A BUNCH OF ROSES
(That i wrote for youuu)
“Siang ini
benar-benar panas
Ada salju bikin
membeku
Es benar-benar
dingin
Ada matahari bikin
meleleh”
“Selamat pagi Indonesia, selamat pagi Jerman.”
Lisa menyapa alam lewat rutinitas di pagi harinya. Yaitu
membuka jendela kamar sambil teriak pada semesta yang terjangkau oleh kedua
mata. Kita akan merasa lebih hidup jika kita selalu bersyukur. Dengan begitu,
Tuhan akan senantiasa menuntun kita di jalan-Nya.
Mandi, berpakaian rapi, berdandan selayaknya, memakai
sepatu, dan bersiap untuk pergi. Hari ini Lisa serasi sekali. Sepatu lars krem
terlihat menggemaskan di kedua kakinya. Celana hitam panjang dengan kaos merah
maroon panjang yang kebesaran, ditambah kardigan berwarna krem, jilbab merah
maroon, dan aksesoris lainnya, membuat dia tampak semakin berkarakter dan
elegan.
Sebenarnya 6 jam lagi acara baru dimulai, tetapi Lisa
ingin tiba lebih awal agar santai dan dapat menikmati suasana. Ia akan
menghadiri sebuah pertunjukkan seni instrumental kolaborasi para musisi
Indonesia dan Jerman. Di Ballroom Hotel di bilangan Jakarta Pusat.
Ada seorang violin asal Jerman yang sangat Lisa idolakan.
Lisa sengaja datang karena ingin melihat penampilannya. Seseorang yang lahir
pada tanggal 06 Juni, Iskandar Widjaja. Ya, Lisa sangat mengagumi kepandaian
violin yang biasa disapa dengan nama Issi tersebut. Apalagi Issi tinggal di
Jerman, maka dari itu ketika Issi datang ke Indonesia, sebisa mungkin Lisa
harus bertemu dengannya. Issi adalah salah satu semangat Lisa dalam menulis,
menulis apapun yang ia suka.
Pukul sepuluh Lisa sudah sampai di depan Ballroom Hotel.
Beberapa panitia masih sibuk menata tempat registrasi, coffee break, photo booth,
dan ada ruang makan siang spesial dengan Issi bagi 5 orang yang beruntung. Lisa
berharap, ia menjadi salah satunya.
“Papa Ivan? Itu Papa Ivan kan?” Lisa melihat seseorang
yang ia kenal baru datang dari arah restoran.
Dengan ragu, Lisa ingin menghampirinya. Butuh kekuatan
untuk menampakkan diri di depan Papa Ivan, ia adalah Ayah sekaligus manajer
Issi. Setelah menarik napas dan mengembuskannya, Lisa tegap mendekati Papa Ivan
yang sekarang sedang mengobrol dengan teman laki-lakinya.
“Papa Ivan,” sapa Lisa, “Aku Delisa.”
Sodoran tangan Lisa disambut hangat oleh Papa Ivan. Bahkan
beliau sempat merentangkan kedua tangan, membawa Lisa ke dalam dekapan.
“Hallo, Apa kabar?”
“Alhamdulillah baik, Pa,”
“Kamu kok sudah datang jam segini? Masih 3 jam lagi lho,”
tanya Papa Ivan heran, sambil menengok jam di tangan kirinya.
“Iya, aku enggak mau telat, pengin lihat Issi dari dia
baru datang sampai mau pulang, hehehe,”
“Wah, keren banget, bagus-bagus.”
“Eum, saya tinggal dulu ya, kamu boleh
keliling-keliling.” Lanjutnya.
Aw, senangnya jadi yang pertama datang. Bisa sempat berbicara
dengan Papa Ivan. Lisa merasa hari ini ia beruntung sekali.
3 jam kemudian. Ballroom Hotel sudah penuh dengan hadirin
dan tamu undangan. Lisa melakukan registrasi dengan tiket yang dibelinya
seharga tidak murah itu. Ia mendapatkan goodie bag dan gelang bertanda khusus.
Lalu masuk ke ruang pertunjukkan. Duduk di kursi barisan paling depan. Sedikit
takjub ketika mengetahui betapa luasnya ruangan ini. Namun tak berapa lama, ia
dikejutkan lagi dengan opening pertunjukkan itu.
Iskandar Widjaja tampil memainkan alat musik yang sudah
menjadi bagian dari jiwanya, dari hidupnya, Biola. Dengan lagu andalannya,
Burn. Issi memainkan biola sebegitu ekspresifnya. Membuat Lisa nyaris tak
berkedip. Bahkan sesekali Lisa mengambil gambar penampilan Issi itu dengan
kamera digitalnya.
“Nada-nada saling
berkejaran
Dengarkanlah!
Kertas-kertas not
berkelebat
Perhatikanlah!
Seseorang yang di
sana bermain karena cinta
Ia ada karena
cinta
Di sini ada karena
cinta
Simfoni ini akan
jadi sejarah
Bagi orang-orang
yang mendasari segala sesuatunya dengan cinta”
“Issiii,” teriak Lisa sekuat-kuatnya.
2 jam berlalu. Acara telah usai. Sekali lagi, lisa
beruntung, ia terpilih menjadi salah satu dari 5 orang yang terpilih untuk
makan siang spesial bersama Issi. Benar-benar campur tangan Tuhan. Hari ini
hari ulang tahun Lisa yang ke-20. Rasa senangnya sudah menjadi dua kali lipat.
Pertama karena dia berulangtahun, kedua karena dia dapat melihat Issi dengan
puas.
Makan siang dilaksanakan di sebuah restoran di Hotel yang
sama. 5 orang terpilih telah bergabung dalam satu meja. Ada Papa Ivan, dan Mama
Issi, beberapa tamu undangan penting, juga… Issi. Yeay!
Kurang lebih satu meter, Lisa mendadak kelu. Issi begitu
dekat dengannya. Aaa, seperti sedang diinvestigasi. Tidak akan mau berbicara
jika tidak ditanya.
“Selamat datang semua,” sapa Issi dengan Bahasa
Inggrisnya yang lancar.
Dijawab antusias oleh para penggemar (5 orang tadi).
“Terima kasih sudah hadir di acara ini, saya senang
sekali.” Lanjutnya.
“Oke, sudah sore, sudah lewat jam makan siang. Jadi,
silakan disantap menu hidangannya. Setelah ini kita akan foto bersama. Sebelum
makan, berdoa dahulu sesuai kepercayaan masing-masing. Berdoa dimulai.” Pimpin
Papa Ivan.
Setelah berdoa, mereka pun makan. Lisa sesekali curi
pandang ke arah Issi. Gaya makannya sangat lucu. Sangat khas, berhati-hati
namun terlihat seperti sudah biasa. Tak berapa lama, makan siang selesai.
Mereka berfoto bersama, dan melakukan percakapan kecil. Papa Ivan menghampiri
Lisa.
“Lis, mau foto berdua sama Issi?”
“Mau banget, Pa,” Lisa semangat.
“Yuk,” ajaknya.
Lisa mengikuti Papa Ivan mendekati Issi di bangkunya.
Tetapi sebelumnya, Lisa sempat berkata pada Papa Ivan bahwa hari ini ia sedang
berulang tahun. Dengan respons baiknya, Papa Ivan pun memberitahu Issi soal
itu. Alhasil, Lisa mendapat sebuah kejutan dari violin asal Jerman tersebut.
Yaitu, seikat bunga mawar, yang Issi pinta dari seorang karyawan restoran.
“Selamat Ulang Tahun, Delisa,” Issi memberikan seikat
bunga itu kepada Lisa.
Lisa menerimanya dengan gugup, “Terima kasih, Issi.”
“Sukses terus, semoga kita bertemu lagi,”
“Aamiin,”
Tuhan tolong jangan biarkan degup jantung Lisa terdengar
oleh Issi, Papa Ivan, Mama, atau orang-orang yang ada di sekitar mereka.
Biarkanlah Lisa menikmati keadaan ini. Keadaan di mana ia sedang tidak bermimpi
atau mengkhayal.
“Senyum merekah
seperti bunga
Jantung berdebar
secepat napas yang berembus
Kadang tak mampu
berkata apa-apa
Kadang ingin
teriak sekeras asa yang terus meluap-luap
Inikah jatuh
cinta?
Atau bahagia
Atau tawa ceria dari
warna merah muda