DON’T SAY GOOD BYE
Sebulan
lebih libur kuliah itu rasanya membosankan sekali. Ya, jika selama itu pula
tidak ada kegiatan yang menyenangkan atau hal baru yang terjadi nol persen. Aku
dan enam teman lainnya, kami perempuan yang tergabung dalam group Seventeen
Choice. Seventeen Choice, karena group kami terbentuk ketika usia kami beranjak
17 tahun. Memilih kota Maluku, Ambon sebagai tempat berlibur rupanya tidak
salah. Kami menginap di hotel dekat Pantai Natsepa. Sudah tiga hari kami
disana, begitu-begitu saja.
Hari
itu, aku bangun kesiangan. Karena sedang datang bulan, perutku sakit, badanku
terasa pegal, pokoknya posisiku serba salah. Mau makan tapi mual-mual, mau
keluar tapi kurang fit. Aku cek seluruh bagian kamar, enam temanku tidak ada
semua. Aku ambil handphone dan tidak ada pesan ataupun missedcall dari mereka.
“Huft.
Pertama kalinya aku ditinggalin. Poor me.”
Aku
segera mandi. Berdandan yang sangat cantik dan lekas pergi ke Pantai Natsepa.
Setibanya
disana, aku mencari-cari enam bidadari paling cantik sepanjang masa. Hampir
setengah jam, aku sudah bolak-balik mondar-mandir mengelilingi tepi pantai,
mereka tidak ada. Aku datangi café dan restoran yang tak jauh dari hotel, belum
ku temukan mereka juga. Ketika aku lelah, aku duduk di pinggir jalan yang tidak
begitu sepi. Aku hubungi Nina, perempuan paling cerewet dan heboh di Seventeen
Choice, tapi penyayang dan manis sekali.
“Lisa.
Hey sorry, tadi kita ninggalin kamu. Sekarang kita di hotelnya Aletta nih. Kamu
kesini ya.” Kata Nina.
“Ah
enggak deh. Salam buat Aletta. Aku main di pantai aja. Kalau kalian mau pulang,
kabarin ya.”
“Oh
gitu. Beneran gak papa?”
“Iya
gak papa, Nina.”
“Okey.
Kalau ada apa-apa kasih tau ya say.”
“Siap.”
Sebenarnya
aku bosan di pantai terus. Tapi mau bagaimana lagi. Aletta itu pacarnya Dimas,
kakak senior yang ku suka semenjak orientasi mahasiswa baru. Sama saja bunuh
diri kalau aku menyusul Seventeen Choice ke hotelnya Aletta. Disana pasti ada
Dimas juga. Karena kita datang ke Maluku bersepuluh. Seventeen Choice, Aletta,
Dimas dan Raka. Raka, temannya Dimas yang super-duper nyebelin. Raka itu
hobbynya gangguin orang, banyak makan, suka rese, usil, intinya dia itu trouble
maker deh. Meskipun Raka tidak jahat, aku tetap muak kalau melihatnya. Karena
dia selalu meledekku. Dia bilang aku itu patah hati karena Dimas dan Aletta
jadian, dia juga bilang kalau aku itu lesbian (cewek suka cewek) karena sampai
sekarang aku belum punya pacar juga. Ah, lupakan tentang Raka.
Langkah
kakiku terasa berat sekali. Aku ingin teriak, aku ingin sepi, aku ingin
mencurahkan segala yang menjadi beban dalam hidupku.
“Lupakan
Dimas, Lupakan Dimas, Lupakan Dimas. Aku pasti bisa. Ya, aku bisa.”
Beberapa
meter dariku, seseorang dengan bebas mengambil gambar dan mengabadikan
kejenuhanku. Sial. Aku kecurian.
Dia
menghampiriku setelah aku sadar apa yang dia lakukan. Penampilannya seperti
seniman, musisi atau sebut saja dia itu photoghrafer professional. Karena gaya
memotretnya keren sekali. Kameranya juga canggih, yang terbaru dan yang lagi
hits gitu.
Semakin
dia mendekat, semakin aku mundur.
“Kenapa?
Takut? Kayaknya kamu lagi phobia banget sama cowok ya?” Tebaknya.
“Hah?”
Aku melongo.
“Dimas,
Dimas itu siapa?” Tanyanya.
“Bukan
siapa-siapa.”
“Okey.
Kalau gak mau cerita juga gak papa.”
Aku
teringat sesuatu. Ketika Dimas bilang dia sayang sama aku, tapi dia juga sayang
sama Aletta. Dan lagi, dia memilih Aletta daripada aku, hanya karena aku dan
Raka terlihat seperti orang pacaran. Padahal aku sama Raka selalu bertengkar.
Kami tidak pernah damai. Mohon Dimas, buka matamu. Aletta itu playgirl.
Lagi.
Anak ini mengambil gambar jelekku. Dia memanfaatkan sekali. Pandainya.
“Cantik
juga.” Katanya.
“Apa?”
“Ah,
ini, lihat deh.”
Dia
menunjukkan sebuah foto. Ketika aku cemberut.
“Haaa
ini jelek banget. Gak suka. Hapus-hapus.” Paksaku.
“Loh,
ini unik tau.”
“Unik?”
“Iya,
unik.”
Satu
hal yang telah terjadi: Pertemuan.
Namanya
Alian. Biasa dipanggil Al. Dia seorang photoghrafer di salah satu majalah.
Hampir seluruh waktunya dihabiskan dengan memotret apapun yang menurutnya
bernilai. Al membuatku mengerti tentang apa yang menjadi icon hidupku selama
ini. Dengan kecerdasannya berkomunikasi, dia berhasil mengungkap sisi berbeda
yang belum terpancar dari diriku. Menulis. Ya, aku suka menulis. Jadi Penulis
adalah impian terbesarku.
“Jika
kamu tidak gerak, kamu diam di tempat tanpa kamu bertindak, selamanya itu hanya
akan menjadi mimpi.” Kata Alian.
Usiaku
sudah 20 tahun. Al tahu kalau aku hanya sanggup membuat puisi dan cerpen. Dia
mengira aku masih takut mencoba menulis novel, ya, dia benar. Ketika aku
menulis tidak lebih dari sepuluh halaman, aku rasa itu akan baik-baik saja.
Tapi ketika aku menulis lebih dari seratus halaman, aku akan diburu. Karena
segalanya butuh pertanggungjawaban.
“Memotret
alam dan isinya, bagiku itu ibadah. Seperti tersenyum, dapat pahala. Tanpa aku
bilang, siapapun yang melihat gambarku, dia tidak akan pernah merasa sempurna
ataupun bisa bersombong diri. Kamu tahu kenapa? Karena tidak ada satupun orang
yang bisa mengalahkan keindahan alam.” Jelasnya.
Berdua
dengan Al di café. Lebih dari tiga jam. Dia membuatku terkagum-kagum. Sampai
lapang dada ini rasanya. Aku begitu menikmati ilmu baru yang diberikan Al
secara cuma-cuma.
Hari-hari
bersamanya. Al menjadikanku model paling beruntung di dunia. Bukan sekedar
memotretku saja. Al juga menjelaskan alasan dia memotretku di tempat ini dan
itu. Dia mengungkapkan arti dari foto yang diambilnya. Dan yang paling penting,
aku mulai mengenal Al. Dia keren.
“Jadi
gimana? Sudah berapa halaman?”
“Hhm.
Belum.”
“Belum
mulai?”
Aku
mengangguk.
“Lisa.
Seperti memotret adalah icon aku dalam menjalani hidup. Menulis juga icon kamu
dalam melewati ini semua. Ayo dong mulai. Jangan bermimpi terus. Kapan jadi
kenyataannya?”
“I-iya.
Bawel deh, Al.”
“Kok
bawel?”
“Nanti
malam aku email naskah yang sudah ku tulis ya? Tapi janji jangan komentar yang
jelek-jelek.”
“Loh,
kalau naskahnya emang jelek, gimana? Kamu minta aku buat bohong? Berani
tanggung dosa-dosaku?”
Al
membuatku takut. Dia memaksaku jadi perempuan pemberani. Dan sejak bertemu
dengannya. Aku sudah yakin aku akan berubah 180 derajat. Ternyata, benar saja.
Lama-kelamaan aku semakin lebih baik. Aku dan Al seperti sepaket. Seminggu
sudah kami selalu bersama. Rencananya tiga hari lagi aku, Seventeen Choice,
Aletta, Dimas dan Raka, akan kembali ke Jakarta. Jadi, aku memanfaatkan waktuku
dan Al sebaik mungkin.
Minggu
itu, aku dan Al naik perahu berdua. Kami juga makan bersama di restoran dekat
hotel tempat Al menginap. Lalu kami makan rujak Natsepa di tepi pantai. Setelah
senja tiba, kami membangun istana kerajaan dari pasir putih. Di coffee shop, Al
memberiku menu-menu kesukaannya. Ketika malam datang, Al mengantarku sampai
kamar hotel. Hasilnya, a part of Seventeen Choice (Nina, Sari, Nadha, Lilis,
Cut dan Fia) rusuh bak melihat superstar gitu. Seru banget. Sampai tengah malam
pun kami masih berbincang-bincang.
Besok
paginya, aku menunggu Al di depan hotel. Kita sudah janjian sebelumnya. Ada
yang ingin Al tunjukkan padaku. Tapi setelah hampir satu jam, Al tidak muncul
juga. Akhirnya aku tanya ke receptionist. Dan katanya, Al baru saja
meninggalkan hotel. Dia pulang ke Jakarta.
Aku
berlari ke hotel. Membereskan barang-barangku untuk kembali ke Jakarta. Aku
harus menemui Al. Karena ada satu hal yang belum aku sampaikan padanya. Aku
juga yakin kalau Al menyembunyikan sesuatu dariku.
“Lisa,
kita serius mau balik sekarang?” Tanya Fia.
“Iya.
Ayo buruan. Kalian mau ikut aku sekarang atau enggak, terserah.” Jawabku cepat.
“I-iya
iya. Kita pulang sekarang ya.” Kata Nina.
Mereka
aneh menatapku. Aku tahu mereka pasti bingung. Tapi Nina sudah menebak alasanku
begini. Tanpa perlu aku cerita, mereka bisa mengerti.
Kami
sampai di Bandar Udara Pattimura, Ambon. Mengurus semuanya meskipun cukup lama
dan sempat bermasalah juga. Tapi karena pamanku seorang pejabat disana, jadi
cukup terbantu.
Ketika
kami sedang menunggu keberangkatan. Seseorang meneleponku.
“Dengan
saudari Lisa?”
“Iya.”
“Saya
dari rumah sakit. Sesuai permintaan pasien bernama Alian Zuhdi, saya
memberitahukan bahwa ia sedang kami rawat. Di lantai 2, ruang melati nomor 7.”
“Hah?
Apa?”
Aku
langsung menutup teleponnya. Memberitahu Seventeen Choice, Aletta, Dimas dan
Raka tentang berita Al sedang dirawat di rumah sakit. Dengan cepat, Raka
mengajak kami untuk segera kesana. Raka memanggil dua taksi, kami pun meluncur.
Tiba
di kamar Al dirawat, aku terkejut bukan main. Sosok yang periang, yang kuat,
yang sangat menakjubkan, terbaring tak berdaya di rumah sakit. Kepalanya botak,
penuh alat medis dan yang paling menyedihkan adalah Al koma.
“Suster,
please bilang ini bukan Alian sus. Alian gak kayak gini. Alian itu sehat-sehat
aja. Dia sangat kuat. Dia gak sakit.” Emosiku memuncak.
Hujan
air mata membanjiri seisi ruangan. Seventeen Choice begitu menguatkanku. Raka
yang pada dasarnya usil, rese, nyebelin dan jahil. Mendadak sangat bijaksana,
bahkan dia memelukku ketika aku menangis hebat.
“Lisa.
Loe harus sabar. Loe harus sekuat Al. ketika dia menyembunyikan ini dari loe,
loe juga harus bisa menahan kesedihan loe.” Kata Raka.
“Al
gak sakit, Raka. Dia gak pernah sakit di depan gue. Gue bodoh. Harusnya gue tau
kalau dia lagi sakit.”
“Lisa.
Jangan kayak gini. Nina sedih.” Nina menangis juga.
Sari,
Nadha, Cut, Lilis dan Fia merangkul Nina. Raka masih menenangkanku. Aletta ikut
terhanyut suasana. Sedangkan Dimas, dia merasa aku begitu menyayangi Al dan
benar-benar sudah melupakannya.
Kami
tidak jadi pulang ke Jakarta. Rencana liburan dua minggu pun diperpanjang
sampai Al sadarkan diri. Sudah empat hari di rumah sakit, Al belum juga
bereaksi. Ketika kami sarapan di kantin rumah sakit, Nina tahu aku tak nafsu
makan. Nina menyuapiku pelan-pelan. Lalu dia memintaku menunggu Al di kamar
sendirian. Karena menurutnya, keberadaan aku di samping Al cukup mempengaruhi
kesadarannya.
“Al,
ini. Ini diaryku. Disini tempat aku mencurahkan apapun yang aku rasain. Aku
janji, kamu boleh baca diary aku kalau kamu sembuh. Nah, aku juga bawa laptop.
Nanti kamu boleh baca semua tulisan-tulisan aku. Gak papa deh komentar kamu
jelek-jelek, yang penting kamu buruan sadar.”
Aku
diam sejenak. Ku rasakan hening yang begitu menusuk tubuhku. Al tidak merespon
apapun yang ku ucapkan. Tiba-tiba aku ingat pembicaraanku dan Al waktu Al
mengantarku pulang sampai depan kamar hotel.
“Lisa.
Hhm, kalau kita gak ketemu lagi, hal terakhir apa yang bakal kamu lakuin?”
“Yah
jangan kayak gitu dong.”
“Loh,
aku kan cuma nanya.”
“Hhm,
apa ya? Kayaknya aku bakal cari kamu deh. Aku susul kamu kemanapun kamu pergi.
Hahahaha lebay ya?”
Al
tersenyum penuh isyarat setelah mendengar jawaban dariku. Aku kira dia kurang
puas.
“Jangan
ya. Nih, disini semuanya ada foto-foto kamu yang waktu pertama kita ketemu
sampai dengan hari ini. Kamu simpan. Suatu saat nanti aku mau lihat foto-foto
itu terpajang di Galery untuk pameran atau acara lelang penggalangan dana gitu.
Okey. Disimpan ya.” Al memberiku memory cameranya.
Buyarrr.
Aku
lupa kalau aku belum cek foto-foto di memory dari Al itu. Aku mencarinya,
memasangnya di kameraku. Dengan kabel data, aku sambungkan ke laptopku. Ya
Tuhan. Betapa bodohnya aku, Al sudah memberiku petunjuk sebelum dia masuk rumah
sakit. Aku tercengang, tak bisa berkata apa-apa. Foto-fotoku begitu banyak,
indah, luar biasa, keren banget. Al memang pandai dalam mengambil gambar. Aku
terharu. Tapi sebelum sampai diakhir, ada foto-foto Al dengan keadaannya yang
tragis dan mengiris hati. Al dengan kesakitannya, sebagai pengidap kanker darah
(Leukimia). Wajahnya yang pucat, tetap tersenyum dan menunjukkan keceriaan. Di
foto terakhir, sebuah quotes dari Al.
“Aku
sakit bukan karena Tuhan menghukumku. Aku sakit bukan karena Tuhan mengutukku.
Aku sakit karena Tuhan percaya, aku bisa menjadi inspirasi bagi siapa saja yang
mau mengenal dan berteman denganku.”
Ada
lagi satu foto yang membuatku sampai berkucuran air mata. Ini tulisan tangan
Al. Sepertinya dia menulis itu ketika darah di hidungnya mulai menetes.
“Tuhan,
aku suka Lisa. Terima kasih telah mempertemukanku dengan orang yang tepat. Dia
begitu menyenangkan. Walaupun dia sedikit keras kepala dan susah diatur. Tapi dia
begitu hebat. Dia membuatku merasakan satu hal yang sangat mahal, yaitu Jatuh
Cinta.”
Aku
tatap wajah Al. Aku tak percaya ini semua telah terjadi. Aku menyesal, harusnya
aku lihat ini malam itu. Bukan sekarang, aku terlambat.
Garis
lurus dengan suaranya yang menyeramkan. Tuhan memanggil Al. Aku meletakkan
laptopku di atas meja. Aku teriak-teriak membangunkan Al. Beberapa suster dan
dokter langsung berdatangan. Seventeen Choice, Aletta, Dimas dan Raka juga
datang kepanikan. Melihatku histeris, Raka tak tega. Dia menarik tubuhku untuk
menepi dari Al.
“Good
bye, Lisa.” Kata Al.
Pakaiannya
putih polos. Tubuh Al bercahaya.
“Enggak,
Al, kamu mau kemana?”
Al
terus tersenyum padaku.
“Jangan
pergi, Al. Aku mohon.” Teriakku.
Gelap…
Nina
menghampiriku.
“Lisa.
Gimana? Buka sekarang gak? Di depan udah banyak orang tuh.”
“Ah.
Hhh. Ya udah. Nanti kalau ada apa-apa, aku di toilet ya.”
“Tapi
jangan lama-lama. Kita kedatangan anggota komunitas seni dan sastra loh.”
“Iya
iya.” Kataku.
Setelah
kepergian Al. Setahun kemudian aku baru bisa mengabulkan permintaan
terakhirnya. Pameran foto, acara penggalangan dana untuk anak-anak kanker di
Indonesia. Bersyukur sekali, apresiasi dari tamu yang hadir begitu menyegarkan.
Aku bernafas lega. Al pasti bangga dengan kerja kerasku, Seventeen Choice,
Aletta, Dimas dan Raka.
Kita
bisa mendapat pelajaran hidup dari siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Al
sudah membuktikannya. Photoghraphy adalah iconnya dalam menjalani hidup. Dan
dia menyadarkanku bahwa Menulis adalah iconku dalam melewati ini semua. Tiga
hal yang telah terjadi: Pertemuan, Jatuh Cinta dan Perpisahan. Hasil karya Al
mendapat respon yang luar biasa dari ajang apresiasi tokoh dan karya,
komunitas-komunitas, pelajar, mahasiswa maupun orang-orang luar biasa yang tak
ku ketahui di luar sana yang telah mendukung keberhasilan pameran foto kami.
Aku juga sudah menjadi Penulis. Novel pertamaku sudah terbit. Aku sibuk dengan
menulis, menulis dan menulis. Karena ketika menulis, aku merasa Al ada di
sampingku. SELESAI
Notes:
Sebuah cerpen untuk memperingati
Hari Kanker Se-Dunia 04 Februari 2014
Ini foto-fotoku bersama teman-teman dengan balon Onkologi Anak Indonesia Februari 2011 lalu di acara Pelepasan 1000 Balon SURAT KECIL UNTUK TUHAN (Fx Senayan), tapi ini kita ambil posenya di Gelora Bung Karno hehehe karena bersebelahan.
Ini para pemain film Surat Kecil Untuk Tuhan. Ada anak-anak pengidap kanker juga. Sebelumnya kita sempat naik motor besar gitu (Harley Davidson) terus Dinda Hauw baca puisinya Keke. Setelah itu foto-foto deh v (^_^) v
Dwi Andhika bersama salah satu anak pengidap kanker...