SABARLAH CINTAKU
Email
masuk dari Safaa. Dirga langsung membacanya.
(Malam
ini pertunanganku dengan Ardo. Dirga, aku harap kamu kembali sebelum aku
benar-benar menjadi miliknya. Please.)
Dirga
menangis selayaknya laki-laki yang sedih karena kekasihnya akan bertunangan
dengan orang lain. Jarak antara Boston dan Jakarta itu tidak dekat. Mau nekad
pulang sekarang pun tidak bisa. Harus tunggu besok. Sebuah pesta telah membakar
perasaan Safaa. Pertunangan terpaksanya dengan Ardo tidak mungkin dicegah atau
dibatalkan karena orang tua Safaa terlanjur terlibat proyek besar yang harus
mengorbankan Safaa sebagai imbalannya.
Ardo
bukan laki-laki yang baik. Dia mudah marah dan kasar. Di depan orang tua,
keluarga atau sahabat, Ardo memperlakukan Safaa dengan lembut dan sangat manis.
Tapi di belakang, Safaa seperti boneka yang bisa dimainkan sesuka hatinya,
dipeluk, dicium, dilempar, dibuang bahkan dirusak. Meskipun sengsara dan
menderita, Safaa tidak menceritakan dukanya itu pada Dirga. Yang Dirga tahu
hanya keterpaksaan Safaa untuk mau dijodohkan dengan Ardo.
Di
Massachussets Institude of Technology (Boston, AS), Dirga berkuliah. Suaranya
yang berciri khas, bagus dan punya karakter membuatnya diterima baik sebagai
Penyanyi disana. Kabarnya, Dirga sudah memiliki album dan akan dirilis resmi di
Jakarta, Indonesia. Inspirasinya adalah IBU dan Safaa. Lagu-lagunya kaya
tentang perempuan. Kecintaannya pada IBU dan rasa sayangnya yang penuh pada
Safaa ternyata sangat memotivasinya dalam menjalani hidup. Terlebih soal kisah
cintanya dengan Safaa yang tidak direstui orang tua Safaa. Dirga selalu
berusaha dan berdoa, kelak Safaa akan menjadi miliknya seutuhnya.
“Sekarang
kamu milik aku. Aku gak mau lihat kamu deket-deket sama cowok lain lagi. Ingat,
kalau kamu berani tebar pesona atau kecentilan, aku bisa bunuh kamu.” Tegas
Ardo pada Safaa di pojok ruangan setelah acara pertunangan.
“Do.
Aku gak tebar pesona, aku gak kecentilan.”
“Gak
perlu ngebela. Aku mau kamu rapi-rapi jaga diri kamu dan jangan pernah bikin
aku kecewa. Okey.”
Ardo
ingin mencium Pipi Safaa tapi Safaa buang muka. Ardo sadar kalau Safaa tidak
menyukainya dan Safaa sudah memiliki pacar saat akan dijodohkan dengannya. Tapi
Ardo tidak peduli. Dia tetap ingin memiliki Safaa dan menjauhinya dari Dirga.
“Dirga.
Please cepat pulang.” Safaa menangis.
Beberapa
hari kemudian. Di rumah tidak ada orang, Safaa sendirian. Ardo datang dan minta
dibuatkan kopi panas. Safaa menyediakannya, saat ingin diberikan, segelas kopi
itu tumpah membasahi tangan Safaa. Ardo sengaja menyenggolnya.
“Huh
sorry.” Kata Ardo.
“Kamu
sengaja ya?” Tanya Safaa mulai kesal dan tak sabar.
“Eh
aku gak sengaja.” Jawab Ardo lebih kesal.
“Bohong.”
Tegas Safaa.
Ardo
memegang lengan Safaa dengan keras. Safaa kesakitan.
“Jangan
pernah bilang kalau aku bohong. Ngerti.”
“Sakit
do. Lepasin.”
Lalu
Ardo pergi. Safaa bergegas ke westafle, mencuci kedua tangannya yang sudah
memerah. Beruntung kopi itu tidak jadi diseduh dengan air panas yang baru
masak. Safaa pakai air panas yang sudah dari pagi. Tidak terlalu mengerikan
untuknya.
Safaa
melihat jam dinding yang ada di dapur. Pukul 14.00, Dirga sudah istirahat. Saatnya
cek email balasan dari Dirga.
