Kamis, 12 Juni 2014

EMBUN FEAT JINGGA 7



(Senja Bersahaja)

“Kenapa kesini? Kamu bilang kita akan nonton film baru, kamu membohongiku?” Protes Embun.
Setelah berada di depan toko buku di sebuah Mall, di bilangan Jakarta Selatan, Embun mendengus kesal. Aku tahu akhir-akhir ini dia sedang malas membaca buku, kecuali majalah, ya majalah musik, tentang musik, selalu musik.
“Sebentar saja. Ada buku yang ingin ku beli.” Aku menarik kedua tangannya, memaksanya untuk mau menurutiku.

Berhasil. Aku menelusuri rak-rak buku best seller, buku laris dan buku baru. Terutama genre novel roman. Raut muka Embun kusam, tidak seantusias tadi ketika tujuan pertamaku adalah mengajaknya nonton film di bioskop. Baginya, aku sungguh menyebalkan.

Dia memandang murka pada setiap buku yang tertangkap kedua matanya. Sebenarnya, Embun suka membaca, genre apapun itu. Tetapi, entah mengapa, dia menjadi sangat segan untuk melahap ratusan lembar halaman yang berisi tulisan semua, tanpa ada gambar atau warna, kecuali cover dan backcovernya.

“Nah, ini yang ku cari. Bagaimana? Baguskan?” Tanyaku, sambil menunjukkan padanya sebuah novel roman berjudul ‘Cinta Harus Memiliki’.

Embun hanya melirik sekilas lalu menggelengkan kepala. Aku mengerti apa yang ada di dalam pikirannya, novel itu terlalu mengharukan. Ya, cukup salut dengan ketangguhan dari judul tersebut. Bahkan bisa dibayangkan, bisa ditebak, bagaimana si penulis sangat optimis menyampaikan pesan yang ingin disebarkannya. Tetapi sedikit cengeng. Dan Embun kurang menyukai itu. Ha, seorang musisi seperti dirinya seharusnya bisa mengapresiasi buku bergenre apapun, tidak memihak pada apa yang menjadi kesukaannya saja. Atau dia sedang trauma? Tidak nafsu membaca buku fiksi?

Lihat, sebuah buku yang dia pegang, buku tentang perjalanan hidup seorang maestro biola Indonesia yang telah meninggal dunia. Aku sadar, aku patut bangga memiliki kekasih seperti Embun. Selera bacanya tinggi.

“Hey, sudah lama tidak bertemu. Masih ingat dengankukan?” Seorang perempuan tiba-tiba menghampiri Embun. Membuatnya tercengang.
“Ternyata bertemu di tempat seperti ini. Dan buku bacaanmu tidak pernah berubah.” Lanjutnya.

Huh, siapa perempuan itu? Aku bertanya-tanya dalam hati. Penampilannya jauh lebih baik dariku. Ibarat buku tulis anak sekolah, ada yang disampul, ada yang tidak. Dia berjilbab, aku tidak. Perempuan muslim macam apa aku ini? Batinku.

Embun melirik ke sekitar perempuan yang ada di hadapannya. Mencari seseorang.

“Aku sendirian. Fajar tidak ikut.” Celotehnya.

Kejutan! Aku muncul mendadak. Bukan maksud ingin membuat jantung Embun dan perempuan itu berdetak hebat. Tetapi aku ingin mencairkan suasana. Aku merasa Embun cukup tegang dan ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Mungkin rindu, mungkin juga ketidaksangkaan, atau canggung. Ah, tentu saja. Sesuatu itu yang membuat mereka menjadi canggung, sesuatu yang tidak bisa aku tebak, sesuatu yang hanya mereka yang tahu dan merasakannya.

“Hey, i-ni pasti yang namanya Jingga. Hallo, salam kenal, aku Senja.” Dia mengulurkan tangan.
“Iya, salam kenal.” Kami bersalaman.

Senyumnya manis sekali. Aku sampai iri. Mengapa ada senyum semanis itu? Senyum yang mampu meluluhkan hati lawan bicaranya. Bahkan aku tidak punya lesung pipit seperti dia. Ha, serius, aku sudah kalah banyak.

“Aku pacarnya Fajar. Fajar sering cerita tentang kamu. Tentang seseorang yang Embun sanjung-sanjungkan. Seseorang yang bisa menakhlukkannya. Membuatnya lebih bersemangat, lebih menikmati hidup dan yang pasti, lebih menghargai dirinya sendiri.” Ungkap Senja.

Mungkin Senja seorang pendengar yang baik. Aku tidak boleh berprasangka curiga dahulu. Apa yang Senja ungkapkan adalah hal-hal yang ia ketahui tentang Embun dari Fajar. Dari kekasihnya. Tak lain, tak bukan, Embun merupakan calon kakak iparnya. Tentu Senja mulai mengenali kehidupan keluarga Fajar, termasuk Embun.

Ah, tetapi kenapa tatapan mereka sama? Embun tidak pernah menatapku seperti itu, seperti ia menatap Senja kini.

“Ish, kak Fajar curang. Dia cerita ke kakak tentang aku, tetapi dia tidak pernah cerita ke aku tentang kakak. Pandai sekali dia menyembunyikan status percintaannya. Mempunyai pacar secantik kakak pasti membanggakan ya? Benarkan?” Kataku. Memandang Senja dan Embun bergantian. Mereka sedikit salah tingkah.
“Jangan banyak bicara. Sebaiknya kita bayar buku yang mau kamu beli sekarang.” Embun mengalihkan. Dia merangkulku untuk segera pergi ke kasir.
“Apa sih, aku belum selesai bicara dengan kak Senja.” Aku cukup kesal. Embun selalu merusak suasana. Dia tidak pernah membuat lawan bicaranya merasa nyaman lebih lama berada di dekatnya. Huft. Selalu menjengkelkan.
“Tidak apa-apa, lain waktu kita bisa bicara banyak.” Sambung Senja.
“Baiklah, mohon maaf atas perlakuan bocah ini ya kak.” Mohonku.
“Siapa yang kamu sebut bocah?” Tanya Embun geram.
“Ah, memangnya siapa yang ku sebut bocah.” Aku mengelak.

Senja tersenyum kecil. Entah ikut senang, menganggap ini lelucon atau apalah itu yang ada di benaknya, intinya dia merasa lega. Hatinya sedikit lebih lapang. Seperti beban yang selama ini menumpuk di pundaknya, sedikit demi sedikit telah hilang.

“Sabtu ini kalian ikut Fajar ke Ambon kan?” Tanya Senja memastikan, sebelum kami benar-benar meninggalkannya.

Aku menatap Embun licik. Hehe. Rupanya ada tanda-tanda bahwa Senja juga ikut bersama Fajar. Pastinyalah, dia kan pacar.

“Iya kak.” Jawabku teguh.
“Okey, sampai jumpa nanti.” Harap Senja.

Dia berlalu begitu saja. Yang penting aku sudah tahu, aku akan bertemu dengannya lagi. 7 hari di Ambon, Embun tidak boleh mengacaukan pendekatanku dengan Senja. Sekali saja dia tidak jahat tehadapku, tidak bisa ya? Ha, kekasih macam apa si dia itu? Sebentar menyenangkan, sebentar menyebalkan.

“Hhm, kak Fajar beruntung sekali mempunyai pacar seperti kak Senja. Sholeha, bersahaja, punya lesung pipit, senyumnya manis, cantik. Nyaris sempurna deh pokoknya.” Pujiku.
“Jangan berlebihan. Tidak ada yang nyaris sempurna di dunia ini. Bungkusan yang indah belum tentu isinya juga indah.” Sindir Embun.
“Maksudmu apa?”
“Tidak ada maksud apa-apa.”

Kami mengantri di kasir. Selama itu pula kami berdebat dan terus saja terlihat tidak akur.

Di perjalanan menuju parkiran, aku memikirkan sesuatu. Aku penasaran dengan Senja. Setelah aku satukan semua pertanda, semua pernyataan dari Senja dengan masa lalu Embun dan Fajar yang pernah menyukai satu perempuan yang sama ketika SMA. Aku menemukan kesimpulannya. Ya, Senja bukanlah orang baru dalam hidup Embun. Senja kekasih Fajar, Senja itu adalah cinta pertama Embun. Cinta yang Embun relakan untuk saudara kembarnya. Ha, aku mendadak lemas, tidak bertenaga. Rasanya seperti dipukul benda keras dan aku menjadi sangat berat untuk melangkah.

“Kenapa?” Tanya Embun. Dia khawatir melihat wajahku yang memucat. Aku urungkan niat untuk mengatakan apa yang ingin aku ungkapkan. Sebenarnya aku sedih, aku kecewa, aku tidak enak hati. Aku seperti orang bodoh, aku baru menyadari siapa Senja sekarang. Sungguh telat. Tetapi, mungkin ini cara Tuhan demi meminimalisir pertengkaran aku dan Embun. Tuhan memang maha penyayang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar