Selasa, 22 Oktober 2013

Afgansyah Reza - SABAR #SabarGan Cerpen 8



I LOVED YOU LIKE YOU LOVED ME


Sesuatu yang telah terjadi 8 tahun lalu, sosoknya kini kembali ada di hadapanku. Saat aku dan Sandy sedang bersenang-senang, Edo dan Yunita tiba-tiba muncul.

“Delisa, hai apa kabar?” Yunita memelukku penuh rindu.

Aku membisu ketika melihat seseorang di sampingnya, Edo, dia cinta pertamaku. Jadi, Edo sama Yunita, Yunita sahabatku. A banget rasanya. Aku tak percaya mengalami sakit yang begitu sulit aku terima sesaknya.

“Del, ini Edo. Edo sekarang pacar aku. Kita sudah mau empat tahun loh. Ingatkan?”

“I-iya. Aku ingat.”

Sejak perpisahan SD, aku dan Yunita sudah tidak pernah bertemu lagi. Terakhir kami bertemu saat ulang tahun Edo yang ke-12. Di pesta itu, aku memang melihat Edo selalu memperhatikan Yunita dengan lebih. Aku terlanjur menjuluki Edo sebagai cinta pertamaku karena Edo adalah orang pertama yang membuatku menjadi berbeda. Aku berubah karenanya.

“Ohya, ini siapa? Pacar kamu ya?” Tanya Yunita. (Seperti tidak punya dosa)

Padahal Yunita tahu aku sangat menyukai Edo waktu itu. Tapi aku tak tahu kronologisnya kenapa Yunita bisa berpacaran dengan Edo, sudah mau empat tahun pula, sudah lama ya. Heuuu.

“Sandy.”

“Yunita.”

Sandy dan Yunita berjabat tangan. Edo enggan membalas. Suasana hatinya rumit.

“Delisa, kapan-kapan main ya ke rumah. Sombong banget sih sekarang.”

“I-iya hhh.”

Aku senyum kecil dan itu pun terpaksa.

“Nita, balik yuk.” Seseorang berteriak.

“Iya iya. Del, aku pulang ya, See you again. Yuk sayang.”

Yunita mengajak Edo tapi Edo membatu. Yunita pun pergi duluan.

“Kamu pembohong.” Edo berbisik padaku lalu menyusul Yunita.

Aku sedih, air mata mulai menetes. Sandy memelukku dari belakang. Seharusnya Sandy marah, cemburu atau kesal karena melihat Edo. Edo yang masih ada di hatiku sampai saat ini. Dan Sandy tahu itu. Tapi dia berjiwa besar dan lapang dada. Dia justru menguatkanku untuk tetap sabar dan ikhlas. Bagaimanapun juga, Yunita itu sahabatku. Edo hanya cinta pertama yang artinya Yunita jauh lebih berharga daripada itu. Ah tetap saja, Yunita telah merebut Edo dariku. Aku kecewa.

Esok harinya. Aku bertemu lagi dengan Edo dan Yunita di sebuah restoran. Sial. Kenapa Yunita begitu jeli melihatku? Padahal aku sudah mengumpat, berusaha sembunyi dari mereka. Tapi ketahuan juga. Menyebalkan.

“Delisa. Aaa kita ketemu lagi.” Yunita memelukku sedikit lebay.

“I-iya. Kalian sedang apa?” Tanyaku sekuat hati.

“Kita abis makan siang. Kamu? Sendirian aja, Sandynya kemana?”

“Sandy masih di kampus. Aku lagi take a way aja.”

“Oh.”

Yunita sadar bahwa Edo menatapku dan ada cinta di dalamnya.

“Aku ke toilet sebentar ya.”

Yunita pergi. Edo mulai menghakimiku.

“Aku gak nyangka kita ketemu lagi setelah 8 tahun kamu menghilang.”

“Aku menghilang?”

“Iya. Surat cinta itu, buku diary itu, aku baru baca besoknya setelah pesta.”

“Oh baguslah.”

“Ingat isi buku diary itu? Semua yang kamu tulis di setiap halamannya. Disitu jelas kamu bilang aku cinta pertama kamu dan kamu gak tahu bisa jatuh cinta sama orang lain atau enggak. Sekarang, kamu sama cowok itu. Bulshit.”

“Asal kamu tahu ya do, aku gak bener-bener sayang sama Sandy. Sandy tahu itu kok. Sandy tahu masih ada kamu di hati aku. Tapi dia lapang dada, berjiwa besar. Dia dewasa. Dia menerima aku meski aku gak suka sama dia sedikitpun. Satu hal, cinta bisa datang belakangan selama belum terlambat.”

Aku meninggalkannya begitu saja.

Beberapa hari kemudian. Yunita menemuiku di rumah. Baru ku buka pintu, Yunita langsung memelukku erat sambil menangis. Yunita bilang dia dan Edo sudah putus. Edo memutuskannya setelah bertengkar hebat karena aku. Aku menjadi alasan Edo untuk menyakiti perasaan Yunita. Sekarang aku mengerti, Yunita punya cinta yang tulus buat Edo. Walaupu Edo menyia-nyiakannya seperti saat ini, tapi Yunita bijaksana. Yunita memintaku untuk tidak meninggalkan Sandy demi cinta pertama yang pernah mengabaikanku dulu.

“Nita terima, ini karma buat Nita del. Please maafin Nita ya.”

“Iya-iya. Udah kamu jangan nangis ya nit.”

Satu, dua hari berlalu. Aku memikirkan Sandy dan perasaannya. Aku jahat sekali. Aku belum bisa menyayanginya. Jujur, Edo masih menguasai ruang di hati aku. Meski aku menyisihkan satu ruang kecil untuk bisa dihuni Sandy, tapi nyatanya belum mudah. Ruang itu belum terbuka untuknya. Mungkin butuh waktu lama.

“Del. Ini makan siang dari Ibu. Dimakan ya.”

“Makasih ya.”

Setiap hari Sandy selalu memberiku bekal makan siang. Selalu mengantar-jemput, peduli denganku dan sangat perhatian. Aneh kalau aku belum menyukainya.

“Katanya Yunita sama Edo putus ya? Ciyeee kayaknya ada yang mau balikan nih.”

“Maksud kamu?”

“Iya. Ada kesempatan kan buat kamu sama Edo balikan?”

“Sandy, apaan deh. Aku sama Edo gak pernah jadian.”

“Setidaknya, kamu sama Edo bisa mulai jadian. Kan Edo sama Yunita udah putus. Edo kan cinta pertama kamu. Kayaknya Edo juga lagi berusaha keras buat ngejar kamu deh.”

“Apaan. Enggak. Udah ah jangan macem-macem ya. Atauuu.”

“Atau apa?”

“Atau aku jewer kamu kayak gini nih. Hahahahaha”

Aku menjewer telinga Sandy. Kami bercanda.

Malam harinya. Aku pulang sendiri dari rumah Bik Ida, selesai membawakannya obat-obatan. Bik Ida sakit karena kurang istirahat. Seseorang menyekapku. Aku panik. Di sebuah tempat, di atap gedung yang paling tinggi. Aku berdiri menyaksikan bulan dan bintang-bintang. Indah, tapi jadi buruk setelah aku lihat seseorang yang bersamaku. Edo. Heuh.

“Edo. Ih ngapain sih bawa aku kesini?”

“Gak boleh ya?”

“Enggak. Aku mau pulang.”

Edo menarik tanganku, aku lepaskan lalu diraihnya lagi.

“Aku mau jadi pacar kamu del.”

“Aku udah punya pacar.”

“Kamu gak sayang sama dia. Jadi buat apa?”

“Siapa bilang? Sekarang aku sayang sama dia.”

“Aku cinta sama kamu del, setelah aku tahu perasaan kamu ke aku dari buku diary dan surat cinta itu.”

“Itu masa lalu, Edo. Sekarang saat ini dan masa depan aku, aku bakalan tetep sama Sandy.”

“Kamu bohong.”

“I loved you like you loved me. Aku pernah mencintaimu seperti kamu mencintaiku. So, sekarang udah enggak.”

Aku membalikkan badan dan aaaaa. Aku terpeleset dan hampir jatuh ke bawah, beruntung Edo menarik kedua tanganku dengan cepat. Aku ketakutan, aku akan mati. Jatuh dari gedung, meyeramkan sekali, pikirku.

“Kamu sabar del, kamu pegang tangan aku kuat-kuat ya.”

“Iya. Edo, aku takut.” Aku menangis karena takutnya.

“Del, aku akan menyelamatkan kamu. Asal kamu mau jadi pacar aku.

“Apa? Kamu gila.” Aku hampir jantungan.

“Terserah kamu mau bilang apa. Aku mau kamu sama Sandy putus dan kita jadian.”

“Enggak.”

Edo melepaskan tangan kirinya. Dan aku teriak ketakutan.

“Lepasin lagi do, biar kamu puas lihat aku mati di hadapan kamu.”

“Kamu serius? Kamu gak mau aku selamatkan?”

“Lepas.” Kataku dengan tegas meski aku menangis ketakutan.

Dan… aku berada di dalam kamar. Aku dengar ketika itu aku pingsan. Lalu Edo menolongku dan membawaku ke rumah. Ternyata Edo tidak benar-benar mau aku mati. Syukurlah.

“Del. Minum dulu ya.” Sandy membantu aku minum.

“Aku gak jadi mati ya?”

“Hahahahaha. Sekang kamu disini kan?”

“Iya hehe. Edo mana san?”

“Dia di depan sama Yunita. Lagi ngobrol serius.”

Aku menatap Sandy penuh maaf. Lalu aku raih tubuhnya, aku peluk dan bilang terima kasih. Aku juga bilang kalau aku sudah menyayanginya.

Yunita, tetap sahabatku. Meski ada marah, kesal dan kecewa karena dia telah merebut Edo dariku, yang dia juga tahu kalau aku suka sama Edo. Tapi itu kan jamannya SD. Kini kami sudah dewasa, kami tahu mana yang terbaik dan yang seharusnya. Edo, keterlambatannya membaca surat cinta dan buku diaryku itu menjadikannya harus tega pada Yunita dan tak berhasil mendapatkanku. Sandy, sosok yang luar biasa. Menyayangiku dengan sabar, tulus dan ikhlas. Caranya membuatku terkesan dan merasa dicintai. Edo, aku pernah mencintaimu seperti kamu mencintaiku (I loved you like you loved me). Saat ini dan masa depan kita, aku dan Sandy, kamu dan Yunita. Ini yang terbaik untuk kita. Masa lalu mungkin takkan pernah terlupakan. Simpan saja rapi-rapi. SEKIAN.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar