SELAMAT ULANG TAHUN, EMBUN
Pernah
dengar “Cinta tidak pernah memilih kapan dan kepada siapa ia
akan datang”? Ya, sebenarnya kalimat itu sering disebutkan oleh banyak orang,
di social media dan lain-lain. Tapi, tepatnya, kalimat itu ada di novel TEARS
SPRING IN KOREA karya Dwi Andhika. Okey, kesampingkan tentang novel. Ini ada
hubungannya dengan kalimat yang sudah jelas itu. Meski sekilas saja.
Di
sela-sela rapat Manager baru beberapa minggu lalu, aku dan Adesby, teman kerja,
seorang laki-laki yang tampan dan sangat lucu sekali. Kami mengalami hal yang bisa
dibilang memalukan. Bukan memalukan juga sih, lebih ke jujur banget gitu.
“Eh,
jodoh itu kayak gimana sih sa?”
“Hah?
Jodoh? Lagi rapat gini loe nanyain jodoh.”
“Dih
gue serius. Kalau kayak si erra, yang udah nikah dan punya anak gitu, belum
tentu suaminya itu jodohnyakan?”
“Jangan
bilang loe suka sama mba erra?” Tebakku.
“Ya
enggaklah. Gue gak mungkin suka sama istri orang kali.”
“Ih,
nyindir gue loe?”
“Ups
sorry. Bukan gitu.”
“Terus?”
Tak
lama, rapat dimulai kembali. Perbicaraan kami terputus. Aku kira telah
berakhir, dan Adesby sudah melupakannya. Tapi ternyata, sepulang dari kantor,
Adesby telepon aku hanya untuk menyambung rasa penasarannya tentang jodoh. Rupanya
dia bersungguh-sungguh ingin tahu. Dan pasti ada alasan dari pertanyaannya itu.
Pagi
hari yang cerah, fajar begitu indah dan bersahabat sekali. Meskipun bangun
kesiangan dan akan sampai telat ke kantor. Aku optimis, selalu ada
keberuntungan buatku. Tak lagi. Ketika sampai kantor, ada owner yang sedang
memberikan briefing ke seluruh karyawan. Astaga, aku pasti dihukum. Tidak apa-apa
sih, tapi masalahnya, malunya itu. Benar firasatku, aku tidak boleh masuk
kantor sampai jam istirahat. Tugas menumpuk dan databse banyak yang belum
kesalin. Lengkap sudah penderitaan hari itu. Kejebak macet, datang telat, tugas
banyak, alamat bakalan lembur deh. Padahal nanti malam harus pergi.
“Kali
ini gue percaya deh kalau loe gak selamanya hoki. Hahahaha” Adesby meledekku.
“Lagi
sial mungkin.” Jawabku tak bersemangat.
“Terus
nanti malam loe jadi kasih sureprise buat sang embun loe itu?”
“Jadi
dong.”
“Emang
berani ketemu sama dia? Ntar loe pipis di celana lagi. Hahahaha.”
“Ah
loe mah by, ngeledek gue terus.”
“Ya
udah ya udah. Mau gue bantuin gak?” Usulnya meragukan.
“Gak
deh. Ntar loe naksir lagi. Hahahaha.”
“Rese
ya loe. Loe kira gue cuchooo.”
“Awal
kenal sama loe, gue kira loe cucho gitu tau by. Soalnya loe tuh cakep, terus
sok imut, polos gitu. Waktu ada Manager yang lama juga loe malah tanya ke dia ‘udah
nikah apa belum?’. Masa cowok nanya ke cowok kayak gitu. Aneh.”
“Itu
tuh gue mewakili kalian para karyawan cewek. Abisnya pada gak ada yang mau
nanya. Ya udah gue aja yang nanya. Haha. Aib gitu ya.”
“Iya
aib banget kalau inget itu.”
Pertemananku
dan Adesby sudah seperti kakak-adik. Dia tahu siapa yang lagi ku suka, apa yang
tidak ku suka, kekurangan dan kelebihan juga saling memahami satu sama lain.
Tentang
embun, aku belum sebutkan nama aslinya pada Adesby. Aku takut dia bocor.
Pulang
kantor, aku berjalan kaki di pinggiran jalan Wolter Monginsidi. Menikmati hidup
di ibukota. Menyebrang di lampu merah,
melihat aktifitas orang-orang sekitar. Merenung tentang nasib, tentang tujuan
hidup, mau dibawa kemana sebenarnya harapan-harapan ini?
Tak
jarang aku merasa kesepian. Bukan karena tidak memiliki kekasih atau jauh dari
keluarga dan sahabat. Tapi karena pencarian jati diri. Aku masih belum mengenal
bagaimana sebenarnya diriku. Meski sesungguhnya kitalah yang mengenal diri kita
sendiri. Tapi itu hanya pembelaan saja. Seseorang mengatakan aku tidak
konsisten, menyebalkan, suka bikin deg-degan dan susah diatur. Setelah itu kami
putus. Aku tidak terima dikomentari pedas begitu. Tapi aku pikir-pikir lagi.
Dia benar. Tak seharusnya hubungan kami yang baru berjalan sebulan tiba-tiba
berhenti di tengah jalan, di tengah prinsip kita bersama yang mulai ada
kecocokan. Kasihan aku, seseorang yang sangat baik dan membangun seperti dia,
aku biarkan lepas terbang sesukanya. Bodoh ya?
Pertama
kalinya aku jatuh cinta, pertama kalinya aku punya pacar, pertama kalinya juga
aku sulit bangkit kembali. Bukan trauma, lebih ke susah buka hati lagi gitu.
Bertemu
dengan wujud yang sulit diungkapkan. Orang yang membuatku terkagum-kagum. Kalau
ditanya karena apa, aku juga tidak bisa jawab. Aku menyebutnya embun. Setelah pertemuan
pertama, kami belum bertemu lagi. Kata Adesby, mungkin dia malaikat. Karena aku
hanya bertemu dengannya satu kali saja.
Perkenalan
aku dan embun sangat berkesan. Hanya aku yang tahu bagaimana rasanya. Intinya,
Tuhan satu-satunya yang memahamiku.
Kehadiran
embun di hidupku adalah udara segar yang baru. Embun membuatku dengan tegas
mengatakan bahwa ‘Aku jatuh cinta lagi.’ Aku merasakan sensasi nyata ketika
orang sedang jatuh cinta. Yang malu-malu, yang melamun terus, yang
senyum-senyum sendirian, yang tambah semangat, yang punya energy luar biasa,
yang punya sekuat tenaga untuk tidak makan, tidak minum, dan lain-lain.
Di
Pantai Natsepa, Ambon. Aku ambil cuti beberapa hari untuk liburan ke Maluku. Bukan
tanpa alasan, tujuanku hanya untuk menemui embun. Sosok imajiner yang sukses
membuat tulisanku banyak disukai pembaca.
Lari-lari
bahagia di tepi pantai. Hanya ada aku dan seseorang yang jauh di ujung sana.
“Tuhan, kau tahu kisahku dan embun tak pernah usai.
Karena embun sudah menemukan senjanya, tolong rahasiakan cerita kita. Biarlah
peri kecil mereka menjadi kebahagiaanku juga.” Doaku sambil menatap ke langit.
Tanpa ku tahu, embun mengambil gambarku dengan
camera kesayangannya. Sesekali tersenyum ke arahku sambil mengacungkan
jempolnya.
Lirik sebuah lagu mengatakan ‘Dirimu laksana
surgaku. Tempatku mencurahkan.’ Mungkin tidak tepat kalau untuk embun. Karena dia
bukan milikku dan kami hanya sebatas teman. Usia yang jauh lebih tua dariku
membuatku berharap kalau embun mau menganggapku sebagai seorang adik. Bukan adik
biasa, aku mau embun juga bisa terbuka terhadapku. Selama kebersamaan kami,
selalu aku yang banyak cerita padanya. Dia tidak pernah mengungkapkan apa yang
sedang dia rasakan. Jadi, aku tidak tahu bagaimana aku di matanya.
Kembali ke pantai. Aku masih berlari-lari menikmati
kebahagiaan saat itu. Hari bersamanya, tepat di hari ulang tahunnya yang ke-29
tahun. Tak lama kemudian, aku mengambil sebuah kue ulang tahun ukuran 20x20,
special request ‘Happy Birthday My Brother’. Cukup berat ketika mengatakan itu
pada pastry toko. My Brother, sejak kapan rasa suka berubah jadi persaudaraan? Kalau
dipaksa, mungkin bisa. May be. Aku berusaha.
Berjalan lambat menuju tempat embun berdiri tadi. Aku
lihat kiri-kanan-depan-belakang. Embun tidak ada.
“Embun dimana? Tadi disini.” Batinku.
Beberapa menit aku berkeliling dengan resah yang
mengkhawatirkan. Beribu kata melayang di langit-langit pantai. ‘Embun
meninggalkanku sendirian.’ ‘Embun mulai membenciku.’ atau ‘Aku bangun dari
mimpi.’
Brukkk!
Aku terjatuh. Kue untuk embun hancur diselimuti
pasir pantai. Air mata hujan deras di pipiku. Penyesalan karena aku ceroboh. Rasa
tidak enak hati karena telah mengacaukan kejutan buat embun. Dan seseorang
membungkuk tepat di hadapanku. Kedua matanya bersinar, auranya seperti kilau
biru air laut. Senja datang membawa pangeran kiriman Tuhan. Aku bersyukur.
“Tidak apa-apa.” Katanya begitu santun.
Senyum itu menyegarkan. Membuat kucuran air mataku
berhenti begitu saja. Dia melihat kue dariku untuknya yang tak layak lagi jika
dimakan. Bijaksana, besar hati, sangat baik, lalu apalagi ya?
“Selamat Ulang Tahun, Embun.” Kataku sambil
memekarkan senyum milikku yang paling manis.
Embun membantuku berdiri. Kedua tangannya sangat
lembut. Sayang, dia bukan milikku.
“Tuhan, terima kasih. Aku bersama malaikat kini.” Dalam
hati. Kalau Adesby tahu apa yang ku rasakan, mungkin dia kira aku sudah gila.
Kami
bertatapan. Beberapa detik saja. Embun langsung mengalihkan pandangannya ke arah
pantai. Aku tahu kami salah. Waktu yang kami punya bukan untuk kesenangan
berdua. Bukan untuk berbuat dosa karena embun sebenarnya sudah berkeluarga. Tapi
waktu yang Tuhan berikan sebagai kesempatan terakhir itu adalah untuk kami
manfaatkan sebaik-baiknya. Kompromi Tuhan pada kami. Karena Tuhan maha pengasih
dan penyayang. Tuhan juga maha adil. Kisah yang tak sempurna di antara kami
memang tak pernah usai. Tapi bukan berarti harus kami lanjutkan nanti. Bukan. Cukup
sampai disinilah cerita kami dituliskan.
“Terima
kasih, senja merah muda.”
Begitu
dia menyebutku. Kenapa merah muda? Karena kami bertemu di pentas seni sebuah
kampus paling bergengsi di Indonesia. Saat itu, panggungnya serba warna merah
muda. Cute banget deh.
“Tuhan
telah menitipkanmu untuk aku jaga beberapa waktu. Sampai kamu benar-benar
menemukan pangeranmu, kisah kita harus tersimpan rapi di dinding hati paling
dalam. Kamu pernah bilang, kalau kisah kita tak pernah usai. Tapi ini hari
terakhir yang kita punya untuk bersama.” Ungkapnya.
Aku
hanya mengangguk. Tak kuat menatapnya lama-lama. Aku bisa menangis lagi.
“Lisa.
Bersikaplah seperti orang-orang disana. Yang menganggapku sebatas idolanya. Jangan
berlebihan. Karena kamu tahu kita dibatasi garis lingkaran yang tak pernah
retak. Karena di dalamnya ada beberapa titik yang sangat menjaga komitmen dan
ingin hidup bersama selamanya. Tolong rahasiakan cerita kita. Aku yakin kamu
bisa. Karena sekarang aku percaya, kamu perempuan yang hebat.”
Tiba-tiba
melintas lagu Afgan di atas kepalaku. Yang berjudul SABAR. Begini liriknya ‘Rahasiakan
aku sedalam-dalamnya cintamu.’ Ah soundtracknya begitu menyebalkan. Tepat sekali
untuk kami berdua. Tapi tidak akan lagi. Hanya hari itu.
“Iya
aku mengerti. Sekali lagi, selamat ulang tahun.”
Tuhan
membebaskanku dari kepedihan yang mengundang tangis. Aku sudah dewasa. Aku menyikapi
perpisahan kami dengan tenang dan lapang dada. Karena kami tidak benar-benar
berpisah. Kami masih bertemu dan berteman baik. Bedanya, tidak ada lagi
perasaan yang sering membuat kami salah tingkah seperti dulu. Jelas, embun
punya bagian di hidupku, di hatiku, di pikiranku. Entah bagaimana senja merah
muda menurut embun. Intinya, separuh masa lalu kami adalah milik kami berdua.
SELESAI.
Note:
Cerpen
ini hanya fiktif belaka. Dipersembahkan khusus untuk EMBUN di usianya yang
ke-29 tahun. 'That I Wrote For You' wish you all the best.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar