Cerpen edisi LIVE TO LOVE @Afgansyah_Reza
Dodit, lelaki 25 tahun
dengan ketampanan yang paspasan dan bersuara medok khas Jawa itu berjalan penuh
semangat. Ia tidak berjalan sendirian. Seseorang berada di sampingnya. Mereka saling
bergandengan tangan. Menurutnya, berpacaran dengan siswi SMA itu keren. Perbedaan
usia hanya 8 atau 9 tahun. Dan ia bisa membuktikan kepada teman-temannya, kalau
lelaki dengan tampang paspasan tidak melulu mendapat perempuan yang paspasan
juga.
Sementara Nina, siswi SMA
kelas 3 yang memiliki paras secantik Yuki Kato-menurutnya sendiri-bukan sebuah
keberuntungan berpacaran dengan lelaki dewasa yang jauh lebih tua darinya. Dodit
memang cukup mapan. Nina tidak perlu takut kelaparan kalau berjalan dengannya. Tetapi,
satu kekurangan Dodit yang bagi Nina sangat fatal. Yaitu penampilan. Itu
mengapa Nina tidak punya keberanian yang cukup untuk memperkenalkannya kepada
teman-teman.
Hari ini mereka ke Dufan. Pertama
kalinya bagi Dodit, namun ke sekian kali bagi Nina. Dodit begitu norak, membuat
Nina malu dan bergidik.
“Mana teman kamu? Katanya ada
yang ke sini juga,” tanya Nina.
“Iya, di mana ya?”
Dodit melirik ke sana
kemari, mencari seorang teman kerjanya yang juga berlibur ke sini dan sempat
meminta untuk bertemu. Tentu Dodit dengan senang hati ingin menemuinya. Mau
menunjukkan betapa cantiknya kekasihnya.
“Nah itu,” tunjuk Dodit, “Deva.”
Ketika melihat orang yang
dicari, Dodit langsung memanggilnya.
Deva, teman kerja Dodit,
sangat berbeda dengannya. Nina sampai melongo. Kok bisa Dodit punya teman
seganteng itu?
“Loe sendiri?”
“Iya, dit.”
“Eh, kenalin, ini pacar
gue, dev. Namanya Nina.” Dodit memperkenalkan Nina kepada Deva.
“Nina,” sambil memasang
senyum paling manis yang pernah ia punya.
“Deva,” sedikit syok
memang, namun Deva berusaha untuk biasa saja.
Setelah berjabat tangan,
Nina merasa ada sesuatu yang menyetrum perasaannya. Dan berpikir kalau Deva
juga merasakan hal yang sama.
Lalu, mereka bertiga
mengunjungi beberapa wahana permainan. Lucunya, ketika selesai menaiki Tornado,
Dodit merasa kepalanya begitu berat, penglihatannya tidak jelas, dunia terasa berputar,
dan perutnya begah. Akhirnya, ia pun muntah. Sedangkan, Nina dan Deva sudah
pergi ke wahana permainan yang lain, meninggalkan Dodit. Atau lebih tepatnya,
lupa kalau ada Dodit.
“Nin, Nina,”
Mendengar teriakan Dodit
memanggilnya, Nina baru ingat kalau Dodit ketinggalan. Membuat Deva menahan
tawanya dan bergeleng.
Sesudah asyik bermain,
mereka pun makan siang. Sesekali Dodit memergoki Nina tengah memperhatikan
Deva, juga melihat Nina begitu sibuk dengan ponselnya.
“Ke toilet dulu ya,
sebentar,” izin Deva.
Ketika ia pergi, Dodit
baru bisa berbicara.
“Nin, kalau di depan teman
aku, jangan smsan terus dong, kan enggak enak.”
“Siapa yang smsan? Aku chatting
sama teman sekolah, besok ada ujian praktik, aku harus sudah hafal.”
“Oh, ya tapi jangan
terlalu diam ya, nanti kesannya jutek.”
“Iyaaa,”
Tanpa sepengetahuan Dodit,
ternyata Nina dan Deva sudah bertukar nomor handphone. Bahkan sekarang mereka
saling chatting di Line. Mengirim stiker untuk mengolok Dodit. Membuat lelaki
itu terlihat kasihan dan benar-benar tidak peka.
Waktu sudah menunjukkan
pukul tiga sore. Nina meminta untuk segera pulang. Dodit mengantarnya. Sementara
Deva pulang ke arah yang berbeda. Dengan sebuah motor sport berwarna hitam,
pengendara yang memakai helm tampak begitu maskulin. Nina boleh berbangga. Ketika
sampai di depan rumahnya, Nina turun, dan Dodit mengucapkan beberapa hal.
“Nin, kamu sayang sama aku
kan?”
“Iyalah,”
“Jangan pernah bohongin
aku ya. Kalau ada apa-apa bilang aja.”
“Siap, bos.”
Dodit merasa lega sudah
mengatakannya. Ia sangat berharap Nina menjadi kekasih yang jujur dan tulus
menyayanginya. Tanpa berlama-lama, Dodit pun pamit. Ketika motornya sudah tak
terpandang lagi, sebuah motor sport berwarna biru muncul dan berhenti tepat di
depan Nina. Dan ya, itu Deva.
Tanpa basa-basi, Nina
langsung naik ke boncengan motor. Membuat Deva lantas melaju dengan kecepatan
sedang.
“Katakan
tidak pada selingkuh.”