Minggu, 18 Mei 2014

EMBUN FEAT JINGGA 1


(Seikat Bunga)


Malam ini tempat pertemuan kami benar-benar tidak tepat. Minum kopi susu di sebuah Coffee Shop di bilangan Jakarta Pusat. Pandangan kami dicuri sekerumunan orang yang menempati table dekat kolam ikan. Puncaknya ketika seorang lelaki datang membawa seikat bunga lalu mengucapkan happy birthday pada salah satu perempuan yang ada disana. Aku tahu Embun tidak betah melihat momen seperti itu. Keromantisan yang omong kosong, begitu Embun biasa menyebutnya.

“Mau pulang? Atau masih tahan berada disini?” Tanyaku.
“Biar saja. Kita disini sampai mereka enyah.”Sarannya.
“Kamu yakin? Sepertinya aku yang tidak tahan. Aku ingin ada seseorang yang memberiku seikat bunga. Jika bukan di hari ulang tahun, di hari yang tidak berkesan pun juga boleh. Aku hanya ingin merasakan rasanya punya bunga. Kalau perlu sama pot-potnya sekalian.” Sindirku halus.

Embun terlihat berpikir keras. Aku tahu bagaimana tipenya. Dia seorang pejuang keras. Apalagi demi menyenangkan hati orang yang disayang. Dia mampu melawan rasa takut, rasa benci, rasa jijik bahkan rasa muak. Atas dasar orang yang dicintai. Dan aku optimis, aku percaya diri, aku termasuk orang yang berpengaruh dalam hidupnya.

“Habiskan kopimu. Kita akan jemput Icha. Mulai malam ini dia menginap di rumahku.”
“Ohya? Apa dia akan memaksa tidur denganmu lagi?”
“Ah, jangan banyak berharap. Di kamarku sudah banyak poster zombie dan vampire. Dia tidak akan pernah mau masuk ke rumah hantu.”
“Kenapa begitu? Kamu keterlaluan. Padahal Icha hanya ingin dekat denganmu.”
“Sudahlah, lupakan.” Pintanya sambil merangkulku keluar dari Coffee Shop.

Icha, keponakan Embun yang baru naik kelas 3 SD.

Dengan mobil berkecepatan tinggi yang baru rilis tahun lalu, kami meluncur ke lingkungan Duren Sawit, Jakarta Timur. Gaya pembalapnya yang mahir membuatku terdiam. Entah apa yang ku lihat darinya, hingga aku menyayanginya seperti menyayangi cinta pertamaku. Dia memang tampan, mapan, dewasa, tahu mana yang penting dan mana yang tidak penting. Tapi itu bukan alasanku menyayanginya.

Aku nyaman di dekatnya karena berada di sampingnya bisa membuatku merasa sempurna. Kekuranganku adalah kelebihannya. Kelebihanku adalah kekurangannya. Ya, benar. Kami sangat berbeda. Perbedaan itulah yang menyatukan kami. Embun seorang musisi, musisi yang gila kehormatan, menurutku. Aku adalah Jingga. Jingga yang seorang penulis. Penulis yang mengumpat dibalik huruf dan kalimat-kalimat puitisnya, begitu Embun menyebutku.

“Pokoknya malam ini Icha gak boleh bangunin om buat antar Icha ke toilet. Oke?” Pesan Embun. Kami berhasil menculik Icha. Kebetulan orang tuanya sedang keluar kota.
“Kalau begitu, ijinkan tante Jingga menginap bersama kita. Aku perlu ke toilet di tengah malam. Ya om? Boleh?” Icha merengek. Aku hanya tersenyum lebar, tanda menahan tawa.
“Perempuan dewasa tidak boleh satu tempat tinggal dengan lelaki dewasa. Nanti Icha biar diantar Bik Ida kalau mau ke toilet. Sekarang kita mendarat.” Kata Embun sambil menggendong Icha keluar rumah.

Kami segera menumpangi mobil paling bertenaga itu. Serasi dengan pengendaranya, mereka sama-sama gagah dan terlihat semakin maskulin. Tapi sebelum masuk, aku dan Embun dikejutkan dengan celotehan Icha.

“Tapi Ayah sama Ibu boleh tinggal bersama. Mereka juga satu kamar. Kadang bertiga sama Icha. Kenapa tante Jingga tidak boleh menginap bersama kita?”

Berhenti sejenak, hening. Aku dan Embun saling melirik.

“Karena, besok tante harus bangun pagi buat ke kantor.” Jawabku sekenanya.

Aku bersanding dengan Icha di bangku depan, sebelah kami ialah Embun. Sang pembalap yang siap membawa kami sampai pada kemenangan.

Agar Icha tidak mudah bosan selama perjalanan, aku menyalakan radio. Lagi-lagi, aku melihat Icha masih dengan segala tanda tanyanya. Apa jawabanku tadi belum cukup memuaskan? Pikirku.

“Ayah dan Ibu bilang kalau om Embun sama tante Jingga pacaran. Apa nanti kalian juga akan menikah?”

Pertanyaan macam apa ini, jika terus diladeni bisa-bisa Icha dewasa sebelum waktunya. Embun menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Aku kira dia sudah penat memiliki keponakan seperti Icha. Rasa ingin tahunya tinggi.

“Siapapun juga pasti akan menikah.” Kataku.
“Termasuk Icha?”
“Iyaaa nanti Icha juga menikah.” Jawab Embun sedikit kesal.
“Oh. Aku sudah punya cincin.” Icha memamerkan cincin strawberry di jari manis kirinya.

Lihat. Bahkan aku kalah dengan anak usia 8 tahunan. Embun pura-pura tidak mendengar, sementara aku dilanda iri yang berat. Tega.

Satu jam kemudian, kami tiba di depan gerbang rumah minimalis bercat warna ungu-putih dengan tetumbuhan hijau memenuhi halamannya. Ya, ini rumahku.

“Okey. Sampai jumpa Icha.” Aku mencium kening Icha dan dia menyalamiku.
“Aku pulang, terima kasih ya.” Lanjutku pada Embun. Dia hanya tersenyum kecil.

Turun dari mobil dan bergegas membuka pintu gerbang. Tiba-tiba Embun memanggil. Dia menyusulku. Icha mengintip dari kaca mobil yang terbuka.

“Besok pagi aku jemput, aku antar kamu ke kantor.”
“Lho, buat apa? Besok aku libur.”
“Tadi kamu bilang…”
“Aku mengada-ada. Kamu tahukan karakter Icha bagaimana?” Pelanku.
“Ah, sial. Kalau begitu besok kita ke toko buku.”
“Jangan selalu serius. Sekali-sekali ajak aku ke pantai, gunung atau perkebunan gitu.”
“Hhm, baiklah. Jam 7, dresscode pink ya. See you.” Embun mengacak-acak rambutku lalu pergi.

Kebiasaan Embun yang tidak pernah ku protes adalah, mengaturku. Mulai dari lokasi ketemuan, tempat jalan, menu makanan, minuman, sampai apa yang harus ku pakai, semua instruksi darinya. Aku tidak tahu sejak kapan aku jadi penurut. Mungkin sejak Jingga mengenal warnanya.

Sabtu pagi menjelang siang, yang menyegarkan. Ini pertama kalinya aku kembali ke Anyer.

Aku tidak percaya datang kesini bersama Embun. Karena t-shirt warna pink dengan jeans hitam dan jam tangan mekanik yang ia kenakan terlalu sederhana untuk seorang musisi. Bukan hanya itu, warna pink juga nyaris membuatku tertawa terbahak-bahak. Bagaimana mungkin lelaki sekeras kepala Embun memiliki nyali untuk tampil lebih manis? Diakan tipe orang yang gengsian dan cukup pemalu.

“Seharusnya kamu bilang dari awal. Kita bisa pakai baju model couple, tidak hanya warnanya yang sama. Aku tidak yakin kamu baik-baik saja.” Ucapku. Kami jalan berdampingan di tepi pantai. Membuat jejak langkah yang kemudian diterpa ombak dan musnah.
“Jangan tertawa terus begitu. Ini aku lakukan demi kamu.” Embun mendengus kesal.
“Aku tidak pernah meminta tapi kamu melakukannya. Lucu sekali. Kalau memang ini hari bebas harapan, aku akan meminta banyak padamu.”
“Apa?” Embun bersedia.

Ini bukan hari ulang tahunku. Bukan juga hari perempuan, hari kartini, bahkan hari kebebasan nasional. Tapi Embun memasang raut wajah yang serius. Apa dia benar-benar akan menjadi malaikatku dalam sehari?

“Lupakan. Aku bercanda.”
“Aku serius.” Tegasnya.

Kami berhenti tepat ketika matahari bersinar mantap dan hangatnya menjalari tubuh kami. Dia menatapku bagai memohon. Dan aku tidak pernah mampu membalasnya. Aku tidak pernah sanggup melihat kedua matanya yang menghanyutkan. Aku bisa tergila-gila begini pun karena cara dia menatapku. Eagle eye itu.

Tak lama, teriakan seseorang memanggilku. Icha. Dengan seikat bunga mawar merah dipelukannya.

“Untuk tante.” Berinya padaku.
“Ha.” Aku hampir meleleh.
“Darinya.” Icha melirik Embun.

Embun mengalihkan pandangan ke langit pantai. Mimiknya bodoh sekali. Terlihat gengsi dan menutupi.

Aku sudah tahu karakternya dari awal. Gengsi menjadi prioritasnya. Aku menyebut itu sebagai sebuah kelebihan. Karena gengsi yang Embun punya adalah cara mengenali lawan bicaranya atau bisa dibilang ‘Siasat’.

Ha, akhirnya. Seorang musisi yang gila kehormatan memberiku seikat bunga. Seikat bunga yang akan tetap tumbuh dan harum dalam kenangan di hidupku.