Sabtu, 01 November 2014

GOOD BYE 19



SIAPA SIH GUE SEKARANG?

Pertanyaan itu yang terus menggelayut di benakku.

Masa kecil,
Aku lahir hari Jumat di Depok, 11 November 1994.
Lebih lengkapnya, Beji Timur, belakang kampus UI, atau orang biasa mengenalnya dengan sebutan ‘kavling’.

Pada usia 3 tahun, aku sekeluarga pindah ke Bekasi Barat. Enggak jauh kok. Dekat rumah Nenek dari Ayah. Beberapa tahun kemudian kami pindah ke Bekasi Selatan, kalau mau tahu tepatnya di mana, di Cikunir. Aku masuk sekolah di SDN Jaka Mulya 1. Selama 6 tahun melewati masa kanak-kanak di sana, banyak ilmu pengetahuan dan pengalaman hidup yang aku dapat.

Sumiyati (kakak kelas, satu tahun di atasku), Sandi (teman sekelas, seumuran), Usnah (adik kelas, satu tahun di bawahku), Amal (adiknya Usnah, 3 tahun di bawahku), mereka adalah tetangga sekaligus sahabat-sahabatku. Kami sering bermain bersama. Naik ke rumah pohon, main ke sekolah Tunas Jaka Sampurna, tarawih di Masjid Al-Ikhlas, cari ikan pas banjir, lari pagi, main sepeda, makan bareng di kebun, petik Buni di kuburan, mengaji, dan lain-lain. Pokoknya banyak banget. Enggak cukup kalau disebutkan semuanya.

Nilaiku pas SD juga paspasan. Enggak dapat peringkat. Malah selalu ada warna merahnya, meski cuma satu. Tetapi anehnya, ketika Ujian Nasional, nilai matematikaku 8. Ajaib ya. Itu kayak janggal banget gitu. Enggak biasanya.

Setelah pengumuman kelulusan, aku pindah lagi ke Bekasi Barat, untuk melanjutkan SMP di sana. Sebelum itu aku sempat bilang ke teman-teman, ke sahabat-sahabatku. Dan lucunya lagi, aku ketemu sama anak laki-laki namanya Edo. Dengan gaya khas anak-anak SD yang lagi gencarnya main suka-sukaan, aku bilang suka gitu ke dia. Lewat omongan sahabat-sahabatku sih, namanya anak SD ya, agak ember juga mulutnya hahahaha.

Dari situlah, mindset aku langsung mengecap Edo sebagai cinta pertamaku gitu. Tetapi kata Mama, itu cinta monyet. Yaelah, anak SD gitu ya, tahu apa sih tentang cinta. Tahunya Cuma main doang, huhu.

Lanjut,
Aku SMP di MTs Al-Mukhtariyah. Aku mulai pakai jilbab sejak saat itu. Dari kelas 1 sampai kelas 3, selalu dapat peringkat. Awalnya 10, terus 7, terus 5. Enggak pernah di atas itu sih. Stay di 10 besar melulu. Tetapi ya, itu cukuplah buat jadi tambahan semangat aku.

Nah, waktu MTs tuh ya, belajar belajar dan belajar. Enggak kalah deh sama Kerja Kerja dan Kerja. Pulang sekolah ya langsung pulang ke rumah. Enggak ke mana-mana. Pas kelas 3 saja sudah dekat-dekatnya dengan teman-teman. Main ke rumah teman, itupun enggak sampai petang. Mengerjakan tugas, individu maupun kelompok. Pokoknya enggak pernah ada kegiatan selain itu deh. Ekstrakurikuler juga enggak ada. Cuma Paskibra, itupun ketika Upacara atau Gerak Jalan memperingati hari besar saja. Pramuka aku enggak ikut. Jadwal Pramuka aku ganti sama jadwal IPA. Dan kelas IPA spesial tersebut hanya 3 murid saja. Aku, Kamelia dan Ridwan.

Bu El, guru Matematika kami saat itu, mengumumkan bahwa akan ada Olimpiade MIPA se-kota Bekasi. Yang diadakan di gedung KORPRI. Kalau tidak salah, yang mengikuti Olimpiade itu ada 4 orang. Aku, Kamelia, Ridwan, Hikmah dan kak Tati (siswi kelas 3). Aku masih kelas 2. Kami pun belajar lebih ektra lagi dari biasanya. Untuk Matematika ya. Bahkan Bu El sampai mau mengajar kami ke rumah. Ke rumahku. Dan ketika saat itu tiba, untuk pertama kalinya kami mengikuti Olimpiade MIPA Se-Bekasi. Ukh banyak banget pesertanya. Ratusan. Tetapi anehnya, kami sama sekali enggak minder atau merasa takut. Biasa saja. Dan yang sangat berbahagia adalah kak Tati. Dia peringkat 5. Aku, Kamelia, Ridwan dan Hikmah hanya masuk di peringkat 20-an. Alhamdulilah banget sih. Itu sudah jadi awal yang bagus juga.

Nah, dari situlah, aku mulai sadar, bahwa prestasi itu penting. Aku malah ketagihan. Jadi pengin ikut Olimpiade terus. Pengin dapat juara 5 juga, atau jadi juara 1 sekalian. Kayak haus gitu.

Masa-masa SMP yang standar itu justru memberikan energi yang cukup banyak juga buat aku.

Untuk SMA, aku bersekolah di SMK Assa’adah, Jakarta Timur. Sekolah islam yang mewajibkan setiap penghuninya berpakaian tertutup, mengutamakan ibadah, dan berprinsip pada sebuah aqidah.

Kelas X, jujur aku akui, aku begitu ‘lugu’. Uuuh! Agak aib juga kalau lihat foto-foto zaman masih baru SMA gitu. Cuek sama penampilan, karakter belum kebentuk, enggak kenal banyak orang di sekolah. Kayak enggak populer gitu. Eh jangan salah, setelah aku terpilih sebagai anggota OSIS, tepatnya sebagai Seksi Mading, aku jadi extrovert banget lho. Mulai dekat sama kakak-kakak senior, OSIS maupun non-OSIS, dikenal sama guru-guru, sama adik-adik kelas. Terus juga sudah mulai pacaran. Aih! Malu. Pacar pertamaku ya enggak jauh-jauh amat sih. Teman SMP. Aib juga ya kalau mau diceritakan semua di sini. Pokoknya, itu terjadi begitu saja. awalnya benci-bencian, terus suka-sukaan. Norak yak, monoton gitu, klise. Tetapi, itulah faktanya, yes. Hahahahaha.

Pacaran enggak lama, habis itu putus. Maklum, memang jiwanya jiwa penyendiri kali ya. Punya pacar atau enggak ya sama saja. Aku makin fokus di organisasi. Aktif banget deh pokoknya. Ikut semua ekskul. Paskibra, teater, tilawah. Pramuka enggak. Enggak tertarik saja sama pelatihnya. Demonya juga enggak ada, jadi enggak kepengin amat.

Dari OSIS, aku kepilih sama beberapa anggota lainnya buat ikutan Jaringan Kewirausahaan Pelajar Nasional (JKPN) Jambore di Cibubur selama beberapa hari. Itu kegiatan Luar Biasa banget. Aku ketemu sama anak-anak yang jauh, se-Indonesia pokoknya. Saling kenalan, saling berbagi, bercerita, tukar pikiran, diskusi, bermain, berlajar. Gitu.

Karena sudah biasa keluar juga mungkin, aku jadi berani banget buat ikut acara-acara lain di luar sekolah. Aku ajak teman-teman ikut Olimpiade Matematika, seminar, bedah buku, pameran, sampai aku ajak teman-teman ke pelatihan menulis gitu. Tetapi pas ketemu sama Kirana Kejora, saat sedang PKL waktu itu, aku cuma sama Halimah saja. Kami ketemu di Plaza Indonesia. Aku sampai mau menangis, haru banget. Pertama kalinya ketemu sama Penulis Idola, heuheu.

Kirana Kejora adalah spiritnya aku. Beliau yang membangkitkanku kembali untuk menulis. Sejak bertemu dengannya, aku mulai latihan menulis lagi, mengarang cerita. Bikin cerpen, bikin puisi, bikin novel.

Masa-masa SMA itu masa-masa yang remaja banget deh. Aku kenal apa itu kepemimpinan, dari wujud seorang Pembina OSIS bernama kak Mardhani dan Kepala Sekolah bernama pak Abdul Aziz. Beliau-beliau Luar Biasa sekali. Begitu sabar, tekun, gigih, membimbing kami agar kami mengenal bagaimana seorang pemimpin sesungguhnya. Kami dididik untuk berani mengambil keputusan, berani mencoba, berani melawan rasa takut, berani memberontak demi perubahan yang lebih baik, menghargai dan menghormati orang lain, enggak lupa sama Allah SWT, diingatkan terus untuk menjalankan shalat 5 waktu, mengaji, menghafal Al-Qur’an. Fisik, mental, ideologi, semuanya aku mengerti setelah aku menjadi muridnya. Menjadi anggota OSIS, anggota Paskibra. Dan itu menarik banget kan? Yalah.

Pelajar itu, jangan cuma belajar. Stay di sekolah terus pulang, terus main, sudah gitu?

Jangan jadi siswa/I biasa-biasa saja.
Jadilah siswa/I yang populer.
Dengan prestasinya, karakternya yang bagus, feedback yang baik, dan jadi diri sendiri.

Karena itu bakal jadi kenangan yang akan paling sering diingat-ingat nantinya.

Lalu,
Lulus SMA, aku bekerja di sebuah restoran di bilangan Jakarta Timur. Awalnya sebagai waitres, terus jadi kasir, terus hampir dicalonkan sebagai Marketing/Admin. Meski bekerja di tempat yang hanya menjatahkan libur 2 hari dalam sebulan itu, aku tetap saja aktif di kegiatan luar. Sering izin buat ikut acara seminar, bedah buku, premier film, launching buku, kelas menulis, sampai aku pernah izin buat hadir ke acara reunian gitu. Pokoknya liburku dalam sebulan ya enggak 2 hari, lebih lebih. Hasilnya apa? Gaji dipotong. Resiko sih ya, aku enggak menyesal juga.

Enggak sampai setahun, aku langsung resign. Alasannya cukup rasional, mau kuliah. Padahal alasan cuma alasan. Alasan sebenarnya sih, aku muak sama salah satu karyawan cowok di sana. Kayak lem, penginnya menempel terus. Memangnya aku ini apa? Aku kerja, ya aku enggak suka didekati melulu begitu. Kerja ya kerja saja. Enggak perlu ada makna terselubung atau modus dan lain-lainnya. Kerja betul-betul. Aku paling enggak suka kalau kerja ada unsur cinta-cintaannya. Cinlok atau apalah itu namanya. Sebisa mungkin harus dihindari. Kecuali kalau memang niatnya serius ya. Ini mah, yailah, modal gombal sama duit sama jejajanan doang. Sama sekali enggak nyambung kalau membicarakan motivasi atau yang berkaitan dengan passion. Enggak seru, keki deh pokoknya.

Keluar dari restoran, aku kerja di perusahaan ekspor impor gitu. Jadi staff keuangan. Hanya beberapa bulan, setelah itu resign juga. Padahal jurusanku waktu SMA, Akuntansi. Tetapi pas kerja di bidang itu, rasanya bosan. Lagipula, kerjaanku cuma duduk saja terus stay depan komputer. Satu ruangan hanya ada 4 orang. Direktur, kabag ekspor, kabag impor, terus aku staff keuangan. Kurang semangat. Enggak fresh gitu. Sepi. Aku sukanya tuh interaksi dengan orang lain, orang banyak, customer, dan semacamnya, gitu.

Tetapi lumayanlah, kerja di restoran berat badanku turun. Kerja di kantor berat badanku naik lagi. Malah nduttt, huft.

Keluar dari ekspor impor itu, aku kerja di sebuah Cakes Shop. Enggak lama juga. Beberapa bulan saja. Nah, ada yang menarik ketika di sana. Aku bertemu dengan seorang anak laki-laki. Dia itu agak pendiam, bicara seperlunya, lembut, tetapi sangat care sama teman-temannya. Bisa dibilang, dia itu charming. Awalnya sih aku enggak begitu peduli, enggak begitu memikirkan. Namun setelah semakin dekat dengannya, aku jadi yakin kalau dia itu spesial. Dia punya sesuatu yang harus aku ketahui. Ternyata, ternyata. Dia punya kisah hidup yang inspiring sekali. Kami sempat digosipi pacaran gitu. Saking dekatnya mungkin. Tetapi enggak lama, malah menjauh gara-gara gosip yang beredar itu justru bikin kami enggak nyaman.

Mungkin irasional juga. Atau aku yang kekanak-kanakan. Hanya karena hal itu, aku jadi resign. Enggak lama setelah itu, dia pun resign. Lalu aku mengikuti ajang pencarian 50 pemuda yang digagas Andrie Wongso bersama Andrie Wongso Learning Centre-nya. Yaitu Agent of Wisdom. Alhamdulillah, aku terpilih, setelah mengikuti proses seleksi yang cukup ketat. Kelas kami setiap hari sabtu sesuai tanggal yang ditentukan.

Berjalan dengan itu, aku mendapat pekerjaan yang sangat sangat aku sukai. Yang berkenaan dengan kepenulisan. Novel-novel yang kutulis sejak SMA pun mulai aku revisi dan aku tulis ulang. Novel pertama aku diacc penerbit dan akan segera terbit, ditunggu ya hehehehe.

Selama sibuk menjalani profesi sebagai penulis, penulis baru mungkin ya, karena masih awam gitu kategori aku kalau langsung dibilang penulis. Sebuah rezeki datang menghampiri. Seorang teman yang expert banget di bidangnya, mengajak aku untuk turut serta membangun sebuah bisnis, media informasi digital. Bersama dengan orang-orang yang juga berkompeten di bidang masing-masing yang diperlukan, kami mulai membangunnya.

Sesuai dengan bio yang kutulis di email untuk nametag panitia festival bulan depan, ‘Be writerpreneur, Lovers of Detevtive, A Fans of Sherlock Holmes and Dr. Watson’. Aku suka banget sama cerita-cerita misteri gitu. Novel mystery, sci-fic, fun-fic, suka. Kayaknya penulis dibuat bertualang gitu. Bikin dunia baru sendiri. Dia yang jadi penguasanya. Ha, menyenangkan.

10 hari lagi usiaku 20 tahun. Rasanya a banget. Enggak menyangka ih, tahun depan sudah bukan remaja lagi. Sudah dewasa. Namun apa yang sudah aku lakukan selama 19 tahun belakangan ini? Adakah yang benar-benar bermanfaat bagi orang lain? Atau aku sudah berbuat sesuatu yang sangat berguna bagi orang tuaku? Sepertinya belum. Aku bukan apa-apa juga sekarang. Siapa sih aku? Hah? Orang yang punya banyak mimpi, yang tukang mengkhayal, yang hobinya mengarang cerita, yang selalu melamun, sering lupa, terus mengecewakan orang, dan belum pernah membawa sebuah perubahan yang besar.

Aku perempuan yang sangat menyukai Jingga. Punya Embun, Fajar, dan Senja sebagai teman yang selalu ada. Aku enggak lebih dari seorang pengarang yang punya banyak cerita cinta dan kisah kehidupan. Tetapi enggak ada satupun tokohku yang menganggap aku ini adalah spesial.

Seseorang pernah mengatakan, “Embun, Jingga, Fajar, dan Senja, hanyalah tokoh fiktif yang berusaha kamu hidupkan. Tidak lebih.”

Dia tahu betul bagaimana perjuanganku menciptakan tokoh-tokoh dalam novelku. Aku selalu menceritakan semua kepadanya. Dia menjadi pendengar yang baik, dia menjadi Embun bagiku. Embun yang akan selalu menjadi tempat Jingga mencurahkan. Fajar yang akan selalu menjadi tempat Senja meluahkan. Mereka adalah kekuatanku, mereka adalah imajinasi. Imajinasi yang tidak akan pernah mati.

Selamat menjadi Delisa yang semakin bijaksana.

“Menulis adalah soundtrack dalam hidup saya.”
DELISA NOVARINA SAGITA