Jumat, 28 November 2014

Short Story edition Iskandar Widjaja

A BUNCH OF ROSES

(That i wrote for youuu)


“Siang ini benar-benar panas
Ada salju bikin membeku
Es benar-benar dingin
Ada matahari bikin meleleh”

“Selamat pagi Indonesia, selamat pagi Jerman.”

Lisa menyapa alam lewat rutinitas di pagi harinya. Yaitu membuka jendela kamar sambil teriak pada semesta yang terjangkau oleh kedua mata. Kita akan merasa lebih hidup jika kita selalu bersyukur. Dengan begitu, Tuhan akan senantiasa menuntun kita di jalan-Nya.

Mandi, berpakaian rapi, berdandan selayaknya, memakai sepatu, dan bersiap untuk pergi. Hari ini Lisa serasi sekali. Sepatu lars krem terlihat menggemaskan di kedua kakinya. Celana hitam panjang dengan kaos merah maroon panjang yang kebesaran, ditambah kardigan berwarna krem, jilbab merah maroon, dan aksesoris lainnya, membuat dia tampak semakin berkarakter dan elegan.

Sebenarnya 6 jam lagi acara baru dimulai, tetapi Lisa ingin tiba lebih awal agar santai dan dapat menikmati suasana. Ia akan menghadiri sebuah pertunjukkan seni instrumental kolaborasi para musisi Indonesia dan Jerman. Di Ballroom Hotel di bilangan Jakarta Pusat.

Ada seorang violin asal Jerman yang sangat Lisa idolakan. Lisa sengaja datang karena ingin melihat penampilannya. Seseorang yang lahir pada tanggal 06 Juni, Iskandar Widjaja. Ya, Lisa sangat mengagumi kepandaian violin yang biasa disapa dengan nama Issi tersebut. Apalagi Issi tinggal di Jerman, maka dari itu ketika Issi datang ke Indonesia, sebisa mungkin Lisa harus bertemu dengannya. Issi adalah salah satu semangat Lisa dalam menulis, menulis apapun yang ia suka.


Pukul sepuluh Lisa sudah sampai di depan Ballroom Hotel. Beberapa panitia masih sibuk menata tempat registrasi, coffee break, photo booth, dan ada ruang makan siang spesial dengan Issi bagi 5 orang yang beruntung. Lisa berharap, ia menjadi salah satunya.

“Papa Ivan? Itu Papa Ivan kan?” Lisa melihat seseorang yang ia kenal baru datang dari arah restoran.

Dengan ragu, Lisa ingin menghampirinya. Butuh kekuatan untuk menampakkan diri di depan Papa Ivan, ia adalah Ayah sekaligus manajer Issi. Setelah menarik napas dan mengembuskannya, Lisa tegap mendekati Papa Ivan yang sekarang sedang mengobrol dengan teman laki-lakinya.

“Papa Ivan,” sapa Lisa, “Aku Delisa.”

Sodoran tangan Lisa disambut hangat oleh Papa Ivan. Bahkan beliau sempat merentangkan kedua tangan, membawa Lisa ke dalam dekapan.

“Hallo, Apa kabar?”
“Alhamdulillah baik, Pa,”
“Kamu kok sudah datang jam segini? Masih 3 jam lagi lho,” tanya Papa Ivan heran, sambil menengok jam di tangan kirinya.
“Iya, aku enggak mau telat, pengin lihat Issi dari dia baru datang sampai mau pulang, hehehe,”
“Wah, keren banget, bagus-bagus.”
“Eum, saya tinggal dulu ya, kamu boleh keliling-keliling.” Lanjutnya.
“Iya, Pa, terima kasih.”

Aw, senangnya jadi yang pertama datang. Bisa sempat berbicara dengan Papa Ivan. Lisa merasa hari ini ia beruntung sekali.

3 jam kemudian. Ballroom Hotel sudah penuh dengan hadirin dan tamu undangan. Lisa melakukan registrasi dengan tiket yang dibelinya seharga tidak murah itu. Ia mendapatkan goodie bag dan gelang bertanda khusus. Lalu masuk ke ruang pertunjukkan. Duduk di kursi barisan paling depan. Sedikit takjub ketika mengetahui betapa luasnya ruangan ini. Namun tak berapa lama, ia dikejutkan lagi dengan opening pertunjukkan itu.

Iskandar Widjaja tampil memainkan alat musik yang sudah menjadi bagian dari jiwanya, dari hidupnya, Biola. Dengan lagu andalannya, Burn. Issi memainkan biola sebegitu ekspresifnya. Membuat Lisa nyaris tak berkedip. Bahkan sesekali Lisa mengambil gambar penampilan Issi itu dengan kamera digitalnya.

“Nada-nada saling berkejaran
Dengarkanlah!
Kertas-kertas not berkelebat
Perhatikanlah!
Seseorang yang di sana bermain karena cinta
Ia ada karena cinta
Di sini ada karena cinta
Simfoni ini akan jadi sejarah
Bagi orang-orang yang mendasari segala sesuatunya dengan cinta”


“Issiii,” teriak Lisa sekuat-kuatnya.

2 jam berlalu. Acara telah usai. Sekali lagi, lisa beruntung, ia terpilih menjadi salah satu dari 5 orang yang terpilih untuk makan siang spesial bersama Issi. Benar-benar campur tangan Tuhan. Hari ini hari ulang tahun Lisa yang ke-20. Rasa senangnya sudah menjadi dua kali lipat. Pertama karena dia berulangtahun, kedua karena dia dapat melihat Issi dengan puas.

Makan siang dilaksanakan di sebuah restoran di Hotel yang sama. 5 orang terpilih telah bergabung dalam satu meja. Ada Papa Ivan, dan Mama Issi, beberapa tamu undangan penting, juga… Issi. Yeay!

Kurang lebih satu meter, Lisa mendadak kelu. Issi begitu dekat dengannya. Aaa, seperti sedang diinvestigasi. Tidak akan mau berbicara jika tidak ditanya.

“Selamat datang semua,” sapa Issi dengan Bahasa Inggrisnya yang lancar.

Dijawab antusias oleh para penggemar (5 orang tadi).

“Terima kasih sudah hadir di acara ini, saya senang sekali.” Lanjutnya.
“Oke, sudah sore, sudah lewat jam makan siang. Jadi, silakan disantap menu hidangannya. Setelah ini kita akan foto bersama. Sebelum makan, berdoa dahulu sesuai kepercayaan masing-masing. Berdoa dimulai.” Pimpin Papa Ivan.

Setelah berdoa, mereka pun makan. Lisa sesekali curi pandang ke arah Issi. Gaya makannya sangat lucu. Sangat khas, berhati-hati namun terlihat seperti sudah biasa. Tak berapa lama, makan siang selesai. Mereka berfoto bersama, dan melakukan percakapan kecil. Papa Ivan menghampiri Lisa.

“Lis, mau foto berdua sama Issi?”
“Mau banget, Pa,” Lisa semangat.
“Yuk,” ajaknya.

Lisa mengikuti Papa Ivan mendekati Issi di bangkunya. Tetapi sebelumnya, Lisa sempat berkata pada Papa Ivan bahwa hari ini ia sedang berulang tahun. Dengan respons baiknya, Papa Ivan pun memberitahu Issi soal itu. Alhasil, Lisa mendapat sebuah kejutan dari violin asal Jerman tersebut. Yaitu, seikat bunga mawar, yang Issi pinta dari seorang karyawan restoran.

“Selamat Ulang Tahun, Delisa,” Issi memberikan seikat bunga itu kepada Lisa.
Lisa menerimanya dengan gugup, “Terima kasih, Issi.”
“Sukses terus, semoga kita bertemu lagi,”
“Aamiin,”

Tuhan tolong jangan biarkan degup jantung Lisa terdengar oleh Issi, Papa Ivan, Mama, atau orang-orang yang ada di sekitar mereka. Biarkanlah Lisa menikmati keadaan ini. Keadaan di mana ia sedang tidak bermimpi atau mengkhayal.


“Senyum merekah seperti bunga
Jantung berdebar secepat napas yang berembus
Kadang tak mampu berkata apa-apa
Kadang ingin teriak sekeras asa yang terus meluap-luap
Inikah jatuh cinta?
Atau bahagia
Atau tawa ceria dari warna merah muda
Dari seikat bunga”




5 komentar: