya, Lian.

Setahun kemudian. Beberapa hari lagi Safaa berulang tahun dan pernikahannya dengan Billy akan digelar bulan depan.

“Sureprizeee.” Lian datang ke kantor Safaa.

“Liaaan.” Safaa gembira dan langsung meraih tubuh Lian untuk dipeluknya.

Di puncak bukit tempat Lian mengajak Safaa bertahun baru 2013. Lian menceritakan semua hal yang ia lakukan setahun belakangan ini. Safaa menjadi pendengar yang baik dan cukup antusias dengan usaha keras Lian hingga akhirnya ia bisa bekerja di Astra dan sudah memiliki rumah minimalis mewah persembahan untuk Safaa ketika menjadi isterinya nanti.

“Kalau Ayah tau, pasti Ayah setuju sama hubungan kita. Waaaaah. Aku gak sabar mau kasih tau Ayah.”

“Tapi faa. Billy?”

“Billy biarin aja. Siapa suruh dia mau tunangan sama aku. Padahal kan dia tau aku udah punya pacar.”

“Iya? Jadi kamu bilang sama Billy?”

“He’eh. Aku certain semuanya dengan jujur ke Billy tanpa aku lebih-lebihin sedikit pun.”

“Kayaknya dia udah sayang banget sama kamu ya?”

“Entahlah.”

“Ih jahat kamu.”

“Ih enak aja. Enggak.”

Mereka asik bercanda. Di perjalanan pulang. Safaa terus mengganggu Lian hingga konsentrasinya berkendara tidak terkendali. Sebuah mobil kijang di depannya pun ditabrak.

Di rumah sakit, dirawat di ruang yang berbeda. Safaa mengalami kritis dan beberapa hari tak sadarkan diri. Sedangkan Lian, ia luka berat tapi bisa sembuh dalam waktu cepat. Pak Johan sangat membenci Lian atas kejadian yang menimpa anaknya. Billy selalu ada di samping Safaa, berharap Safaa cepat sadar dan lekas sembuh. Lalu mereka menikah dan hidup bahagia. Billy membayangkan hal-hal baik yang akan terjadi di kehidupannya dan Safaa setelah pernikahan. Dengan kesedihan yang amat dalam, Billy shalat, Billy berdoa, Billy memohon kesembuhan Safaa pada yang maha kuasa. Untuk menyatukan mereka kembali, membuat Safaa menjadi milik Billy.

Di hari ulang tahun Safaa. Lian datang membawa birthday’s cake dan seikat bunga kesukaan Safaa. Kedatangannya justru menimbulkan keributan, hingga ia diusir dari ruangan dan tak diijinkan masuk menjenguk Safaa. Billy melihat air mata yang keluar dari mata Safaa, berharap Safaa akan sadar. Billy terus berdoa, sampai akhirnya Safaa menyebut nama Lian. Billy pun mengajak Lian masuk dengan persetujuan Pak Johan yang terpaksa ia dapatkan.

“Happy Birthday Safaa. Hey. Ini tangisan kedua kamu di hadapan aku. Kamu tau kan? Aku gak suka liat cewek nangis. Kamu pasti sembuh. Kamu ingat janji aku sebelum kamu dan Billy bertunangan? Di persimpangan jalan di dekat rumah kamu. Aku punya janji yang harus aku tepati. Kalau kamu mau aku menepati janji itu, kamu sadar ya, kamu cepet sembuh. Kita akan menikah.”

Di ruangan itu hanya ada Safaa yang tak berdaya, Lian yang terus menangis sambil berbicara pada Safaa dan Billy yang respect dengan cinta Lian dan Safaa. Tak lama kemudian, Safaa menggerakkan jari-jarinya, lalu matanya terbuka, dan ia pun sadar. Billy memanggil dokter dan suster, Pak Johan pun langsung mengusir Lian lagi. Safaa membaik, keadaannya mulai pulih setelah Lian mengingatkan janjinya.

Billy yang merawat Safaa mulai dari makan, minum obat, membacakan cerita lucu, bernyanyi, membantu berjalan hingga apapun yang Safaa butuhkan, Billy selalu menyiapkannya. Di kamar Safaa. Safaa dan Billy sedang menonton film drama komedi Thailand. Tiba-tiba Safaa memegang tangan Billy.

“Bil. Kamu laki-laki yang baik. Kamu pantas dicintai. Tapi maaf, aku gak bisa mencintai kamu. Aku yakin, kamu akan mendapatkan perempuan yang lebih baik dari aku. Tolong batalkan pernikahan kita ya?”

Billy sangat terkejut mendengar perkataan Safaa. Ada rasa kecewa, marah, kesal, kasihan, satu padu bercampur dalam kecintaannya pada Safaa.

“Aku sudah membatalkannya tanpa perlu kamu minta.”

Safaa tak percaya. Setelah menyadari cincin di jarinya dan di jari Billy tidak ada, Safaa heran.

“Cincinnya udah aku jual terus uangnya aku tabung lagi deh.”

Safaa tertawa kecil.

“Maksud kamu?”

Lian, Pak Johan dan Pak Andy datang tiba-tiba. Mengejutkan Safaa dan mereka membawa hadiah yang banyak sekali. Ada bunga, cokelat, boneka, buku, buah-buahan dll.

“Safaaa.” Teriak Pak Andy.

“Anakku.” Sambung Pak Johan.

“Faa. Aku bawa banyak makanan buat kamu. Dibantu Ayah sama Pak Andy.” Kata Lian.

Safaa gembira. Tapi ia masih bingung.

“Jadi kapan kamu menikahi putriku? Katanya laki-laki, jangan menunda hal baik, secepatnyalah, sebelum didului sama yang lain. Hahahahaha” Tanya Pak Johan.

“Iya loh, atau enggak nanti aku sama Papa yang bertindak duluan.” Billy bercanda.

“Hehehe boleh-boleh.” Ujar Pak Andy.

“Tunggu deh. Maksudnya apa sih? Ayah udah setuju hubungan aku sama Lian?”

“Iya. Dan ayah mau, bulan depan kalian menikah. Kamu itukan sudah 24 tahun Safaa. Udah tua, ayah pengen cepet dapet cucu.”

“Ayaaah.” Safaa berlari memeluk Ayah penuh rasa sayang, bahagia dan terima kasih.

“Pak Andy, Billy, Safaa minta maaf ya kalau selama ini Safaa ada salah.”

“Iya Safaa.” Kata Pak Andy.

Safaa langsung memeluk Lian. Rasanya ini takkan berakhir. Kisah cinta mereka sejak pertama di masa SMA, hingga kini saatnya mereka menikah, masih sama. Cinta tiada akhir. Hanya maut yang memisahkan. Di kehidupan abadi pun, mereka tetap sepasang bidadari dan bidadara yang sejati. SEKIAN.



Afgansyah Reza - SABAR #SabarGan Cerpen 1





LOVE is FREAK



Seminggu yang lalu. Saat Sheena ingin menginap di rumah Lisa, sahabatnya. Jam 12.00 malam Fandy menelepon Sheena dan menjemputnya untuk pulang karena sebelum itu Sheena sempat bilang ke Fandy kalau Mamanya tidak mengijinkannya menginap di rumah Lisa. Sheena tak curiga sedikit pun atas sikap Fandy yang tiba-tiba menghubunginya lagi sampai rela menjemputnya tengah malam. Sheena dan Fandy teman sekelas waktu SMP. Sekarang mereka kelas 1 SMA dan beda sekolah.

“Na, aku mau ngebut. Kamu pegangan ya.”

Romantisme kecil yang tidak akan pernah Sheena lupakan. Karena saat itulah Fandy menyatakan perasaaannya dan mereka jadian.

Beberapa tahun kemudian. Fandy dan Sheena sudah wisuda SMA. Fandy menghilang begitu saja. Sheena sangat khawatir dan terus mencari kabar tentang Fandy ke teman-temannya bahkan sampai ke keluarganya. Suatu hari, Fandy datang menemui Sheena di rumahnya. Di taman halaman rumah, mereka duduk berdua dan keduanya enggan memulai bicara. Dengan sekuat hati, Sheena memberanikan diri untuk bertanya.

“Kamu kemana aja? Aku cari kamu ke temen-temen, sampe ke keluarga kamu. Tapi gak ada satupun yang kasih tau aku keberadaan kamu. Kok kayak ada yang disembunyiin ya?”

“Sheena.”

“Iya.”

“Aku. Aku mau kita putus.”

Sheena sangat terkejut. Dadanya sesak menahan tangis, matanya membendung. Tapi ia mencoba tenang.

“Kenapa?”

“Aku mau kuliah di Boston. 4 tahun aku disana. Aku gak akan bisa tetap pacaran sama kamu sementara kita jauh.”

“Loh, kita masih bisa komunikasi kan? Apa salahnya tetap pacaran walaupun kamu disana aku disini.”

“Sheena. Aku mau serius sama kuliah aku.”

“Maksud kamu selama ini aku pengganggu?”

“Enggak, hey. Setelah aku pulang dari Boston, orang pertama yang aku temuin adalah kamu. Aku janji.”

“Terus kita putus?”

“Iya. Dengar! Kamu boleh pacaran sama siapapun disini dan aku juga boleh pacaran sama siapapun disana. Tapi ingat, setelah aku pulang, kita akan bersama lagi. Kita balikan.”

“Kamu udah gila ya?” Sheena tak bisa lagi menahan air matanya untuk segera membanjiri sekeliling lahan.

“Kamu, kamu buang cinta aku terus kamu ambil lagi. Kamu pikir perasaan aku itu apa?” Lanjut Sheena.

“Sheena. Kamu cinta pertama aku, aku mau kamu juga cinta terakhir aku, cinta sejati aku. Aku yakin kamu bisa ngerti.”

Fandy mengusap air mata di pipi Sheena lalu mencium keningnya dan lantas pergi.

Beberapa minggu kemudian, Sheena berkuliah di sebuah universitas negeri di Jakarta Selatan. Ada salah satu senior yang sangat menyayanginya dan sudah banyak berkorban untuknya. Namanya Ravi. Setahun, dua tahun, Sheena masih tak memberi kepastian pada Ravi, apakah ia ditolak ataukah diterima?

Di tahun ketiga, Ravi sudah tamat kuliah dan bekerja di perusahaan swasta di Jakarta Pusat. Meskipun sibuk bekerja, Ravi selalu ada waktu untuk Sheena dan hal itu yang akhirnya membuat Sheena mau menerima Ravi sebagai pacarnya. Setahun berjalan, Sheena semakin merasa bahwa Ravi mencintainya dengan tulus, tanpa mengeluhkan segala kekurangan Sheena.

Suatu hari, saat Sheena libur kuliah. Fandy muncul dengan penampilan yang tidak banyak berubah dan terlihat lebih baik.

“Sheena.”

“Fandy.”

“Ini buat kamu.” Fandy memberikan seikat bunga dan sekotak cokelat.

Sheena menerimanya dengan senang hati. Lalu mereka pergi ke sebuah tempat di pinggiran jalan yang menjadi tempat saat Fandy menyatakan perasaannya pada Sheena.

“Kamu gimana kabarnya?”

“Baik. Aku kira kamu udah lupa sama aku.”

“Enggaklah. Aku kan masih punya janji sama kamu.”

Sheena teringat janji Fandy saat memintanya untuk putus. Sheena mengembalikan seikat bunga dan sekotak cokelat itu lalu berjalan pergi. Fandy menyusulnya.

“Na. Kenapa bunga sama cokelatnya dibalikin? Kenapa kamu pergi?”

Langkah Sheena terhenti.

“Aku udah punya pacar.”

Fandy sudah tahu itu dan ekpresinya biasa saja.

“Aku tau.”

“Tapi yang lebih aku tau, cinta kamu cuma buat aku. Ya kan?” Lanjut Fandy.

Sheena menggelengkan kepala. Fandy bingung.

“Aku gak mau ninggalin Ravi dan balik sama kamu.”

“Kamu bercanda kan na? Sheena, please jangan bikin aku kebingungan.”

“Udah jelas kan fan. Aku gak mau balik sama kamu.”

Sheena berlari pergi. Fandy menjatuhkan bunga dan cokelatnya tanpa sengaja. Selama dijalan pulang, Sheena menangisi sikapnya pada Fandy yang terpaksa harus ia lakukan seperti itu. Sementara Fandy, mengendarai motor sportnya tanpa peduli kiri, kanan dan depan jalan. Fandy berkendara kencang sambil menyesali perbuatannya empat tahun lalu yang meninggalkan Sheena begitu saja sehingga sekarang Sheena tak mau menerimanya lagi.

Keesokan harinya, seperti biasa Ravi menjemput Sheena di kampus dan mengantarnya pulang ke rumah. Di mobil, Sheena tanpa kata. Wajahnya murung dan sedang melamun.

“Sheena, kamu kenapa? Kamu sakit? Kita ke dokter sekarang ya.”

“Eng-enggak kok. Aku gak papa. Antar aku ke rumah Lisa aja ya.”

“Iya. Tapi kamu beneran gak papa? Muka kamu pucat loh. Kamu udah makan siang belum? Kita makan dulu ya.”

“Aku udah makan kok tadi, aku gak papa, seriusan.”

Ravi mencurigai sesuatu, tak biasanya Sheena melamun seperti ada yang membebani pikirannya. Sesampainya di rumah Lisa, Ravi pulang. Sheena dan Lisa mengobrol di kamar. Sheena menceritakan kembalinya Fandy setelah empat tahun meninggalkannya.

“Menurut Lisa, itu keputusan Sheena yang terbaik kok. Lagian kan, Fandy udah seenaknya aja ninggalin kamu. Selama dia gak ada, Ravi yang selalu ada di samping Sheena. Jadi, bukan salah Sheena kalau akhirnya Fandy kecewa. Itukan hasil atas perbuatannya Fandy sendiri. Siapa suruh dia ninggalin kamu.”

Sheena sedikit tenang setelah mendengar tanggapan Lisa. Tapi hari-harinya kini, selalu memikirkan keadaan Fandy. Ingin rasanya Sheena memeluk Fandy dan bisa bersama lagi. Tapi ada Ravi, yang akan jahat sekali kalau Sheena meninggalkannya demi kembali dengan Fandy yang sudah menyia-nyiakannya selama empat tahun belakangan.

Minggu pagi, di depan rumah Sheena. Ravi baru turun dari mobil dan melihat ada laki-laki dengan motor sportnya berhenti tak jauh dari tempat Ravi memarkir mobil. Namun Ravi tak menganggap serius. Di kamar Sheena, Ravi melihat Sheena masih tertidur lelap. Terpaksa Ravi membangunkannya karena sudah jam 07.

“Sheena. Bangun sayang. Ini udah siang.”

Sheena pun bangun dan terkejut melihat Ravi ada di kamarnya.

“Raviii. Kamu ngapain di kamar aku? Keluar keluar keluar. Ih malu tau. Aku lagi jelek.”

“Kata siapa?”

“Tadi kata aku barusan.”

“Hehehehe. Anak kecil. Kamu pacarnya Ravi, Sheena. Yang selalu cantik dan baik hati.”

“Ah apaan deh. Hehehehe”

“Ohya tadi aku lihat di depan ada anak laki-laki motornya motor sport, temen kamu ya? Barusan kesini gak?”

Sheena mendadak olahraga jantung. Itu pasti Fandy, pikirnya dalam hati.

“Enggak. Kamu ketemu sama dia? Kamu ngobrol sama dia?”

“Heu enggak kok. Aku cuma nanya sayang. Ya udah kamu buruan mandi. Kita sarapan di luar.”

Seharian menghabiskan waktu bersama Ravi, Sheena merasa bahagia sekali. Ravi memperlakukannya seperti satu-satunya orang yang dicintai. Padahal Sheena tak pernah berbuat apa-apa untuknya. Malam hari, Ravi dan Sheena pulang. Setelah mengantar Sheena sampai rumah, Ravi langsung pergi. Mata Sheena tertuju pada laki-laki di ujung jalan, laki-laki dengan motor sportnya itu masih di posisi yang sama sejak pagi tadi.

“Kamu ngapain masih disini?”

“Aku nunggu kamu.”

“Pulang aja. Ini udah malem. Aku capek.”

Sheena balik badan dan berjalan pergi. Fandy memeluknya dari belakang. Mereka hanyut dalam rasa rindu yang lama mereka simpan masing-masing. Sheena menangis keras, kerinduannya pada Fandy sangat penuh menumpuk di dalam hati.

“Bilang sama aku kalau perasaan kamu masih sama seperti empat tahun lalu?”

Sheena mengangguk sambil terus menangis.

“Aku tau Sheena. Kita akan bersama lagi.”

Di beberapa meter dari tempat mereka melepas rasa rindu, ada Ravi yang sedari tadi melihat moment mereka. Sheena langsung melepas pelukannya. Mereka sama-sama menatap Ravi penuh kata maaf.

“Sheena.” Kata Ravi dengan berat hati.

Sheena menghampirinya perlahan lalu menggenggam kedua tangan Ravi dengan lembut.

“Aku minta maaf.”

“Aku tau ini sejak lama. Aku tau janji kalian, aku tau kisah cinta kalian tujuh tahun lalu. Aku tau semua, Sheena.”

Sheena heran, dari siapa Ravi tahu hubungannya dengan Fandy. Padahal selama mengenal Ravi, Sheena tidak pernah menyebut nama Fandy.

“Aku sengaja baca buku diary kamu tadi pagi pas kamu lagi mandi. Di perkebunan, pas kamu lagi sibuk belajar cara menanam buah strawberry sama tukang kebun, aku menelepon Lisa dan Lisa menceritakan semuanya sama aku.”

“Raviii.” Sheena meneteskan air matanya.

“Janji ya, setelah ini kamu gak boleh nangis lagi. Kamu kan mau wisuda terus kerja deh. Kalau kamu sama Fandy menikah, aku diundang ya.”

Ravi bijaksana sekali. Meskipun air matanya tak sanggup mewakili pelepasan cintanya pada Sheena, Ravi berusaha rela.

“Akhirnya aku tau, alasan kamu selama ini berat banget buat terima aku. Itu karena kamu masih mencintai Fandy dan aku lihat di hari-hari kita selama ini, kamu tetap mencintai Fandy. Gak ada ruang di hati kamu buat aku. Aku berterima kasih sama kamu. Sheena, aku gak akan pernah lupain hubungan kita.”

Sheena memeluk Ravi lalu melepasnya, hanya sebentar karena ada Fandy yang benar-benar dicintainya. Ravi pulang mengendarai mobilnya dengan rasa kesedihan yang mendalam dan terpukul. Fandy dan Sheena menikmati hubungan yang baru mereka mulai kembali. SEKIAN.