CINTA
PERTAMA
A Photo by DAVICHI
“Taniaaa.”
Sasa memeluk sahabatnya.
“Sasa.
Loe kenapa? Kok seneng banget?”
“Yang
harusnya seneng itu elo bukan gue.”
“Loh
kenapa?”
Sasa
duduk di samping Tania yang sedang berpacaran dengan laptopnya.
“Nih.”
Selembar
kertas kecil bertuliskan satu nomor telepon.
“Nomor
siapa nih?” Tanya Tania.
“Ravi.”
Tania
terkejut.
“Hah.
Ravi? Kok bisa?”
“Tania.
Tadi gue makan di restoran biasa terus gue ketemu Ravi lagi take a way, bungkus
buat Mamanya katanya. Terus sempet ngobrol gitu dan dia ngajak loe dinner ntar
malem. Mau ya tan?”
“Sasa.
Loe tau kan gue punya Ahsan, jadi gue gak boleh deket sama siapapun, apalagi
sama Ravi.”
“Tapi
tan, loe udah 4 tahun gak ketemu sama dia. Ya udahlah, cuma sebatas silaturahim
sama temen SMA aja kok gak lebih.”
“Hhh.
Gimana sama Ahsan?”
“Tenang
deh, itu urusan gue. Gue jamin Ahsan gak bakalan tau. Okey.”
“Iyaaa.”
Empat
tahun lalu, saat perpisahan SMA. Di panggung wisudaan, Tania menyatakan
perasannya pada Ravi. Hal yang membuat Tania sakit bukanlah karena Ravi telah
menolaknya, tapi karena Ravi ingin berkuliah di Boston. Selama empat tahun
tanpa komunikasi, Tania menelan nama Ravi dalam-dalam ke hatinya. Meski kini
dirinya telah bersama Ahsan, yang baru dipacarinya dua bulanan. Jujur, Ravi
masih menjadi penguasa pikirannya. Sebagai cinta pertama, Ravi belum mudah
dilupakan. Padahal Ahsan sangat menyayangi Tania, entahlah! Mungkin Ahsan
memang bukan orang yang bisa membuat Tania move on.
Jam
07 malam. Tania sudah duduk rapi dan tertib di Delisious Café. Sasa mengumpat
di pojok café dekat barista. Ravi datang dengan seorang perempuan yang
mengandengnya mesra.
“Hay
tan.”
Tania
terpaku, bukan karena ketampanan Ravi tapi karena seseorang di sampingnya.
“Ha-y.”
Tania membendung sesak di dadanya.
“Apa
kabar?”
“Alhamdulillah
baik.”
Mereka
bersalaman.
“Tan,
ini Indri, calon isteri aku.”
A
banget rasanya. Tania ingin menangis sekeras mungkin. Tapi ia masih sok tegar.
“Oh,
iya. Hallo. Tania.”
“Indri.”
Sasa
menepuk jidatnya. Bodoh, dalam hati.
“Tania,
I’m sorry beibh.” Pelan Sasa.
Tania,
Ravi dan Indri duduk bersama. Hening, sepertinya Ravi tahu kalau Tania
kesakitan.
“Ini,
undangan pernikahan kita. Kamu datang ya kak.” Kata Indri.
Sebuah
undangan yang cantik dan menyedihkan itu diterima Tania dengan paksa. Terpaksa pura-pura
biasa saja.
“Iya.
Insya allah dateng ya.” Kata Tania dengan ragu.
“Sebentar
aku ada telepon.” Ravi ijin lalu keluar.
Tania
sembunyi mengusap air matanya yang tidak sengaja jatuh.
“Kakak
ingat aku?”
“Siapa
ya?”
“Aku
Indri kak. Yang waktu kakak selesai diwisuda, aku peluk kakak dan ngucapin
selamat.”
Tania
ingat. Jadi, Indri yang ini adalah adik kelas yang waktu itu peluk Tania
tiba-tiba. Pantas, Indri peluk Tania seakan ada sesuatu. Ternyata mereka sudah
berhubungan sejak itu. Hebat ya. Bisa gak ada yang tahu.
“Kamu,
jadi kamu yang waktu itu…”
“Iya
kak.”
“Oh,
ya, selamat ya.”
“Iya
kak makasih ya. Pokoknya aku mau kakak dateng ke pernikahan aku sama Ravi. Karena
dulu aku itu ngidolain kakak banget. Surat-surat yang sampai di mading, puisi
sama cerpen aku yang kepilih terbit di mading, itu semua buat kakak.”
Tania
ingat lagi. Surat-surat pengagum rahasia yang tertuju untuknya waktu itu banyak
banget. Tulisannya sama. Jadi, itu dari Indri. Terus puisi sama cerpen yang
waktu itu ada memo pesan khusus untuk Tania, itu juga karya Indri. Oh my…God.
“Kenapa
kamu suka banget sama aku?”
“Gak
tau kak. Temen-temen aku pada suka sama anak osis cowok, tapi aku sukanya sama
kakak. Jangan negative ya kak. Bukannya lesbian. Tapi aku tuh suka aja gitu
sama kakak. Hehe.”
Sasa
menggerutu di persembunyiannya.
“Aduh,
adik kelas gak tau diri nih. Itu si Tania mantan Ravi tauuu. Oon nih ah. Kalau masih
SMA, gue ospek lagi loe. Mateee.”
Tak
lama, Ravi kembali.
“Eh
tadi aku udah pesen loh, gak papa ya?”
Tania
dan Indri mengangguk.
“Duh
sorry banget ya. Kayaknya aku harus balik deh, soalnya Sasa barusan sms, dia
udah nunggu di rumah.”
“Kok
buru-buru banget tan?” tanya Ravi.
“Iya
sorry ya.”
“Yah
kak. Kenapa?”
“Gak
papa kok. Kasihan Sasa udah nunggu. Sorry ya. Assalamualaikum.”
Tania
jalan lambat karena lemas. Tubuhnya belum sanggup menerima kenyataan kalau
cinta pertamanya direbut adik kelas.
“Indri,
kamu tunggu disini sebentar ya. Aku mau susul Tania.”
“Iya.”
Ravi
membelai rambut calon isterinya penuh kasih sayang. Lalu ia berlari menyusul
Tania.
“Tania.
Sebentar.” Panggil Ravi.
Tania
mengusap air matanya yang berkecuran.
“Kamu
nangis?”
“Eng-gak.”
“Aku
minta maaf ya.”
“Buat
apa?”
“Buat
ini.”
“Gak
papa.”
“Tania.
Please jangan kaku sama aku. Aku tahu aku tetap cinta pertama kamu dan aku gak
mau kamu lupain itu.”
“Udahlah
rav, jangan bicara soal itu lagi.”
“Karena
Indri.”
“Ya,
karena Ahsan juga.”
“Ahsan.
Ahsan senior kita yang kapten basket itu?”
“Iya.”
“Kamu
sama dia. Taniaaa, aku gak tau gimana perasaan aku saat ini. Aku harap yang
terbaik buat kita.”
“Yang
terbaik adalah aku sama Ahsan dan kamu sama Indri. Simple.”
Indri
mendengar pembicaraan karena dia berdiri lama di dekat pintu.
Beberapa
hari kemudian. Indri membatalkan pernikahan saat sedang di dalam mobil bersama
Ravi. Ravi kehilangan kendali karena sangat terkejut. Kecelakaan pun tak dapat
dicegah. Indri koma. Ravi luka-luka biasa dan akan cepat sembuh. Di rumah
sakit, kedua keluarga tak satupun yang tahu tentang hal yang menyebabkan
kecelakaan. Semua murni diduga akibat Ravi terkantuk saat mengemudi.
Tania
membaca surat-surat dari Indri di waktu SMA. Tentang kesukaan Indri pada Tania.
Karena Tania yang apa adanya, tegas dan pemberani. Tania juga mandiri, pintar
menulis, disenangi banyak guru, teman, suka bergaul, baik hati. Setiap lembar
surat itu menjatuhkan penyesalan di benak Tania. Kalau saja ia tidak membahas
masa lalunya dengan Ravi malam itu, pasti Indri tidak akan membatalkan
pernikahannya dan terjadi kecelakaan seperti ini.
“Tan.
Udah ya, jangan nangis terus. Mendingan sekarang kita ke rumah sakit deh. Kita jenguk
Indri. Siapa tahu nanti dia baikan. Ya?” Sasa menenangkan hati Tania.
“Ini
salah gue ya sa. Gue egois.”
“Jangan
gitu dong tan. Kan gue yang awalnya bikin loe sama Ravi ketemu lagi. Gue jadi merasa
bersalah juga.”
Mereka
berpelukan mengeluarkan sesal. Di rumah sakit, Tania dan Sasa juga Ahsan,
mereka menjenguk Indri. Satu pesan masuk dari Nadha dibaca Sasa. Sebuah MMS. Gambar
yang diambil dari facebook. Berisi status Indri kemarin.
-Aku
akan mengembalikan sepasang cinta pertama yang sempat ku pisahkan. Maaf, apapun
yang terjadi, kalian memang ditakdirkan untuk bersama.-
“Indri
bilang dia gak mau jahat sama kakak kelas idolanya. Dia juga minta aku buat
balik sama kamu.” Kata Ravi.
Tania
memegang erat tangan Ahsan.
“Ini
status facebooknya Indri kemarin.” Sasa memperlihatkan MMS tadi ke Tania.
Tania
menangis keras. Sebagai perempaun, ia juga bisa merasakan apa yang dirasakan
Indri saat ini. Meskipun perasaannya juga sakit.
“Aku
gak tau aku harus gimana. Intinya yang aku tau, aku harus lepas kamu tan. Seperti
Indri, yang berjiwa besar dan sangat hebat.”
“Ahsan.”
“Tania.
Aku sayang sama kamu, aku mau kamu jadi yang terakhir buat aku. Tapi aku gak
bisa paksa takdir Tuhan. Aku harus berhenti cinta sama kamu. Karena ada orang
yang bisa menyayangi kamu lebih dari aku.”
Ahsan
memegang tangan Tania dan Ravi lalu menyatukannya. Tania memeluk Ahsan sebagai
tanda maaf dan terima kasih.
Beberapa
minggu kemudian. Indri mulai sembuh. Ravi dan Tania merawatnya penuh cinta. Juga
Sasa dan Ahsan yang selalu menemani. Mereka selalu bersama di setiap ada waktu.
Mereka ke sekolah dan bertemu dengan siswa-siswi disana. Memberikan motivasi
dan inspirasi kepada anak-anak osis. Berbagi ilmu dan pengalaman. Bercerita,
bermain, seru-seruan. Tepat di hari pernikahan Ravi dan Tania. Indri menjadi
sangat cantik sekali. Ia didandani Sasa dan Ahsan curi kesempatan. Lelucon yang
Ahsan dan Indri timbulkan menjadi sebuah harapan kalau Indri tidak rapuh, justru
ada semangat baru yang berbeda dan membuat Indri ceria kembali. SEKIAN.
Salah satu sosok yang memotivasi Penulis (DELISA NOVARINA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar