I LOVED YOU LIKE YOU LOVED ME
Sesuatu
yang telah terjadi 8 tahun lalu, sosoknya kini kembali ada di hadapanku. Saat
aku dan Sandy sedang bersenang-senang, Edo dan Yunita tiba-tiba muncul.
“Delisa,
hai apa kabar?” Yunita memelukku penuh rindu.
Aku
membisu ketika melihat seseorang di sampingnya, Edo, dia cinta pertamaku. Jadi,
Edo sama Yunita, Yunita sahabatku. A banget rasanya. Aku tak percaya mengalami
sakit yang begitu sulit aku terima sesaknya.
“Del,
ini Edo. Edo sekarang pacar aku. Kita sudah mau empat tahun loh. Ingatkan?”
“I-iya.
Aku ingat.”
Sejak
perpisahan SD, aku dan Yunita sudah tidak pernah bertemu lagi. Terakhir kami
bertemu saat ulang tahun Edo yang ke-12. Di pesta itu, aku memang melihat Edo
selalu memperhatikan Yunita dengan lebih. Aku terlanjur menjuluki Edo sebagai
cinta pertamaku karena Edo adalah orang pertama yang membuatku menjadi berbeda.
Aku berubah karenanya.
“Ohya,
ini siapa? Pacar kamu ya?” Tanya Yunita. (Seperti tidak punya dosa)
Padahal
Yunita tahu aku sangat menyukai Edo waktu itu. Tapi aku tak tahu kronologisnya
kenapa Yunita bisa berpacaran dengan Edo, sudah mau empat tahun pula, sudah
lama ya. Heuuu.
“Sandy.”
“Yunita.”
Sandy
dan Yunita berjabat tangan. Edo enggan membalas. Suasana hatinya rumit.
“Delisa,
kapan-kapan main ya ke rumah. Sombong banget sih sekarang.”
“I-iya
hhh.”
Aku
senyum kecil dan itu pun terpaksa.
“Nita,
balik yuk.” Seseorang berteriak.
“Iya
iya. Del, aku pulang ya, See you again. Yuk sayang.”
Yunita
mengajak Edo tapi Edo membatu. Yunita pun pergi duluan.
“Kamu
pembohong.” Edo berbisik padaku lalu menyusul Yunita.
Aku
sedih, air mata mulai menetes. Sandy memelukku dari belakang. Seharusnya Sandy
marah, cemburu atau kesal karena melihat Edo. Edo yang masih ada di hatiku sampai
saat ini. Dan Sandy tahu itu. Tapi dia berjiwa besar dan lapang dada. Dia justru
menguatkanku untuk tetap sabar dan ikhlas. Bagaimanapun juga, Yunita itu
sahabatku. Edo hanya cinta pertama yang artinya Yunita jauh lebih berharga
daripada itu. Ah tetap saja, Yunita telah merebut Edo dariku. Aku kecewa.
Esok
harinya. Aku bertemu lagi dengan Edo dan Yunita di sebuah restoran. Sial. Kenapa
Yunita begitu jeli melihatku? Padahal aku sudah mengumpat, berusaha sembunyi
dari mereka. Tapi ketahuan juga. Menyebalkan.
“Delisa.
Aaa kita ketemu lagi.” Yunita memelukku sedikit lebay.
“I-iya.
Kalian sedang apa?” Tanyaku sekuat hati.
“Kita
abis makan siang. Kamu? Sendirian aja, Sandynya kemana?”
“Sandy
masih di kampus. Aku lagi take a way aja.”
“Oh.”
Yunita
sadar bahwa Edo menatapku dan ada cinta di dalamnya.
“Aku
ke toilet sebentar ya.”
Yunita
pergi. Edo mulai menghakimiku.
“Aku
gak nyangka kita ketemu lagi setelah 8 tahun kamu menghilang.”
“Aku
menghilang?”
“Iya.
Surat cinta itu, buku diary itu, aku baru baca besoknya setelah pesta.”
“Oh
baguslah.”
“Ingat
isi buku diary itu? Semua yang kamu tulis di setiap halamannya. Disitu jelas
kamu bilang aku cinta pertama kamu dan kamu gak tahu bisa jatuh cinta sama
orang lain atau enggak. Sekarang, kamu sama cowok itu. Bulshit.”
“Asal
kamu tahu ya do, aku gak bener-bener sayang sama Sandy. Sandy tahu itu kok.
Sandy tahu masih ada kamu di hati aku. Tapi dia lapang dada, berjiwa besar. Dia
dewasa. Dia menerima aku meski aku gak suka sama dia sedikitpun. Satu hal,
cinta bisa datang belakangan selama belum terlambat.”
Aku
meninggalkannya begitu saja.
Beberapa
hari kemudian. Yunita menemuiku di rumah. Baru ku buka pintu, Yunita langsung
memelukku erat sambil menangis. Yunita bilang dia dan Edo sudah putus. Edo memutuskannya
setelah bertengkar hebat karena aku. Aku menjadi alasan Edo untuk menyakiti perasaan
Yunita. Sekarang aku mengerti, Yunita punya cinta yang tulus buat Edo. Walaupu Edo
menyia-nyiakannya seperti saat ini, tapi Yunita bijaksana. Yunita memintaku
untuk tidak meninggalkan Sandy demi cinta pertama yang pernah mengabaikanku
dulu.
“Nita
terima, ini karma buat Nita del. Please maafin Nita ya.”
“Iya-iya.
Udah kamu jangan nangis ya nit.”
Satu,
dua hari berlalu. Aku memikirkan Sandy dan perasaannya. Aku jahat sekali. Aku belum
bisa menyayanginya. Jujur, Edo masih menguasai ruang di hati aku. Meski aku
menyisihkan satu ruang kecil untuk bisa dihuni Sandy, tapi nyatanya belum
mudah. Ruang itu belum terbuka untuknya. Mungkin butuh waktu lama.
“Del.
Ini makan siang dari Ibu. Dimakan ya.”
“Makasih
ya.”
Setiap
hari Sandy selalu memberiku bekal makan siang. Selalu mengantar-jemput, peduli
denganku dan sangat perhatian. Aneh kalau aku belum menyukainya.
“Katanya
Yunita sama Edo putus ya? Ciyeee kayaknya ada yang mau balikan nih.”
“Maksud
kamu?”
“Iya.
Ada kesempatan kan buat kamu sama Edo balikan?”
“Sandy,
apaan deh. Aku sama Edo gak pernah jadian.”
“Setidaknya,
kamu sama Edo bisa mulai jadian. Kan Edo sama Yunita udah putus. Edo kan cinta
pertama kamu. Kayaknya Edo juga lagi berusaha keras buat ngejar kamu deh.”
“Apaan.
Enggak. Udah ah jangan macem-macem ya. Atauuu.”
“Atau
apa?”
“Atau
aku jewer kamu kayak gini nih. Hahahahaha”
Aku
menjewer telinga Sandy. Kami bercanda.
Malam
harinya. Aku pulang sendiri dari rumah Bik Ida, selesai membawakannya
obat-obatan. Bik Ida sakit karena kurang istirahat. Seseorang menyekapku. Aku panik.
Di sebuah tempat, di atap gedung yang paling tinggi. Aku berdiri menyaksikan
bulan dan bintang-bintang. Indah, tapi jadi buruk setelah aku lihat seseorang
yang bersamaku. Edo. Heuh.
“Edo.
Ih ngapain sih bawa aku kesini?”
“Gak
boleh ya?”
“Enggak.
Aku mau pulang.”
Edo
menarik tanganku, aku lepaskan lalu diraihnya lagi.
“Aku
mau jadi pacar kamu del.”
“Aku
udah punya pacar.”
“Kamu
gak sayang sama dia. Jadi buat apa?”
“Siapa
bilang? Sekarang aku sayang sama dia.”
“Aku
cinta sama kamu del, setelah aku tahu perasaan kamu ke aku dari buku diary dan
surat cinta itu.”
“Itu
masa lalu, Edo. Sekarang saat ini dan masa depan aku, aku bakalan tetep sama
Sandy.”
“Kamu
bohong.”
“I
loved you like you loved me. Aku pernah mencintaimu seperti kamu mencintaiku. So,
sekarang udah enggak.”
Aku
membalikkan badan dan aaaaa. Aku terpeleset dan hampir jatuh ke bawah,
beruntung Edo menarik kedua tanganku dengan cepat. Aku ketakutan, aku akan
mati. Jatuh dari gedung, meyeramkan sekali, pikirku.
“Kamu
sabar del, kamu pegang tangan aku kuat-kuat ya.”
“Iya.
Edo, aku takut.” Aku menangis karena takutnya.
“Del,
aku akan menyelamatkan kamu. Asal kamu mau jadi pacar aku.
“Apa?
Kamu gila.” Aku hampir jantungan.
“Terserah
kamu mau bilang apa. Aku mau kamu sama Sandy putus dan kita jadian.”
“Enggak.”
Edo
melepaskan tangan kirinya. Dan aku teriak ketakutan.
“Lepasin
lagi do, biar kamu puas lihat aku mati di hadapan kamu.”
“Kamu
serius? Kamu gak mau aku selamatkan?”
“Lepas.”
Kataku dengan tegas meski aku menangis ketakutan.
Dan…
aku berada di dalam kamar. Aku dengar ketika itu aku pingsan. Lalu Edo
menolongku dan membawaku ke rumah. Ternyata Edo tidak benar-benar mau aku mati.
Syukurlah.
“Del.
Minum dulu ya.” Sandy membantu aku minum.
“Aku
gak jadi mati ya?”
“Hahahahaha.
Sekang kamu disini kan?”
“Iya
hehe. Edo mana san?”
“Dia
di depan sama Yunita. Lagi ngobrol serius.”
Aku
menatap Sandy penuh maaf. Lalu aku raih tubuhnya, aku peluk dan bilang terima
kasih. Aku juga bilang kalau aku sudah menyayanginya.
Yunita,
tetap sahabatku. Meski ada marah, kesal dan kecewa karena dia telah merebut Edo
dariku, yang dia juga tahu kalau aku suka sama Edo. Tapi itu kan jamannya SD.
Kini kami sudah dewasa, kami tahu mana yang terbaik dan yang seharusnya. Edo,
keterlambatannya membaca surat cinta dan buku diaryku itu menjadikannya harus
tega pada Yunita dan tak berhasil mendapatkanku. Sandy, sosok yang luar biasa. Menyayangiku
dengan sabar, tulus dan ikhlas. Caranya membuatku terkesan dan merasa dicintai.
Edo, aku pernah mencintaimu seperti kamu mencintaiku (I loved you like you
loved me). Saat ini dan masa depan kita, aku dan Sandy, kamu dan Yunita. Ini
yang terbaik untuk kita. Masa lalu mungkin takkan pernah terlupakan. Simpan saja
rapi-rapi. SEKIAN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar