Kamis, 17 April 2014

Embun feat Jingga



Mungkin kali ini memang bukan cinta pertamaku, bukan juga cinta pertamanya. Tapi kita sama-sama sadar. Perasaan yang kita punya itu adalah perasaan yang kita setujui masing-masing. Dan ternyata kita sejalan, kita memiliki prinsip atau komitmen yang searah. Kita menyepakati bahwa cinta yang ada di antara kita hanyalah cinta yang patut dirahasiakan. Artinya, kita membiarkan cinta ini ada, tumbuh atau tetap hidup sampai kapanpun. Tapi kita tidak menuntut cinta itu untuk saling memiliki atau harus selalu bersama.

Usiaku 10 tahun di bawahnya. Aku mengerti benar, bagaimana anak seusiaku belajar mengenal cinta. Cinta yang sesungguhnya adalah rasa. Bukan sebuah ucapan atau permainan atau pertunjukkan yang selayaknya dipertontonkan.

Aku menyebutnya embun. Embun menyebutku jingga. Pertemuan pertama kami terbilang cukup berkesan. Buktinya sampai sekarang hubungan kami masih berlanjut dengan baik.

Ya. Aku melihatnya bermain gitar, bernyanyi, menyanyikan lagu yang ku suka. Dari situlah aku tertarik untuk mengenalnya lebih jauh. Awalnya, tidak ada pikiran untuk mau memahaminya lebih dalam lagi atau sampai berujung pada jatuh cinta. Tapi ternyata, suasana hati dan keadaan di sekitar kami mendukung hal itu untuk terjadi.

Hari demi hari, embun dan jingga pun bersahabat. Hanya sahabat. Mungkin itu sudah lebih dari teman, tapi tidak lebih dari teman dekat.

Kami saling bercerita, berbagi, bertukar pikiran. Embun, laki-laki dewasa yang pintar, teguh pendirian, tidak mudah terpengaruh dan apa adanya. Menurut embun, jingga itu perempuan yang kurang konsisten. Meski begitu, embun mengakui bahwa jingga adalah perempuan yang tangguh dan penyabar. Jingga pekerja keras, mau berjuang dan simpati/empati terhadap siapapun.

Suatu ketika, kami bertemu. Berbicara tentang hubungan kami, tentang bagaimana nanti dan nantinya. Sebagai yang lebih muda, tentu aku yang harus menyesuaikan diri dengannya.

Aku benar-benar terkejut. Embun memiliki rencana-rencana hidup yang sama denganku. Pemikiran-pemikiran kita tentang dunia ini, persepsi-persepsi kita mengenai impian dan cita-cita, itu semua sama persis. Tapi untuk selera musik, buku, film, makanan, tempat wisata, Negara impian, selera embun jauh lebih fenomenal dibanding seleraku. Mungkin karena embun terlahir lebih dulu kali ya daripada aku. Embun mengagumkan, memukau, membuat jingga sampai terdiam beberapa lama dan akhirnya merenung.
Ada satu hal yang mengharuskan aku dan embun untuk tidak meneruskan cerita cinta ini. Ya, embun sudah dimiliki orang lain. Aku tahu orang lain itu siapa. Aku pernah bertemu dengannya. Kami pernah berbicara berdua, kami pernah makan bersama. Bertiga, eh berempat.

Aku bersyukur, aku menikmati sekali apa yang telah terjadi di antara kami. Dari perjalanan ini, aku belajar bagaimana itu besar hati, bagaimana itu ikhlas, bagaimana itu bersabar, bagaimana itu menyayangi dengan tulus, bagaimana itu berteman dengan siapa saja, bagaimana itu menjadi dewasa sebelum waktunya, bagaimana itu menerima kenyataan pahit, bagaimana itu menjaga kisah cinta yang harus dirahasiakan dan lain-lain.

Embun yang membuka pintu hatiku kembali. Embun juga yang bisa menutupnya. Embun yang mengajarkanku banyak hal tentang cinta. Cinta pada diri sendiri, cinta pada keluarga dan cinta pada Tuhan.
Kami sering bertengkar, kami pernah tidak bersama dalam waktu yang lama. Dan itu semua ulah embun. Tapi tujuannya baik, agar aku dapat mengambil hikmah dari apa yang aku alami.

Beberapa bulan yang lalu, aku bilang pada embun. Aku ingin menulis sebuah novel, novel tentang kisah cinta kita. Embun mendukung, embun senang jika aku bangkit lagi, semangat lagi. Dan pada saatnya, aku menemukan seseorang, seseorang yang menginspirasi. Seseorang yang memberi judul pada novelku tentang embun dan jingga. Seseorang yang kebetulan juga seusianya, seprofesi dengannya, sekritis caranya dan seperjuangan dengannya.

Berhari-hari aku menyusun bab dan kalimat-kalimat puitis yang ku kumpulkan dari percakapanku dengan embun. Kurang dari dua bulan, novel itu pun selesai. Aku kirim ke penerbit dan tinggal menunggu edar.

Aku menghela nafas dalam-dalam. Karena aku merasa aku telah melakukan hal yang tepat dan pantas untuk mengabadikan kisah embun dengan jingga.

Kami memiliki rasa yang tidak bisa dirasakan oleh orang lain, selain diri kami berdua.

Sejak menulis novel, aku dan embun tidak pernah bertemu lagi. Kami menjalani kehidupan kami sendiri-sendiri. Embun dengan jalan hidupnya, aku dengan jalan hidupku. Tapi kami tetap berkomunikasi. Di email, sms, telepon, dm twitter, inbox facebook dan sebagainya.

Aku sangat menanti kehadiran novelku ini, novel tentang embun dan jingga. Karena embun bilang, ia akan muncul jika aku menginginkannya terus-menerus.

Embun dan Jingga

“Hanya kita yang tahu arti cinta yang kita punya.”

2 komentar:

  1. kak cerita ini yg dimaksud di dalam novel berjudul senandung strawberry ya..?

    BalasHapus