(Pertengkaran
di kala Senja)
Selamat hari Jumat. Pagi-pagi
buta bumi kota sudah diguyur hujan deras. Menjelang siang matahari baru
bersinar kuat. Jujur, mereka sama-sama hebat. Aku suka momen hujan, suka suara
rintik-rintiknya, suka aroma airnya, suka menanti kepergiannya. Karena setelah
hujan pasti ada pelangi, ada embun, ada senyum lebar nan cantik yang selalu
siap untuk menyambutnya. Aku juga suka matahari atau mentari atau benda angkasa
yang mendatangkan terang dan panas itu. Sebelum matahari hadir, ada fajar.
Setelah matahari terbenam, ada senja.
Hhh, seringkali aku bilang, aku
sangat menghormati dan menghargai periode alam. Aku tidak mungkin melupakan itu
sedikitpun. Selain aku hidup di kolong langit ini, aku juga punya embun, fajar,
senja, pelangi dan matahari di dalam hidupku. Ya, aku adalah Jingga. Jingga
salah satu warna dari pelangi bukan? Embun adalah kekasihku, seorang musisi
yang gila kehormatan itu. Sedangkan Fajar, dia adalah saudara kembar Embun. Dan
Senja, adalah kekasihnya. Lalu matahari, mereka adalah orang tua, keluargaku,
yang memberi energi, yang memiliki peran sangat penting bagiku.
Siapapun pasti setuju, bahwa
orang tua atau keluarga adalah prioritas dalam hidup. Namun, bagaimana jika aku
harus memilih, di antara dua pilihan, antara kekasih dengan orang tua, antara
Embun dengan Mama dan Papa? Membingungkan bukan.
“Kamu masih sama si penyanyi
cafĂ© itu?” Tanya Papa sedikit sinis. Sarapan kali ini cukup hambar. Hampa
rasanya, karena tiga kepala yang ada hanya sibuk dengan egois semata.
“Namanya Embun, Pa.” Entah ini
yang ke berapa, aku terus mengingatkan Papa, tak pernah bosan.
“Sudah sejauh mana hubungan
kalian?” Papa mulai menginvestigasiku. Aku cuma bisa terdiam.
“Maksud Papa, apakah ada rencana
kalian untuk menikah?” Sambung Mama. Ah, terus-terang sekali Mama ini. Batinku.
“Belum, Ma, Pa. Lagipula, Jingga
masih 21 tahun. Belum lulus kuliah juga.” Jawabku ragu.
“Jangan beralasan. Kamu itu
berpacaran dengan lelaki berusia 31 tahun. Ada yang aneh, jika dia belum
membicarakan tentang pernikahan padamu. Tidak beres dia itu.” Papa berfirasat,
lalu pergi meninggalkan sarapannya yang masih tersisa.
Aku menunduk. Tak nafsu makan.
Rasanya kepalaku berat, sangat berat. Kata-kata Papa barusan, seperti memaksaku
untuk berpikir. Berpikir bahwa memang ada sesuatu yang Embun sembunyikan. Yang
tidak aku ketahui, atau bahkan, tidak ingin aku mengetahuinya. Ha, memusingkan.
“Kayaknya Papa berangkat duluan.
Apa Embun akan menjemputmu?” Tanya Mama. Membuyarkan lamunanku.
“Aku bisa berangkat sendiri kok,
Ma.”
“Assalamualaikum.” Aku mencium
tangan Mama dan segera pergi ke kantor.
“Waalaikumsalam.”
7 jam kemudian.
Embun sudah menungguku sejak
beberapa menit yang lalu. Dia terlihat begitu sabar, begitu tenang, begitu
setia. Tetapi aku tidak pernah mampu membaca, bahwa apakah memang benar dia
sedang berdusta? Atau munafik atau menipuku. Karena pagi tadi bukan untuk
pertama kalinya aku seperti berada di ruang konferensi hitam. Mama dan Papa
selalu menanyakan perkembangan hubunganku dengan Embun. Aku tahu kenapa mereka
sebegitu pedulinya.
Ya, apalagi kalau bukan
perbedaan usia antara aku dan Embun.
“Maaf agak lama.” Kataku.
“Bukan masalah.”
“Yuk, buruan. Kita jemput Icha,
lalu Indah, lalu kita ke tempat biasa.” Lanjutnya.
Mobil paling bertenaga itu,
mobil yang membuat pengendaranya bagaikan pembalap profesional. Aku tidak
ingat, kapan terakhir kalinya aku menikmati penuh keadaan nyaman dan aman saat
menumpangi mobil berkelas ini. Sekarang aku punya gelisah, aku mulai kepikiran,
memikirkan sebuah alasan yang mungkin dianggap tabu atau dibiarkan terbongkar
pada waktu yang tidak ditentukan. Hu, ini sungguh menyita asaku.
