Sabtu, 19 Oktober 2013

Afgansyah Reza - SABAR #SabarGan Cerpen 7


DINDA DAN DANDI

 

Dinda dan Dandi sudah bersahabat sejak kecil. 15 tahun bersama, mereka sangat akrab bahkan kedekatan mereka sering dikira bahwa mereka sepasang kekasih. Padahal, itu persahabatan mereka yang terbukti hangat dan sehat.

“Din, loe tuh ya, gak boleh jutek sama cowok yang suka sama loe. Ntar gak ada yang naksir baru tahu rasa loh. Hahahahahaha.”

Dandi meledeknya. Dinda pun menghentikan ayunannya dengan kedua kaki membumi.

“Eh gue tuh bukannya jutek. Gue cuma gak suka aja dilebay-lebayin kayak gitu. Apaan coba. Nembak pake bunga, ada surat cinta segala terus bawa anak-anak buat mohon supaya gue terima. Ih.”

Dinda pergi. Dandi menyusul dan meninggalkan dua ayunan kesayangan mereka di taman komplek.

“Kok ngambek din?”

“Enggak. Siapa yang ngambek.”

“Itu bibirnya mengkerut?”

“Hah. Enggak kok. Seksi gini bibir gue. Wee.”

“Ciyeee udah dewasa tuh.”

“Maksud loe?”

“Iya. Udah ngerti kayaknya. Hahahahaha”

“Dandiii. Isss awas loe ya.”

Beberapa hari kemudian. Seperti hari-hari biasanya. Dimana ada Dandi, disitu pasti ada Dinda. Selain mereka duduk sebangku, mereka juga tetanggaan. Dan yang lebih parahnya lagi, apapun tentang Dinda, Dandi tahu. Begitu sebaliknya.

Jam istirahat. Dandi makan berdua sama Yara, adik kelasnya. Di kantin, Dinda yang sedang mencari Dandi, akhirnya melihat kekejaman itu. Ya, kekejaman karena tega tidak mengajak Dinda makan bareng juga. Sedih.

Sepulang sekolah, di perjalanan ke rumah, Dinda diam saja. Dandi tidak sadar, ia asik sendiri dengan handphonenya sambil ketak-ketik sms daritadi. Sesekali melirik sahabatnya. Lalu cuek.

“Dan. Elo ih, gue lagi bête tau.”

“Kenapa sih? Lagi dapet loe ya?”

“Kok tau?”

“Iyalah. 15 tahun kita temenan, 15 tahun sista. Dari umur 2 tahun dan di saat gue udah bisa main game, loe bisanya cuma nangis minta-minta game sama kayak punya gue. Hahahahaha. Kocak.”

“Dandi nyebelin, ih, nyebelin nyebelin.”

Dinda memukul bahu Dandi berulang kali. Lagi-lagi mereka bercanda di pinggir jalan. Sudah biasa.

Keesokan harinya. Di ruang mading. Dinda membereskan kertas-kertas bekas rubrik mading minggu lalu. Dandi datang langsung merepotkannya, mengganggu bahkan membuat kertas-kertasnya berantakan. Runyam semua. Dinda kesal.

“Ah rese loe dan. Beresin tuh semua.”

Dinda membanting tumpukan kertas di tangannya lalu keluar dari ruangan. Dandi heran. Padahal Dandi sering mengganggunya, tapi Dinda tidak pernah marah. Dinda selalu membalas kejahilannya dengan kejahilan juga bukan dengan marah seperti yang barusan. Dandi mengejar Dinda sampai melupakan kertas-kertas yang berhamparan itu. Lupakan.

“Dinda. Loe kenapa sih? Perut loe sakit? Ya udah sih ke UKS dulu minum obat.”

Mata Dinda berkaca-kaca. Hello, gue kesal sama loe karena loe dekat-dekat sama Yara terus. Dalam hatinya.

“Gue gak mau minum obat. Gue maunya makan. Makan loe.”

“Hah. Dinda, loe kejam.”

“Bodo.”

Dinda berlari pergi. Dandi tak niat mengejar. Biarkan saja.

Pulang sekolah hari ini, Dinda menghilang. Dandi pun pulang bersama Yara. Meski jalan kaki tapi tak terasa lelah sama sekali. Justru, Dandi berharap waktu bisa berjalan lebih lambat agar ia bisa dekat dengan Yara lebih lama lagi.

“Kak Dinda kemana kak? Biasanya kakak sama kak Dinda terus.”

“Gak tau tuh ra. Dindanya tiba-tiba ngilang.”

“Hhm. Udah pulang duluan kali kak.”

“Mungkin, soalnya tadi dia lagi sakit gitu. Lagi dapet.”

“Ooh.”

Ternyata Dinda di belakang mereka. Dandi seperti tidak punya dosa. Menoleh sedikit pun tidak. Menyebalkan.

“Enak ya, berduaan. Guenya ditinggal. Padahal tadi gue ke UKS dulu ngambil obat. Gue balik udah gak ada. Bagus-bagus. Lupain aja gue buat satu jam ke depan. Awas ya kalau ntar sore ketok-ketok pintu rumah gue. Gak gue bukain.” Dinda menggerutu.

Sore harinya.

“Dinda. Assalamualaikum.”

Pintu rumah terbuka.

“Waalaikumsalam. Eh mas ganteng. Cari non Dinda ya mas?”

Bik Ida, assistant rumah tangga di rumah Dinda.

“Iya bik Ida. Dindanya mana bik?”

“Ada di kamarnya. Tadi dipesenin kalau mas Dandi dateng, bilangin non Dindanya gak ada. Lagi pergi sama cowok.” Bik Ida keceplosan.

“Hahahahahahaha thank you bik Ida yang kece badai.”

Dandi langsung sigap masuk ke rumah menuju kamar Dinda.

“Loh loh loh. Mas ganteng.” Bik Ida panik.

Di kamar. Dinda sedang mengisi buku diarynya. Dandi tiba-tiba datang, Dinda  bergegas menyembunyikan diary itu.

“Ciyeee kata Bik Ida loe jalan sama cowok. Siapa?”

“Renaldi.”

“Anak dua belas B itu?”

“Iya.

“Katanya dia lebay, nembak loe pake bunga, loe gak suka, gimana sih?”

“Kata loe gue gak boleh jutek. Ya jadi gue terima ajakan dia buat jalan ntar jam 5.”

Dandi melirik jam di tangan kirinya.

“Setengah jam lagi dong. Dih, mau kemana loe? Mau pulang jam berapa? Ntar dimarahin nyokap baru tau rasa.”

“Peduli apa sama gue? Bukannya loe udah ada Yara ya. Ya udahlah, gue cabut dulu. Bye bye friend.”

Dinda pergi dan menutup pintu kamarnya cukup keras.

Hari minggu. Hari libur yang biasanya diisi Dinda dan Dandi dengan bersepeda bersama di pagi hari sampai menjelang sore. Keliling kota Jakarta, dari Cikini sampai Senayan. Tapi minggu ini, Dandi sepedaan sendiri. Dinda kabarnya sudah pergi dengan Renaldi. Entah kemana, Bik Ida benar-benar tidak tahu.

Di salah satu lampu merah besar di Senayan. Sebuah mobil hitam mewah itu memperlihatkan sosok Dinda bersama Renaldi sebagai pengemudinya. Saat lampu hijau, Dandi berusaha mengejar mobil hitam itu. Sekuat tenaganya, sepenuh semangatnya, Dandi bisa berada di depan mobil itu hingga akhirnya mereka menepi dan saling turun dari kendaraan mereka masing-masing.

“Dandi. Apa-apan sih loe. Ih, bahaya tau.”

“Din, loe kemana aja sih? Kok gak bilang kalau hari ini gak ikut sepedaan?”

“Duh sorry. Gue ada janji sama Renaldi.”

Renaldi kebingungan mengetahui ban mobilnya ada yang bocor.

“Dinda, ban mobil aku bocor.” Teriak Renaldi.

Dandi menghampiri Renaldi.

“Re, Dinda balik sama gue. Loe urus mobil loe sendiri ya. Thanks.” Kata Dandi.

Sambil menarik tangan Dinda untuk memaksanya pulang dan naik ke sepedanya, Dandi merasa lega. Selama di perjalanan, Dinda tidak berhenti bicara, tersiksanyaaa.

“Loe ngomong apa sih din daritadi?”

“Dandiii. Kejam loe sama Renaldi. Bannya lagi bocor malah ditinggalin.”

“Ya lagian siapa suruh dia bawa loe kabur dari gue.”

“Dih emang siapa loe? Bukan urusan loe juga kalai kalau gue mau jalan sama siapapun.”

“Iya bukan urusan gue. Tapi seenggaknya, hari ini kan jadwalnya loe sepedaan sama gue.”

“Udah sering kali dandi. Gue bosen.”

Sssss. Ban sepeda belakang kempes.

“Hahahahahahaha. Kuwalat loe sama Renaldi.” Ujar Dinda.

“Kok ban gue ikut-ikutan kempes sih?” Heran Dandi.

Mereka turun dari sepeda dan hanya bisa memandangnya penuh sakit. Sakit kalau pulang harus jalan kaki dari Senayan  ke Cikini, ditambah harus menuntun sepeda itu. Lemah.

Tepat di hari ulang tahun Dinda yang ke-17 tahun. Dandi memberi kejutan di sekolah dengan membawa birthday’s cake besar dan kado teddy bear setinggi tubuh Dinda. Lalu di rumah, Dandi mengubah kamar Dinda menjadi lautan burung kertas. 1111 burung kertas menyimbolkan tanggal lahir Dinda yaitu 11 November.  Aww, Dandi sweet banget. Pikir Dinda.

“Gue gak tau gue harus ngomong apa sama loe dan.” Kata Dinda.

Di taman biasa tempat mereka berayunan. Dinda dan Dandi menikmati masanya.

“Gak usah ngomong apa-apa sih. Gue cuma ada satu permintaan aja.”

“Apa?” Tanya Dinda penuh cita.

Dinda yakin Dandi pasti memintanya jadi pacar dan mereka akan benar-benar akan bersama selamanya.

“Jangan pernah lupain gue ya meskipun gue gak di dekat loe.”

Huft yah. Dikira apaan.

“Enggaklah dan. Gue gak mungkin lupain loe. Sedikitpun enggak.”

Dandi tersenyum manis. Aduh, tampannya. Baru sadar. Oow.

Beberapa minggu berlalu. Dandi tidak masuk sekolah sudah tiga hari. Katanya, ia sekeluarga pulang kampung ke Palembang. Dinda tidak percaya karena status facebook Dandi masih di daerah khusus ibukota Jakarta.

Di pasar. Dinda bertemu dengan assistant rumah tangga Dandi.

“Ibu. Bu, Dandi kemana?”

“Non Dinda.” Ibu Asih terkejut.

“Kok ibu kaget gitu ketemu aku?”

“Enggak non.”

Di rumah sakit. Dandi tak berdaya. Satu hal yang lenyap darinya. Sebuah keceriaan. Dinda menangis berjerit. Perasaannya sangat sedih. Seorang sahabat yang dari kecil selalu ada di sampingnya, kemanapun Dinda pergi, selalu ada. Kini terbaring lemah berbeda pada kenyataan sebelumnya. Tak ada senyum Dandi, ocehannya, ledekannya, semua berhenti. Dinda sesal karena tak tahu bahwa Dandi selama ini punya penyakit jantung.

“Kenapa? Kenapa kamu gak pernah bilang sama aku kalau kamu sakit? 15 tahun menjadi sia-sia karena satu hari, hari ini. Kenapa dandi?”

Orang tua Dandi, Ibu Asih dan Yara menyaksikan haru kisah persahabatan Dinda dan Dandi yang baru hari ini mereka rasakan betapa besarnya kasih sayang seorang sahabat. Beberapa menit kemudian, Renaldi datang bersama Bik Ida dan orang tua Dinda. Mereka muncul dengan tenang dan ikut bersedih.

“Kok kamu diem aja sih? Jawab dong. Kamu tega ya, kamu kejam tau gak. Aku sendirian terus udah berminggu-minggu. Aku nunggu kabar dari kamu dan, sahabat aku. Tapi kok, aku kayak dianggap ya. Kenapa sih dan?”

Dinda histeris karena pedih yang amat dalam. Sedih karena Dandi sakit, sedih karena Dinda selama ini tidak tahu dan sedih karena rasa rindu. Ibu Dinda memeluk Dinda, menenangkan perasaannya dan berusaha meyakinkan Dinda bahwa Dandi hanya sakit yang bisa cepat sembuh.

“Ma, Dandi jahat sama aku ma.”

“Enggak sayang. Dandi Cuma sakit biasa, nanti Dandi sembuh. Kamu istighfar sayang.”

“Dandi jahat sama Dinda. Dinda gak tau kalau Dandi sakit.”

Mendengar sesak tangis dan jeritan suara Dinda, air mata Dandi menetes lembut. Dinda pun mematung. Semua yang ada di ruangan tak menyangka.

“Dandi. Kamu nangis? Hey, kamu cowok. Kamu gak boleh nangis. Kamu pernah bilang kan sama aku kalau kamu paling gak suka lihat orang nangis. Tapi sekarang kamu? Kamu cengeng.”

Renaldi memegang bahu Dinda. Ia peduli dengan keadaan Dinda lahir batin.

“Din, udah ya, kita keluar dulu. Dandi mau diperiksa dokter.” Bujuk Renaldi.

Dua dokter dan tiga suster muncul.

Dinda menolak ajakan Renaldi, tapi Renaldi memaksanya hingga Dinda pun bisa dibawa keluar ruangan dan mulai tenang. Tak lama, Dandi meninggal. Ruangannya menjadi lautan kesedihan orang-orang tersayang. Dinda menangis histeris lagi.

Selesai dimakamkan. Banyak karangan bunga dan ucapan turut berduka mengelilingi penguburan Dandi. Dinda menatap kosong sebuah nisan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Dandi meninggal di saat usianya akan 18 tahun. Tepat di hari ulang tahunnya, itu hari ketujuh kepergiannya. Dinda memberi kejutan di makam Dandi. Satu paket bunga dan buku diary Dinda, diletakannya di bawah nisan.

“Aku jatuh cinta sama sahabat aku sendiri. Itu gak salahkan?”

Renaldi dan Yara ada di belakang Dinda. Tapi Dinda bicara pada Dandi.

“Kak dinda. Sebenarnya kak Dandi juga suka sama kakak. Selama ini, kak Dandi deket sama aku itu karena kak Dandi curhat sama aku. Dia cerita tentang perasaannya, sama kakak.” Ungkap Yara dengan lapang dada.

“Apa?”

“Iya. Kakak adalah sahabat sekaligus cinta pertamanya kak Dandi.”

Dinda menangis terpukau dan ada sesal.

“Aku sadar din. Kamu sama Dandi itu sama-sama cinta. Tapi persahabatan kalian yang sudah dari kecil membuat rasa enggan untuk saling memiliki. Karena kalian gak mau persahabatan kalian hancur kalau-kalau perasaan itu cuma ada di salah satu pihak.”

“Kak. Ceria lagi ya. Kak Dandi pasti lebih seneng deh lihat kak Dinda kayak dulu lagi.”

Kesekian kalinya, Dinda tak bisa menahan air mata yang jatuh deras di pipinya.

“Kamu akan tetap ada di samping aku kan dan? Selalu jadi yang pertama buat aku. Jagain aku, lindungin aku. Please jangan pernah benar-benar pergi dari hidup aku. Cukup raga kamu aja. Aku belum bisa anggap kamu udah gak ada. Aku gak tau aku harus sepedaan lagi apa enggak. Pulang sekolah jalan kaki sama siapa? Aku sendirian dandi. Aku sendiri.”

Yara memeluk Dinda dan Renaldi memegang tangan Dinda. Mereka adalah sahabat baru buat Dinda. Dandi, always be my baby. SEKIAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar