Rabu, 29 Januari 2014

That I Wrote For You



SELAMAT ULANG TAHUN, EMBUN




Pernah dengar “Cinta tidak pernah memilih kapan dan kepada siapa ia akan datang”? Ya, sebenarnya kalimat itu sering disebutkan oleh banyak orang, di social media dan lain-lain. Tapi, tepatnya, kalimat itu ada di novel TEARS SPRING IN KOREA karya Dwi Andhika. Okey, kesampingkan tentang novel. Ini ada hubungannya dengan kalimat yang sudah jelas itu. Meski sekilas saja.

Di sela-sela rapat Manager baru beberapa minggu lalu, aku dan Adesby, teman kerja, seorang laki-laki yang tampan dan sangat lucu sekali. Kami mengalami hal yang bisa dibilang memalukan. Bukan memalukan juga sih, lebih ke jujur banget gitu.

“Eh, jodoh itu kayak gimana sih sa?”

“Hah? Jodoh? Lagi rapat gini loe nanyain jodoh.”

“Dih gue serius. Kalau kayak si erra, yang udah nikah dan punya anak gitu, belum tentu suaminya itu jodohnyakan?”

“Jangan bilang loe suka sama mba erra?” Tebakku.

“Ya enggaklah. Gue gak mungkin suka sama istri orang kali.”

“Ih, nyindir gue loe?”

“Ups sorry. Bukan gitu.”

“Terus?”

Tak lama, rapat dimulai kembali. Perbicaraan kami terputus. Aku kira telah berakhir, dan Adesby sudah melupakannya. Tapi ternyata, sepulang dari kantor, Adesby telepon aku hanya untuk menyambung rasa penasarannya tentang jodoh. Rupanya dia bersungguh-sungguh ingin tahu. Dan pasti ada alasan dari pertanyaannya itu.

Pagi hari yang cerah, fajar begitu indah dan bersahabat sekali. Meskipun bangun kesiangan dan akan sampai telat ke kantor. Aku optimis, selalu ada keberuntungan buatku. Tak lagi. Ketika sampai kantor, ada owner yang sedang memberikan briefing ke seluruh karyawan. Astaga, aku pasti dihukum. Tidak apa-apa sih, tapi masalahnya, malunya itu. Benar firasatku, aku tidak boleh masuk kantor sampai jam istirahat. Tugas menumpuk dan databse banyak yang belum kesalin. Lengkap sudah penderitaan hari itu. Kejebak macet, datang telat, tugas banyak, alamat bakalan lembur deh. Padahal nanti malam harus pergi.

“Kali ini gue percaya deh kalau loe gak selamanya hoki. Hahahaha” Adesby meledekku.

“Lagi sial mungkin.” Jawabku tak bersemangat.

“Terus nanti malam loe jadi kasih sureprise buat sang embun loe itu?”

“Jadi dong.”

“Emang berani ketemu sama dia? Ntar loe pipis di celana lagi. Hahahaha.”

“Ah loe mah by, ngeledek gue terus.”

“Ya udah ya udah. Mau gue bantuin gak?” Usulnya meragukan.

“Gak deh. Ntar loe naksir lagi. Hahahaha.”

“Rese ya loe. Loe kira gue cuchooo.”

“Awal kenal sama loe, gue kira loe cucho gitu tau by. Soalnya loe tuh cakep, terus sok imut, polos gitu. Waktu ada Manager yang lama juga loe malah tanya ke dia ‘udah nikah apa belum?’. Masa cowok nanya ke cowok kayak gitu. Aneh.”

“Itu tuh gue mewakili kalian para karyawan cewek. Abisnya pada gak ada yang mau nanya. Ya udah gue aja yang nanya. Haha. Aib gitu ya.”

“Iya aib banget kalau inget itu.”

Pertemananku dan Adesby sudah seperti kakak-adik. Dia tahu siapa yang lagi ku suka, apa yang tidak ku suka, kekurangan dan kelebihan juga saling memahami satu sama lain.

Tentang embun, aku belum sebutkan nama aslinya pada Adesby. Aku takut dia bocor.

Pulang kantor, aku berjalan kaki di pinggiran jalan Wolter Monginsidi. Menikmati hidup di ibukota. Menyebrang di lampu merah, melihat aktifitas orang-orang sekitar. Merenung tentang nasib, tentang tujuan hidup, mau dibawa kemana sebenarnya harapan-harapan ini?

Tak jarang aku merasa kesepian. Bukan karena tidak memiliki kekasih atau jauh dari keluarga dan sahabat. Tapi karena pencarian jati diri. Aku masih belum mengenal bagaimana sebenarnya diriku. Meski sesungguhnya kitalah yang mengenal diri kita sendiri. Tapi itu hanya pembelaan saja. Seseorang mengatakan aku tidak konsisten, menyebalkan, suka bikin deg-degan dan susah diatur. Setelah itu kami putus. Aku tidak terima dikomentari pedas begitu. Tapi aku pikir-pikir lagi. Dia benar. Tak seharusnya hubungan kami yang baru berjalan sebulan tiba-tiba berhenti di tengah jalan, di tengah prinsip kita bersama yang mulai ada kecocokan. Kasihan aku, seseorang yang sangat baik dan membangun seperti dia, aku biarkan lepas terbang sesukanya. Bodoh ya?

Pertama kalinya aku jatuh cinta, pertama kalinya aku punya pacar, pertama kalinya juga aku sulit bangkit kembali. Bukan trauma, lebih ke susah buka hati lagi gitu.

Bertemu dengan wujud yang sulit diungkapkan. Orang yang membuatku terkagum-kagum. Kalau ditanya karena apa, aku juga tidak bisa jawab. Aku menyebutnya embun. Setelah pertemuan pertama, kami belum bertemu lagi. Kata Adesby, mungkin dia malaikat. Karena aku hanya bertemu dengannya satu kali saja.

Perkenalan aku dan embun sangat berkesan. Hanya aku yang tahu bagaimana rasanya. Intinya, Tuhan satu-satunya yang memahamiku.

Kehadiran embun di hidupku adalah udara segar yang baru. Embun membuatku dengan tegas mengatakan bahwa ‘Aku jatuh cinta lagi.’ Aku merasakan sensasi nyata ketika orang sedang jatuh cinta. Yang malu-malu, yang melamun terus, yang senyum-senyum sendirian, yang tambah semangat, yang punya energy luar biasa, yang punya sekuat tenaga untuk tidak makan, tidak minum, dan lain-lain.

Di Pantai Natsepa, Ambon. Aku ambil cuti beberapa hari untuk liburan ke Maluku. Bukan tanpa alasan, tujuanku hanya untuk menemui embun. Sosok imajiner yang sukses membuat tulisanku banyak disukai pembaca.

Lari-lari bahagia di tepi pantai. Hanya ada aku dan seseorang yang jauh di ujung sana.

“Tuhan, kau tahu kisahku dan embun tak pernah usai. Karena embun sudah menemukan senjanya, tolong rahasiakan cerita kita. Biarlah peri kecil mereka menjadi kebahagiaanku juga.” Doaku sambil menatap ke langit.

Tanpa ku tahu, embun mengambil gambarku dengan camera kesayangannya. Sesekali tersenyum ke arahku sambil mengacungkan jempolnya.

Lirik sebuah lagu mengatakan ‘Dirimu laksana surgaku. Tempatku mencurahkan.’ Mungkin tidak tepat kalau untuk embun. Karena dia bukan milikku dan kami hanya sebatas teman. Usia yang jauh lebih tua dariku membuatku berharap kalau embun mau menganggapku sebagai seorang adik. Bukan adik biasa, aku mau embun juga bisa terbuka terhadapku. Selama kebersamaan kami, selalu aku yang banyak cerita padanya. Dia tidak pernah mengungkapkan apa yang sedang dia rasakan. Jadi, aku tidak tahu bagaimana aku di matanya.

Kembali ke pantai. Aku masih berlari-lari menikmati kebahagiaan saat itu. Hari bersamanya, tepat di hari ulang tahunnya yang ke-29 tahun. Tak lama kemudian, aku mengambil sebuah kue ulang tahun ukuran 20x20, special request ‘Happy Birthday My Brother’. Cukup berat ketika mengatakan itu pada pastry toko. My Brother, sejak kapan rasa suka berubah jadi persaudaraan? Kalau dipaksa, mungkin bisa. May be. Aku berusaha.

Berjalan lambat menuju tempat embun berdiri tadi. Aku lihat kiri-kanan-depan-belakang. Embun tidak ada.

“Embun dimana? Tadi disini.” Batinku.

Beberapa menit aku berkeliling dengan resah yang mengkhawatirkan. Beribu kata melayang di langit-langit pantai. ‘Embun meninggalkanku sendirian.’ ‘Embun mulai membenciku.’ atau ‘Aku bangun dari mimpi.’

Brukkk!

Aku terjatuh. Kue untuk embun hancur diselimuti pasir pantai. Air mata hujan deras di pipiku. Penyesalan karena aku ceroboh. Rasa tidak enak hati karena telah mengacaukan kejutan buat embun. Dan seseorang membungkuk tepat di hadapanku. Kedua matanya bersinar, auranya seperti kilau biru air laut. Senja datang membawa pangeran kiriman Tuhan. Aku bersyukur.

“Tidak apa-apa.” Katanya begitu santun.

Senyum itu menyegarkan. Membuat kucuran air mataku berhenti begitu saja. Dia melihat kue dariku untuknya yang tak layak lagi jika dimakan. Bijaksana, besar hati, sangat baik, lalu apalagi ya?

“Selamat Ulang Tahun, Embun.” Kataku sambil memekarkan senyum milikku yang paling manis.

Embun membantuku berdiri. Kedua tangannya sangat lembut. Sayang, dia bukan milikku.

“Tuhan, terima kasih. Aku bersama malaikat kini.” Dalam hati. Kalau Adesby tahu apa yang ku rasakan, mungkin dia kira aku sudah gila.

Kami bertatapan. Beberapa detik saja. Embun langsung mengalihkan pandangannya ke arah pantai. Aku tahu kami salah. Waktu yang kami punya bukan untuk kesenangan berdua. Bukan untuk berbuat dosa karena embun sebenarnya sudah berkeluarga. Tapi waktu yang Tuhan berikan sebagai kesempatan terakhir itu adalah untuk kami manfaatkan sebaik-baiknya. Kompromi Tuhan pada kami. Karena Tuhan maha pengasih dan penyayang. Tuhan juga maha adil. Kisah yang tak sempurna di antara kami memang tak pernah usai. Tapi bukan berarti harus kami lanjutkan nanti. Bukan. Cukup sampai disinilah cerita kami dituliskan.

“Terima kasih, senja merah muda.”

Begitu dia menyebutku. Kenapa merah muda? Karena kami bertemu di pentas seni sebuah kampus paling bergengsi di Indonesia. Saat itu, panggungnya serba warna merah muda. Cute banget deh.

“Tuhan telah menitipkanmu untuk aku jaga beberapa waktu. Sampai kamu benar-benar menemukan pangeranmu, kisah kita harus tersimpan rapi di dinding hati paling dalam. Kamu pernah bilang, kalau kisah kita tak pernah usai. Tapi ini hari terakhir yang kita punya untuk bersama.” Ungkapnya.

Aku hanya mengangguk. Tak kuat menatapnya lama-lama. Aku bisa menangis lagi.

“Lisa. Bersikaplah seperti orang-orang disana. Yang menganggapku sebatas idolanya. Jangan berlebihan. Karena kamu tahu kita dibatasi garis lingkaran yang tak pernah retak. Karena di dalamnya ada beberapa titik yang sangat menjaga komitmen dan ingin hidup bersama selamanya. Tolong rahasiakan cerita kita. Aku yakin kamu bisa. Karena sekarang aku percaya, kamu perempuan yang hebat.”

Tiba-tiba melintas lagu Afgan di atas kepalaku. Yang berjudul SABAR. Begini liriknya ‘Rahasiakan aku sedalam-dalamnya cintamu.’ Ah soundtracknya begitu menyebalkan. Tepat sekali untuk kami berdua. Tapi tidak akan lagi. Hanya hari itu.

“Iya aku mengerti. Sekali lagi, selamat ulang tahun.”

Tuhan membebaskanku dari kepedihan yang mengundang tangis. Aku sudah dewasa. Aku menyikapi perpisahan kami dengan tenang dan lapang dada. Karena kami tidak benar-benar berpisah. Kami masih bertemu dan berteman baik. Bedanya, tidak ada lagi perasaan yang sering membuat kami salah tingkah seperti dulu. Jelas, embun punya bagian di hidupku, di hatiku, di pikiranku. Entah bagaimana senja merah muda menurut embun. Intinya, separuh masa lalu kami adalah milik kami berdua. SELESAI.

Note:
Cerpen ini hanya fiktif belaka. Dipersembahkan khusus untuk EMBUN di usianya yang ke-29 tahun. 'That I Wrote For You' wish you all the best.