(Senja Bersahaja)
“Kenapa kesini? Kamu bilang kita
akan nonton film baru, kamu membohongiku?” Protes Embun.
Setelah berada di depan toko
buku di sebuah Mall, di bilangan Jakarta Selatan, Embun mendengus kesal. Aku
tahu akhir-akhir ini dia sedang malas membaca buku, kecuali majalah, ya majalah
musik, tentang musik, selalu musik.
“Sebentar saja. Ada buku yang
ingin ku beli.” Aku menarik kedua tangannya, memaksanya untuk mau menurutiku.
Berhasil. Aku menelusuri rak-rak
buku best seller, buku laris dan buku baru. Terutama genre novel roman. Raut
muka Embun kusam, tidak seantusias tadi ketika tujuan pertamaku adalah
mengajaknya nonton film di bioskop. Baginya, aku sungguh menyebalkan.
Dia memandang murka pada setiap
buku yang tertangkap kedua matanya. Sebenarnya, Embun suka membaca, genre
apapun itu. Tetapi, entah mengapa, dia menjadi sangat segan untuk melahap
ratusan lembar halaman yang berisi tulisan semua, tanpa ada gambar atau warna,
kecuali cover dan backcovernya.
“Nah, ini yang ku cari.
Bagaimana? Baguskan?” Tanyaku, sambil menunjukkan padanya sebuah novel roman
berjudul ‘Cinta Harus Memiliki’.
Embun hanya melirik sekilas lalu
menggelengkan kepala. Aku mengerti apa yang ada di dalam pikirannya, novel itu
terlalu mengharukan. Ya, cukup salut dengan ketangguhan dari judul tersebut.
Bahkan bisa dibayangkan, bisa ditebak, bagaimana si penulis sangat optimis
menyampaikan pesan yang ingin disebarkannya. Tetapi sedikit cengeng. Dan Embun
kurang menyukai itu. Ha, seorang musisi seperti dirinya seharusnya bisa
mengapresiasi buku bergenre apapun, tidak memihak pada apa yang menjadi
kesukaannya saja. Atau dia sedang trauma? Tidak nafsu membaca buku fiksi?
Lihat, sebuah buku yang dia
pegang, buku tentang perjalanan hidup seorang maestro biola Indonesia yang
telah meninggal dunia. Aku sadar, aku patut bangga memiliki kekasih seperti
Embun. Selera bacanya tinggi.
“Hey, sudah lama tidak bertemu.
Masih ingat dengankukan?” Seorang perempuan tiba-tiba menghampiri Embun.
Membuatnya tercengang.
“Ternyata bertemu di tempat
seperti ini. Dan buku bacaanmu tidak pernah berubah.” Lanjutnya.
Huh, siapa perempuan itu? Aku
bertanya-tanya dalam hati. Penampilannya jauh lebih baik dariku. Ibarat buku
tulis anak sekolah, ada yang disampul, ada yang tidak. Dia berjilbab, aku
tidak. Perempuan muslim macam apa aku ini? Batinku.
Embun melirik ke sekitar
perempuan yang ada di hadapannya. Mencari seseorang.
“Aku sendirian. Fajar tidak
ikut.” Celotehnya.
Kejutan! Aku muncul mendadak.
Bukan maksud ingin membuat jantung Embun dan perempuan itu berdetak hebat.
Tetapi aku ingin mencairkan suasana. Aku merasa Embun cukup tegang dan ada
sesuatu yang mereka sembunyikan. Mungkin rindu, mungkin juga ketidaksangkaan,
atau canggung. Ah, tentu saja. Sesuatu itu yang membuat mereka menjadi
canggung, sesuatu yang tidak bisa aku tebak, sesuatu yang hanya mereka yang
tahu dan merasakannya.
“Hey, i-ni pasti yang namanya
Jingga. Hallo, salam kenal, aku Senja.” Dia mengulurkan tangan.
“Iya, salam kenal.” Kami
bersalaman.
Senyumnya manis sekali. Aku
sampai iri. Mengapa ada senyum semanis itu? Senyum yang mampu meluluhkan hati
lawan bicaranya. Bahkan aku tidak punya lesung pipit seperti dia. Ha, serius,
aku sudah kalah banyak.
“Aku pacarnya Fajar. Fajar
sering cerita tentang kamu. Tentang seseorang yang Embun sanjung-sanjungkan.
Seseorang yang bisa menakhlukkannya. Membuatnya lebih bersemangat, lebih
menikmati hidup dan yang pasti, lebih menghargai dirinya sendiri.” Ungkap Senja.
Mungkin Senja seorang pendengar
yang baik. Aku tidak boleh berprasangka curiga dahulu. Apa yang Senja ungkapkan
adalah hal-hal yang ia ketahui tentang Embun dari Fajar. Dari kekasihnya. Tak
lain, tak bukan, Embun merupakan calon kakak iparnya. Tentu Senja mulai
mengenali kehidupan keluarga Fajar, termasuk Embun.
Ah, tetapi kenapa tatapan mereka
sama? Embun tidak pernah menatapku seperti itu, seperti ia menatap Senja kini.
“Ish, kak Fajar curang. Dia
cerita ke kakak tentang aku, tetapi dia tidak pernah cerita ke aku tentang
kakak. Pandai sekali dia menyembunyikan status percintaannya. Mempunyai pacar
secantik kakak pasti membanggakan ya? Benarkan?” Kataku. Memandang Senja dan
Embun bergantian. Mereka sedikit salah tingkah.
“Jangan banyak bicara. Sebaiknya
kita bayar buku yang mau kamu beli sekarang.” Embun mengalihkan. Dia
merangkulku untuk segera pergi ke kasir.
“Apa sih, aku belum selesai
bicara dengan kak Senja.” Aku cukup kesal. Embun selalu merusak suasana. Dia
tidak pernah membuat lawan bicaranya merasa nyaman lebih lama berada di
dekatnya. Huft. Selalu menjengkelkan.
“Tidak apa-apa, lain waktu kita
bisa bicara banyak.” Sambung Senja.
“Baiklah, mohon maaf atas
perlakuan bocah ini ya kak.” Mohonku.
“Siapa yang kamu sebut bocah?”
Tanya Embun geram.
“Ah, memangnya siapa yang ku
sebut bocah.” Aku mengelak.
Senja tersenyum kecil. Entah
ikut senang, menganggap ini lelucon atau apalah itu yang ada di benaknya,
intinya dia merasa lega. Hatinya sedikit lebih lapang. Seperti beban yang
selama ini menumpuk di pundaknya, sedikit demi sedikit telah hilang.
“Sabtu ini kalian ikut Fajar ke
Ambon kan?” Tanya Senja memastikan, sebelum kami benar-benar meninggalkannya.
Aku menatap Embun licik. Hehe.
Rupanya ada tanda-tanda bahwa Senja juga ikut bersama Fajar. Pastinyalah, dia
kan pacar.
“Iya kak.” Jawabku teguh.
“Okey, sampai jumpa nanti.”
Harap Senja.
Dia berlalu begitu saja. Yang
penting aku sudah tahu, aku akan bertemu dengannya lagi. 7 hari di Ambon, Embun
tidak boleh mengacaukan pendekatanku dengan Senja. Sekali saja dia tidak jahat
tehadapku, tidak bisa ya? Ha, kekasih macam apa si dia itu? Sebentar
menyenangkan, sebentar menyebalkan.
“Hhm, kak Fajar beruntung sekali
mempunyai pacar seperti kak Senja. Sholeha, bersahaja, punya lesung pipit,
senyumnya manis, cantik. Nyaris sempurna deh pokoknya.” Pujiku.
“Jangan berlebihan. Tidak ada
yang nyaris sempurna di dunia ini. Bungkusan yang indah belum tentu isinya juga
indah.” Sindir Embun.
“Maksudmu apa?”
“Tidak ada maksud apa-apa.”
Kami mengantri di kasir. Selama
itu pula kami berdebat dan terus saja terlihat tidak akur.
Di perjalanan menuju parkiran,
aku memikirkan sesuatu. Aku penasaran dengan Senja. Setelah aku satukan semua
pertanda, semua pernyataan dari Senja dengan masa lalu Embun dan Fajar yang
pernah menyukai satu perempuan yang sama ketika SMA. Aku menemukan
kesimpulannya. Ya, Senja bukanlah orang baru dalam hidup Embun. Senja kekasih
Fajar, Senja itu adalah cinta pertama Embun. Cinta yang Embun relakan untuk
saudara kembarnya. Ha, aku mendadak lemas, tidak bertenaga. Rasanya seperti
dipukul benda keras dan aku menjadi sangat berat untuk melangkah.
“Kenapa?” Tanya Embun. Dia
khawatir melihat wajahku yang memucat. Aku urungkan niat untuk mengatakan apa
yang ingin aku ungkapkan. Sebenarnya aku sedih, aku kecewa, aku tidak enak
hati. Aku seperti orang bodoh, aku baru menyadari siapa Senja sekarang. Sungguh
telat. Tetapi, mungkin ini cara Tuhan demi meminimalisir pertengkaran aku dan
Embun. Tuhan memang maha penyayang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar