Duet Embun dan Jingga di
Konser Instrumental
Setelah latihan
seminggu penuh untuk pelaksanaan sebuah Konser Instrumental spesial Hari
Pahlawan, Embun dan Jingga siap menghadapi kolaborasi yang tidak pernah mereka
duga sebelumnya. Hari ini tepat di Ballroom Hotel di bilangan Jakarta Pusat, simfoni
itu digelar.
Embun yang
notabenenya adalah seorang musisi, tidak perlu khawatir ketika ia ditunjuk
untuk memainkan alat musik Biola. Sementara Jingga, sedikit gugup ketika ia
dituntut untuk memainkan Piano. Karena ini pertama kalinya ia tampil. Beruntung
ia dipasangkan dengan Embun. Embun menjadi kekuatan tersendiri baginya.
“Aku agak
deg-degan,” ungkap Jingga pada Embun yang tengah santai mendengarkan lagu
dengan earphone-nya.
Merasa dicueki,
akhirnya Jingga duduk di kursi sebelah laki-laki berusia 30 tahun tersebut.
“Embun, aku lagi
ngomong,” pekik Jingga lumayan kesal.
Suaranya berhasil
merebut perhatian Embun. Embun melepas earphone-nya dan meletakkannya di
telinga Jingga. Sebuah chorus dari
lagu ‘Because You Loved Me’ milik Celine Dion terputar begitu jelas.
You were my strength when I was weak
You were my voice when I couldn't speak
You were my eyes when I couldn't see
You saw the best there was in me
Lifted me up when I couldn't reach
You gave me faith 'coz you believed
I'm everything I am because you loved me
You were my voice when I couldn't speak
You were my eyes when I couldn't see
You saw the best there was in me
Lifted me up when I couldn't reach
You gave me faith 'coz you believed
I'm everything I am because you loved me
“Embun, Jingga,
satu menit lagi,” panggil salah seorang Panitia mengingatkan.
Tanpa berlama-lama,
Embun lekas menuju panggung, meninggalkan Jingga yang masih menerka apa maksud
yang disampaikan oleh lagu itu.
Sekarang waktunya
bagi mereka berdua.
Embun feat Jingga. Memainkan Biola dan Piano
dengan orkestra.
Penampilan mereka
serasi sekali. Ada harmoni dari melodi-melodi yang keduanya satukan. Seperti
Hujan dan Pelangi. Seperti refrain dalam lagu yang Embun buat. Seperti prolog
dalam romansa yang Jingga tulis.
Selesai
pertunjukkan, mereka makan malam bersama, kemudian langsung pulang. Embun
mengantar Jingga sampai depan pintu rumahnya. Selama perjalanan tidak ada
percakapan serius di antara mereka. Benar-benar hambar. Padahal mereka baru
saja membuat sejarah. Setelahnya ya kembali seperti semula.
Embun memang tidak
pernah bisa mengubah suasana sesuai dengan apa yang Jingga mau. Tetapi biar
begitu, Embun selalu punya cara untuk meluluhkan hatinya. Selain lewat
keromantisan omong kosong yang sudah sering orang-orang lakukan setiap merayu
pasangannya. Embun berbeda. Sebagaimana yang pernah Senja ungkapkan. Senja
adalah masa lalu, masa lalu dalam hidup Embun. Masa lalu yang tidak selamanya
untuk dilupakan. Masa lalu yang ada saatnya untuk dikenang. Seperti yang sedang
Jingga lakukan sekarang.
“Dah, aku pulang
ya,” pamit Embun tanpa basa-basi.
“Lho,” Jingga
menahan, “Enggak ada yang mau diobrolin dulu gitu?”
“Obrolin apa?”
tanya Embun dengan polos.
Yang lantas membuat
Jingga memasang senyum simpulnya tanpa ikhlas.
“Eum, enggak ada,
ya sudah pulang, hati-hati di jalan.”
“Daah.” Embun
menepuk bahunya, lalu pergi.
Sudah tiba di
tanggal 11. Embun tidak mengatakan apapun. Apa dia tidak ingat kalau hari ini
hari ulang tahun Jingga? Mau tidak mau, Jingga harus membuang segala harapannya
untuk mendapat kejutan dari Embun di hari jadinya yang ke-20 tahun itu. Dengan
menghela napas berat, Jingga masuk ke dalam rumah. Naik ke kamarnya di lantai
2. Menaruh tasnya sembarangan. Duduk lemas di kursi depan komputer. Menatap
kalender dan jam dinding yang ada.
10 tahun lebih muda
dari Embun ternyata membuat Jingga banyak belajar dari perlaku-perilaku orang
dewasa yang kadang sulit ditebak dan dimengerti. Bahkan Embun tidak peduli
dengan ulang tahunnya tahun lalu. Tidak aneh jika dia juga lupa dengan ulang
tahun Jingga hari ini. Apa orang dewasa tidak memperhatikan setiap pertambahan
usianya? Setidaknya mengucapkan selamat ulang tahun begitu. Atau mengecup
kening, memeluk sebentar, memberikan boneka, seikat bunga, cokelat, es krim,
meski sebenarnya itu semua cukup memuakkan. Embun tidak mungkin melakukannya.
Dia terlalu kuno bagi anak yang masih remaja seperti Jingga.
Tiba-tiba terdengar
suara kembang api yang meledak-ledak di langit. Membuyarkan lamunan Jingga
tentang Embun yang tidak peka. Lantas, Jingga menengok keluar dari jendela. Dan
benar saja. kembang api itu terus berpijar menampakkan warna-warna indahnya.
Jingga melihat ke bawah, ke pelataran rumah. Ada Embun dengan senyum termanis
yang dia punya.
Tanpa buang-buang
waktu, Jingga lekas turun menyusulnya.
Terangkum sebuah
kenangan selama setahun belakangan ini. Sejak pertemuan pertama Embun dan
Jingga yang memalukan. Berlanjut pada pertengkaran-pertengkaran yang memperebutkan
hak dan kewajiban keduanya. Lalu ke musikalitas seorang musisi, ke sastraan
seorang penulis, hingga duet di Konser Instrumental tadi malam. Dan sekarang,
ke hal yang paling Embun hindari. Pelanggaran prinsipnya sendiri. Embun
mengalahkan persepsi sentimen idealismenya demi Jingga. Sekali lagi, Jingga
mampu membuat Embun keluar dari batas lingkarannya sebagai uap air yang
mencurahkan pada daun. Ditaklukan warna oranye yang meluahkan pada pelangi.
Notes:
Cerita cinta seni Embun dan Jingga tidak akan pernah usai.
Kecuali jika mereka sepakat untuk mengakhirinya. Karena Embun dan Jingga hanya
tokoh dalam kisah-kisah yang Penulis buat. Keduanya akan selalu ada, hidup
terus di setiap tulisan-tulisan yang melibatkannya.
Novel ‘E&J’ segera…
Selamat Ulang Tahun, Jingga
Yang ke-20 Tahun
11/11/2014