DINDA DAN DANDI
Dinda
dan Dandi sudah bersahabat sejak kecil. 15 tahun bersama, mereka sangat akrab
bahkan kedekatan mereka sering dikira bahwa mereka sepasang kekasih. Padahal,
itu persahabatan mereka yang terbukti hangat dan sehat.
“Din,
loe tuh ya, gak boleh jutek sama cowok yang suka sama loe. Ntar gak ada yang
naksir baru tahu rasa loh. Hahahahahaha.”
Dandi
meledeknya. Dinda pun menghentikan ayunannya dengan kedua kaki membumi.
“Eh
gue tuh bukannya jutek. Gue cuma gak suka aja dilebay-lebayin kayak gitu. Apaan
coba. Nembak pake bunga, ada surat cinta segala terus bawa anak-anak buat mohon
supaya gue terima. Ih.”
Dinda
pergi. Dandi menyusul dan meninggalkan dua ayunan kesayangan mereka di taman
komplek.
“Kok
ngambek din?”
“Enggak.
Siapa yang ngambek.”
“Itu
bibirnya mengkerut?”
“Hah.
Enggak kok. Seksi gini bibir gue. Wee.”
“Ciyeee
udah dewasa tuh.”
“Maksud
loe?”
“Iya.
Udah ngerti kayaknya. Hahahahaha”
“Dandiii.
Isss awas loe ya.”
Beberapa
hari kemudian. Seperti hari-hari biasanya. Dimana ada Dandi, disitu pasti ada
Dinda. Selain mereka duduk sebangku, mereka juga tetanggaan. Dan yang lebih
parahnya lagi, apapun tentang Dinda, Dandi tahu. Begitu sebaliknya.
Jam
istirahat. Dandi makan berdua sama Yara, adik kelasnya. Di kantin, Dinda yang
sedang mencari Dandi, akhirnya melihat kekejaman itu. Ya, kekejaman karena tega
tidak mengajak Dinda makan bareng juga. Sedih.
Sepulang
sekolah, di perjalanan ke rumah, Dinda diam saja. Dandi tidak sadar, ia asik
sendiri dengan handphonenya sambil ketak-ketik sms daritadi. Sesekali melirik
sahabatnya. Lalu cuek.
“Dan.
Elo ih, gue lagi bĂȘte tau.”
“Kenapa
sih? Lagi dapet loe ya?”
“Kok
tau?”
“Iyalah.
15 tahun kita temenan, 15 tahun sista. Dari umur 2 tahun dan di saat gue udah
bisa main game, loe bisanya cuma nangis minta-minta game sama kayak punya gue.
Hahahahaha. Kocak.”
“Dandi
nyebelin, ih, nyebelin nyebelin.”
Dinda
memukul bahu Dandi berulang kali. Lagi-lagi mereka bercanda di pinggir jalan.
Sudah biasa.
Keesokan
harinya. Di ruang mading. Dinda membereskan kertas-kertas bekas rubrik mading
minggu lalu. Dandi datang langsung merepotkannya, mengganggu bahkan membuat
kertas-kertasnya berantakan. Runyam semua. Dinda kesal.
“Ah
rese loe dan. Beresin tuh semua.”
Dinda
membanting tumpukan kertas di tangannya lalu keluar dari ruangan. Dandi heran.
Padahal Dandi sering mengganggunya, tapi Dinda tidak pernah marah. Dinda selalu
membalas kejahilannya dengan kejahilan juga bukan dengan marah seperti yang
barusan. Dandi mengejar Dinda sampai melupakan kertas-kertas yang berhamparan
itu. Lupakan.
“Dinda.
Loe kenapa sih? Perut loe sakit? Ya udah sih ke UKS dulu minum obat.”
Mata
Dinda berkaca-kaca. Hello, gue kesal sama loe karena loe dekat-dekat sama Yara
terus. Dalam hatinya.
“Gue
gak mau minum obat. Gue maunya makan. Makan loe.”
“Hah.
Dinda, loe kejam.”
“Bodo.”
Dinda
berlari pergi. Dandi tak niat mengejar. Biarkan saja.
