ALINA DAN ESSA
“Al,
alina, jangan loncat al. Loe punya gue, sahabat-sahabat loe. Please jangan
lakuin itu al.” Diba terus-menerus membujuk Alina agar ia membatalkan niatnya
untuk bunuh diri.
Entah
apa alasan Alina ingin mengakhiri hidupnya. Berada di lantai paling atas gedung
kampus, membuat seluruhnya panik dan gemetar. Alina akan mencabut nyawanya
sendiri. Teriakan banyak orang. Itu yang terakhir kali Alina dengar.
Diba
menceritakan kenangan pahitnya pada Nadya. Nadya adalah ibu dua anak dari hasil
pernikahannya dengan Essa, cinta pertama Alina. 6 tahun yang lalu, saat masih
menyandang anak kampus. Alina memberikan seikat bunga pada Essa karena Alina
telah tertipu salah seorang temannya, Bayu. Bayu berbohong, Bayu bilang Essa
sangat menyukai bunga, padahal tidak sama sekali. Semenjak kejadian memalukan
itu, Alina simpan muka. Ia sering menyendiri, melamun dan cuek. Diba tidak
terima atas perlakuan Bayu. Kemudian Bayu memohon Essa untuk berbaik hati pada
Alina. Meskipun terpaksa, Essa mau melakukan apapun agar Alina kembali seperti
biasanya.
Di
jembatan dekat kampus. Essa melihat Alina jalan kaki sendirian. Ia pun
menghampiri.
“Alina.
Hey.”
Alina
menoleh dan biasa saja.
“I’m
sorry.”
“Buat
apa?”
“Buat
yang waktu itu. Bunga bunga.”
“Oh.”
Alina berjalan cepat.
Essa
menyusul.
“Ini
sebagai gantinya.” Sekotak cokelat Essa berikan pada Alina.
Alina
menerimanya dengan tersenyum.
“Tapi
gue minta bunganya ya. Masih ada kan? Hehe”
Essa
menyebalkan, dalam hati Alina.
Pagi
berikutnya. Alina melewati kelas Essa. Beberapa anak perempuan menatapnya
kejam.
“Ih
kalau gue jadi Alina sih, mending gue cuti kuliah dulu deh, daripada gue
ngampus. Terus liat surat cinta gue dipajang di lapangan, segede itu lagi. Jelas
banget isinya. Uuh malu-maluin.”
Alina
bergegas ke lapangan. Melihat spanduk surat cintanya. Surat cinta buat Essa.
Alina loncat-loncat meraih spanduk itu tapi karena terlalu tinggi, Alina sampai
jengah.
“Eh,
ini kerjaan siapa woy? Bilang sama gue. Nyebelin banget sih.”
Essa
sudah berdiri di pinggir lapangan. Tak ada yang bisa menebak perasaannya. Diba datang
terkejut.
“Alina.
Siapa yang ngelakuin ini?”
“Gak
tau, Diba. Buruan bantuin gue ngambil spanduknya.”
“Aduh
susah nih. Spanduknya yang ketinggian apa kitanya yang pendek sih?”
“Hahahahahaha
diba oon. Dua-duanya.”
Alina
dan Diba menciptakan lelucon. Mereka tertawa bersama, menyentuh pikiran Essa.
Di
kantin. Alina dan Diba tiba untuk makan siang. Mereka melihat Bayu sedang
membagikan surat ke anak-anak yang ada di kantin.
“Ini
nih, buat loe, buat loe juga. Buat yang belum baca surat cintanya Alina, ada di
gue, masih banyak stocknya, tenang aja. Hahahaha”
Alina
kesal, Diba mengusap punggung Alina, berharap Alina sabar. Lalu Diba melangkah
cepat ke arah Bayu, menyiramnya dengan jus jeruk yang ada di meja dan Byurrr. Bayu
basah kuyup + malu.
“Ini
belum cukup ya, buat bikin loe jera. Dan gak usil lagi jadi cowok. Tugas loe
itu disini kuliah, belajar. Bukan buat jadi tukang gossip. Dasar cowok gak
berkualitas. Gak ada harganya sama sekali. Murahan tau gak loe. Najisss.”
