Kamis, 07 November 2013

Afgansyah Reza - SABAR #SabarGan Cerpen 13



TRAFFIC LOVE



“Neng.” Kenek bus 45 arah Blok M menagih uang transport padaku.

Aku asik sendiri menikmati suasana naik bus dengan sensasi rollercoaster.

Di pancoran, aku turun. Lalu berjalan kaki menuju Tebet. Sebelumnya, sempat memotret keadaan lalu lintas siang itu di lampu merah pancoran. Ada semangat anak-anak jalanan yang sedang mencari nafkah sekedar untuk makan dan jajan. Ada tukang koran, atraksi topeng monyet dan beberapa pengemis jalan. Aku juga lihat banyak orang hilir mudik melakukan rutinitasnya sehari-hari. Santai saja, aku hanya ingin mengunjungi seseorang di sebuah perumahan, setelah bertemu, aku akan pergi lagi, pikirku begitu.

Ku tekan bel sesekali, tak ada yang keluar menjawab. Sekali lagi, tak ada juga. Mungkin tidak ada orang. Dengan cemberut dan sedikit kecewa, aku membalikkan badan dan pulang. Tidak naik bus, aku naik kereta dari stasiun Manggarai menuju Bekasi. Siapa sangka? Ternyata aku dan dia satu gerbong. Aku harap dia tak melihatku tapi sialnya, dia menghampiriku dengan cepat.

“Hey. Darimana?”

Namanya Alif. Ya, dia mantan pacarku, pacar pertama pula.

“Dari…” Aku ragu.

“Katanya mau ke rumah ketemu sama Mama, kapan?” Tanyanya lagi.

Menyebalkan. Baru saja aku dari rumahmu. Gerutuku.

Kita sama-sama berdiri, karena penumpang cukup ramai. Tak lama kemudian, Alif memegang tanganku secara perlahan. Aku terima saja, ya, ini bentuk protes kita. Tak peduli status kita saat ini. Alif merasakan kejanggalan, dilihatnya jari-jari tanganku. Ada sebuah cincin putih dengan mata berlian terpasang cantik di jari manisku. Pantas kalau Alif melepaskan dua tangan yang baru bersatu. Dia berhenti di stasiun selanjutnya, wajahnya sangat kesal dan memendam emosi. Aku susul dan ikuti. Langkahnya terlalu cepat namun aku bisa menyamai.

“Alif. Tunggu.”

“Kenapa lagi?”

“Aku…”

“Apa?”

Alif marah. Aku tidak enak hati kalau bilang jujur padanya soal pernikahanku minggu depan.

“Tadi aku ke rumah. Tapi gak ada orang.” Kataku pelan.

Alif mendekatiku.

“Terus?” Tanyanya.

“Ini.”

Aku mengelurkan sebuah undangan dari tasku, lalu aku berikan pada Alif. Diterimanya penuh penat. Aldo dan Sintya. Minggu depan. Alif kecewa besar. Perasaannya hancur, berantakan, retak berkeping-keping.
Alif merobek kecil-kecil undangan pernikahanku itu lalu dilemparnya tepat ke wajahku. Lalu dia pergi.

“Alif.”

Dia berhenti melangkah dan kembali ke arahku.

“Sintya. Cukup. Jangan ganggu aku. Aku akan berpikir keras bagaimana merebutmu nanti sebelum kamu benar-benar menikah dengannya.”

“Alif. Jangan gila.”

“Kenapa?”

“Aldo butuh aku. Aku harus menikah dengannya.”

“Kamu kira aku enggak? Hey, Sintya, enam tahun kita pacaran, sama-sama pacar pertama dan sekarang masing-masing gitu aja. Gak bisa.”

“Kita harus terima kenyataannya, Alif. Kita gak jodoh.”

“Bulshit.” Alif marah padaku.

Di sebuah rumah sakit, tempat Aldo dirawat karena mengidap kanker hati. Aku memperlihatkan pada Alif tentang apa yang sebenarnya telah terjadi. Alif sempat tidak percaya setelah aku ceritakan semua, antara aku dan Aldo sebenarnya hanya sebatas sahabat saja tapi karena Aldo mencintaiku dan keinginan Aldo adalah menikah denganku, aku terpaksa menerima lamaran orang tua Aldo.

Beberapa minggu sebelumnya, sebelum Aldo masuk rumah sakit.

“Kejutaaan.”

Aldo datang ke rumahku membawa banyak bunga. Lalu aku mengajaknya ke kamar dan Aldo menjatuhkan bunga-bunga itu. Melihat isi kamarku penuh dengan foto-fotoku bersama Alif, puisi cinta dan burung-burung kertas di langit-langit. Mulai keluar darah dari hidung Aldo, saat itu aku membawanya ke rumah sakit dan mengetahui bahwa dia mengidap kanker hati. Tiga hari dirawat, Aldo menyatakan perasaannya padaku. Meski sakit-sakitan dan seperti akan meninggal dunia, Aldo berusaha kuat dan bertahan hidup untukku. Aku kagum dan terharu. Aldo membutuhkanku. Karena aku yang sangat disayanginya. Mungkin aku bisa menjadi perempuan paling berguna kalau aku benar bisa membahagiakannya. Begitu dalam benakku. Tanpa memikirkan Alif, aku hanya focus pada kesembuhan Aldo.

Alif tak karuan, dia bingung campur sedih, marah, kesal, emosi dan ada kasihan juga pada Aldo.

“Terserah kamu.” Kata Alif.

Hari pernikahanku telah datang. Aku dan Aldo resmi suami-isteri. Meski Aldo belum sadarkan diri. Aku yakin Aldo bahagia karena berhasil memilikiku. Di luar sana, Alif amburadul, rumit, berantakan. Dia menghancurkan seisi kamarnya sampai kacau. Seminggu, dua minggu, tiga minggu, sebulan terlewati. Aku menjadi isteri yang baik. Menunggu Aldo seharian. Shalat dan berdoa, mengaji dan makan di dalam kamar rawat Aldo. Senantiasa menanti kehendak Allah SWT kalaupun nanti Aldo bangun dari komanya.

Tiba-tiba Alif datang. Membangunkanku yang tertidur duduk di dekat Aldo.

“Sintya.”

“I-iya. Alif.”

Alif menarikku keluar. Lalu aku lepaskan dan sedikit menghindar.

“Maaf. Kamu harus menghormati aku sebagai isteri orang.” Kataku.

“Hah? Iya ya? Aku lupa tuh.”

“Alif, jangan begitu. Aku punya suami.”

“Aku tahu.” Tegas Alif.

Aku tengok ke arah Aldo dan… detak jantungnya berhenti. Aldo pun meninggal dunia. Suasana duka menyelimutiku dan keluarga. Ada rasa bersalah di hati Alif. Beberapa bulan kemudian. Aku dinyatakan cerai mati dengan Aldo. Keluarga Aldo mengijinkanku untuk menikah lagi, termasuk dengan Alif. Aku bingung dan sedikit ragu.

Berbulan-bulan aku menjalani hidup sendiri, sebagai isteri Aldo yang tidak pernah melakukan apa-apa untuk suami sendiri. Aku menikmati lalu lintas cintaku dan Alif. Hingga kami pun dikaruniai dua orang anak yang masih kecil-kecil dan sangat lucu. Ya, aku menikah dengannya setelah aku mulai mantabkan hati untuknya bersamanya lagi. Aldo, kamu suami pertamaku. Alif, cinta pertama, pacar pertama dan suami terakhirku. Kalian adalah cinta sejati dalam hidup. SEKIAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar