SIAPA SIH GUE SEKARANG?
Pertanyaan
itu yang terus menggelayut di benakku.
Masa
kecil,
Aku
lahir hari Jumat di Depok, 11 November 1994.
Lebih
lengkapnya, Beji Timur, belakang kampus UI, atau orang biasa mengenalnya dengan
sebutan ‘kavling’.
Pada
usia 3 tahun, aku sekeluarga pindah ke Bekasi Barat. Enggak jauh kok. Dekat rumah
Nenek dari Ayah. Beberapa tahun kemudian kami pindah ke Bekasi Selatan, kalau
mau tahu tepatnya di mana, di Cikunir. Aku masuk sekolah di SDN Jaka Mulya 1. Selama
6 tahun melewati masa kanak-kanak di sana, banyak ilmu pengetahuan dan
pengalaman hidup yang aku dapat.
Sumiyati
(kakak kelas, satu tahun di atasku), Sandi (teman sekelas, seumuran), Usnah
(adik kelas, satu tahun di bawahku), Amal (adiknya Usnah, 3 tahun di bawahku),
mereka adalah tetangga sekaligus sahabat-sahabatku. Kami sering bermain
bersama. Naik ke rumah pohon, main ke sekolah Tunas Jaka Sampurna, tarawih di
Masjid Al-Ikhlas, cari ikan pas banjir, lari pagi, main sepeda, makan bareng di
kebun, petik Buni di kuburan, mengaji, dan lain-lain. Pokoknya banyak banget. Enggak
cukup kalau disebutkan semuanya.
Nilaiku
pas SD juga paspasan. Enggak dapat peringkat. Malah selalu ada warna merahnya,
meski cuma satu. Tetapi anehnya, ketika Ujian Nasional, nilai matematikaku 8. Ajaib
ya. Itu kayak janggal banget gitu. Enggak biasanya.
Setelah
pengumuman kelulusan, aku pindah lagi ke Bekasi Barat, untuk melanjutkan SMP di
sana. Sebelum itu aku sempat bilang ke teman-teman, ke sahabat-sahabatku. Dan lucunya
lagi, aku ketemu sama anak laki-laki namanya Edo. Dengan gaya khas anak-anak SD
yang lagi gencarnya main suka-sukaan, aku bilang suka gitu ke dia. Lewat omongan
sahabat-sahabatku sih, namanya anak SD ya, agak ember juga mulutnya hahahaha.
Dari
situlah, mindset aku langsung
mengecap Edo sebagai cinta pertamaku gitu. Tetapi kata Mama, itu cinta monyet. Yaelah,
anak SD gitu ya, tahu apa sih tentang cinta. Tahunya Cuma main doang, huhu.
Lanjut,
Aku
SMP di MTs Al-Mukhtariyah. Aku mulai pakai jilbab sejak saat itu. Dari kelas 1
sampai kelas 3, selalu dapat peringkat. Awalnya 10, terus 7, terus 5. Enggak pernah
di atas itu sih. Stay di 10 besar
melulu. Tetapi ya, itu cukuplah buat jadi tambahan semangat aku.
Nah,
waktu MTs tuh ya, belajar belajar dan belajar. Enggak kalah deh sama Kerja
Kerja dan Kerja. Pulang sekolah ya langsung pulang ke rumah. Enggak ke
mana-mana. Pas kelas 3 saja sudah dekat-dekatnya dengan teman-teman. Main ke
rumah teman, itupun enggak sampai petang. Mengerjakan tugas, individu maupun
kelompok. Pokoknya enggak pernah ada kegiatan selain itu deh. Ekstrakurikuler juga
enggak ada. Cuma Paskibra, itupun ketika Upacara atau Gerak Jalan memperingati
hari besar saja. Pramuka aku enggak ikut. Jadwal Pramuka aku ganti sama jadwal
IPA. Dan kelas IPA spesial tersebut hanya 3 murid saja. Aku, Kamelia dan
Ridwan.
Bu
El, guru Matematika kami saat itu, mengumumkan bahwa akan ada Olimpiade MIPA
se-kota Bekasi. Yang diadakan di gedung KORPRI. Kalau tidak salah, yang
mengikuti Olimpiade itu ada 4 orang. Aku, Kamelia, Ridwan, Hikmah dan kak Tati
(siswi kelas 3). Aku masih kelas 2. Kami pun belajar lebih ektra lagi dari
biasanya. Untuk Matematika ya. Bahkan Bu El sampai mau mengajar kami ke rumah. Ke
rumahku. Dan ketika saat itu tiba, untuk pertama kalinya kami mengikuti
Olimpiade MIPA Se-Bekasi. Ukh banyak banget pesertanya. Ratusan. Tetapi anehnya,
kami sama sekali enggak minder atau merasa takut. Biasa saja. Dan yang sangat
berbahagia adalah kak Tati. Dia peringkat 5. Aku, Kamelia, Ridwan dan Hikmah
hanya masuk di peringkat 20-an. Alhamdulilah banget sih. Itu sudah jadi awal
yang bagus juga.
Nah,
dari situlah, aku mulai sadar, bahwa prestasi itu penting. Aku malah ketagihan.
Jadi pengin ikut Olimpiade terus. Pengin dapat juara 5 juga, atau jadi juara 1
sekalian. Kayak haus gitu.
Masa-masa
SMP yang standar itu justru memberikan energi yang cukup banyak juga buat aku.
Untuk
SMA, aku bersekolah di SMK Assa’adah, Jakarta Timur. Sekolah islam yang
mewajibkan setiap penghuninya berpakaian tertutup, mengutamakan ibadah, dan
berprinsip pada sebuah aqidah.
Kelas
X, jujur aku akui, aku begitu ‘lugu’. Uuuh! Agak aib juga kalau lihat foto-foto
zaman masih baru SMA gitu. Cuek sama penampilan, karakter belum kebentuk,
enggak kenal banyak orang di sekolah. Kayak enggak populer gitu. Eh jangan
salah, setelah aku terpilih sebagai anggota OSIS, tepatnya sebagai Seksi
Mading, aku jadi extrovert banget
lho. Mulai dekat sama kakak-kakak senior, OSIS maupun non-OSIS, dikenal sama
guru-guru, sama adik-adik kelas. Terus juga sudah mulai pacaran. Aih! Malu. Pacar
pertamaku ya enggak jauh-jauh amat sih. Teman SMP. Aib juga ya kalau mau diceritakan
semua di sini. Pokoknya, itu terjadi begitu saja. awalnya benci-bencian, terus
suka-sukaan. Norak yak, monoton gitu, klise. Tetapi, itulah faktanya, yes. Hahahahaha.
Pacaran
enggak lama, habis itu putus. Maklum, memang jiwanya jiwa penyendiri kali ya. Punya
pacar atau enggak ya sama saja. Aku makin fokus di organisasi. Aktif banget deh
pokoknya. Ikut semua ekskul. Paskibra, teater, tilawah. Pramuka enggak. Enggak tertarik
saja sama pelatihnya. Demonya juga enggak ada, jadi enggak kepengin amat.
Dari
OSIS, aku kepilih sama beberapa anggota lainnya buat ikutan Jaringan
Kewirausahaan Pelajar Nasional (JKPN) Jambore di Cibubur selama beberapa hari.
Itu kegiatan Luar Biasa banget. Aku ketemu sama anak-anak yang jauh,
se-Indonesia pokoknya. Saling kenalan, saling berbagi, bercerita, tukar
pikiran, diskusi, bermain, berlajar. Gitu.
Karena
sudah biasa keluar juga mungkin, aku jadi berani banget buat ikut acara-acara
lain di luar sekolah. Aku ajak teman-teman ikut Olimpiade Matematika, seminar,
bedah buku, pameran, sampai aku ajak teman-teman ke pelatihan menulis gitu. Tetapi
pas ketemu sama Kirana Kejora, saat sedang PKL waktu itu, aku cuma sama Halimah
saja. Kami ketemu di Plaza Indonesia. Aku sampai mau menangis, haru banget. Pertama
kalinya ketemu sama Penulis Idola, heuheu.
Kirana
Kejora adalah spiritnya aku. Beliau yang membangkitkanku kembali untuk menulis.
Sejak bertemu dengannya, aku mulai latihan menulis lagi, mengarang cerita. Bikin
cerpen, bikin puisi, bikin novel.
Masa-masa
SMA itu masa-masa yang remaja banget deh. Aku kenal apa itu kepemimpinan, dari
wujud seorang Pembina OSIS bernama kak Mardhani dan Kepala Sekolah bernama pak
Abdul Aziz. Beliau-beliau Luar Biasa sekali. Begitu sabar, tekun, gigih,
membimbing kami agar kami mengenal bagaimana seorang pemimpin sesungguhnya. Kami
dididik untuk berani mengambil keputusan, berani mencoba, berani melawan rasa
takut, berani memberontak demi perubahan yang lebih baik, menghargai dan
menghormati orang lain, enggak lupa sama Allah SWT, diingatkan terus untuk
menjalankan shalat 5 waktu, mengaji, menghafal Al-Qur’an. Fisik, mental, ideologi,
semuanya aku mengerti setelah aku menjadi muridnya. Menjadi anggota OSIS,
anggota Paskibra. Dan itu menarik banget kan? Yalah.
Pelajar
itu, jangan cuma belajar. Stay di
sekolah terus pulang, terus main, sudah gitu?
Jangan
jadi siswa/I biasa-biasa saja.
Jadilah
siswa/I yang populer.
Dengan
prestasinya, karakternya yang bagus, feedback
yang baik, dan jadi diri sendiri.
Karena
itu bakal jadi kenangan yang akan paling sering diingat-ingat nantinya.
Lalu,
Lulus
SMA, aku bekerja di sebuah restoran di bilangan Jakarta Timur. Awalnya sebagai
waitres, terus jadi kasir, terus hampir dicalonkan sebagai Marketing/Admin. Meski
bekerja di tempat yang hanya menjatahkan libur 2 hari dalam sebulan itu, aku
tetap saja aktif di kegiatan luar. Sering izin buat ikut acara seminar, bedah
buku, premier film, launching buku, kelas menulis, sampai aku pernah izin buat
hadir ke acara reunian gitu. Pokoknya liburku dalam sebulan ya enggak 2 hari,
lebih lebih. Hasilnya apa? Gaji dipotong. Resiko sih ya, aku enggak menyesal
juga.
Enggak
sampai setahun, aku langsung resign. Alasannya
cukup rasional, mau kuliah. Padahal alasan cuma alasan. Alasan sebenarnya sih,
aku muak sama salah satu karyawan cowok di sana. Kayak lem, penginnya menempel
terus. Memangnya aku ini apa? Aku kerja, ya aku enggak suka didekati melulu
begitu. Kerja ya kerja saja. Enggak perlu ada makna terselubung atau modus dan
lain-lainnya. Kerja betul-betul. Aku paling enggak suka kalau kerja ada unsur
cinta-cintaannya. Cinlok atau apalah itu namanya. Sebisa mungkin harus
dihindari. Kecuali kalau memang niatnya serius ya. Ini mah, yailah, modal
gombal sama duit sama jejajanan doang. Sama sekali enggak nyambung kalau
membicarakan motivasi atau yang berkaitan dengan passion. Enggak seru, keki deh pokoknya.
Keluar
dari restoran, aku kerja di perusahaan ekspor impor gitu. Jadi staff keuangan. Hanya
beberapa bulan, setelah itu resign
juga. Padahal jurusanku waktu SMA, Akuntansi. Tetapi pas kerja di bidang itu,
rasanya bosan. Lagipula, kerjaanku cuma duduk saja terus stay depan komputer. Satu ruangan hanya ada 4 orang. Direktur,
kabag ekspor, kabag impor, terus aku staff keuangan. Kurang semangat. Enggak fresh gitu. Sepi. Aku sukanya tuh
interaksi dengan orang lain, orang banyak, customer,
dan semacamnya, gitu.
Tetapi
lumayanlah, kerja di restoran berat badanku turun. Kerja di kantor berat
badanku naik lagi. Malah nduttt, huft.
Keluar
dari ekspor impor itu, aku kerja di sebuah Cakes Shop. Enggak lama juga.
Beberapa bulan saja. Nah, ada yang menarik ketika di sana. Aku bertemu dengan
seorang anak laki-laki. Dia itu agak pendiam, bicara seperlunya, lembut, tetapi
sangat care sama teman-temannya. Bisa
dibilang, dia itu charming. Awalnya sih
aku enggak begitu peduli, enggak begitu memikirkan. Namun setelah semakin dekat
dengannya, aku jadi yakin kalau dia itu spesial. Dia punya sesuatu yang harus
aku ketahui. Ternyata, ternyata. Dia punya kisah hidup yang inspiring sekali. Kami sempat digosipi
pacaran gitu. Saking dekatnya mungkin. Tetapi enggak lama, malah menjauh
gara-gara gosip yang beredar itu justru bikin kami enggak nyaman.
Mungkin
irasional juga. Atau aku yang kekanak-kanakan. Hanya karena hal itu, aku jadi resign. Enggak lama setelah itu, dia pun
resign. Lalu aku mengikuti ajang
pencarian 50 pemuda yang digagas Andrie Wongso bersama Andrie Wongso Learning
Centre-nya. Yaitu Agent of Wisdom. Alhamdulillah, aku terpilih, setelah
mengikuti proses seleksi yang cukup ketat. Kelas kami setiap hari sabtu sesuai
tanggal yang ditentukan.
Berjalan
dengan itu, aku mendapat pekerjaan yang sangat sangat aku sukai. Yang berkenaan
dengan kepenulisan. Novel-novel yang kutulis sejak SMA pun mulai aku revisi dan
aku tulis ulang. Novel pertama aku diacc penerbit dan akan segera terbit, ditunggu
ya hehehehe.
Selama
sibuk menjalani profesi sebagai penulis, penulis baru mungkin ya, karena masih
awam gitu kategori aku kalau langsung dibilang penulis. Sebuah rezeki datang
menghampiri. Seorang teman yang expert
banget di bidangnya, mengajak aku untuk turut serta membangun sebuah bisnis,
media informasi digital. Bersama dengan orang-orang yang juga berkompeten di
bidang masing-masing yang diperlukan, kami mulai membangunnya.
Sesuai
dengan bio yang kutulis di email untuk nametag
panitia festival bulan depan, ‘Be writerpreneur, Lovers of Detevtive, A Fans of
Sherlock Holmes and Dr. Watson’. Aku suka banget sama cerita-cerita misteri
gitu. Novel mystery, sci-fic,
fun-fic, suka. Kayaknya penulis dibuat bertualang gitu. Bikin dunia baru
sendiri. Dia yang jadi penguasanya. Ha, menyenangkan.
10
hari lagi usiaku 20 tahun. Rasanya a banget. Enggak menyangka ih, tahun depan
sudah bukan remaja lagi. Sudah dewasa. Namun apa yang sudah aku lakukan selama
19 tahun belakangan ini? Adakah yang benar-benar bermanfaat bagi orang lain? Atau
aku sudah berbuat sesuatu yang sangat berguna bagi orang tuaku? Sepertinya belum.
Aku bukan apa-apa juga sekarang. Siapa sih aku? Hah? Orang yang punya banyak
mimpi, yang tukang mengkhayal, yang hobinya mengarang cerita, yang selalu melamun,
sering lupa, terus mengecewakan orang, dan belum pernah membawa sebuah
perubahan yang besar.
Aku
perempuan yang sangat menyukai Jingga. Punya Embun, Fajar, dan Senja sebagai
teman yang selalu ada. Aku enggak lebih dari seorang pengarang yang punya
banyak cerita cinta dan kisah kehidupan. Tetapi enggak ada satupun tokohku yang
menganggap aku ini adalah spesial.
Seseorang
pernah mengatakan, “Embun, Jingga, Fajar, dan Senja, hanyalah tokoh fiktif yang
berusaha kamu hidupkan. Tidak lebih.”
Dia
tahu betul bagaimana perjuanganku menciptakan tokoh-tokoh dalam novelku. Aku selalu
menceritakan semua kepadanya. Dia menjadi pendengar yang baik, dia menjadi
Embun bagiku. Embun yang akan selalu menjadi tempat Jingga mencurahkan. Fajar yang
akan selalu menjadi tempat Senja meluahkan. Mereka adalah kekuatanku, mereka
adalah imajinasi. Imajinasi yang tidak akan pernah mati.
Selamat menjadi
Delisa yang semakin bijaksana.
“Menulis adalah soundtrack dalam hidup saya.”
DELISA NOVARINA SAGITA