Jumat, 01 November 2013

Afgansyah Reza - SABAR #SabarGan Cerpen 12

Cinta di Maluku
 
Aku ingin berteman dengan Malam. Menjadi perempuan yang bisa menyaksikan indahnya Bulan dan Bintang. Seperti anak-anak lainnya. Sebagai pengidap Retinitis Pigmentosa, akulah yang paling sedih di setiap malam yang lewat begitu saja di hari-hariku.

“Aku harus pergi.”

Senja sudah ku nikmati dan malam segera datang. Aku meninggalkan Kelvin tanpa alasan.

“Del, delisa, kamu mau kemana?”

Berpegangan pada dinding, aku terburu-buru hilangkan jejak. Aku tidak mau Kelvin tahu kalau aku buta di malam hari.

Paginya. Kelvin menghampiriku di Pantai.

“Semalam kamu kenapa?”

“Aku gak apa-apa.”

“Aku tahu kamu bohong.”

“Maaf Kelvin. Tolong tinggalkan aku sendiri.”

“Okey. Aku pergi tapi nanti malam aku tunggu kamu di taman dekat rumah pohon. Jam 07 dan jangan telat.”

“Kelvin, Kelvin, tunggu.”

Aku bingung harus bilang apa padanya.

“Please. Sekali ini aja.” Mohon Kelvin.

“Aku gak bisa?”

“Kenapa lagi?”

Di taman. Kelvin menungguku sudah hampir tiga jam. Aku masih di dalam kamar. Mengunci pintu dan duduk di bawah lantai. Siapkah aku kehilangan Kelvin? Seseorang yang baru aku kenal tapi sangat bersahabat dan bisa dibilang aku cinta.

Tuk tuk tuk. Ketukan pintu itu, itu pasti Kelvin.

“Delisa. Kamu di dalam?”

Aku ketakutan, aku bingung, aku merayap panik, seperti orang gila. Pelan-pelan aku mencari jendela, setelah dapat, aku mencoba keluar dan lari ke taman meski sampai terjatuh-jatuh. Tanpa tongkat, hanya hafal jalan, lalu aku bersandar di balik pohon besar yang di atasnya ada rumah kecil dari kayu. Menangis untuk kesekian kalinya.

Kelvin yang pertama buatku merasakan jatuh cinta, buatku lebih hidup dalam menulis. Pertemuan kami bermula saat kunci kamar kami tertukar, sejak itu kami berteman baik dan saling memahami. Kelvin menyatakan cintanya tepat seminggu keberadaan kami di Natsepa, Maluku. Kami cocok karena Kelvin seorang sutradara dan aku penulis. Kedatangannya di Natsepa untuk survey lokasi shooting bulan depan. Sedangkan aku, liburan sambil menulis lepas.

“Aku tahu kamu pasti kesini.”

Suara itu. Aku terkejut. Kelvin heran melihat sikapku yang aneh. Dia menatap kedua mataku dalam-dalam. Memegang tanganku lalu aku lepas paksa.

“Delisa. Kamu…”

“Ya, aku buta. Sekarang kamu tahukan? Buat apa lagi. Lebih baik kamu pergi. Biarin aku disini sendiri.”

“Enggak.” Tegas Kelvin.

Beberapa menit kemudian. Kami duduk berdua di rumah pohon. Kelvin sangat melindungiku. Aku merasa aman dan nyaman setiap ada di sampingnya.

“Retinitis Pigmentosa. Itu artinya kamu buta setiap malam hari?” Tanya Kelvin. Air matanya mulai berjatuhan. Dan aku tak sadar itu.

“Iya.”

“Jadi, kamu menulis di pantai dari pagi sampai sore karena kalau malam kamu gak bisa melihat. Delisaaa.”

“Jangan sedih, Kelvin. Aku sudah biasa.”

“Tapi…”

Aku bersandar di bahunya. Kelvin mengelus kepalaku dan membuatku tenang.

Terdengar letusan kembang api besar yang terlempar di langit. Satu kali, dua kali, tiga kali. Aku terpukau. Walaupun aku tak bisa melihat, tapi aku yakin itu sangat indah.

“Itu apa Kelvin?”

“Sebenarnya ini kejutan buat kamu. Ohya, ada lagi. Kita turun ya. Kamu pegangan yang kuat, ikutin aku ke bawah.”

Kelvin turun duluan, lalu aku, dibantunya pelan-pelan dan lembut. Kelvin membawaku ke suatu tempat. Aku tidak tahu dimana. Katanya, aku berdiri di tengah cahaya lilin yang membentuk love. Disini juga ada tulisan pasir atas namaku.

Tak lama, aku sakit kepala, wajahku memucat. Tiba-tiba, aku sudah berada di kamar dan waktu sudah pagi hari. Aku bangun. Tanpa sosok Kelvin di hadapanku. Lagi-lagi aku seperti gila. Efek memikirkan kebutaan malam dan aku cukup stress. Aku merapikan diri. Lalu ke pantai. Benar saja, Kelvin ada disitu.

“Kelvin.”

“Delisa. Hey. Kamu sudah baikan?”

“Sudah. Aku gak apa-apa.”

Kelvin menarik tanganku. Membawaku ke rumah pohon. Dia menunjukkan sesuatu yang menakjubkan. Seekor burung merpati yang cacat dan tidak bisa terbang.

“Kelvin.”

“Iya, burung ini gak bisa terbang. Tapi kamu harus tahu. Nih, aku letakkan dia di sangkar ya. Kamu lihat. Apa yang terjadi.”

Benar-benar mengagumkan. Saat Kelvin meletakkan burung itu di sangkar. Tak lama kemudian, seekor merpati datang dan bersandar di samping burung merpati cacat itu.

“Itu pasangannya.” Ucap Kelvin.

“Pasangannya?” Pikirku.

“Iya.” Jawab Kelvin.

“Seeokor burung aja begitu setia pada pasangannya. Masa aku kalah sama hewan? Ya gak?” Lanjutnya sambil tersenyum lebar dan sangat manis sekali.

“Kelvin.” Kataku terharu.                                              

Kami berpelukan. Merpati-merpati itu pun turut bersuka-cita. SEKIAN.