Pulang
sekolah hari ini, Dinda menghilang. Dandi pun pulang bersama Yara. Meski jalan
kaki tapi tak terasa lelah sama sekali. Justru, Dandi berharap waktu bisa
berjalan lebih lambat agar ia bisa dekat dengan Yara lebih lama lagi.
“Kak
Dinda kemana kak? Biasanya kakak sama kak Dinda terus.”
“Gak
tau tuh ra. Dindanya tiba-tiba ngilang.”
“Hhm.
Udah pulang duluan kali kak.”
“Mungkin,
soalnya tadi dia lagi sakit gitu. Lagi dapet.”
“Ooh.”
Ternyata
Dinda di belakang mereka. Dandi seperti tidak punya dosa. Menoleh sedikit pun
tidak. Menyebalkan.
“Enak
ya, berduaan. Guenya ditinggal. Padahal tadi gue ke UKS dulu ngambil obat. Gue
balik udah gak ada. Bagus-bagus. Lupain aja gue buat satu jam ke depan. Awas ya
kalau ntar sore ketok-ketok pintu rumah gue. Gak gue bukain.” Dinda menggerutu.
Sore
harinya.
“Dinda.
Assalamualaikum.”
Pintu
rumah terbuka.
“Waalaikumsalam.
Eh mas ganteng. Cari non Dinda ya mas?”
Bik
Ida, assistant rumah tangga di rumah Dinda.
“Iya
bik Ida. Dindanya mana bik?”
“Ada
di kamarnya. Tadi dipesenin kalau mas Dandi dateng, bilangin non Dindanya gak
ada. Lagi pergi sama cowok.” Bik Ida keceplosan.
“Hahahahahahaha
thank you bik Ida yang kece badai.”
Dandi
langsung sigap masuk ke rumah menuju kamar Dinda.
“Loh
loh loh. Mas ganteng.” Bik Ida panik.
Di
kamar. Dinda sedang mengisi buku diarynya. Dandi tiba-tiba datang, Dinda bergegas menyembunyikan diary itu.
“Ciyeee
kata Bik Ida loe jalan sama cowok. Siapa?”
“Renaldi.”
“Anak
dua belas B itu?”
“Iya.
“Katanya
dia lebay, nembak loe pake bunga, loe gak suka, gimana sih?”
“Kata
loe gue gak boleh jutek. Ya jadi gue terima ajakan dia buat jalan ntar jam 5.”
Dandi
melirik jam di tangan kirinya.
“Setengah
jam lagi dong. Dih, mau kemana loe? Mau pulang jam berapa? Ntar dimarahin
nyokap baru tau rasa.”
“Peduli
apa sama gue? Bukannya loe udah ada Yara ya. Ya udahlah, gue cabut dulu. Bye
bye friend.”
Dinda
pergi dan menutup pintu kamarnya cukup keras.
Hari
minggu. Hari libur yang biasanya diisi Dinda dan Dandi dengan bersepeda bersama
di pagi hari sampai menjelang sore. Keliling kota Jakarta, dari Cikini sampai
Senayan. Tapi minggu ini, Dandi sepedaan sendiri. Dinda kabarnya sudah pergi
dengan Renaldi. Entah kemana, Bik Ida benar-benar tidak tahu.
Di
salah satu lampu merah besar di Senayan. Sebuah mobil hitam mewah itu
memperlihatkan sosok Dinda bersama Renaldi sebagai pengemudinya. Saat lampu
hijau, Dandi berusaha mengejar mobil hitam itu. Sekuat tenaganya, sepenuh
semangatnya, Dandi bisa berada di depan mobil itu hingga akhirnya mereka menepi
dan saling turun dari kendaraan mereka masing-masing.
“Dandi.
Apa-apan sih loe. Ih, bahaya tau.”
“Din,
loe kemana aja sih? Kok gak bilang kalau hari ini gak ikut sepedaan?”
“Duh
sorry. Gue ada janji sama Renaldi.”
Renaldi
kebingungan mengetahui ban mobilnya ada yang bocor.
“Dinda,
ban mobil aku bocor.” Teriak Renaldi.
Dandi
menghampiri Renaldi.
“Re,
Dinda balik sama gue. Loe urus mobil loe sendiri ya. Thanks.” Kata Dandi.
Sambil
menarik tangan Dinda untuk memaksanya pulang dan naik ke sepedanya, Dandi
merasa lega. Selama di perjalanan, Dinda tidak berhenti bicara, tersiksanyaaa.
“Loe
ngomong apa sih din daritadi?”
“Dandiii.
Kejam loe sama Renaldi. Bannya lagi bocor malah ditinggalin.”
“Ya
lagian siapa suruh dia bawa loe kabur dari gue.”
“Dih
emang siapa loe? Bukan urusan loe juga kalai kalau gue mau jalan sama
siapapun.”
“Iya
bukan urusan gue. Tapi seenggaknya, hari ini kan jadwalnya loe sepedaan sama
gue.”
“Udah
sering kali dandi. Gue bosen.”
Sssss.
Ban sepeda belakang kempes.
“Hahahahahahaha.
Kuwalat loe sama Renaldi.” Ujar Dinda.
“Kok
ban gue ikut-ikutan kempes sih?” Heran Dandi.
Mereka
turun dari sepeda dan hanya bisa memandangnya penuh sakit. Sakit kalau pulang
harus jalan kaki dari Senayan ke Cikini,
ditambah harus menuntun sepeda itu. Lemah.
Tepat
di hari ulang tahun Dinda yang ke-17 tahun. Dandi memberi kejutan di sekolah
dengan membawa birthday’s cake besar dan kado teddy bear setinggi tubuh Dinda.
Lalu di rumah, Dandi mengubah kamar Dinda menjadi lautan burung kertas. 1111
burung kertas menyimbolkan tanggal lahir Dinda yaitu 11 November. Aww, Dandi sweet banget. Pikir Dinda.
“Gue
gak tau gue harus ngomong apa sama loe dan.” Kata Dinda.
Di
taman biasa tempat mereka berayunan. Dinda dan Dandi menikmati masanya.
“Gak
usah ngomong apa-apa sih. Gue cuma ada satu permintaan aja.”
“Apa?”
Tanya Dinda penuh cita.
Dinda
yakin Dandi pasti memintanya jadi pacar dan mereka akan benar-benar akan
bersama selamanya.
“Jangan
pernah lupain gue ya meskipun gue gak di dekat loe.”
Huft
yah. Dikira apaan.
“Enggaklah
dan. Gue gak mungkin lupain loe. Sedikitpun enggak.”
Dandi
tersenyum manis. Aduh, tampannya. Baru sadar. Oow.
Beberapa
minggu berlalu. Dandi tidak masuk sekolah sudah tiga hari. Katanya, ia
sekeluarga pulang kampung ke Palembang. Dinda tidak percaya karena status
facebook Dandi masih di daerah khusus ibukota Jakarta.
Di
pasar. Dinda bertemu dengan assistant rumah tangga Dandi.
“Ibu.
Bu, Dandi kemana?”
“Non
Dinda.” Ibu Asih terkejut.
“Kok
ibu kaget gitu ketemu aku?”
“Enggak
non.”
Di
rumah sakit. Dandi tak berdaya. Satu hal yang lenyap darinya. Sebuah keceriaan.
Dinda menangis berjerit. Perasaannya sangat sedih. Seorang sahabat yang dari
kecil selalu ada di sampingnya, kemanapun Dinda pergi, selalu ada. Kini terbaring
lemah berbeda pada kenyataan sebelumnya. Tak ada senyum Dandi, ocehannya,
ledekannya, semua berhenti. Dinda sesal karena tak tahu bahwa Dandi selama ini
punya penyakit jantung.
“Kenapa?
Kenapa kamu gak pernah bilang sama aku kalau kamu sakit? 15 tahun menjadi
sia-sia karena satu hari, hari ini. Kenapa dandi?”
Orang
tua Dandi, Ibu Asih dan Yara menyaksikan haru kisah persahabatan Dinda dan
Dandi yang baru hari ini mereka rasakan betapa besarnya kasih sayang seorang
sahabat. Beberapa menit kemudian, Renaldi datang bersama Bik Ida dan orang tua
Dinda. Mereka muncul dengan tenang dan ikut bersedih.
“Kok
kamu diem aja sih? Jawab dong. Kamu tega ya, kamu kejam tau gak. Aku sendirian
terus udah berminggu-minggu. Aku nunggu kabar dari kamu dan, sahabat aku. Tapi
kok, aku kayak dianggap ya. Kenapa sih dan?”
Dinda
histeris karena pedih yang amat dalam. Sedih karena Dandi sakit, sedih karena
Dinda selama ini tidak tahu dan sedih karena rasa rindu. Ibu Dinda memeluk
Dinda, menenangkan perasaannya dan berusaha meyakinkan Dinda bahwa Dandi hanya
sakit yang bisa cepat sembuh.
“Ma,
Dandi jahat sama aku ma.”
“Enggak
sayang. Dandi Cuma sakit biasa, nanti Dandi sembuh. Kamu istighfar sayang.”
“Dandi
jahat sama Dinda. Dinda gak tau kalau Dandi sakit.”
Mendengar
sesak tangis dan jeritan suara Dinda, air mata Dandi menetes lembut. Dinda pun
mematung. Semua yang ada di ruangan tak menyangka.
“Dandi.
Kamu nangis? Hey, kamu cowok. Kamu gak boleh nangis. Kamu pernah bilang kan
sama aku kalau kamu paling gak suka lihat orang nangis. Tapi sekarang kamu?
Kamu cengeng.”
Renaldi
memegang bahu Dinda. Ia peduli dengan keadaan Dinda lahir batin.
“Din,
udah ya, kita keluar dulu. Dandi mau diperiksa dokter.” Bujuk Renaldi.
Dua
dokter dan tiga suster muncul.
Dinda
menolak ajakan Renaldi, tapi Renaldi memaksanya hingga Dinda pun bisa dibawa
keluar ruangan dan mulai tenang. Tak lama, Dandi meninggal. Ruangannya menjadi
lautan kesedihan orang-orang tersayang. Dinda menangis histeris lagi.
Selesai
dimakamkan. Banyak karangan bunga dan ucapan turut berduka mengelilingi
penguburan Dandi. Dinda menatap kosong sebuah nisan yang tak pernah dibayangkan
sebelumnya. Dandi meninggal di saat usianya akan 18 tahun. Tepat di hari ulang
tahunnya, itu hari ketujuh kepergiannya. Dinda memberi kejutan di makam Dandi.
Satu paket bunga dan buku diary Dinda, diletakannya di bawah nisan.
“Aku
jatuh cinta sama sahabat aku sendiri. Itu gak salahkan?”
Renaldi
dan Yara ada di belakang Dinda. Tapi Dinda bicara pada Dandi.
“Kak
dinda. Sebenarnya kak Dandi juga suka sama kakak. Selama ini, kak Dandi deket
sama aku itu karena kak Dandi curhat sama aku. Dia cerita tentang perasaannya,
sama kakak.” Ungkap Yara dengan lapang dada.
“Apa?”
“Iya.
Kakak adalah sahabat sekaligus cinta pertamanya kak Dandi.”
Dinda
menangis terpukau dan ada sesal.
“Aku
sadar din. Kamu sama Dandi itu sama-sama cinta. Tapi persahabatan kalian yang
sudah dari kecil membuat rasa enggan untuk saling memiliki. Karena kalian gak
mau persahabatan kalian hancur kalau-kalau perasaan itu cuma ada di salah satu pihak.”
“Kak.
Ceria lagi ya. Kak Dandi pasti lebih seneng deh lihat kak Dinda kayak dulu
lagi.”
Kesekian
kalinya, Dinda tak bisa menahan air mata yang jatuh deras di pipinya.
“Kamu
akan tetap ada di samping aku kan dan? Selalu jadi yang pertama buat aku. Jagain
aku, lindungin aku. Please jangan pernah benar-benar pergi dari hidup aku.
Cukup raga kamu aja. Aku belum bisa anggap kamu udah gak ada. Aku gak tau aku
harus sepedaan lagi apa enggak. Pulang sekolah jalan kaki sama siapa? Aku
sendirian dandi. Aku sendiri.”
Yara
memeluk Dinda dan Renaldi memegang tangan Dinda. Mereka adalah sahabat baru
buat Dinda. Dandi, always be my baby. SEKIAN.