SOUNDTRACK HIDUP
“Ah. Aku benci.
Aku bosan.”
Kertas-kertas di
meja aku lempar semua sampai berhamburan di lantai café yang sepi pengunjung
saat itu. Pantas saja, sudah tengah malam. Walaupun open daily 24 jam. Kedua tangan
memegang kening, aku pusing, aku kebingungan. Tak pernah habis pikiranku
bertanya-tanya terus tentang kepastian cinta darinya. Dari seseorang yang ku
anggap hebat dan baik hati. Ravi Luvian, cinta pertama yang belum pudar.
Aku mendengar
langkah yang semakin mendekat ke arahku. Laki-laki itu memungut kertas-kertas
yang ku sia-siakan. Lalu diletakkannya di mejaku.
“Ini tulisanmu,
artinya kehidupan. Jangan pernah kamu abaikan lagi. Ingat, sekecil apapun suatu
hal, pasti ada dampaknya.”
Dia pergi begitu
saja, membiarkanku jadi gila.
Aku mengenalnya,
aku ingat-ingat lagi. Ya, dia itu Wildan Sudiro. Pecinta musik, pembuat lagu,
gitaris sebuah band dan aku sedikit tahu kalau dia itu pernah menulis sebuah
novel. Canggihnya, Wildan membuatku kagum hanya dengan tiga kalimat barusan.
Aaaaa.
Sebagai Penulis
baru, rasanya aku masih pemula. Meskipun buku pertamaku sudah best seller dan
kabarnya akan difilmkan oleh salah satu PH ternama di Jakarta. Aku bukan
apa-apa, menulis memang sudah jadi bagian dari tubuhku. Menulis itu semangat,
menulis itu udara.
Masih di posisi
yang sama. Aku googling tentangnya, Wildan Sudiro. Aku baca blognya, isi social
medianya dan aku coba email untuk tes apakah dia peramah atau biasa saja. Beberapa
menit kemudian, dia membalas emailku.
“Hah?
Cepatnyaaa.” Aku terkejut, agak lebay.
Tanpa aku
sadari, ternyata Wildan Sudiro ada di sekitar café. Dia memata-mataiku.
“Intania Ashari.
Nama yang bagus.”
Seperti hantu,
Wildan tiba-tiba muncul. Dua kali dia mengejutkanku. Menyebalkan.
“Eh, kok tahu?”
“Nama kamu mulai
terkenal baru-baru ini.”
“Oh.”
Aku berusaha
cuek, padahal dalam hati, aku berharap Wildan duduk di depanku, bicara banyak
dan kita berteman.
“Jadi ceritanya,
penulis baru ini lagi kehabisan ide ya? Sampai-sampai kertas jadi korbannya. Kasihan.”
Kata Wildan sambil duduk di kursi sebelahku.
“Enggak. Apaan sih.”
Terlihat jutek,
padahal aku cuma mau tahu seberapa pekanya Wildan terhadap mimik wajah lawan
bicaranya.
“Menulis itu,
kalau kamu sudah suka, kamu sudah cinta, pasti lancar terus kok. Meskipun kadang
macet, kamu hanya perlu berhenti sejenak untuk mendapatkan sesuatu yang sangat
berharga, artinya lamunanmu itu menciptakan hasil. Kamu pasti bangga setelah
kamu berada di halaman terakhir. Selesaikan.”
Aku terpukau. Entahlah
apa yang sedang ku rasakan. Intinya aku mulai mengaguminya.
Sejam kemudian,
pembicaraan kami dilanjutkan sambil berjalan pulang. Pukul 02 pagi. Aku mulai
menguap, aku kantuk. Wildan tersenyum kecil melihat aksiku tadi.
“Kamu masih jadi
gitaris di Come Rain Band kan?”
“Masih. Kenapa?”
“Aku sempet baca
blogmu…”
“Bahkan dari
entri pertama sampai yang baru diupdate. Ya kan?” Potong Wildan.
“I-iya.” Aku
malu.
“Musik itu
soundtrack di hidup saya. Jadi, mulai saat ini, menulis adalah skenario di
hidupmu kan?” Tanya Wildan dengan menatapku dalam-dalam.
Aku mati gaya,
aduh, A banget rasanya. Aku takut salah tingkah. Seperti orang yang sedang
jatuh cinta.
“Maka menulislah
yang baik-baik, yang penuh kesan-kesan positif dan bermanfaat buat pembaca. Jangan
asal ya.”
Ini sindiran
atau arahan ya, aku bingung yang lain. Huuu.
“Eh, aku harus
pulang. Aku duluan ya. Thanks.”
Aku terpaksa
meninggalkannya.
“Dasar penulis
aneh. Tidak tahu terima kasih. Kebiasaan.” Wildan menggerutu tapi tetap
berpikir positif terhadapku.
Suatu hari, kami
bertemu lagi.
Puisi-puisi
terbang bebas di langit yang ku pandang tulus. Awan-awan terlihat lebih cantik
dan suci. Apa maksudnya? Kenapa pikiranku jernih sebening air? Aku merasakan ada
sesuatu yang beda.
Wildan tidak
enak badan, dia kurang fit dan wajahnya sangat pucat.
“Wildan.” Aku
menyapanya.
Dia berjalan
cepat menghindar dariku. Aku kejar dan dia berlari. Seperti mengejar pencuri. Orang-orang
yang melihat kami cuek begitu saja. Namanya juga orang Jakarta, urusan mereka
lebih penting daripada sekedar mengetahui keadaan yang sedang terjadi di
sekeliling mereka.
Sampai di sebuah
rumah, Wildan masuk dan mengunci pintunya. Aku mematung di depan pintu yang
tertutup rapat itu.
“Wildan. Kenapa?”
“Intan,
sebaiknya kamu pergi. Jangan pernah ikuti aku lagi.”
“Tapi kenapa?
Ada apa? Aku harus tahu.”
“Yang harus kamu
tahu, sudah aku beritahu malam itu kan? Jadi buat apa lagi?” Tanya Wildan.
Wildan memegang
hidungnya yang terus mengeluarkan darah. Tak lama, dia pingsan. Aku mendengar
ada yang jatuh di dalam. Aku mulai panik dan khawatir. Pikiranku langsung ke
Wildan. aku mencari jalan untuk masuk. Aku lihat jendela samping mudah dibuka
dari luar, aku coba buka dan berhasil masuk. Betapa terkejutnya aku menyaksikan
Wildan tak berdaya. rasanya aku lemas, aku tak kuat.
Di rumah sakit. Wildan
sok sehat jiwa raga dan lahir batin.
“Eh, kamu
kenapa?” Tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Aku gak
apa-apa. Jangan kayak anak kecil deh. Dewasa. Kamu sudah mau 24 tahun kan?”
“Sakit ya sakit
saja. Tidak perlu memikirkan usia orang lain.”
“Karena aku akan
mati, begitu?”
“Eh bukan. Bukan
gitu.”
“Intan. Aku mau
sendiri dulu. Kamu pergi ya.” Mohon Wildan.
Aku merasa
bersalah. Ah bodoh nih.
Hati Wildan
memang bermasalah. Ada kanker yang menggerogoti sampai hatinya retak-retak. Aku
lihat hasil ronsen dari dokter. Tapi sesungguhnya, Wildan memiliki hati yang
baik-baik saja. Hidupnya sudah berarti dan banyak memberikan manfaat untuk
orang lain termasuk fansnya. Ketika aku keluar kamar dirawatnya Wildan, aku
harus menguatkan banyak orang. Fans Wildan, keluarga Wildan dan personil Come
Rain Band yang lain. Seperti akan kehilangan satu ginjal. Walaupun baru
mengenal Wildan beberapa hari lalu. Rasanya Wildan sudah sangat berharga
bagiku.
Aku memeluk
semuanya. Kami membuat rumah sakit banjir karena derasan air mata yang jatuh
ringan di pipi kami. Wildan, ternyata sosok yang dicintai banyak orang.
Detik kesakitan
sampai juga di puncak. Wildan benar-benar pergi dari kami semua. Aku yang
kehilangan, sangat kehilangan. Padahal aku baru saja tertarik untuk mengenal
Wildan lebih dekat. Bahkan ada harapanku untuk bisa menjadi kekasihnya. Ikutlah
bersama ruh Wildan, harapanku kini tinggal kenangan.
Ada keponakan
Wildan yang paling kecil, usia enam tahun, namanya Alisa. Dia mampu melihat
Wildan pergi dengan senyuman manis ke arahku lalu ke semua yang ada di sekitar
jasadnya dan berakhir menatapku lagi. Hingga dia terbang menghilang sampai ke
tempat seharusnya. SEKIAN.
Note:
Sebuah cerpen untuk Wahyu Sudiro.
Ini cerpen yang terinspirasi dari kata-kata karya Wahyu Sudiro. Kenapa aku
kasih judul SOUNDTRACK HIDUP? Karena Wahyu Sudiro menjadikan musik sebagai
soundtrack di hidupnya. Aku mulai mengaguminya sejak aku tahu band bernama
Jelly. Lalu aku lihat sosok Wahyu Sudiro di bagian dari Republik Cinta
Management itu biasa saja. Tapi setelah Moon 69 berubah menjadi The Moon dan
lagunya berjudul EMBUN berhasil membuatku jatuh cinta juga mendadak romantic. Entahlah.
Aku suka Wahyu Sudiro. Ups, ingat ya, bukan rasa suka yang berlebihan. Sebatas kagum
seorang penggemar. Bisa dibilang, seorang teman. :)