Selasa, 22 Oktober 2013

Afgansyah Reza - SABAR #SabarGan Cerpen 9



LOVE JOURNEY



Ini kisah cinta paling gokil yang pernah aku alami.

Baru beberapa minggu masuk sekolah, aku sudah berani menyatakan cinta pada salah satu kakak osis. Dengan lugu sambil membawa sebuah surat bertuliskan perasaanku, aku menghampiri kak Nirwan yang sedang duduk sendirian di ruang mading. Dari belakang, aku meyodorkan surat cinta itu.

“Aku suka sama kakak.”

Kakak itu menolehku dan aku tercekik. Auw, salah orang.

“Delisa. Kamu suka sama aku?”

Aku mati rasa, mati gaya, membisu. Surat cinta itu terlanjur diterima, dibuka, dibaca dan ditanggapinya dengan baik. Aaah bodoh, gerutuku dalam hati.

“Aku, aku juga suka sama kamu.”

Setelah itu, aku dan kak Tian jalan bersama menuju kantin. Selama di perjalanan, kak Tian banyak tanya. Aku bicara sedikit.

“Kok bisa sih kamu suka sama aku? Waktu orientasi tuh aku sering perhatiin kamu loh. Gak nyangka aja sekarang kita jadian.”

Aku hanya bisa berteriak dalam hati. Dimana kak Irwan?

Uh tidak tepat. Kak Nirwan datang di saat aku dan kak Tian lagi sok mesra.

“Tian, Delisa. Kok kalian akrab banget? Tanya kak Nirwan.

“Iya wan, gue sama Delisa baru jadian.”

“Oh. Selamat ya.” Kak Nirwan memegang bahu kak Tian. Aku memucat.

Lalu kak Nirwan pergi. Tubuhnya mendadak lesu, keningnya berkerut, tampangnya sedih, matanya kecewa dan dadanya sesak. Kak Tian memegang tanganku, aku hanya pasrah. Terlanjur salah sasaran. Tidak mungkin aku bilang ke kak Tian kalau aku salah orang. Sebenarnya surat itu buat kak Nirwan bukan kak Tian. Ah, bisa enyah. Malu tingkat langit ketujuh.

“Del, katanya kamu jadian sama kak Tian? Beneran?” Tanya Nita mengejutkanku di kelas.

“Iyaaa.”                                                                

“Lah kok bisa?”

“Aku salah orang ta.”

“Maksudnya?”

“Surat cinta yang aku tulis buat kak Nirwan. Malah aku kasih ke kak Tian.”

Nita menertawaiku terbahak-bahak. Aku cemberut.

“Tuhkan ih. Bukannya kasih solusi. Malah ketawa.”

“Abisan kamu lucu sih Del. Kok bisa salah orang sih? Kak Nirwan sama kak Tian kan beda.”

“Tapi dari belakang mereka agak mirip.”

“Makanya teliti. Hahahahahahaha gokil.”

“Sekarang gimana coba? Udah jadian sama kak Tian, dan semuanya tahu. Parah kan.”

“Gak papa, untung-untung terkenal. Kamu lagi jadi trending topic kakak-kakak kelas tuh. Mantabbb.”

“Huft. Nitaaa.” Aku membanting tangan ke meja.

Pulang sekolah. Aku bareng sama kak Tian. Motor sportnya membuatku salah tingkah.

“Pake helm ya.” Kak Tian memakaikan helm ke kepalaku.

Kak Nirwan melihat dari dekat parkiran. Aku makin pendiam.

“Yuk.” Ajak kak Tian.

Aku naik ke motor dengan kaku. Motor melaju dan mataku masih memandangi kak Nirwan. Setelah aku dan kak Tian tak terlihat lagi. Nita menghampiri kak Nirwan.

“Kak Nirwan.”

“Iya.”

“Kakak tadi lihatin siapa?”

“Delisa sama Tian.”

“Oh. Hhm, kakak cemburu ya?”

“Ah enggak.”

Kak Nirwan pergi begitu saja. Nita heran dan sedikit kesal.

Beberapa hari kemudian. Jam pelajaran olahraga. Praktek baseball. Aku tertabrak siswa yang sedang mengejar bola. Di uks, aku sadar dari pingsan. Dan menyenangkan, di sampingku ada kak Nirwan.

“Delisa, gimana keadaan kamu? Maaf ya, tadi temen sekelas kakak gak sengaja nabrak kamu.”

“Aku gak papa kok kak.” Aku malu-malu. Dag-dig-dug rasanya.

Nita datang merusak suasana.

“Delisaaa.” Teriak Nita.

“Aku keluar ya, aku harus ngebaseball lagi.”

“I-iya kak.”

Kak Nirwan keluar. Aku mengungkapkan kekesalan pada Nita.

“Ih Nitaaa. Tuhkan kak Nirwannya jadi pergi.”

“Yee maaf. Aku kan bawa ini buat kamu.”

Nita memberikanku makanan dan minuman.

“Eh del, tadi tuh ya, kak Nirwan yang gendong kamu sampe ke uks. Terus dia juga yang nungguin kamu sampe kamu sadar.”

“Hah serius? Aaah sumpah?”

“Iya sumpah.”

Aku gembira sekali. Tapi tiba-tiba teringat kak Tian.

“Kak Tian mana ta?”

“Loh aku gak tau. Kamu kan pacarnya.”

Aku bangkit lalu mencari kak Tian sampai ke sudut sekolah. Di taman dekat pinggir kolam ikan, kak Tian melamun.

“Kak Tian.”

“Hey.”

“Kak. Aku…”

Kak Tian memelukku. Lagi-lagi, ada kak Nirwan yang bersembunyi.

“Kamu gak papa kan?”

“Aku gak papa kak.”

“Lain kali jangan main di dekat anak-anak yang lagi baseball. Bahaya kayak tadi.”

“Iya kak.”

Aku kebingungan. Kak Tian tahu kalau aku pingsan tapi dia tidak menjengukku di uks. Dari seorang teman, katanya kak Tian sempat ingin menungguku, karena melihat ada kak Nirwan disitu, kak Tian langsung pergi lagi. Heuh.

Di suatu kesempatan, aku dan kak Nirwan bicara berdua.

“Kak.”

“Iya. Kenapa?”

“Gak papa.” Kataku tersenyum malu.

“Kamu lucu ya. Pantes Tian suka sama kamu.”

“Tapi aku sukanya sama kakak.” Ups aku keceplosan.

“Apa?”

“E-nggak kak.” Aku kabur.

Aku menceritakan lelucon itu pada Nita dan aku ditertawakan lagi. Nasib.

“Hahahahahahahaha delisa delisa. Kapan sih kamu jadi cewek beneran. Yang romantic kek gitu. Serius dikit napa. Padahal itu kesempatan kamu buat bilang soal surat cinta yang salah orang itu. Hahahahahaha”

“Nitaaa. Aku grogi. Salah tingkah terus. Malu tauuu. Rasanya tuh ya, deg-degan gitu.”

“Iya tau. Yaelah emang kamu doang apa yang lagi jatuh cinta. Hadeuh.”

Aku cengar-cengir.

Saat acara pentas seni berlangsung. Kak Nirwan dan bandnya menyanyikan sebuah lagu dari Afgan ‘SABAR’. Sebagai vokalis, kak Nirwan menghayati makna lagu itu dan membawa suasana haru bagi para pendengar. Begitu pun denganku. Aku terpesna dengan suara bagus kak Nirwan dan sosoknya yang aku sukai, selesai tampil, aku menghampiri kak Nirwan dengan semangat.

“Awesome kak.” Kataku.

“Makasih ya.” Katanya.

“Nih. Buat kakak.” Aku berikan minuman kaleng untuknya.

Kak Nirwan minum penuh haus. Aku terhipnotis pesonanya.

“Del. Deeel.”

“I-iya kak.”

“Nanti aku traktir makan di luar ya.”

“Wah iya iya.”

“Satu jam lagi aku tunggu di depan gerbang.”

“Okey.”

Kak Nirwan pergi. Aku ingat kak Tian, lalu cuek lagi. Kejam.

Sebelum satu jam yang dinantikan, ternyata Nita sudah menceritakan kisah surat cinta yang salah orang itu. Kak Tian pun akhirnya menerima dengan tetap tenang. Kak Nirwan lega. Di parkiran, Nita mempertemukanku dengan keduanya.

“Jadi, kita udah putus ya.” Kata kak Tian.

“Kak…”

“Aku gak papa del. Santai aja. Nirwan sahabat baik aku kok di kelas. Kita gak bakal berantem gara-gara kamu. Hehe” Kak Tian sok tegar padahal sakit.

“Ayo nit kita ke panggung lagi. Biar mereka bicara berdua aja disini.”

Nita dan kak Tian meninggalkanku dan kak Nirwan.

“Kak…”

“Aku tau. Aku tau dari dulu surat cinta itu buat aku.”

“Kok tau?”

“Iya. Kamu gak inget waktu pemilihan suara kakak osis yang paling disukai? Di kertas kecil kan seharusnya cuma boleh tulis satu nama yang artinya satu kata aja, gak lebih. Tapi kertas suara kamu, ada namaku dan kalimat-kalimat kamu suka banget sama akulah, bla-bla-bla.”

“Oh iyaaa. Hahahahahaha ih nyebelin. Jadi kertas suara aku itu kakak baca?”

“Iya. Aku sengaja cari kertas suara kamu, pengen tau aja.”

“Nyebelin nyebelin.”

Aku dirangkul kak Nirwan. Entah, hari itu sepertinya kita jadian. SEKIAN.

Afgansyah Reza - SABAR #SabarGan Cerpen 8



I LOVED YOU LIKE YOU LOVED ME


Sesuatu yang telah terjadi 8 tahun lalu, sosoknya kini kembali ada di hadapanku. Saat aku dan Sandy sedang bersenang-senang, Edo dan Yunita tiba-tiba muncul.

“Delisa, hai apa kabar?” Yunita memelukku penuh rindu.

Aku membisu ketika melihat seseorang di sampingnya, Edo, dia cinta pertamaku. Jadi, Edo sama Yunita, Yunita sahabatku. A banget rasanya. Aku tak percaya mengalami sakit yang begitu sulit aku terima sesaknya.

“Del, ini Edo. Edo sekarang pacar aku. Kita sudah mau empat tahun loh. Ingatkan?”

“I-iya. Aku ingat.”

Sejak perpisahan SD, aku dan Yunita sudah tidak pernah bertemu lagi. Terakhir kami bertemu saat ulang tahun Edo yang ke-12. Di pesta itu, aku memang melihat Edo selalu memperhatikan Yunita dengan lebih. Aku terlanjur menjuluki Edo sebagai cinta pertamaku karena Edo adalah orang pertama yang membuatku menjadi berbeda. Aku berubah karenanya.

“Ohya, ini siapa? Pacar kamu ya?” Tanya Yunita. (Seperti tidak punya dosa)

Padahal Yunita tahu aku sangat menyukai Edo waktu itu. Tapi aku tak tahu kronologisnya kenapa Yunita bisa berpacaran dengan Edo, sudah mau empat tahun pula, sudah lama ya. Heuuu.

“Sandy.”

“Yunita.”

Sandy dan Yunita berjabat tangan. Edo enggan membalas. Suasana hatinya rumit.

“Delisa, kapan-kapan main ya ke rumah. Sombong banget sih sekarang.”

“I-iya hhh.”

Aku senyum kecil dan itu pun terpaksa.

“Nita, balik yuk.” Seseorang berteriak.

“Iya iya. Del, aku pulang ya, See you again. Yuk sayang.”

Yunita mengajak Edo tapi Edo membatu. Yunita pun pergi duluan.

“Kamu pembohong.” Edo berbisik padaku lalu menyusul Yunita.

Aku sedih, air mata mulai menetes. Sandy memelukku dari belakang. Seharusnya Sandy marah, cemburu atau kesal karena melihat Edo. Edo yang masih ada di hatiku sampai saat ini. Dan Sandy tahu itu. Tapi dia berjiwa besar dan lapang dada. Dia justru menguatkanku untuk tetap sabar dan ikhlas. Bagaimanapun juga, Yunita itu sahabatku. Edo hanya cinta pertama yang artinya Yunita jauh lebih berharga daripada itu. Ah tetap saja, Yunita telah merebut Edo dariku. Aku kecewa.

Esok harinya. Aku bertemu lagi dengan Edo dan Yunita di sebuah restoran. Sial. Kenapa Yunita begitu jeli melihatku? Padahal aku sudah mengumpat, berusaha sembunyi dari mereka. Tapi ketahuan juga. Menyebalkan.

“Delisa. Aaa kita ketemu lagi.” Yunita memelukku sedikit lebay.

“I-iya. Kalian sedang apa?” Tanyaku sekuat hati.

“Kita abis makan siang. Kamu? Sendirian aja, Sandynya kemana?”

“Sandy masih di kampus. Aku lagi take a way aja.”

“Oh.”

Yunita sadar bahwa Edo menatapku dan ada cinta di dalamnya.

“Aku ke toilet sebentar ya.”

Yunita pergi. Edo mulai menghakimiku.

“Aku gak nyangka kita ketemu lagi setelah 8 tahun kamu menghilang.”

“Aku menghilang?”

“Iya. Surat cinta itu, buku diary itu, aku baru baca besoknya setelah pesta.”

“Oh baguslah.”

“Ingat isi buku diary itu? Semua yang kamu tulis di setiap halamannya. Disitu jelas kamu bilang aku cinta pertama kamu dan kamu gak tahu bisa jatuh cinta sama orang lain atau enggak. Sekarang, kamu sama cowok itu. Bulshit.”

“Asal kamu tahu ya do, aku gak bener-bener sayang sama Sandy. Sandy tahu itu kok. Sandy tahu masih ada kamu di hati aku. Tapi dia lapang dada, berjiwa besar. Dia dewasa. Dia menerima aku meski aku gak suka sama dia sedikitpun. Satu hal, cinta bisa datang belakangan selama belum terlambat.”

Aku meninggalkannya begitu saja.

Beberapa hari kemudian. Yunita menemuiku di rumah. Baru ku buka pintu, Yunita langsung memelukku erat sambil menangis. Yunita bilang dia dan Edo sudah putus. Edo memutuskannya setelah bertengkar hebat karena aku. Aku menjadi alasan Edo untuk menyakiti perasaan Yunita. Sekarang aku mengerti, Yunita punya cinta yang tulus buat Edo. Walaupu Edo menyia-nyiakannya seperti saat ini, tapi Yunita bijaksana. Yunita memintaku untuk tidak meninggalkan Sandy demi cinta pertama yang pernah mengabaikanku dulu.

“Nita terima, ini karma buat Nita del. Please maafin Nita ya.”

“Iya-iya. Udah kamu jangan nangis ya nit.”

Satu, dua hari berlalu. Aku memikirkan Sandy dan perasaannya. Aku jahat sekali. Aku belum bisa menyayanginya. Jujur, Edo masih menguasai ruang di hati aku. Meski aku menyisihkan satu ruang kecil untuk bisa dihuni Sandy, tapi nyatanya belum mudah. Ruang itu belum terbuka untuknya. Mungkin butuh waktu lama.

“Del. Ini makan siang dari Ibu. Dimakan ya.”

“Makasih ya.”

Setiap hari Sandy selalu memberiku bekal makan siang. Selalu mengantar-jemput, peduli denganku dan sangat perhatian. Aneh kalau aku belum menyukainya.

“Katanya Yunita sama Edo putus ya? Ciyeee kayaknya ada yang mau balikan nih.”

“Maksud kamu?”

“Iya. Ada kesempatan kan buat kamu sama Edo balikan?”

“Sandy, apaan deh. Aku sama Edo gak pernah jadian.”

“Setidaknya, kamu sama Edo bisa mulai jadian. Kan Edo sama Yunita udah putus. Edo kan cinta pertama kamu. Kayaknya Edo juga lagi berusaha keras buat ngejar kamu deh.”

“Apaan. Enggak. Udah ah jangan macem-macem ya. Atauuu.”

“Atau apa?”

“Atau aku jewer kamu kayak gini nih. Hahahahaha”

Aku menjewer telinga Sandy. Kami bercanda.

Malam harinya. Aku pulang sendiri dari rumah Bik Ida, selesai membawakannya obat-obatan. Bik Ida sakit karena kurang istirahat. Seseorang menyekapku. Aku panik. Di sebuah tempat, di atap gedung yang paling tinggi. Aku berdiri menyaksikan bulan dan bintang-bintang. Indah, tapi jadi buruk setelah aku lihat seseorang yang bersamaku. Edo. Heuh.

“Edo. Ih ngapain sih bawa aku kesini?”

“Gak boleh ya?”

“Enggak. Aku mau pulang.”

Edo menarik tanganku, aku lepaskan lalu diraihnya lagi.

“Aku mau jadi pacar kamu del.”

“Aku udah punya pacar.”

“Kamu gak sayang sama dia. Jadi buat apa?”

“Siapa bilang? Sekarang aku sayang sama dia.”

“Aku cinta sama kamu del, setelah aku tahu perasaan kamu ke aku dari buku diary dan surat cinta itu.”

“Itu masa lalu, Edo. Sekarang saat ini dan masa depan aku, aku bakalan tetep sama Sandy.”

“Kamu bohong.”

“I loved you like you loved me. Aku pernah mencintaimu seperti kamu mencintaiku. So, sekarang udah enggak.”

Aku membalikkan badan dan aaaaa. Aku terpeleset dan hampir jatuh ke bawah, beruntung Edo menarik kedua tanganku dengan cepat. Aku ketakutan, aku akan mati. Jatuh dari gedung, meyeramkan sekali, pikirku.

“Kamu sabar del, kamu pegang tangan aku kuat-kuat ya.”

“Iya. Edo, aku takut.” Aku menangis karena takutnya.

“Del, aku akan menyelamatkan kamu. Asal kamu mau jadi pacar aku.

“Apa? Kamu gila.” Aku hampir jantungan.

“Terserah kamu mau bilang apa. Aku mau kamu sama Sandy putus dan kita jadian.”

“Enggak.”

Edo melepaskan tangan kirinya. Dan aku teriak ketakutan.

“Lepasin lagi do, biar kamu puas lihat aku mati di hadapan kamu.”

“Kamu serius? Kamu gak mau aku selamatkan?”

“Lepas.” Kataku dengan tegas meski aku menangis ketakutan.

Dan… aku berada di dalam kamar. Aku dengar ketika itu aku pingsan. Lalu Edo menolongku dan membawaku ke rumah. Ternyata Edo tidak benar-benar mau aku mati. Syukurlah.

“Del. Minum dulu ya.” Sandy membantu aku minum.

“Aku gak jadi mati ya?”

“Hahahahaha. Sekang kamu disini kan?”

“Iya hehe. Edo mana san?”

“Dia di depan sama Yunita. Lagi ngobrol serius.”

Aku menatap Sandy penuh maaf. Lalu aku raih tubuhnya, aku peluk dan bilang terima kasih. Aku juga bilang kalau aku sudah menyayanginya.

Yunita, tetap sahabatku. Meski ada marah, kesal dan kecewa karena dia telah merebut Edo dariku, yang dia juga tahu kalau aku suka sama Edo. Tapi itu kan jamannya SD. Kini kami sudah dewasa, kami tahu mana yang terbaik dan yang seharusnya. Edo, keterlambatannya membaca surat cinta dan buku diaryku itu menjadikannya harus tega pada Yunita dan tak berhasil mendapatkanku. Sandy, sosok yang luar biasa. Menyayangiku dengan sabar, tulus dan ikhlas. Caranya membuatku terkesan dan merasa dicintai. Edo, aku pernah mencintaimu seperti kamu mencintaiku (I loved you like you loved me). Saat ini dan masa depan kita, aku dan Sandy, kamu dan Yunita. Ini yang terbaik untuk kita. Masa lalu mungkin takkan pernah terlupakan. Simpan saja rapi-rapi. SEKIAN.