Alina
terharu. Diba rela menyidang Bayu untuk membelanya.
“Sahabat
gue, Alina. Dia itu terlalu baik sama loe. Loe gak inget ya, waktu loe ospek,
siapa yang bantu loe bikin nametake? Hah. Terus waktu motor loe mogok di depan
kampus, siapa yang bantu loe dorong? Alina kan? Mati mendadak loe, diem aja
kayak kutu ditindes.” Diba pun pergi.
Anak-anak
di kantin yang mendapat foto copyan surat cinta Alina dari Bayu langsung
melemparkannya balik. Mereka memihak Diba.
Sepulang
kuliah, Alina memotret dengan tema ‘anak jalanan’. Dari dalam mobilnya, Essa
melihat Alina di dekat lampu merah. Essa ke pinggir dan memarkir mobilnya. Ia turun
lalu menghampiri Alina.
“Alina.”
“Essa.”
Alina terkejut.
“Loe
ngapain disini?” Lanjut Alina.
“Tadi
gue lewat terus gak sengaja liat loe. Loe sendiri ngapain?”
“Gue
lagi foto-foto mereka.”
“Hhm.
Mau pulang jam berapa? Bareng gue yuk?”
“Gak
usah deh. Gue masih lama kayaknya disini. Loe duluan aja.”
“Ooh
gitu. Ya udah deh.”
Essa
menghilang. Sudah diduga, Essa pasti tidak akan mau menemaninya selama di
jalanan. Alina melanjutkan hobbynya. Ia merasa ada dunia baru yang berbeda dari
anak-anak jalanan. Mereka masih bisa tersenyum di atas kesulitan mereka. Meskipun
begitu, mereka tidak putus asa, mereka hanya tawakal dan tetap semangat
menjalani hidup. Tapi ada beberapa dari mereka yang criminal, itu hanya salah
pilih cara hidup. Pada dasarnya setiap manusia itu berhati baik.
Senja
sudah pergi. Alina menghampiri sebuah mobil kijang yang terparkir di pinggir
jalan. Alina mengenal mobil itu, ia melihat ada orang yang tertidur di
dalamnya. Essa, itu Essa.
“Essa
woy. Bangun. Mobil loe parkir sembarangan. Oon. Malah tidur lagi. Kayak gak punya
rumah aja.”
Alina mengetuk jendela mobil.
Essa
bangun dan keluar.
“Alina.
Apaan sih. Gue nungguin loe tau daritadi. Loe kelamaan sih, gue sampe ketiduran
di mobil. Hoaaaam.”
Alina
tersanjung.
“Masuk
yuk.” Essa menuntun tubuh Alina sampai masuk ke dalam mobil.
Mobil
itu melaju kencang. Setibanya di sebuah restoran. Mereka makan dengan lahap.
“Loe
kelaperan ya?” Tanya Essa.
“Kalau
iya kenapa?”
“Gak
papa. Udah gendut juga, ntar tambah gendut loh.”
Alina
memijat pipinya, memastikan apa benar dirinya agak gendut.
“Apa
iya? Aaaah. Masa?”
“Iya.
Tuh gendutnya disitu.”
“Dimana?”
“Disini.”
Essa memainkan hidung Alina dengan jari kelingking kanannya.
Alina
merasa di sayangi. Ada apa ini? Pikirnya.
“Apa
jangan-jangan Essa juga suka ya sama gue? Ya allah, aamiin aamiin.” Dalam benak
Alina.
Keesokan
harinya. Alina memarkir sepedanya di parkiran khusus sepeda. Tiba-tiba Essa
lewat dan aroma pesonanya membuat Alina ceroboh sampai-sampai sepedanya jatuh
dan menubruk sepeda-sepeda lain. Alina kebingungan.
Di
lokernya, Alina menemukan memo bertuliskan ‘Aku tunggu di jembatan, sekarang’
Alina lekas ke tempat tujuan.
“Essa.”
“Hey,
Alina.”
“Ada
apa?”
“Gak
ada apa-apa kok. Kenapa? Gak suka ya?”
“Suka
kok, dari dulu. Hehehehe” Jawab Alina pelan.
Essa
tak sanggup untuk menyampaikan kalimat jujur. Ia takut kalau Alina akan kecewa.
Karena akhir-akhir ini Essa bisa merasakan cinta Alina yang tulus dan sederhana
untuknya. Cinta yang murni, yang bersih, yang masih belum pantas kalau harus
disakiti. Terlalu cepat kalau harus berhenti samapi disini. Essa masih ingin
melihat tingkah aneh Alina setiap kali bertemu dengannya. Sikap apa adanya,
ceria, menyenangkan dan lucu.
“Alina.”
“Iya.”
“Ini.”
Essa memberikan sebuah undangan cantik padanya.
“Apa?”
Alina
membaca dua nama yang tertera dalam undangan tersebut. Essa dan Nadya. Pertunangan
akan dilaksanakan minggu depan. Air mata Alina langsung berjatuhan. Dadanya sesak
dan hatinya menahan sakit.
“Jangan
lupa dateng ya.” Essa mengelus kepala Alina. Lalu pergi.
Di
belakang Alina, Essa mulai menangis berat.
Kembali
ke Diba dan Nadya.
“Setelah
tau Essa bakal tunangan sama loe, Alina jadi rapuh. Dia mulai jarang makan dan
kurang semangat di kampus. Setiap ketemu Essa, dia pasti sembunyi. Dia takut
kalau dia susah ngelupain Essa. Pas di acara pertunangan itu. Alina gak mau
dateng. Tapi Bayu maksa. Akhirnya Alina dateng sama gue.” Jelas Diba.
“Dan
saat itu, Essa sempet bilang sama aku kalau Alina itu cinta pertamanya.” Kata Nadya.
“Iya,
wajar aja. Mereka sekelas dari SMP, SMA sampe kuliah pun mereka satu kampus
juga.” Ujar Diba.
Setelah
pertunangan Essa dan Nadya, Alina mulai sakit-sakitan. Beberapa bulan sakitnya
semakin parah dan ia tidak ingin sembuh. Meski Bayu sering mengajaknya ke
dokter, obat-obat pun tak diminumnya. Setahun kemudian, tepat di hari
pernikahan Essa dan Nadya. Alina mencoba bunuh diri dari lantas atas kampus. Hingga
akhirnya ia pun tak terselamatkan.
Di
rumah Alina. Semua barang-barangnya diperiksa Bayu dan Diba. Beberapa buku
diary yang sejak SMP sampai saat ini pun, masih ada, tersimpan rapi di box
besar dekat lemari. Tak ada satu lembar pun yang tanpa nama Essa. Di tulisan
terakhir, di halaman tengah. Alina menuliskan tentang permohonan maafnya pada
Tuhan (Allah SWT). Alina sadar Alina berdosa. Karena ia telah mencintai
seseorang berlebihan. Meski alasannya bunuh diri bukan karena Essa, melainkan
karena ia tidak ingin merepotkan banyak orang untuk terus merawatnya selama ia sakit.
Alina sudah banyak meminta ampun. Ia bersujud setiap waktunya. Berharap Tuhan
memanggilnya segera. Ketika saatnya tiba, Alina tidak akan pernah menyentuh
hidup Essa dan Nadya.
Tepat
di hadapan makam Alina Sadrian. Diba menceritakan kisah nyata kematian tragis
sahabatnya itu. Nadya, yang kini single mother karena Essa kecelakaan dan
meninggal dunia disaat ia sedang merawat dua buah hati bukti cinta Essa yang
masih kecil-kecil. Diba berharap, Nadya menjadi tangguh dan kuat. Nadya harus
berjuang hidup sampai sebaik-baiknya kematian menjemput. Membesarkan dua cinta
Essa dan ruh Alina yang selalu ada di sekitarnya. Nadya merasakan keberadaan
Alina setiap ia bersama anak-anaknya. Mungkin Alina juga menyayangi Dinda dan
Dandi (anak Essa dan Nadya). Pada akhirnya mereka akan bertemu di kehidupan
yang abadi. SEKIAN.
Inspired by Afgansyah Reza (SABAR)
A Blog by Delisa Novarina