Sabtu, 07 September 2013

AMTB -The Movie-



Film Air Mata Terakhir Bunda


RK23 Picture telah mengadakan syukuran sebelum acara syuting Film AMTB dimulai 03-19 September 2012 lalu di Sidoarjo. Acara syukuran syuting Air Mata Terakhir Bunda itu juga disemarakkan dengan partisipasi jajaran Pemerintah Kabupaten Sidoarjo melalui Bupati Sidoarjo, Bapak H. Saiful Ilah SH. MHum yang secara simbolis memberikan restu dikeluarkannya ijin syuting film yang terinspirasi dari novel best seller karya Kirana Kejora selama 17 hari di beberapa lokasi yang berpusat di kota Sidoarjo. Turut hadir pula Erna Pelita (Produser), Endri Pelita (Sutradara) dan kru produksi serta beberapa pemain pendukung diantaranya Happy Salma (karakter Sriyani), Vino G. Bastian (karakter Delta remaja dan dewasa), Endi Arfian (karakter Fahri kecil), Reza Farhan (karakter Iqbal kecil), Ilman Lazulfa (Delta kecil) dan Mamiek Prakoso (karakter Cak Rosyid).

Mengenai AMTB sendiri, Erna Pelita menambahkan, "AMTB adalah satu singkatan yang ingin kami sebarkan kepada masyarakat. Singkatan dari Air Mata Terakhir Bunda yang merupakan sebuah frasa yang ingin kami jadikan frasa populer tahun ini. AMTB adalah mimpi yang terwujud dimana kami selalu ingin melahirkan sebuah layar lebar tentang Ibu," jelas Erna.

Menambahkan keterangan tentang AMTB yang disampaikan produser, Sutradara Endri Pelita turut menjelaskan, "Film AMTB adalah film keluarga yang bercerita tentang seorang anak yang selamanya tidak siap kehilangan Ibunya. Dimana anak tersebut begitu dekat dengan sang Ibu yang selalu menemani, memberi support dalam diam dan menanamkan nilai nilai kehidupan sehingga anaknya berhasil. Dapat dikatakan ini merupakan film tentang ‘Di balik keberhasilan seorang anak, ada Ibu di belakangnya," urai Endri Pelita.

"Film AMTB juga ingin menceritakan betapa berharganya waktu kita untuk memberikan bakti kita, pada Ibu dan menonjolkan kekuatan sebuah keluarga. Sekaligus merayakan kemuliaan derajat cinta seorang Ibu", lanjut sang Sutradara berkacamata ini antusias.

"Berlatar belakang kota Sidoarjo, film AMTB pun menggambarkan tentang kearifan lokal masyarakat Sidoarjo yang menyatu dengan alam, ramah saling menyapa dan saling membantu, masyarakatnya yang religius, tegar dan mampu bangkit di setiap permasalahan. Kearifan lokal masyarakat Sidoarjo ini lah yang membuat kami jatuh hati untuk meng-capture kesederhanaan dan ketegaran masyarakat Sidoarjo melalui film AMTB ini," tegas Erna Pelita.

"Saya sudah tak sabar untuk mengeluarkan kemampuan untuk memerankan karakter Sriyani melalui penggalian yang cukup mendalam yang telah saya  lakukan. Semoga peran Sriyani yang saya bawakan mampu mengangkat kehormatan para Ibu Sidoarjo yang tulus dalam membesarkan anak-anaknya dalam kondisi apa pun tanpa mengenal lelah". tutur Happy Salma.

Sementara karakter Delta remaja dan dewasa, Vino G. Bastian pun tak kalah antusias untuk dapat menggali peran Delta sebagai sosok yang sangat mengagungkan Ibunya  dalam kehidupannya. 

"Karakter Delta Santoso, merasa sang Ibunda selalu hidup dalam hatinya sehingga dia selalu tidak siap untuk pulang. Karena jika ia pulang ia takut akan disadarkan oleh kenyataan pahit bahwa Ibunya telah lama tiada. Saya pribadi cukup terharu dengan karakter Delta yang tidak memiliki kesempatan untuk berbakti membahagiakan sang Ibunda. Peran ini seperti teguran kecil dalam pribadi saya, untuk tidak menunda dalam berbakti kepada orang tua khususnya Ibu", ungkap Vino.

Secara keseluruhan film Air Mata Terakhir Bunda menonjolkan momen kehilangan, pencarian, penemuan dan terakhir, merayakan.

Acara syukuran itu berlangsung lancar dan penuh apresiasi.

Cerita film Air Mata Terakhir Bunda berpusat pada sosok Delta Santoso (Vino Bastian) yang sejak kecil tetap sayang dan setia mengabdi pada ibunya, Sriyani (Happy Salma) apapun situasi dan konflik hidup yang dia hadapi.

Musibah yang dihadapi oleh Sriyani bukan hanya bencana lumpur Lapindo saja, namun juga sang suami yang meninggalkan dia dan anak-anaknya demi wanita lain tanpa memberi kejelasan status. Sejak saat itu, Sriyani menjadi ibu sekaligus tulang punggung keluarga demi memenuhi kebutuhannya dan membiayai sekolah kedua orang anaknya Delta dan Iqbal. 

Ia menjadi buruh cuci dan setrika sambil berjualan lontong kupang, makanan khas Sidoarjo, yang ia jajakan sendiri dengan sepeda tuanya. Mampukah Sriyani bertahan dalam kerasnya ujian yang dihadapinya? Apa yang dilakukan Delta dan Iqbal dalam membantu derita sang ibu? Saksikan film Air Mata Terakhir Bunda yang begitu menyentuh hanya di bioskop kesayangan anda Tanggal 03 Oktober 2013 mendatang.

Film Air Mata Terakhir Bunda :
  • Sutradara : Endri Pelita
  • Produser : Erna Pelita
  • Penulis Naskah : Danial Rifky
  • Pemain : Happy Salma, Vino Bastian, Rizky Hanggono, Endi Arfian, Ilman Lazulva, Reza Farhan, Mamiek Prakoso, Marsha Timothy, Sean Hasyim
  • Genre : Drama
  • A Novel by: Kirana Kejora
  • Studio : RK 23

    Official Trailer check this out https://www.youtube.com/watch?v=ZtrCIuzsPNo

From NOVEL to MOVIE (AMTB)



Petikan Novel AIR MATA TERAKHIR BUNDA (golden scene)

"IBU"tidak pernah menangis di depan kami, kalaupun ingin menangis, ibu hanya menggigit bibirnya kuat-kuat hingga berdarah, agar tangisnya tak terdengar oleh kami, anak-anak yang selalu dikuatkannya dengan kata-kata….jangan pernah menjual kesedihan dan tangismu hanya untuk masa depan, karena masa depan adalah rancangan, kehidupan adalah sekarang, hadapi!”

BEBERAPA PETIKAN NOVEL  AMTB: 
AKU BUKAN ANAK YATIM
(kenangan 17 tahun yang lalu)
            Di balai desa nampak antrian panjang barisan fakir miskin dan anak yatim untuk mendapatkan jatah beras miskin (raskin).
            Terlihat Delta yang sedang kepanasan, beberapa kali mengelap keringat di dahinya dengan kedua punggung tangannya. Sambil sesekali melihat ke depan dan belakang barisannya, dia mencoba bersabar untuk mendapatkan jatah beras yang menjadi haknya dan keluarganya.
             Kini tiba gilirannya setelah dua jam mengantri dengan tertib. Delta berharap segera mendapatkan apa yang diharapkannya, membawa pulang sekantong beras untuk makan mereka beberapa hari ke depan.
             Namun apa yang dialaminya sungguh menyayat hati kecilnya. Dengan wajah bingung bercampur sedih, dia menatap dua perempuan di depannya yang sedang bertengkar karenanya.
             “Dia kan tidak yatim, nggak perlu disantuni.”
            “Tapi dia anaknya janda bu, ya masuklah dalam daftar santunan kita.”
            “Tapi bapaknya kan masih ada. Artinya masih ada yang wajib bertanggung jawab atas mereka itu. Yok opo seh?”
            “Yok opo? Gimana to? Bapake sudah nggak mau bertanggung jawab kok. Malah kawin lagi dengan wanita lain.”
            “Wes-wes. Ya sudah beri dia jatah satu jiwa saja. Yang lainnya masih banyak yang antri ning!”
            Delta masih ingat betul kejadian yang membuat hatinya sedih tujuh belas tahun yang lalu itu. Seorang perempuan bertumbuh tambun, yang sesekali mengunyah makanan, gethuk singkong yang terus dibawanya sambil wira wiri mengatur antrian jatah raskin, bertengkar dengan seorang petugas perempuan yang dia tahu membelanya untuk mendapatkan hak jatah raskin.

**********************************

MENGAJI
          Sengaja sore itu dia mengaji untuk menumpahkan segala tanya yang selama ini tidak pernah terjawab. Pikirnya, ustadz Iskan yang selama ini selalu membesarkan hatinya bisa melegakan jawabannya. Informasi tentang keberadaan ayahnya di Kludan sangat mengganggu pikirannya.
         Selesai membaca Qur’an yang dipinjamnya dari musholla, Delta langsung bertanya kepada ustadz yang sejak awal mengaji sudah menangkap kegelisahannya.
         “Mbah, benarkah Allah itu Maha Adil?”
         “Kenapa kamu ngomong begitu? Kalau Allah tidak Maha Adil, kalian tidak ada di sini mengaji. Bersyukurlah dengan semua yang telah diberi, apapun pemberiannya.”
          “Kalau Allah Maha Adil, kenapa Allah tidak mengingatkan bapak saya ke saya, anaknya? ”
          Delta membantah, sudah lama kata-kata itu dipendamnya sendiri. Kalaupun dia menangis saat sendirian di rumah, dia akan segera keluar dari rumah. Berlari sekencang-kencangnya menuju sungai. Lalu menceburkan dirinya ke sungai, berenang hingga kelelahan. Berteriak sekeras-kerasnya Tak peduli hari itu panas terik atau hujan. Baginya hanya itu yang bisa menghiburnya, melupakan kesedihannya, sedikit menyembuhkan lukanya.
**********************
SEPATU
           Delta ingin bilang kepada ibunya, protes hatinya, Bapak punya toko sepatu bu. Kenapa dia tidak peduli dengan kita? Setahuku jika orang punya toko sepatu di Kludan, sudah pasti duitnya banyak, kaya. Lalu kenapa dia tidak mau membiayai hidup kita? Apakah salah jika aku datang ke sana minta sepatunya sepasang saja? Aku ingin ke sana, melihat bagaimana wajah bapak, bagaimana merasakan dipeluk seorang bapak. Tapi apakah mungkin dia tahu dan ingat bahwa aku adalah anak yang ditinggalkannya? Kenapa dia bisa melupakan kita bu? Kenapa?
           Dengan berat hati, Delta mengucapkan apa yang beberapa hari ini dipendamnya. Dia sudah tak peduli lagi bagaimana respon ibunya, sakit hati, marah atau sedih dengan kalimatnya. Yang jelas dia ingin haknya sebagai anak terpenuhi dari seorang lelaki yang disebut “Ayah”.
            “Bu…nggak usah beli sepatu di pasar Larangan.”
           “Lho kenapa? Di sana banyak pilihan, harganyapun miring. Ukuran sepatumu berarti 39 ya sekarang.”
Delta memberanikan diri menatap ibunya yang juga menatapnya heran.
          “Bu, kata bu haji Waroh, eeehmmm bapak ada di Kludan, punya toko sepatu di Kludan. Nama tokonya Kludan Maju Jaya…”
          Ibu Delta tanpa ekspresi apa-apa mendengar kalimat Delta. Dia terus menatap wajah anak yang tak pernah tahu wajah ayahnya itu. Ayah yang konon dulu menghilang di negeri antah berantah, nyatanya kini berada di desa tetangga, sangat dekat dengan desa mereka. Hidup dengan janda kaya yang memang hanya membutuhkannya sebagai lelaki, bukan sebagai suami.
           Dia tahu wajah Delta menyiratkan ingin bertemu, melihat wajah ayahnya dengan alasan ingin sepatu baru. Sebuah alasan yang masuk akal, permintaan yang manusiawi. Seorang bocah yang rindu pelukan ayahnya. Siapapun ayahnya.
          “Bu, Delta ingin melihat ayah sekaligus minta sepatu baru. Masak nggak boleh?”
Mata Delta tertuju kepada butiran-butiran beras di dalam tampah yang dipangku ibunya. Dia semakin mendekatkan wajahnya pada tampah. Matanya melihat beberapa kutu beras masih asyik berselancar diantara butiran beras raskin itu.
            “Berasnya kutuan ya bu?”
            “Ah nggak, hanya sedikit saja. Besok yang penting saat kamu makan, kutunya sudah nggak ada. Bersyukurlah masih diberi Allah beras ini. Kamu bisa bayangkan mereka yang tidak bisa makan nasi. Sudahlah, sekarang kamu harus tidur.”
            Ibunya berdiri, menaruh tampah beras di atas meja. Dia tidak ingin anaknya sedih atau galau karena mereka makan beras berkutu. Beras yang tak layak makan, beras yang sudah setengah busuk, dan membahayakan kesehatan mereka. Namun mau bagaimana lagi, hal seperti itu sudah sangat biasa terjadi. Lalu mereka sama-sama terdiam, membisu, melupakan percakapan tentang sepatu.
***************************
SANDAL TEROMPAH BERPENITI
              Semua orang yang berada di lapangan, sangat tertarik dengan gemuruh Reog Cemandi. Delta makin bangga dengan regunya. Beberapa guru pendamping, termasuk Bu Siti, terus menyemangati murid-muridnya dengan membagi permen dan es teh yang dibungkus plastik. Delta sangking bersemangatnya mengatur dan membaur dengan group reog-nya, tidak menyadari posisinya hampir bertubrukan dengan Ramli.
            “Waw, duh! Loro rek!”
            Delta meringis kesakitan saat  Ramli yang bertubuh tambun sedang menabuh terbang, berjingkrak di depannya, tanpa sengaja menginjak kakinya.
            “Wes rek, siap-siap. Giliran kita maju. Delta ayo semangat!”
Delta yang masih memegangi kakinya. Langsung mengatur baris teman-temannya. Dia sudah tak peduli lagi sakit kaki kanannya.
            Giliran regu Lintang Renokenongo maju ke depan, memberi hormat kepada Bupati dengan tamu undangan lainnya yang duduk di tribun utama.
           Sambutan sorak sorai dan tepuk tangan penonton membuat mereka makin semangat menebar senyum. Barisan nampak rapi, diiringi paduan musik etnik angklung dan terbang yang mengiringi Fakhri dan Amin dengan tarian topengnya.
            Reog Cemandi ala Delta menjadi tontonan yang menarik hari itu. Diantara sekian regu yang kebanyakan nampak mewah dengan aneka baju modern dan kebarat-baratan, regu Delta terlihat paling natural. Delta terus menebar senyum ke penonton, berjalan tenang menuju rute yang ditentukan.
            Setelah keluar dari alun-alun, dan tepat di depan dewan juri, hal yang tidak terduga terjadi. Wajah Delta mulai terlihat resah, dia merasakan sesuatu di kaki kanannya. Jalannya mulai pelan. Dia menengok ke bawah sedikit. Wajahnya mendadak pucat. Karena ternyata, tali kulit sandal terompah yang dipakai kaki kanannya putus, jalannya mulai terseok-seok. Nampaknya injakan kaki besar Ramli membuat tali terompahnya rapuh dan putus. Dia tidak bisa menyembunyikan cacat jalannya. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk melepas kedua terompahnya, dengan kaki kepanasan, nyeker, dia tetap meneruskan jalannya.
           Sementara teman-temannya yang ada di barisan depan mulai ramai berbisik. Bu Siti yang mengetahui kesulitan Delta, segera menenangkan murid-muridnya. Delta merasakan ketidaknyamanan yang luar biasa. Dia ingin segera acara karnaval itu berakhir. Beruntung, Bu Siti segera mengambil tindakan. Sandal terompah Delta diambil dan disambung dengan peniti. Diberikannya kepada Delta yang mulai kepanasan dan kesakitan telapak kakinya.
Delta sedikit lega setelah Bu Siti memberikan terompah-nya. Dia kembali berjalan dengan tenang, namun semangatnya sudah mulai luntur. Ketegangan di wajahnya tak bisa disembunyikannya.
           Alunan musik reognya terasa terdengar fals, cempreng, kacau, tidak karuan. Pikirannya kalut. Hatinya menciut. Jalannya terasa berat. Jarak yang mereka tempuh terasa sangat panjang. Waktu terasa lama sekali untuk mencapai ke tempat finish. Hingga tanpa terasa lagi, sorak sorai para ibu teman-temannya memekakkan telinganya. Teman-temannya berhambur menuju supporter mereka masing-masing. Bu Siti menenangkannya, memberinya minum, sepertinya guru muda itu tahu kegalauan Delta.
          Delta lalu duduk di sudut tribun alun-alun sambil minum es teh pemberian Bu Siti. Fakhri mendatanginya. Dia tahu hati sahabatnya sedang kacau. Delta sedih bukan karena ibunya tidak datang memberinyan support. Namun karena hatinya kecewa, merasa gagal.
          Dia menjauh dari teman-temannya, mengambil posisi jauh dari podium panitia. Dia tidak ingin mendengar pengumuman pemenang. Fakhri duduk di sisi kanannya. Mata mereka sama-sama melihat suasana ramai di depannya. Teman-teman mereka yang berbagi suka dengan ibu mereka, atau kakak bahkan tante atau nenek mereka. Suasana yang tak mereka dapatkan sore itu.
         Tak berapa lama, terdengar sorak sorai regu Lintang Renokenongo, mereka saling berpelukan. Bu Siti nampak mencari-cari Delta yang masih duduk, menundukkan kepalanya sambil menatap sedih sandal terompah kanan dengan peniti-nya.
        “Del, kita menang! Selamat ya!”
        Bu Siti menjabat tangan Delta yang kaget dengan kabar tanpa duga itu. Fakhri nampak senang, merangkul Delta.
      “Juara berapa bu?”
        Fakhri bertanya, seakan mewakili tanya Delta.
        “Juara harapan tiga. Nggak papa ya?!”
       Delta menunduk lesu, matanya yang tadi terlihat sejenak berbinar, tiba-tiba redup kembali. Dia sangat kecewa. Seharusnya, paling tidak regu mereka bisa menjadi juara satu atau tiga. Dia melihat sandal terompah-nya, lalu melepasnya, dan membuangnya jauh-jauh ke atas, setelah Bu Siti pergi meninggalkan mereka.
        “Kok kon buang seh sandal terompahe Cak Rosyid?”
        “Wes dikekno aku. Timbangane aku mangkel ndelok terompah iku.”
        “Trus kon mulih nyeker? Sinting!”
Fakhri kesal dengan apa yang dilakukan Delta barusan. Bu Siti mendatangi mereka, memberi dua nasi bungkus dan dua air putih yang dibungkus plastik.
        “Habis makan segera kumpul ke mobil pick up ya. Takut hujan turun kalau kesorean pulang. Ibu tunggu di sana.”
        “Ya bu. Terima kasih.”
         Fakhri menimpali kalimat Bu Siti yang mulai tahu kekecewaan Delta.
        “Yuk mangan sek. Wes jo dipikir maneh. Lali ta kon omonge ibumu. Menang kalah iku podo wae. Kon dewe sing sering ngomongi aku ngono. Wes! Mangan sek saiki!”
         Fakhri tetap setia  menyemangati sahabat kecilnya itu. Dia mengajak Delta makan dan mengendapkan pikiran. Delta dengan lesu membuka nasi bungkus, menyuapkan nasi dan lauknya pelan-pelan. Pikirannya mulai mencair sejuk saat Fakhri menyebut kata “ibumu”
**********************
TITIPAN IBU
         Lewat teman Delta yang baru saja keluar dari kamar, Sriyani menitipkan serantang lontong kupang, sebuah buku cerita  tua dan sebuah amplop untuk Delta.
        “Assalamu’alaikum nak.”
         “Wa’alaikum salam.”
         “Maaf merepotkan, bisa titip ini buat Delta?”
         “Oh bisa. Maaf Ibu ini siapanya Delta?”
          “Saya hanya orang yang dititipi ini buat Delta. Tolong ya nak.”
          Sriyani terpaksa berbohong karena dia tidak mau siapapun melihatnya sebagai ibu Delta, aktifis kampus, mahasiswa cerdas yang smart dan energik, dikagumi banyak orang jadi berkurang penilaiannya. Segera Sriyani berpamitan, dan buru-buru keluar dari teras kos Delta. Dia tidak ingin teman Delta berpikir tentang siapa dia lebih lama, karena dari matanya, teman Delta yang dititipinya tadi menangkap sesuatu yang beda saat melihatnya. Sementara sore itu langit makin gelap karena mendung pekat memayungi wilayah Surabaya Timur itu, hujan deras akan turun, tinggal tunggu hitungan menit.
        Sampai di ujung jalan kecil di kawasan Keputih itu, Sriyani lamat-lamat mendengar suara yang sangat dikenalnya, memanggilnya. Dia sedikit menghentikan langkahnya tanpa menoleh ke belakang, namun segera dia mempercepat langkahnya menuju halte tua di seberang jalan, menunggu angkutan kota membawanya ke terminal Joyoboyo untuk transit dengan mobil colt diesel jurusan Surabaya – Porong.
       “Ibuuuuuuu! Buuuu tungguuuu!”
Saat suara itu semakin dekat, baru Sriyani menoleh, menatap si pemilik suara yang tiba-tiba memegang erat, mencium tangan kanannya. Di bawah rintik hujan dan gemuruh guntur, Delta mengajak ibunya menepi di halte.
         “Ibu kenapa nggak masuk ke kamar? Delta ada di kamar bu.”
         Sriyani hanya tersenyum kecil menatap anaknya yang terlihat makin matang. Dia belai rambut ikal Delta, lalu dia duduk di halte tua itu.
        “Ibu nggak ingin teman-temanmu tahu bahwa Sriyani ibumu.”
         “Kenapa ibu berpikir begitu? Saya tidak pernah malu memiliki ibu seorang pedagang lontong kupang dan seorang buruh cuci. Ibu sangat terhormat di mata saya.”
          Sambil berdiri dan melambaikan tangan kanannya, meminta sebuah angkutan kota berhenti, Sriyani berkata lirih,     “Belajarlah, jadilah orang yang pintar. Oh ya, baca ya buku yang ibu berikan tadi.”
       “Itu buku apa bu?”
       “Buku dongeng, sengaja ibu simpan buatmu. Buat belajar tentang cinta dan kekuatan anak seorang janda. Ibu pulang dulu ya!”
        Delta tak kuasa menahan tubuh ibunya yang sedikit berlari menerjang hujan, lalu masuk ke dalam angkutan kota, menatapnya dengan harap.
        Air mata Delta menetes membaur dengan deras hujan yang menyejukkan wajah simpatiknya. Sejuknya air hujan yang diterjangnya sore itu karena sentuhan lembut, ketulusan kasih sang ibu yang tak pernah mau dianggap ada untuknya.
************************
MAKAM LUMPUR
        
         Desa Renokenongo, termasuk desa yang hilang terendam lumpur. Sebuah makam sederhana yang akan Delta bangun itu telah tiada. Entah kini berada di titik mana, tak jelas pandangan mata melihat keberadaannya. Semua telah tenggelam, membhumi dengan hadirnya gelombang lumpur raksasa tiada duga.
            Sungguh takjub sekaligus mengerikan melihat fenomena yang terjadi di Sidoarjo Jawa Timur itu. Desa yang sebelumnya ramai oleh denyut kehidupan, kini tiba-tiba menjadi sunyi senyap. Hanya terdengar ratap kesedihan dari derita luka yang selalu menghiasi kehidupan di desa – desa kecil itu. Sementara semburan demi semburan lumpur tiada henti.
            Delta tak lagi memikirkan penyebab lumpur yang menenggelamkan semua itu adalah sebuah bencana atau kesalahan si Fulan mengebor. Baginya kini, kenangan di Renokenongo adalah sebuah kekuatan hati, untuk mengingatkan sejarah masanya. Jangan pernah lupa siapa dia, dan darimana berasal.
         Satu hal yang sangat menyedihkannya adalah, ketika dia tidak bisa menemui seseorang yang juga sangat berjasa bagi hidupnya. Sosok pengganti figur ayahnya yang setia memberinya bahan bacaan.
                Fakhri bercerita bahwa Cak Rosyid kini menderita schizophrenia. Dia kadang berada di sekitar pasar Porong, tempat pengungsian. Tapi bisa juga dia mendadak menghilang. Entah kemana alam bawah sadar membawanya pergi. Dia jarang bicara, banyak merenung, namun tiba-tiba bisa menangis, meraung-raung menyebut nama istri dan anaknya.
             Rumah yang baru dia bangun untuk keluarganya, lenyap tertelan lumpur. Hilang bersama dengan kepergian istri dan anaknya. Cak Rosyid yang baru menikah dua tahun sebelum bencana lumpur, depresi melihat rumahnya terkubur lumpur. Dan semakin parah depresinya saat istrinya pergi, meninggalkannya begitu saja di barak pengungsian.
            Konon istrinya tidak kuat dengan keadaan yang menimpa mereka. Cak Rosyid, sosok yang ringan tangan, suka menolong dan selalu tulus kepada semua orang itu kini telah  memiliki dunia sendiri, dunia imajinasi yang dulu sering dia ciptakan untuk menyemangati, menyenangkan hati Delta di kala sedih.
Delta tak ingin menjadi kacang yang lupa kulitnya. Dia akan selalu mengingat siapa saja orang-orang yang telah berperan di dalam hidupnya.
            Selama satu minggu bersama Fakhri, dia berusaha mencari Cak Rosyid. Bertanya ke sana ke mari. Namun selalu nihil informasi.  Akhirnya Delta dengan perasaan kecewa, menitip pesan kepada Fakhri.
            “Tolong jika bertemu dengan Cak Rosyid, segera kabari aku. Atau kalau kamu bisa, tolong bawa dia ke Jakarta. Aku ingin merawatnya, berusaha menyembuhkannya. Bagiku, dialah ayahku.”
            Fakhri sangat terharu akan kearifan sifat sahabatnya. Delta Santoso benar-benar nama yang tepat. Dia akan ingat darimana dia berasal, darimana dia terbentuk.
            Perjuangan ibunya melawan badai hidup, melindungi dan menyelamatkan anak-anaknya dari kemiskinan layak mendapatkan lancana emas lebih dari 24 karat jikalau ada! Kilau intan berlianpun tak akan mampu menandingi sinar jiwa, cahaya hati yang dimiliki ibunya untuk dia dan Iqbal.
            Senja kian merubung, Delta duduk tepekur menatap genangan lumpur, yang telah menjadi danau kuasa. Masa kecilnya terkubur. Tempat bermainnya tenggelam. Sekolahnya hilang. Rumahnyapun terbenam.
Masa lalu hanya sejarah. Kehidupan adalah sekarang, masa depan adalah rancangan, kembali dia mengingat kata-kata bijak ibunya yang sering terulang-ulang didengarkan ke telinganya dulu saat dia sering mengeluh tidak bisa memiliki ini itu seperti teman-temannya yang lain.

**************************
PERTUNANGAN GAGAL
Ibu hanya perempuan kecil yang tak bisa apa-apa kecuali memanjatkan doa di sela waktu ibu bekerja. Ibu berharap, jangan pernah kau menjual derita masa lalu untuk sebuah masa depan. Semoga karya-karyamu kelak bisa bermanfaat bagi bangsa dan agama. Pegangan hatimu adalah keyakinan adanya Allah Yang Maha Kasih, pedoman hidupmu adalah cinta kepada sesama.

                                                                                                 Selamat anakku, kau telah jadi sarjana
                                                                                                                  Ibu, Sriyani

           Sebuah kesalahan besar telah dibuatnya, dia tertunduk, menyesal tentang kecemburuan yang membabi buta pada seseorang yang telah begitu berjasa untuk hidup Delta. Dimana perasaanmu Lauren? Rutuknya pagi itu. Dia menatap Delta yang masih berdiri, memunggunginya di tepi jendela. Dipeluknya Delta dari belakang.
          “Maafkan aku Del. Maaf…”
          “Masih cemburukah kamu kepada perempuan utamaku itu?”
           Terdengar tangis Lauren semakin menyesakkan dada Delta yang tidak pernah tahan ketika melihat perempuan menangis.
          “Maafkan aku…”
          “Ibu adalah pahlawanku, perempuan utamaku, wanita pertamaku, kau tak perlu lagi cemburu setelah tahu siapa Ibu.”

SELESAI

by: KIRANA KEJORA

Soul DELISA Mate KIRANA



Motivasi DELISA NOVARINA dalam Menulis


November 2010.
Waktu itu aku ke sebuah toko buku, hilir mudik membelalak setiap kali melihat buku-buku bagus dan baru yang distok di toko buku tersebut. Buku pertama yang menarik perhatian aku adalah Novel berjudul BINTANG ANAK TUHAN. Aku suka covernya, sederhana, berkesan, posistif dan menginspirasi banget. Lalu aku baca kutipan di cover belakang, Catchy abisss sumpah, keren banget ceritanya, best seller dan true story pula. Gak sengaja aku lihat tentang penulis, disitu ada email sang penulisnya. Aku langsung pengen pulang dan email ke penulisnya soal antusiasnya aku pas baca novel BAT (Bintang Anak Tuhan).
Oh my god, ya allah, betapa senangnya aku saat itu. Mba Key (Kirana Kejora) penulis buku BAT, ternyata welcome banget sama aku. Ramah, baik, rendah hati, menghargai pembaca, takjub deh pokoknya.

Februaru 2011.
Saat itu aku lagi PKL di SAMSAT Jakarta Timur. Dikabari Mba Key kalau beliau lagi ada bedah buku atau talkshow di Plaza Senayan. Acara sekitar jam 2 siang. Aku pengen banget dating, tapi baru pulang PKL sekitar jam 3an. Jarak antara Kebon Nanas ke Senayan itu sekitar 1,5 jam. Pas nyampe di Plaza Senayan, alhasil aku ketinggalan acaranya, yaaah, sedih deeh. Kebetulan aku gak sendiri, aku ajak Halimah, sahabat aku, kita satu tempat PKL juga, namanya juga best friend, kayak anak kembar deh, kemana-mana barengan terus hehehe. Mba Key telepon aku, dia bilang dia di Starbuck Cofee. Ketemu deeeh, ih pengen nangis tau. Terharu banget, perjuangan pertamaku akhirnya berhasil juga. Setelah hari itu, Mba Key menjadi penggebrak pertama yang membangkitkan semangat menulis aku. Aku jadi rajin bikin cerita gitu, walaupun masih mood-moodan. Setiap lihat Mba Key, baca bukunya, smsnya, telepon, seneng banget sumpah. Apalagi pas tau usianya seumuran sama Mamaku, waah Alhamdulillah, nyambung deh udah kayak Ibu sama Anak. Ohya, Anaknya Mba Key juga satu tahun di bawah aku, yang paling tua namanya Arga Lancana, adiknya Bunga Almira, gak jauh usianya sama Adik aku Sherin Nabila.
Beberapa hari setelah bertemu Mba Key, aku diajak Kak Harris Nizam, sutradara Film Surat Kecil Untuk Tuhan, buat hadir di pelepasan 1000 balon SKUT di FX LifeStyle Senayan, samping GBK itu loh. Terus aku dateng, sama temen-temen. Nah, aku tanya Mba Key, kenal sama kak Harris Nizam atau enggak? Mba Key bilang enggak. Akhirnya aku certain ke Mba Key tentang kak Nizam. Hhm, awal 2013 lalu Mba Key dan kak Nizam dipertemukan, mereka membuat film bersama, dari naskah yang Mba Key tulis yaitu Hasduk Berpola, yaaa kak Nizam jadi sutradaranya. Huh, jodoh ya. Dulu gak kenal, sekarang malah partneran. Allah maha berkuasa.







Selama mengenal Mba Key, aku banyak mendapatkan hal-hal positif. Mba Key tahu banget keinginan aku untuk jadi Penulis itu sangat besar. Mba Key gak bosen-bosen kasih nasehat dan wejangan ke aku supaya karya aku cepetan terbit, cepetan jadi buku, cepetan selesai, biar aku bisa bedah buku bareng sama dia. Pengeeen banget, lagi proses kok, semoga ya, aamiin. Banyak moment dan event bersama Mba Key, novel-novelnya Mba Key hampir semuanya aku punya. Udah aku baca, aku bahas terus, aku inget.







Mama sangat support aku dalam hobby ini, menurut Mama, apapun yang baik, Mama pasti dukung, pasti bangga, asalkan aku gak pernah lupa sama Allah, sama keluarga, sama temen, itu aja. Tanggal 06 Oktober nanti, Mba Key ajak aku nobar film AIR MATA TERAKHIR BUNDA yang terealisasikan dari novelnya berjudul sama. Aku ajak Mama, sama dua sahabatku. Setelah nobar, ada wawancara ekslusif bareng pemain, crew dan penulisnya (Mba Key). Seperti biasa, moment itu akan jadi modal tulisan aku untuk mading sekolah. I’m waiting for Tanggal 06 Oktober 2013. Yeay!