(Sabar
sayang. Aku pulang minggu depan. Kamu baik-baik ya disana. Kalau Ardo
macam-macam sama kamu, tolong kasih tahu dan cerita sama aku. I miss you dear.)
Air
mata Safaa tak bisa berhenti, bahkan semakin deras. Seminggu sama dengan
setahun kalau ada Ardo. Setelah diceburkan ke kolam renang, ditinggal di
pinggir jalan, didorong sampai jatuh, dicekik hampir dibunuh, baru saja diguyur
kopi panas, nanti apalagi?
“Aku
baik-baik aja Dirga. Aku gak apa-apa. Kamu yang semangat ya disana, jaga
kesehatan. Miss you sayaaang.” Balasan terkirim.
Keesokan
harinya.
“Tangan
kamu kenapa sayang?” Tanya Ibu.
Kamar
Safaa masih penuh dengan nuansa hubungannya dengan Dirga. Boneka-boneka, puisi,
surat cinta, frame, foto-foto, jam dinding, langit-langit dengan bintang dan
bulan, semua ulah Dirga.
“Gak
papa ma. Kemarin gatal-gatal.” Jawab Safaa ragu.
“Ini
kok kayak kena air panas?” Ibu curiga.
Bel
berbunyi. Itu pasti Ardo. Safaa ketakutan dan berusaha menghindar.
“Bu,
kalau itu Ardo, bilang aku lagi tidur ya. Please bu.”
“Kenapa?
Kamu kan ada janji makan siang di luar sama dia.”
“Aku
ngantuk bu. Please bu, bilang kalau aku ketiduran.”
“I-iya
sayang.”
Safaa
pura-pura tidur. Ibu menemui Ardo.
“Nak
Ardo.”
“Ibu.”
Ardo mencium tangan Ibu.
“Safaanya
baru aja tidur do. Kayaknya gak bisa ikut makan siang.”
“Oh
gitu. Sebentar.”
Ardo
menghampiri orang tuanya di mobil.
“Bu
Lisa, ayo gak apa-apa kalau Safaa gak ikut makan siang. Kita saja.” Teriak Ibu
Rahma, Ibunya Ardo.
“Iya
bu. Ardo tunggu di dalem aja sampe Safaa bangun.”
“Bener
nak Ardo?”
“Iya
bu. Ibu pergi aja sama Papa sama Mama.”
“Oke
kalau gitu. Titip Safaa ya nak. Ibu pergi.”
“Iya.”
Mereka
pergi. Ardo punya rencana jahat lagi. Menyelinap masuk ke kamar dan tahu kalau
Safaa membohonginya.
“Heh.
Bangun kamu. Pura-pura tidur lagi. Aku gak suka.” Teriak Ardo.
Melihat
sebuah frame foto Safaa dan Dirga berdua, Ardo mengambilnya dengan muak.
“Atau
aku banting foto ini dan semua barang-barang disini.” Ancamnya.
Safaa
langsung bangkit dan berusaha merebut foto di tangan Ardo.
“Jangan
do. Jangan dibanting.”
“Hoo
bener ya kamu pura-pura tidur. Dasar pembohong.”
Retak
kaca bingkai itu. Hancur dilempar Ardo.
Di
asrama. Dirga sedang membuat lagu. Tiba-tiba perasaannya tidak enak. Dia mengambil
handphone dan menelepon Safaa. Beberapa kali tidak bisa, keempat kalinya bisa. Handphone
Safaa ada di atas tempat tidur. My Boyfriend memanggil. Ardo menyekap Safaa.
“My
Boyfriend.” Ucap Ardo.
Safaa
ingin meraih handphonenya tapi tidak sampai. Ardo memeluknya erat sampai sesak.
“Coba
ambil kalau bisa.”
“Ardo
lepas do. Jangan jahat sama aku. Udah cukup.”
“Cukup
kamu bilang? Asal kamu tahu ya, aku yang seharusnya minta kamu untuk cukup,
sudahi urusan kamu dan cowok itu. Kamu kan tunangan aku dan calon isteri aku
nanti. Aku gak mau tahu, kamu gak boleh berhubungan lagi sama dia. Okey.”
Safaa
terlempar. Ardo membanting handphone Safaa dan Dirga khawatir karena
panggilannya mendadak mati.
“Ardo.”
Safaa kesal, marah, sedih, menyaksikan handphonenya sudah hancur dan rusak.
Ardo
menarik rambut Safaa dengan kuat.
“Kenapa?
Sedih ya gak bisa angkat telepon pacarnya? Kasihan.”
“Kamu
jahat Ardo. Aku benci sama kamu.”
“Ohya,
terus kamu bisa apa? Bisa lihat Papa kamu tidak punya pekerjaan? Perusahaannya aku
rebut lagi atau rumah kamu yang aku sita. Pilih mana Safaa sayang?”
Entah
penyiksaan apalagi yang terjadi saat itu. Ini sudah seminggu, Dirga belum juga
muncul. Safaa membuka email dan membaca pesan.
(Aku
pulang sayang. Jam 07 malam aku jemput ya. See you my lovely.)
Lirik
jam dinding di kamar. Sudah lewat satu jam. Safaa segera meluncur ke pintu
gerbang di depan rumahnya. Seseorang ada disana. Berdiri tegak dengan seikat
bunga di tangan. Safaa memeluknya penuh kerinduan.
“Dirgaaa.
Aku kangen banget sama kamu.”
Air
mata yang menetes di pipi Safaa membuat Dirga merasa ada sesuatu yang telah
terjadi. Bukan karena kerinduan Safaa padanya.
“Hey,
sayang, kamu kenapa?”
“Aku
gak apa-apa.”
“Kamu
jangan bohong. Kamu nangis. Aku gak suka.”
“Aku
kangen sama kamu.”
“Selain
itu?”
“Gak
ada.”
Safaa
terus memeluk Dirga sampai lega di hatinya mulai lapang.
Besoknya.
Dirga ke rumah Safaa tapi diusir orang tuanya. Kedua kali, diusir juga. Ketiga kalinya,
Dirga menculik Safaa dan ketahuan. Orang tua Safaa berniat melaporkan Dirga ke
polisi tapi Safaa mencegah sebisanya. Sebuah syarat diajukan, Dirga harus
menjauhi Safaa karena Safaa akan menikah dengan Ardo bulan depan. Safaa
menyetujuinya asal Dirga tidak dipenjarakan.
Beberapa
hari sebelum hari pernikahan Safaa dan Ardo, Dirga menemui Safaa diam-diam di
kantornya.
“Dirga.
Kamu ngapain kesini? Disini ada Ayah sama Ardo. Kalau kamu ketahuan nanti kamu
bisa kena marah.”
“Aku
gak mau kamu nikah sama Ardo.”
“Aku
juga gak mau.”
“Aku
sayang sama kamu.”
Safaa
memeluk Ardo lalu mengajaknya keluar dan mereka bicara berdua di atap gedung. Senja
tampak lebih indah. Karena senja tahu ada dua orang yang saling mencintai. Dirge
menyanyikan sebuah lagu yang dibuat khusus untuk Safaa.
Sabar
Sabarlah
cintaku
Hanya
sementara kau harus dengannya
Kau
harus bersamanya kini
Sabar
Sabarlah
cintaku
Takkan
selamanya
Karena
sebenarnya kau tahu sesungguhnya aku
Aku
yang paling kau cinta
Aku
yang paling kau mau
Rahasiakan
aku sedalam-dalamnya cintamu
Aku
yang pasti kau cinta
Aku
yang pasti kau mau
Selamanya
dihidupmu
Aku
kekasihmu
Safaa
bersandar di bahu Dirga. Damai dan nyaman sekali. Perasaannya jauh lebih tenang
dibandingkan saat bersama Ardo. Dalam Precious Moment itu, segala kekerasan yang
telah Ardo lakukannya, diingatnya kembali. Tanpa berani menceritakannya pada
Dirga.
Oh
dangerous. Hari pernikahan Safaa dan Ardo. Terjadilah. Dirga menjadi salah satu
tamu undangan, sakiiit. Dan dia tidak berbuat apa-apa selain menyaksikan
kekasihnya dipinang orang lain.
Teringat
kenangan saat ulang tahun Safaa yang mereka rayakan di Cibodas.
“Tahun
depan ya.” Kata Dirga.
“Apa?”
“Kita
nikah.”
“Iyaaa.”
“Aku
ke Boston buat masa depan aku dan kamu juga.”
“Iya
sayang.”
“Nih.”
Dirga memberikan sepasang cincin.
Mereka
saling memasangkannya di jari manis tangan sebelah kiri.
“Happy
Birthday ke-23 Safaanya Dirga.” Dirga mencium kening Safaa.
Kini
cincin bagian Dirga masih melekat rapi dijarinya. Safaa sudah punya cincin yang
baru. Entah cincin darinya dikemanakan.
Beberapa
bulan kemudian. Dirga merilis album perdananya di Senayan. Banyak tamu undangan
dan fans yang hadir. Dirga disambut sangat hangat oleh penikmat music di
Indonesia. Namanya dikenal di dalam negeri bahkan di Boston juga wilayah
Amerika Serikat. Dirga telah mencapai suksesnya dalam bidang tarik suara.
Meskipun jauh di hatinya, ada kesedihan yang amat menekan. Safaa yang gagal
dimilikinya, masih sangat diharapkan kembali bisa bersamanya. Hopefully.
Di
hari istimewa dan bahagia itu, Safaa datang sendirian ke acara Dirga. Safaa
berpenampilan lebih cantik dan berbeda dari biasanya, hanya untuk Dirga. Di lagu
berjudul Sabar, Dirga melihat sosok perempuan yang dicintainya berdiri di
antara banyak orang yang mengaguminya. Ada bingung, senang, heran dan deg-degan,
Dirga tetap menyanyikan lagu itu sampai selesai. Lalu dia menghampiri Safaa.
“Safaa.”
“Dirga.”
Dirga
meraih tubuh Safaa.
“Kenapa
kamu gak bilang kalau kamu kesini?” Tanya Dirga.
“Aku
sama Ibu sama Ayah.”
Dirga
terkejut. Safaa menuntunnya ke depan pintu gedung. Bertemu Ibu dan Ayah Safaa. Dirga
mencium tangan mereka dengan santun.
“Ibu,
Ayah. Safaa, bagaimana dengan Ardo?”
“Aku
sudah bercerai.”
“Iya
nak Dirga. Ardo sudah menceraikan Safaa karena paksaan kami. Kami salah, kami
baru tahu kalau ternyata Ardo itu sering menyiksa Safaa beberapa minggu lalu.”
“Menyiksa?
Apa? Maksudnya?”
Dirga
panik, dia langsung membolak-balikan badan Safaa, melirik dari ujung rambut
sampai ujung kaki. Takut Safaa kenapa-kenapa.
“Aku
gak apa-apa.”
“Kamu
diapain sama Ardo faa? Bilang sama aku? Kenapa kamu gak cerita selama ini?”
“Udah
berlalu. Lupain ya.”
“Iya
nak Dirga. Sudahlah. Biar ini menjadi pelajaran buat kami.” Ujar Ibu.
“Ayah
minta maaf ya kalau selama ini ayah jahat sama kamu. Sering mengusir kamu
setiap datang ke rumah.” Sambung Ayah.
“Gak
apa-apa ayah. Aku gak pernah ngerasa ayah itu jahat.”
“Yang
penting sekarang, kamu sama Safaa kembali lagi seperti dulu. Ya?” Kata Ibu.
Dirga
merangkul Safaa.
“Pasti
bu. Aku gak akan biarkan Safaa hidup bersama orang yang salah.”
“Jadi
kapan kalian menikah?” Tanya Ayah.
Ada
canda-tawa di bagian akhir kegiatan peluncuran album pertama itu.
Launching
First Album Dirga berjalan sukses dan luar biasa. Selain mendapat penghargaan
dari albumnya, Dirga juga memiliki fans setia dan tentunya telah disatukan
kembali dengan Safaa, mantan pacar alias isterinya. SEKIAN
Note :
1. Lagu tema Afgansyah
Reza – SABAR.
2. Cerita terinspirasi
dari lagu Afgansyah Reza – SABAR.
3. Nama tokoh disamarkan.
4. Hak Cipta ini
sepenuhnya milik Penulis – DELISA NOVARINA.
5. Apabila ada kesamaan
tokoh, alur dan cerita, mohon maaf. Ini real karya Penulis. Tidak mencontek
atau memplagiat karya orang lain.
6. Untuk yang ingin
mengopypaste, harap ijin terlebih dahulu pada Penulis. Sertakan pula sumbernya
(Blog ini).
TERIMA KASIH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar