Minggu, 10 November 2013

Sebuah Cerpen untuk Wahyu Sudiro



SOUNDTRACK HIDUP


“Ah. Aku benci. Aku bosan.”

Kertas-kertas di meja aku lempar semua sampai berhamburan di lantai café yang sepi pengunjung saat itu. Pantas saja, sudah tengah malam. Walaupun open daily 24 jam. Kedua tangan memegang kening, aku pusing, aku kebingungan. Tak pernah habis pikiranku bertanya-tanya terus tentang kepastian cinta darinya. Dari seseorang yang ku anggap hebat dan baik hati. Ravi Luvian, cinta pertama yang belum pudar.

Aku mendengar langkah yang semakin mendekat ke arahku. Laki-laki itu memungut kertas-kertas yang ku sia-siakan. Lalu diletakkannya di mejaku.

“Ini tulisanmu, artinya kehidupan. Jangan pernah kamu abaikan lagi. Ingat, sekecil apapun suatu hal, pasti ada dampaknya.”

Dia pergi begitu saja, membiarkanku jadi gila.

Aku mengenalnya, aku ingat-ingat lagi. Ya, dia itu Wildan Sudiro. Pecinta musik, pembuat lagu, gitaris sebuah band dan aku sedikit tahu kalau dia itu pernah menulis sebuah novel. Canggihnya, Wildan membuatku kagum hanya dengan tiga kalimat barusan. Aaaaa.

Sebagai Penulis baru, rasanya aku masih pemula. Meskipun buku pertamaku sudah best seller dan kabarnya akan difilmkan oleh salah satu PH ternama di Jakarta. Aku bukan apa-apa, menulis memang sudah jadi bagian dari tubuhku. Menulis itu semangat, menulis itu udara.

Masih di posisi yang sama. Aku googling tentangnya, Wildan Sudiro. Aku baca blognya, isi social medianya dan aku coba email untuk tes apakah dia peramah atau biasa saja. Beberapa menit kemudian, dia membalas emailku.

“Hah? Cepatnyaaa.” Aku terkejut, agak lebay.

Tanpa aku sadari, ternyata Wildan Sudiro ada di sekitar café. Dia memata-mataiku.

“Intania Ashari. Nama yang bagus.”

Seperti hantu, Wildan tiba-tiba muncul. Dua kali dia mengejutkanku. Menyebalkan.

“Eh, kok tahu?”

“Nama kamu mulai terkenal baru-baru ini.”

“Oh.”                                                

Aku berusaha cuek, padahal dalam hati, aku berharap Wildan duduk di depanku, bicara banyak dan kita berteman.

“Jadi ceritanya, penulis baru ini lagi kehabisan ide ya? Sampai-sampai kertas jadi korbannya. Kasihan.” Kata Wildan sambil duduk di kursi sebelahku.

“Enggak. Apaan sih.”

Terlihat jutek, padahal aku cuma mau tahu seberapa pekanya Wildan terhadap mimik wajah lawan bicaranya.

“Menulis itu, kalau kamu sudah suka, kamu sudah cinta, pasti lancar terus kok. Meskipun kadang macet, kamu hanya perlu berhenti sejenak untuk mendapatkan sesuatu yang sangat berharga, artinya lamunanmu itu menciptakan hasil. Kamu pasti bangga setelah kamu berada di halaman terakhir. Selesaikan.”

Aku terpukau. Entahlah apa yang sedang ku rasakan. Intinya aku mulai mengaguminya.

Sejam kemudian, pembicaraan kami dilanjutkan sambil berjalan pulang. Pukul 02 pagi. Aku mulai menguap, aku kantuk. Wildan tersenyum kecil melihat aksiku tadi.

“Kamu masih jadi gitaris di Come Rain Band kan?”

“Masih. Kenapa?”

“Aku sempet baca blogmu…”

“Bahkan dari entri pertama sampai yang baru diupdate. Ya kan?” Potong Wildan.

“I-iya.” Aku malu.

“Musik itu soundtrack di hidup saya. Jadi, mulai saat ini, menulis adalah skenario di hidupmu kan?” Tanya Wildan dengan menatapku dalam-dalam.

Aku mati gaya, aduh, A banget rasanya. Aku takut salah tingkah. Seperti orang yang sedang jatuh cinta.

“Maka menulislah yang baik-baik, yang penuh kesan-kesan positif dan bermanfaat buat pembaca. Jangan asal ya.”

Ini sindiran atau arahan ya, aku bingung yang lain. Huuu.

“Eh, aku harus pulang. Aku duluan ya. Thanks.”

Aku terpaksa meninggalkannya.

“Dasar penulis aneh. Tidak tahu terima kasih. Kebiasaan.” Wildan menggerutu tapi tetap berpikir positif terhadapku.

Suatu hari, kami bertemu lagi.

Puisi-puisi terbang bebas di langit yang ku pandang tulus. Awan-awan terlihat lebih cantik dan suci. Apa maksudnya? Kenapa pikiranku jernih sebening air? Aku merasakan ada sesuatu yang beda.

Wildan tidak enak badan, dia kurang fit dan wajahnya sangat pucat.

“Wildan.” Aku menyapanya.

Dia berjalan cepat menghindar dariku. Aku kejar dan dia berlari. Seperti mengejar pencuri. Orang-orang yang melihat kami cuek begitu saja. Namanya juga orang Jakarta, urusan mereka lebih penting daripada sekedar mengetahui keadaan yang sedang terjadi di sekeliling mereka.

Sampai di sebuah rumah, Wildan masuk dan mengunci pintunya. Aku mematung di depan pintu yang tertutup rapat itu.

“Wildan. Kenapa?”

“Intan, sebaiknya kamu pergi. Jangan pernah ikuti aku lagi.”

“Tapi kenapa? Ada apa? Aku harus tahu.”

“Yang harus kamu tahu, sudah aku beritahu malam itu kan? Jadi buat apa lagi?” Tanya Wildan.

Wildan memegang hidungnya yang terus mengeluarkan darah. Tak lama, dia pingsan. Aku mendengar ada yang jatuh di dalam. Aku mulai panik dan khawatir. Pikiranku langsung ke Wildan. aku mencari jalan untuk masuk. Aku lihat jendela samping mudah dibuka dari luar, aku coba buka dan berhasil masuk. Betapa terkejutnya aku menyaksikan Wildan tak berdaya. rasanya aku lemas, aku tak kuat.

Di rumah sakit. Wildan sok sehat jiwa raga dan lahir batin.

“Eh, kamu kenapa?” Tanyaku pura-pura tidak tahu.

“Aku gak apa-apa. Jangan kayak anak kecil deh. Dewasa. Kamu sudah mau 24 tahun kan?”

“Sakit ya sakit saja. Tidak perlu memikirkan usia orang lain.”

“Karena aku akan mati, begitu?”

“Eh bukan. Bukan gitu.”

“Intan. Aku mau sendiri dulu. Kamu pergi ya.” Mohon Wildan.

Aku merasa bersalah. Ah bodoh nih.

Hati Wildan memang bermasalah. Ada kanker yang menggerogoti sampai hatinya retak-retak. Aku lihat hasil ronsen dari dokter. Tapi sesungguhnya, Wildan memiliki hati yang baik-baik saja. Hidupnya sudah berarti dan banyak memberikan manfaat untuk orang lain termasuk fansnya. Ketika aku keluar kamar dirawatnya Wildan, aku harus menguatkan banyak orang. Fans Wildan, keluarga Wildan dan personil Come Rain Band yang lain. Seperti akan kehilangan satu ginjal. Walaupun baru mengenal Wildan beberapa hari lalu. Rasanya Wildan sudah sangat berharga bagiku.

Aku memeluk semuanya. Kami membuat rumah sakit banjir karena derasan air mata yang jatuh ringan di pipi kami. Wildan, ternyata sosok yang dicintai banyak orang.

Detik kesakitan sampai juga di puncak. Wildan benar-benar pergi dari kami semua. Aku yang kehilangan, sangat kehilangan. Padahal aku baru saja tertarik untuk mengenal Wildan lebih dekat. Bahkan ada harapanku untuk bisa menjadi kekasihnya. Ikutlah bersama ruh Wildan, harapanku kini tinggal kenangan.

Ada keponakan Wildan yang paling kecil, usia enam tahun, namanya Alisa. Dia mampu melihat Wildan pergi dengan senyuman manis ke arahku lalu ke semua yang ada di sekitar jasadnya dan berakhir menatapku lagi. Hingga dia terbang menghilang sampai ke tempat seharusnya. SEKIAN.



Note:
Sebuah cerpen untuk Wahyu Sudiro. Ini cerpen yang terinspirasi dari kata-kata karya Wahyu Sudiro. Kenapa aku kasih judul SOUNDTRACK HIDUP? Karena Wahyu Sudiro menjadikan musik sebagai soundtrack di hidupnya. Aku mulai mengaguminya sejak aku tahu band bernama Jelly. Lalu aku lihat sosok Wahyu Sudiro di bagian dari Republik Cinta Management itu biasa saja. Tapi setelah Moon 69 berubah menjadi The Moon dan lagunya berjudul EMBUN berhasil membuatku jatuh cinta juga mendadak romantic. Entahlah. Aku suka Wahyu Sudiro. Ups, ingat ya, bukan rasa suka yang berlebihan. Sebatas kagum seorang penggemar. Bisa dibilang, seorang teman. :) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar