Jumat, 13 Juni 2014

EMBUN FEAT JINGGA 8



(Pertengkaran di kala Senja)

Selamat hari Jumat. Pagi-pagi buta bumi kota sudah diguyur hujan deras. Menjelang siang matahari baru bersinar kuat. Jujur, mereka sama-sama hebat. Aku suka momen hujan, suka suara rintik-rintiknya, suka aroma airnya, suka menanti kepergiannya. Karena setelah hujan pasti ada pelangi, ada embun, ada senyum lebar nan cantik yang selalu siap untuk menyambutnya. Aku juga suka matahari atau mentari atau benda angkasa yang mendatangkan terang dan panas itu. Sebelum matahari hadir, ada fajar. Setelah matahari terbenam, ada senja.

Hhh, seringkali aku bilang, aku sangat menghormati dan menghargai periode alam. Aku tidak mungkin melupakan itu sedikitpun. Selain aku hidup di kolong langit ini, aku juga punya embun, fajar, senja, pelangi dan matahari di dalam hidupku. Ya, aku adalah Jingga. Jingga salah satu warna dari pelangi bukan? Embun adalah kekasihku, seorang musisi yang gila kehormatan itu. Sedangkan Fajar, dia adalah saudara kembar Embun. Dan Senja, adalah kekasihnya. Lalu matahari, mereka adalah orang tua, keluargaku, yang memberi energi, yang memiliki peran sangat penting bagiku.

Siapapun pasti setuju, bahwa orang tua atau keluarga adalah prioritas dalam hidup. Namun, bagaimana jika aku harus memilih, di antara dua pilihan, antara kekasih dengan orang tua, antara Embun dengan Mama dan Papa? Membingungkan bukan.

“Kamu masih sama si penyanyi cafĂ© itu?” Tanya Papa sedikit sinis. Sarapan kali ini cukup hambar. Hampa rasanya, karena tiga kepala yang ada hanya sibuk dengan egois semata.
“Namanya Embun, Pa.” Entah ini yang ke berapa, aku terus mengingatkan Papa, tak pernah bosan.
“Sudah sejauh mana hubungan kalian?” Papa mulai menginvestigasiku. Aku cuma bisa terdiam.
“Maksud Papa, apakah ada rencana kalian untuk menikah?” Sambung Mama. Ah, terus-terang sekali Mama ini. Batinku.
“Belum, Ma, Pa. Lagipula, Jingga masih 21 tahun. Belum lulus kuliah juga.” Jawabku ragu.
“Jangan beralasan. Kamu itu berpacaran dengan lelaki berusia 31 tahun. Ada yang aneh, jika dia belum membicarakan tentang pernikahan padamu. Tidak beres dia itu.” Papa berfirasat, lalu pergi meninggalkan sarapannya yang masih tersisa.

Aku menunduk. Tak nafsu makan. Rasanya kepalaku berat, sangat berat. Kata-kata Papa barusan, seperti memaksaku untuk berpikir. Berpikir bahwa memang ada sesuatu yang Embun sembunyikan. Yang tidak aku ketahui, atau bahkan, tidak ingin aku mengetahuinya. Ha, memusingkan.

“Kayaknya Papa berangkat duluan. Apa Embun akan menjemputmu?” Tanya Mama. Membuyarkan lamunanku.
“Aku bisa berangkat sendiri kok, Ma.”
“Assalamualaikum.” Aku mencium tangan Mama dan segera pergi ke kantor.
“Waalaikumsalam.”

7 jam kemudian.

Embun sudah menungguku sejak beberapa menit yang lalu. Dia terlihat begitu sabar, begitu tenang, begitu setia. Tetapi aku tidak pernah mampu membaca, bahwa apakah memang benar dia sedang berdusta? Atau munafik atau menipuku. Karena pagi tadi bukan untuk pertama kalinya aku seperti berada di ruang konferensi hitam. Mama dan Papa selalu menanyakan perkembangan hubunganku dengan Embun. Aku tahu kenapa mereka sebegitu pedulinya.

Ya, apalagi kalau bukan perbedaan usia antara aku dan Embun.

“Maaf agak lama.” Kataku.
“Bukan masalah.”
“Yuk, buruan. Kita jemput Icha, lalu Indah, lalu kita ke tempat biasa.” Lanjutnya.

Mobil paling bertenaga itu, mobil yang membuat pengendaranya bagaikan pembalap profesional. Aku tidak ingat, kapan terakhir kalinya aku menikmati penuh keadaan nyaman dan aman saat menumpangi mobil berkelas ini. Sekarang aku punya gelisah, aku mulai kepikiran, memikirkan sebuah alasan yang mungkin dianggap tabu atau dibiarkan terbongkar pada waktu yang tidak ditentukan. Hu, ini sungguh menyita asaku.

Tak berapa lama, kami tiba di pinggir lapangan yang luas. Ada jalan tol yang masih proses pembangunan, belum jadi. Ada anak-anak yang bermain sepak bola juga. Icha dan Indah sibuk dengan kegembiraan mereka masing-masing. Aku dan Embun duduk menghadap jalanan panjang itu. Di sekitar kami banyak ditumbuhi alang-alang. Jika kami perhatikan, di atas sana, banyak burung yang berterbangan. Desir angin yang membawa debu ikut berpetualang pun turut menggelitik tubuh kami. Aku suka, sangat suka. Ditambah, sebentar lagi matahari terbenam. Momen setelahnya yang selalu aku puja. Senja.

“Tadi pagi Papa tanya kabar kamu. Terus aku jawab, kamu baik-baik saja.” Aku memulai pembicaraan. Cukup klise, monoton atau apalah namanya, intinya kurang menarik. Tetapi ini lebih bagus, daripada kami terus dalam diam.
“Nanti aku mampir. Lama juga aku tidak bertemu orang tuamu.” Ucap Embun.
“Senja…” Aku belum selesai bicara.
“Senjanya kok gelap ya? Gak merah kayak waktu kita di Anyer.” Embun memotong.

Kami memandang langit senja lekat-lekat. Embun berusaha mengalihkan, dia tidak tenang.

“Maksudku, kak Senja. Aku tahu dia perempuan yang pernah kamu ceritakan waktu kita ke Mall.” Ungkapku. Embun membisu, membatu, mematung. Dia bingung harus menyikapi kalimatku dengan bagaimana. Setelah aku rasa aku sudah cukup membuatnya seperti terpenjara atau tercekik atau mati rasa atau apapun itu sebutannya. Aku melanjutkan perkataanku lagi.
“Sepertinya, dia masih mengharapkanmu.”
“Jangan salah sangka. Dia tidak pernah menyayangiku seperti dia menyayangi Fajar saat ini.” Embun menyangkal.
“Jadi, selama ini kamu masih memperhatikannya?” Selidikku.
“Ti-tidaklah. Ah, apa harus membahas tentangnya? Jika Fajar tahu, dia akan tersinggung. Bisamu hanya mengungkit masa lalu orang dan membuat yang lain sakit hati. Sama sekali tidak menyenangkan.” Gerutu Embun.

Ha, siapa yang dia kecam? Akukah?

“Bukan. Aku cuma ingin tahu, mengapa di usia kepala tiga begini kamu belum juga menikah? Maksudku, melamarku begitu.” Wah, beraninya diriku. Sedikit tidak enak hati. Masalahnya, ini terus-terang yang memalukan. Mempermalukan Embun dan mempermalukanku juga.
“Menurutmu, aku sudah terlalu tua?” Tanya Embun menekankan pandangannya kepadaku.
“I-iya. Iya untuk seorang lelaki yang berusia 31 tahun, belum punya anak, bahkan lebih parah jika dia belum memiliki kekasih. Hehehe. Setidaknya, lelaki itu normal. Masih punya rasa cinta dan kemauan untuk menikah.”
“Siapa yang kamu bicarakan?”
“Bu-bukan kamu pastinya. Ah, sudahlah. Lupakan.” Aku muak., batinku.
“Menikah itu tidak semudah menulis puisi atau cerpen…”
“Kata siapa menulis puisi atau cerpen itu mudah?” Kali ini aku yang memotong.
“Dengarkan dulu.” Tegasnya.

Panjang lebar Embun menjelaskan padaku tentang satu hal yang selama ini ingin aku ketahui darinya. Akhirnya, aku dapat mengenal orang yang ku percayai untuk menjaga hatiku dengan baik.

Siapapun pasti ingin menikah. Selain menikah adalah ibadah. Bagi seorang perempuan, pernikahan adalah hal yang paling membahagiakan. Dan bagi seorang lelaki, pernikahan adalah sebuah tanggungjawab yang menghasilkan tanggungjawab-tanggungjawab berikutnya. Maka untuk menikahi seseorang, diperlukan kesiapan yang matang, dari materi, spiritual, hingga kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang nanti.

Embun sudah jujur, sudah mengungkapkan semua yang berkenaan dengan alasannya belum menikah di usia yang beranjak 32 tahun itu. Tetapi aku merasa kurang puas, aku merasa masih ada satu kejanggalan lagi yang Embun tutup-tutupi dariku. Entah apa, yang paling penting, aku harus bisa mempertahankan keyakinan Embun yang telah memilihku sebagai calon pendamping hidupnya di dunia ini. Semoga juga di akhirat kelak.

Kamis, 12 Juni 2014

EMBUN FEAT JINGGA 7



(Senja Bersahaja)

“Kenapa kesini? Kamu bilang kita akan nonton film baru, kamu membohongiku?” Protes Embun.
Setelah berada di depan toko buku di sebuah Mall, di bilangan Jakarta Selatan, Embun mendengus kesal. Aku tahu akhir-akhir ini dia sedang malas membaca buku, kecuali majalah, ya majalah musik, tentang musik, selalu musik.
“Sebentar saja. Ada buku yang ingin ku beli.” Aku menarik kedua tangannya, memaksanya untuk mau menurutiku.

Berhasil. Aku menelusuri rak-rak buku best seller, buku laris dan buku baru. Terutama genre novel roman. Raut muka Embun kusam, tidak seantusias tadi ketika tujuan pertamaku adalah mengajaknya nonton film di bioskop. Baginya, aku sungguh menyebalkan.

Dia memandang murka pada setiap buku yang tertangkap kedua matanya. Sebenarnya, Embun suka membaca, genre apapun itu. Tetapi, entah mengapa, dia menjadi sangat segan untuk melahap ratusan lembar halaman yang berisi tulisan semua, tanpa ada gambar atau warna, kecuali cover dan backcovernya.

“Nah, ini yang ku cari. Bagaimana? Baguskan?” Tanyaku, sambil menunjukkan padanya sebuah novel roman berjudul ‘Cinta Harus Memiliki’.

Embun hanya melirik sekilas lalu menggelengkan kepala. Aku mengerti apa yang ada di dalam pikirannya, novel itu terlalu mengharukan. Ya, cukup salut dengan ketangguhan dari judul tersebut. Bahkan bisa dibayangkan, bisa ditebak, bagaimana si penulis sangat optimis menyampaikan pesan yang ingin disebarkannya. Tetapi sedikit cengeng. Dan Embun kurang menyukai itu. Ha, seorang musisi seperti dirinya seharusnya bisa mengapresiasi buku bergenre apapun, tidak memihak pada apa yang menjadi kesukaannya saja. Atau dia sedang trauma? Tidak nafsu membaca buku fiksi?

Lihat, sebuah buku yang dia pegang, buku tentang perjalanan hidup seorang maestro biola Indonesia yang telah meninggal dunia. Aku sadar, aku patut bangga memiliki kekasih seperti Embun. Selera bacanya tinggi.

“Hey, sudah lama tidak bertemu. Masih ingat dengankukan?” Seorang perempuan tiba-tiba menghampiri Embun. Membuatnya tercengang.
“Ternyata bertemu di tempat seperti ini. Dan buku bacaanmu tidak pernah berubah.” Lanjutnya.

Huh, siapa perempuan itu? Aku bertanya-tanya dalam hati. Penampilannya jauh lebih baik dariku. Ibarat buku tulis anak sekolah, ada yang disampul, ada yang tidak. Dia berjilbab, aku tidak. Perempuan muslim macam apa aku ini? Batinku.

Embun melirik ke sekitar perempuan yang ada di hadapannya. Mencari seseorang.

“Aku sendirian. Fajar tidak ikut.” Celotehnya.

Kejutan! Aku muncul mendadak. Bukan maksud ingin membuat jantung Embun dan perempuan itu berdetak hebat. Tetapi aku ingin mencairkan suasana. Aku merasa Embun cukup tegang dan ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Mungkin rindu, mungkin juga ketidaksangkaan, atau canggung. Ah, tentu saja. Sesuatu itu yang membuat mereka menjadi canggung, sesuatu yang tidak bisa aku tebak, sesuatu yang hanya mereka yang tahu dan merasakannya.

“Hey, i-ni pasti yang namanya Jingga. Hallo, salam kenal, aku Senja.” Dia mengulurkan tangan.
“Iya, salam kenal.” Kami bersalaman.

Senyumnya manis sekali. Aku sampai iri. Mengapa ada senyum semanis itu? Senyum yang mampu meluluhkan hati lawan bicaranya. Bahkan aku tidak punya lesung pipit seperti dia. Ha, serius, aku sudah kalah banyak.

“Aku pacarnya Fajar. Fajar sering cerita tentang kamu. Tentang seseorang yang Embun sanjung-sanjungkan. Seseorang yang bisa menakhlukkannya. Membuatnya lebih bersemangat, lebih menikmati hidup dan yang pasti, lebih menghargai dirinya sendiri.” Ungkap Senja.

Mungkin Senja seorang pendengar yang baik. Aku tidak boleh berprasangka curiga dahulu. Apa yang Senja ungkapkan adalah hal-hal yang ia ketahui tentang Embun dari Fajar. Dari kekasihnya. Tak lain, tak bukan, Embun merupakan calon kakak iparnya. Tentu Senja mulai mengenali kehidupan keluarga Fajar, termasuk Embun.

Ah, tetapi kenapa tatapan mereka sama? Embun tidak pernah menatapku seperti itu, seperti ia menatap Senja kini.

“Ish, kak Fajar curang. Dia cerita ke kakak tentang aku, tetapi dia tidak pernah cerita ke aku tentang kakak. Pandai sekali dia menyembunyikan status percintaannya. Mempunyai pacar secantik kakak pasti membanggakan ya? Benarkan?” Kataku. Memandang Senja dan Embun bergantian. Mereka sedikit salah tingkah.
“Jangan banyak bicara. Sebaiknya kita bayar buku yang mau kamu beli sekarang.” Embun mengalihkan. Dia merangkulku untuk segera pergi ke kasir.
“Apa sih, aku belum selesai bicara dengan kak Senja.” Aku cukup kesal. Embun selalu merusak suasana. Dia tidak pernah membuat lawan bicaranya merasa nyaman lebih lama berada di dekatnya. Huft. Selalu menjengkelkan.
“Tidak apa-apa, lain waktu kita bisa bicara banyak.” Sambung Senja.
“Baiklah, mohon maaf atas perlakuan bocah ini ya kak.” Mohonku.
“Siapa yang kamu sebut bocah?” Tanya Embun geram.
“Ah, memangnya siapa yang ku sebut bocah.” Aku mengelak.

Senja tersenyum kecil. Entah ikut senang, menganggap ini lelucon atau apalah itu yang ada di benaknya, intinya dia merasa lega. Hatinya sedikit lebih lapang. Seperti beban yang selama ini menumpuk di pundaknya, sedikit demi sedikit telah hilang.

“Sabtu ini kalian ikut Fajar ke Ambon kan?” Tanya Senja memastikan, sebelum kami benar-benar meninggalkannya.

Aku menatap Embun licik. Hehe. Rupanya ada tanda-tanda bahwa Senja juga ikut bersama Fajar. Pastinyalah, dia kan pacar.

“Iya kak.” Jawabku teguh.
“Okey, sampai jumpa nanti.” Harap Senja.

Dia berlalu begitu saja. Yang penting aku sudah tahu, aku akan bertemu dengannya lagi. 7 hari di Ambon, Embun tidak boleh mengacaukan pendekatanku dengan Senja. Sekali saja dia tidak jahat tehadapku, tidak bisa ya? Ha, kekasih macam apa si dia itu? Sebentar menyenangkan, sebentar menyebalkan.

“Hhm, kak Fajar beruntung sekali mempunyai pacar seperti kak Senja. Sholeha, bersahaja, punya lesung pipit, senyumnya manis, cantik. Nyaris sempurna deh pokoknya.” Pujiku.
“Jangan berlebihan. Tidak ada yang nyaris sempurna di dunia ini. Bungkusan yang indah belum tentu isinya juga indah.” Sindir Embun.
“Maksudmu apa?”
“Tidak ada maksud apa-apa.”

Kami mengantri di kasir. Selama itu pula kami berdebat dan terus saja terlihat tidak akur.

Di perjalanan menuju parkiran, aku memikirkan sesuatu. Aku penasaran dengan Senja. Setelah aku satukan semua pertanda, semua pernyataan dari Senja dengan masa lalu Embun dan Fajar yang pernah menyukai satu perempuan yang sama ketika SMA. Aku menemukan kesimpulannya. Ya, Senja bukanlah orang baru dalam hidup Embun. Senja kekasih Fajar, Senja itu adalah cinta pertama Embun. Cinta yang Embun relakan untuk saudara kembarnya. Ha, aku mendadak lemas, tidak bertenaga. Rasanya seperti dipukul benda keras dan aku menjadi sangat berat untuk melangkah.

“Kenapa?” Tanya Embun. Dia khawatir melihat wajahku yang memucat. Aku urungkan niat untuk mengatakan apa yang ingin aku ungkapkan. Sebenarnya aku sedih, aku kecewa, aku tidak enak hati. Aku seperti orang bodoh, aku baru menyadari siapa Senja sekarang. Sungguh telat. Tetapi, mungkin ini cara Tuhan demi meminimalisir pertengkaran aku dan Embun. Tuhan memang maha penyayang.