Tak berapa lama, kami tiba di
pinggir lapangan yang luas. Ada jalan tol yang masih proses pembangunan, belum
jadi. Ada anak-anak yang bermain sepak bola juga. Icha dan Indah sibuk dengan
kegembiraan mereka masing-masing. Aku dan Embun duduk menghadap jalanan panjang
itu. Di sekitar kami banyak ditumbuhi alang-alang. Jika kami perhatikan, di
atas sana, banyak burung yang berterbangan. Desir angin yang membawa debu ikut
berpetualang pun turut menggelitik tubuh kami. Aku suka, sangat suka. Ditambah,
sebentar lagi matahari terbenam. Momen setelahnya yang selalu aku puja. Senja.
“Tadi pagi Papa tanya kabar
kamu. Terus aku jawab, kamu baik-baik saja.” Aku memulai pembicaraan. Cukup klise,
monoton atau apalah namanya, intinya kurang menarik. Tetapi ini lebih bagus,
daripada kami terus dalam diam.
“Nanti aku mampir. Lama juga aku
tidak bertemu orang tuamu.” Ucap Embun.
“Senja…” Aku belum selesai
bicara.
“Senjanya kok gelap ya? Gak
merah kayak waktu kita di Anyer.” Embun memotong.
Kami memandang langit senja
lekat-lekat. Embun berusaha mengalihkan, dia tidak tenang.
“Maksudku, kak Senja. Aku tahu
dia perempuan yang pernah kamu ceritakan waktu kita ke Mall.” Ungkapku. Embun membisu,
membatu, mematung. Dia bingung harus menyikapi kalimatku dengan bagaimana. Setelah
aku rasa aku sudah cukup membuatnya seperti terpenjara atau tercekik atau mati
rasa atau apapun itu sebutannya. Aku melanjutkan perkataanku lagi.
“Sepertinya, dia masih
mengharapkanmu.”
“Jangan salah sangka. Dia tidak
pernah menyayangiku seperti dia menyayangi Fajar saat ini.” Embun menyangkal.
“Jadi, selama ini kamu masih
memperhatikannya?” Selidikku.
“Ti-tidaklah. Ah, apa harus
membahas tentangnya? Jika Fajar tahu, dia akan tersinggung. Bisamu hanya
mengungkit masa lalu orang dan membuat yang lain sakit hati. Sama sekali tidak
menyenangkan.” Gerutu Embun.
Ha, siapa yang dia kecam? Akukah?
“Bukan. Aku cuma ingin tahu,
mengapa di usia kepala tiga begini kamu belum juga menikah? Maksudku, melamarku
begitu.” Wah, beraninya diriku. Sedikit tidak enak hati. Masalahnya, ini
terus-terang yang memalukan. Mempermalukan Embun dan mempermalukanku juga.
“Menurutmu, aku sudah terlalu
tua?” Tanya Embun menekankan pandangannya kepadaku.
“I-iya. Iya untuk seorang lelaki
yang berusia 31 tahun, belum punya anak, bahkan lebih parah jika dia belum
memiliki kekasih. Hehehe. Setidaknya, lelaki itu normal. Masih punya rasa cinta
dan kemauan untuk menikah.”
“Siapa yang kamu bicarakan?”
“Bu-bukan kamu pastinya. Ah,
sudahlah. Lupakan.” Aku muak., batinku.
“Menikah itu tidak semudah
menulis puisi atau cerpen…”
“Kata siapa menulis puisi atau
cerpen itu mudah?” Kali ini aku yang memotong.
“Dengarkan dulu.” Tegasnya.
Panjang lebar Embun menjelaskan
padaku tentang satu hal yang selama ini ingin aku ketahui darinya. Akhirnya,
aku dapat mengenal orang yang ku percayai untuk menjaga hatiku dengan baik.
Siapapun pasti ingin menikah. Selain
menikah adalah ibadah. Bagi seorang perempuan, pernikahan adalah hal yang
paling membahagiakan. Dan bagi seorang lelaki, pernikahan adalah sebuah
tanggungjawab yang menghasilkan tanggungjawab-tanggungjawab berikutnya. Maka untuk
menikahi seseorang, diperlukan kesiapan yang matang, dari materi, spiritual,
hingga kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang nanti.
Embun sudah jujur, sudah
mengungkapkan semua yang berkenaan dengan alasannya belum menikah di usia yang
beranjak 32 tahun itu. Tetapi aku merasa kurang puas, aku merasa masih ada satu
kejanggalan lagi yang Embun tutup-tutupi dariku. Entah apa, yang paling
penting, aku harus bisa mempertahankan keyakinan Embun yang telah memilihku
sebagai calon pendamping hidupnya di dunia ini. Semoga juga di akhirat kelak.