Cinta di Maluku
Aku ingin
berteman dengan Malam. Menjadi perempuan yang bisa menyaksikan indahnya Bulan
dan Bintang. Seperti anak-anak lainnya. Sebagai pengidap Retinitis Pigmentosa,
akulah yang paling sedih di setiap malam yang lewat begitu saja di hari-hariku.
“Aku harus
pergi.”
Senja sudah ku
nikmati dan malam segera datang. Aku meninggalkan Kelvin tanpa alasan.
“Del, delisa,
kamu mau kemana?”
Berpegangan pada
dinding, aku terburu-buru hilangkan jejak. Aku tidak mau Kelvin tahu kalau aku
buta di malam hari.
Paginya. Kelvin
menghampiriku di Pantai.
“Semalam kamu
kenapa?”
“Aku gak
apa-apa.”
“Aku tahu kamu
bohong.”
“Maaf Kelvin.
Tolong tinggalkan aku sendiri.”
“Okey. Aku pergi
tapi nanti malam aku tunggu kamu di taman dekat rumah pohon. Jam 07 dan jangan
telat.”
“Kelvin, Kelvin,
tunggu.”
Aku bingung
harus bilang apa padanya.
“Please. Sekali
ini aja.” Mohon Kelvin.
“Aku gak bisa?”
“Kenapa lagi?”
Di taman. Kelvin
menungguku sudah hampir tiga jam. Aku masih di dalam kamar. Mengunci pintu dan
duduk di bawah lantai. Siapkah aku kehilangan Kelvin? Seseorang yang baru aku
kenal tapi sangat bersahabat dan bisa dibilang aku cinta.
Tuk tuk tuk. Ketukan
pintu itu, itu pasti Kelvin.
“Delisa. Kamu di
dalam?”
Aku ketakutan,
aku bingung, aku merayap panik, seperti orang gila. Pelan-pelan aku mencari
jendela, setelah dapat, aku mencoba keluar dan lari ke taman meski sampai
terjatuh-jatuh. Tanpa tongkat, hanya hafal jalan, lalu aku bersandar di balik
pohon besar yang di atasnya ada rumah kecil dari kayu. Menangis untuk kesekian
kalinya.
Kelvin yang
pertama buatku merasakan jatuh cinta, buatku lebih hidup dalam menulis. Pertemuan
kami bermula saat kunci kamar kami tertukar, sejak itu kami berteman baik dan
saling memahami. Kelvin menyatakan cintanya tepat seminggu keberadaan kami di
Natsepa, Maluku. Kami cocok karena Kelvin seorang sutradara dan aku penulis. Kedatangannya
di Natsepa untuk survey lokasi shooting bulan depan. Sedangkan aku, liburan
sambil menulis lepas.
“Aku tahu kamu
pasti kesini.”
Suara itu. Aku terkejut.
Kelvin heran melihat sikapku yang aneh. Dia menatap kedua mataku dalam-dalam. Memegang
tanganku lalu aku lepas paksa.
“Delisa. Kamu…”
“Ya, aku buta. Sekarang
kamu tahukan? Buat apa lagi. Lebih baik kamu pergi. Biarin aku disini sendiri.”
“Enggak.” Tegas Kelvin.
Beberapa menit
kemudian. Kami duduk berdua di rumah pohon. Kelvin sangat melindungiku. Aku merasa
aman dan nyaman setiap ada di sampingnya.
“Retinitis
Pigmentosa. Itu artinya kamu buta setiap malam hari?” Tanya Kelvin. Air matanya
mulai berjatuhan. Dan aku tak sadar itu.
“Iya.”
“Jadi, kamu
menulis di pantai dari pagi sampai sore karena kalau malam kamu gak bisa
melihat. Delisaaa.”
“Jangan sedih,
Kelvin. Aku sudah biasa.”
“Tapi…”
Aku bersandar di
bahunya. Kelvin mengelus kepalaku dan membuatku tenang.
Terdengar letusan
kembang api besar yang terlempar di langit. Satu kali, dua kali, tiga kali. Aku
terpukau. Walaupun aku tak bisa melihat, tapi aku yakin itu sangat indah.
“Itu apa Kelvin?”
“Sebenarnya ini
kejutan buat kamu. Ohya, ada lagi. Kita turun ya. Kamu pegangan yang kuat,
ikutin aku ke bawah.”
Kelvin turun
duluan, lalu aku, dibantunya pelan-pelan dan lembut. Kelvin membawaku ke suatu
tempat. Aku tidak tahu dimana. Katanya, aku berdiri di tengah cahaya lilin yang
membentuk love. Disini juga ada tulisan pasir atas namaku.
Tak lama, aku
sakit kepala, wajahku memucat. Tiba-tiba, aku sudah berada di kamar dan waktu
sudah pagi hari. Aku bangun. Tanpa sosok Kelvin di hadapanku. Lagi-lagi aku
seperti gila. Efek memikirkan kebutaan malam dan aku cukup stress. Aku merapikan
diri. Lalu ke pantai. Benar saja, Kelvin ada disitu.
“Kelvin.”
“Delisa. Hey. Kamu
sudah baikan?”
“Sudah. Aku gak
apa-apa.”
Kelvin menarik
tanganku. Membawaku ke rumah pohon. Dia menunjukkan sesuatu yang menakjubkan. Seekor
burung merpati yang cacat dan tidak bisa terbang.
“Kelvin.”
“Iya, burung ini
gak bisa terbang. Tapi kamu harus tahu. Nih, aku letakkan dia di sangkar ya. Kamu
lihat. Apa yang terjadi.”
Benar-benar
mengagumkan. Saat Kelvin meletakkan burung itu di sangkar. Tak lama kemudian,
seekor merpati datang dan bersandar di samping burung merpati cacat itu.
“Itu
pasangannya.” Ucap Kelvin.
“Pasangannya?”
Pikirku.
“Iya.” Jawab
Kelvin.
“Seeokor burung
aja begitu setia pada pasangannya. Masa aku kalah sama hewan? Ya gak?” Lanjutnya
sambil tersenyum lebar dan sangat manis sekali.
“Kelvin.” Kataku
terharu.
Kami berpelukan.
Merpati-merpati itu pun turut bersuka-cita. SEKIAN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar