TRAFFIC LOVE
“Neng.” Kenek
bus 45 arah Blok M menagih uang transport padaku.
Aku asik sendiri
menikmati suasana naik bus dengan sensasi rollercoaster.
Di pancoran, aku
turun. Lalu berjalan kaki menuju Tebet. Sebelumnya, sempat memotret keadaan
lalu lintas siang itu di lampu merah pancoran. Ada semangat anak-anak jalanan
yang sedang mencari nafkah sekedar untuk makan dan jajan. Ada tukang koran,
atraksi topeng monyet dan beberapa pengemis jalan. Aku juga lihat banyak orang
hilir mudik melakukan rutinitasnya sehari-hari. Santai saja, aku hanya ingin
mengunjungi seseorang di sebuah perumahan, setelah bertemu, aku akan pergi
lagi, pikirku begitu.
Ku tekan bel
sesekali, tak ada yang keluar menjawab. Sekali lagi, tak ada juga. Mungkin tidak
ada orang. Dengan cemberut dan sedikit kecewa, aku membalikkan badan dan
pulang. Tidak naik bus, aku naik kereta dari stasiun Manggarai menuju Bekasi. Siapa
sangka? Ternyata aku dan dia satu gerbong. Aku harap dia tak melihatku tapi
sialnya, dia menghampiriku dengan cepat.
“Hey. Darimana?”
Namanya Alif. Ya,
dia mantan pacarku, pacar pertama pula.
“Dari…” Aku
ragu.
“Katanya mau ke
rumah ketemu sama Mama, kapan?” Tanyanya lagi.
Menyebalkan. Baru
saja aku dari rumahmu. Gerutuku.
Kita sama-sama
berdiri, karena penumpang cukup ramai. Tak lama kemudian, Alif memegang
tanganku secara perlahan. Aku terima saja, ya, ini bentuk protes kita. Tak peduli
status kita saat ini. Alif merasakan kejanggalan, dilihatnya jari-jari
tanganku. Ada sebuah cincin putih dengan mata berlian terpasang cantik di jari
manisku. Pantas kalau Alif melepaskan dua tangan yang baru bersatu. Dia berhenti
di stasiun selanjutnya, wajahnya sangat kesal dan memendam emosi. Aku susul dan
ikuti. Langkahnya terlalu cepat namun aku bisa menyamai.
“Alif. Tunggu.”
“Kenapa lagi?”
“Aku…”
“Apa?”
Alif marah. Aku tidak
enak hati kalau bilang jujur padanya soal pernikahanku minggu depan.
“Tadi aku ke
rumah. Tapi gak ada orang.” Kataku pelan.
Alif mendekatiku.
“Terus?”
Tanyanya.
“Ini.”
Aku mengelurkan
sebuah undangan dari tasku, lalu aku berikan pada Alif. Diterimanya penuh
penat. Aldo dan Sintya. Minggu depan. Alif kecewa besar. Perasaannya hancur,
berantakan, retak berkeping-keping.
Alif merobek
kecil-kecil undangan pernikahanku itu lalu dilemparnya tepat ke wajahku. Lalu dia
pergi.
“Alif.”
Dia berhenti
melangkah dan kembali ke arahku.
“Sintya. Cukup. Jangan
ganggu aku. Aku akan berpikir keras bagaimana merebutmu nanti sebelum kamu
benar-benar menikah dengannya.”
“Alif. Jangan gila.”
“Kenapa?”
“Aldo butuh aku.
Aku harus menikah dengannya.”
“Kamu kira aku
enggak? Hey, Sintya, enam tahun kita pacaran, sama-sama pacar pertama dan
sekarang masing-masing gitu aja. Gak bisa.”
“Kita harus
terima kenyataannya, Alif. Kita gak jodoh.”
“Bulshit.” Alif
marah padaku.
Di sebuah rumah
sakit, tempat Aldo dirawat karena mengidap kanker hati. Aku memperlihatkan pada
Alif tentang apa yang sebenarnya telah terjadi. Alif sempat tidak percaya
setelah aku ceritakan semua, antara aku dan Aldo sebenarnya hanya sebatas
sahabat saja tapi karena Aldo mencintaiku dan keinginan Aldo adalah menikah
denganku, aku terpaksa menerima lamaran orang tua Aldo.
Beberapa minggu
sebelumnya, sebelum Aldo masuk rumah sakit.
“Kejutaaan.”
Aldo datang ke
rumahku membawa banyak bunga. Lalu aku mengajaknya ke kamar dan Aldo
menjatuhkan bunga-bunga itu. Melihat isi kamarku penuh dengan foto-fotoku
bersama Alif, puisi cinta dan burung-burung kertas di langit-langit. Mulai keluar
darah dari hidung Aldo, saat itu aku membawanya ke rumah sakit dan mengetahui
bahwa dia mengidap kanker hati. Tiga hari dirawat, Aldo menyatakan perasaannya
padaku. Meski sakit-sakitan dan seperti akan meninggal dunia, Aldo berusaha
kuat dan bertahan hidup untukku. Aku kagum dan terharu. Aldo membutuhkanku. Karena
aku yang sangat disayanginya. Mungkin aku bisa menjadi perempuan paling berguna
kalau aku benar bisa membahagiakannya. Begitu dalam benakku. Tanpa memikirkan
Alif, aku hanya focus pada kesembuhan Aldo.
Alif tak karuan,
dia bingung campur sedih, marah, kesal, emosi dan ada kasihan juga pada Aldo.
“Terserah kamu.”
Kata Alif.
Hari pernikahanku
telah datang. Aku dan Aldo resmi suami-isteri. Meski Aldo belum sadarkan diri. Aku
yakin Aldo bahagia karena berhasil memilikiku. Di luar sana, Alif amburadul,
rumit, berantakan. Dia menghancurkan seisi kamarnya sampai kacau. Seminggu, dua
minggu, tiga minggu, sebulan terlewati. Aku menjadi isteri yang baik. Menunggu Aldo
seharian. Shalat dan berdoa, mengaji dan makan di dalam kamar rawat Aldo. Senantiasa
menanti kehendak Allah SWT kalaupun nanti Aldo bangun dari komanya.
Tiba-tiba Alif
datang. Membangunkanku yang tertidur duduk di dekat Aldo.
“Sintya.”
“I-iya. Alif.”
Alif menarikku
keluar. Lalu aku lepaskan dan sedikit menghindar.
“Maaf. Kamu harus
menghormati aku sebagai isteri orang.” Kataku.
“Hah? Iya ya? Aku
lupa tuh.”
“Alif, jangan
begitu. Aku punya suami.”
“Aku tahu.”
Tegas Alif.
Aku tengok ke arah
Aldo dan… detak jantungnya berhenti. Aldo pun meninggal dunia. Suasana duka
menyelimutiku dan keluarga. Ada rasa bersalah di hati Alif. Beberapa bulan
kemudian. Aku dinyatakan cerai mati dengan Aldo. Keluarga Aldo mengijinkanku
untuk menikah lagi, termasuk dengan Alif. Aku bingung dan sedikit ragu.
Berbulan-bulan
aku menjalani hidup sendiri, sebagai isteri Aldo yang tidak pernah melakukan
apa-apa untuk suami sendiri. Aku menikmati lalu lintas cintaku dan Alif. Hingga
kami pun dikaruniai dua orang anak yang masih kecil-kecil dan sangat lucu. Ya,
aku menikah dengannya setelah aku mulai mantabkan hati untuknya bersamanya
lagi. Aldo, kamu suami pertamaku. Alif, cinta pertama, pacar pertama dan suami
terakhirku. Kalian adalah cinta sejati dalam hidup. SEKIAN.