(Seikat Bunga)
Malam ini tempat pertemuan kami
benar-benar tidak tepat. Minum kopi susu di sebuah Coffee Shop di bilangan
Jakarta Pusat. Pandangan kami dicuri sekerumunan orang yang menempati table
dekat kolam ikan. Puncaknya ketika seorang lelaki datang membawa seikat bunga
lalu mengucapkan happy birthday pada salah satu perempuan yang ada disana. Aku
tahu Embun tidak betah melihat momen seperti itu. Keromantisan yang omong
kosong, begitu Embun biasa menyebutnya.
“Mau pulang? Atau masih tahan
berada disini?” Tanyaku.
“Biar saja. Kita disini sampai
mereka enyah.”Sarannya.
“Kamu yakin? Sepertinya aku yang
tidak tahan. Aku ingin ada seseorang yang memberiku seikat bunga. Jika bukan di
hari ulang tahun, di hari yang tidak berkesan pun juga boleh. Aku hanya ingin
merasakan rasanya punya bunga. Kalau perlu sama pot-potnya sekalian.” Sindirku
halus.
Embun terlihat berpikir keras.
Aku tahu bagaimana tipenya. Dia seorang pejuang keras. Apalagi demi
menyenangkan hati orang yang disayang. Dia mampu melawan rasa takut, rasa
benci, rasa jijik bahkan rasa muak. Atas dasar orang yang dicintai. Dan aku
optimis, aku percaya diri, aku termasuk orang yang berpengaruh dalam hidupnya.
“Habiskan kopimu. Kita akan
jemput Icha. Mulai malam ini dia menginap di rumahku.”
“Ohya? Apa dia akan memaksa tidur
denganmu lagi?”
“Ah, jangan banyak berharap. Di
kamarku sudah banyak poster zombie dan vampire. Dia tidak akan pernah mau masuk
ke rumah hantu.”
“Kenapa begitu? Kamu keterlaluan.
Padahal Icha hanya ingin dekat denganmu.”
“Sudahlah, lupakan.” Pintanya
sambil merangkulku keluar dari Coffee Shop.
Icha, keponakan Embun yang baru
naik kelas 3 SD.
Dengan mobil berkecepatan tinggi
yang baru rilis tahun lalu, kami meluncur ke lingkungan Duren Sawit, Jakarta
Timur. Gaya pembalapnya yang mahir membuatku terdiam. Entah apa yang ku lihat
darinya, hingga aku menyayanginya seperti menyayangi cinta pertamaku. Dia
memang tampan, mapan, dewasa, tahu mana yang penting dan mana yang tidak
penting. Tapi itu bukan alasanku menyayanginya.
Aku nyaman di dekatnya karena
berada di sampingnya bisa membuatku merasa sempurna. Kekuranganku adalah
kelebihannya. Kelebihanku adalah kekurangannya. Ya, benar. Kami sangat berbeda.
Perbedaan itulah yang menyatukan kami. Embun seorang musisi, musisi yang gila
kehormatan, menurutku. Aku adalah Jingga. Jingga yang seorang penulis. Penulis
yang mengumpat dibalik huruf dan kalimat-kalimat puitisnya, begitu Embun
menyebutku.
“Pokoknya malam ini Icha gak
boleh bangunin om buat antar Icha ke toilet. Oke?” Pesan Embun. Kami berhasil
menculik Icha. Kebetulan orang tuanya sedang keluar kota.
“Kalau begitu, ijinkan tante
Jingga menginap bersama kita. Aku perlu ke toilet di tengah malam. Ya om?
Boleh?” Icha merengek. Aku hanya tersenyum lebar, tanda menahan tawa.
“Perempuan dewasa tidak boleh
satu tempat tinggal dengan lelaki dewasa. Nanti Icha biar diantar Bik Ida kalau
mau ke toilet. Sekarang kita mendarat.” Kata Embun sambil menggendong Icha
keluar rumah.
Kami segera menumpangi mobil
paling bertenaga itu. Serasi dengan pengendaranya, mereka sama-sama gagah dan
terlihat semakin maskulin. Tapi sebelum masuk, aku dan Embun dikejutkan dengan
celotehan Icha.
“Tapi Ayah sama Ibu boleh tinggal
bersama. Mereka juga satu kamar. Kadang bertiga sama Icha. Kenapa tante Jingga
tidak boleh menginap bersama kita?”
Berhenti sejenak, hening. Aku dan
Embun saling melirik.
“Karena, besok tante harus bangun
pagi buat ke kantor.” Jawabku sekenanya.
Aku bersanding dengan Icha di
bangku depan, sebelah kami ialah Embun. Sang pembalap yang siap membawa kami
sampai pada kemenangan.
Agar Icha tidak mudah bosan
selama perjalanan, aku menyalakan radio. Lagi-lagi, aku melihat Icha masih
dengan segala tanda tanyanya. Apa jawabanku tadi belum cukup memuaskan?
Pikirku.
“Ayah dan Ibu bilang kalau om
Embun sama tante Jingga pacaran. Apa nanti kalian juga akan menikah?”
Pertanyaan macam apa ini, jika
terus diladeni bisa-bisa Icha dewasa sebelum waktunya. Embun menggaruk-garuk
kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Aku kira dia sudah penat memiliki
keponakan seperti Icha. Rasa ingin tahunya tinggi.
“Siapapun juga pasti akan
menikah.” Kataku.
“Termasuk Icha?”
“Iyaaa nanti Icha juga menikah.”
Jawab Embun sedikit kesal.
“Oh. Aku sudah punya cincin.”
Icha memamerkan cincin strawberry di jari manis kirinya.
Lihat. Bahkan aku kalah dengan
anak usia 8 tahunan. Embun pura-pura tidak mendengar, sementara aku dilanda iri
yang berat. Tega.
Satu jam kemudian, kami tiba di
depan gerbang rumah minimalis bercat warna ungu-putih dengan tetumbuhan hijau
memenuhi halamannya. Ya, ini rumahku.
“Okey. Sampai jumpa Icha.” Aku
mencium kening Icha dan dia menyalamiku.
“Aku pulang, terima kasih ya.”
Lanjutku pada Embun. Dia hanya tersenyum kecil.
Turun dari mobil dan bergegas
membuka pintu gerbang. Tiba-tiba Embun memanggil. Dia menyusulku. Icha
mengintip dari kaca mobil yang terbuka.
“Besok pagi aku jemput, aku antar
kamu ke kantor.”
“Lho, buat apa? Besok aku libur.”
“Tadi kamu bilang…”
“Aku mengada-ada. Kamu tahukan
karakter Icha bagaimana?” Pelanku.
“Ah, sial. Kalau begitu besok
kita ke toko buku.”
“Jangan selalu serius.
Sekali-sekali ajak aku ke pantai, gunung atau perkebunan gitu.”
“Hhm, baiklah. Jam 7, dresscode
pink ya. See you.” Embun mengacak-acak rambutku lalu pergi.
Kebiasaan Embun yang tidak pernah
ku protes adalah, mengaturku. Mulai dari lokasi ketemuan, tempat jalan, menu
makanan, minuman, sampai apa yang harus ku pakai, semua instruksi darinya. Aku
tidak tahu sejak kapan aku jadi penurut. Mungkin sejak Jingga mengenal
warnanya.
Sabtu pagi menjelang siang, yang
menyegarkan. Ini pertama kalinya aku kembali ke Anyer.
Aku tidak percaya datang kesini
bersama Embun. Karena t-shirt warna pink dengan jeans hitam dan jam tangan
mekanik yang ia kenakan terlalu sederhana untuk seorang musisi. Bukan hanya
itu, warna pink juga nyaris membuatku tertawa terbahak-bahak. Bagaimana mungkin
lelaki sekeras kepala Embun memiliki nyali untuk tampil lebih manis? Diakan
tipe orang yang gengsian dan cukup pemalu.
“Seharusnya kamu bilang dari
awal. Kita bisa pakai baju model couple, tidak hanya warnanya yang sama. Aku
tidak yakin kamu baik-baik saja.” Ucapku. Kami jalan berdampingan di tepi
pantai. Membuat jejak langkah yang kemudian diterpa ombak dan musnah.
“Jangan tertawa terus begitu. Ini
aku lakukan demi kamu.” Embun mendengus kesal.
“Aku tidak pernah meminta tapi
kamu melakukannya. Lucu sekali. Kalau memang ini hari bebas harapan, aku akan
meminta banyak padamu.”
“Apa?” Embun bersedia.
Ini bukan hari ulang tahunku.
Bukan juga hari perempuan, hari kartini, bahkan hari kebebasan nasional. Tapi
Embun memasang raut wajah yang serius. Apa dia benar-benar akan menjadi
malaikatku dalam sehari?
“Lupakan. Aku bercanda.”
“Aku serius.” Tegasnya.
Kami berhenti
tepat ketika matahari bersinar mantap dan hangatnya menjalari tubuh kami. Dia
menatapku bagai memohon. Dan aku tidak pernah mampu membalasnya. Aku tidak
pernah sanggup melihat kedua matanya yang menghanyutkan. Aku bisa tergila-gila
begini pun karena cara dia menatapku. Eagle eye itu.
Tak lama,
teriakan seseorang memanggilku. Icha. Dengan seikat bunga mawar merah
dipelukannya.
“Untuk tante.”
Berinya padaku.
“Ha.” Aku hampir
meleleh.
“Darinya.”
Icha melirik Embun.
Embun mengalihkan
pandangan ke langit pantai. Mimiknya bodoh sekali. Terlihat gengsi dan menutupi.
Aku sudah tahu
karakternya dari awal. Gengsi menjadi prioritasnya. Aku menyebut itu sebagai
sebuah kelebihan. Karena gengsi yang Embun punya adalah cara mengenali lawan
bicaranya atau bisa dibilang ‘Siasat’.
Ha, akhirnya. Seorang
musisi yang gila kehormatan memberiku seikat bunga. Seikat bunga yang akan
tetap tumbuh dan harum dalam kenangan di hidupku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar