(Cinta
Masa Kecil)
“Lagu
terakhir, untuk seseorang di table 11, Jingga Yasmina. Akhirnya ku menemukanmu,
dari Naff.”
Perkataan
Embun itu membuatku jadi pusat perhatian para pengunjung di You Rock Café ini.
Sebagai vokalis band, suaranya memang pantas disebut ‘berciri khas’. Bagus,
tapi tidak terlalu merdu. Hanya saja, dia kekasihku. Hal yang biasa bagi orang
lain, akan luar biasa bagiku bukan. Hal kecil yang tidak dilihat orang lain,
akan terlihat di mataku bukan.
Lagu Naff yang
sedang dinyanyikannya nyaris menerbangkanku. Beruntung aku cepat sadar, bahwa
aku tidak punya sayap.
“10 tahun
tidak bertemu, rasanya seperti mimpi. Ternyata bertemu di tempat seperti ini.”
Ucap seorang lelaki dengan penampilan yang sangat rapi bak pengusaha muda atau
seorang pemimpin berkekuasaan tinggi.
Aku
memperhatikannya dari atas kepala sampai ujung kaki. Beberapa detik kemudian,
aku seperti kembali ke masa lalu. Ketika kelas 5 SD. Ya, lelaki yang
menghadapku ini bernama Aditya Putera. Lebih tepatnya, dia cinta masa kecilku.
“Hey, Aditya.
Apa kabar?” Aku menyapanya dengan senang hati.
“Baik. Boleh
duduk disini?”
“Oh, ya.
Silahkan.” Aditya duduk di sebelahku.
Embun
bernyanyi sambil menatap kami sinis. Mau menjelaskan pun belum ada waktu.
Biarlah. Ini pertama kalinya aku dan Aditya bertemu lagi. 10 tahun berpisah,
kami sama-sama mengalami banyak perubahan.
Kenaikan kelas
6 SD Aditya pindah ke Pekanbaru, Riau. Tahun lalu dia baru pulang ke Jakarta.
Dan sekarang kami bertemu disini. Ah, padahal aku sudah lupa dengan lelucon
cinta masa kecil kami. Aku pernah pipis di celana ketika Aditya menembakku di
depan semua anak-anak kelas 5. Tahukah, yang lebih memalukan adalah, buku
diaryku tentang Aditya ketahuan sama guru olahraga. Sejak saat itu, dibuat
peraturan dilarang pacaran. Hubunganku dengan Aditya jadi tidak jelas. Sampai
akhirnya dia pindah sekolah, pindah tempat tinggal, dan kami benar-benar hilang
komunikasi.
“Aku harus
berterima kasih pada vokalis band itu. Karena dia menyebut namamu, kita bisa
bertemu sekarang.” Kata Aditya.
“Dia pacarku.”
Kataku malu-malu.
“Ohya?
Bukankah kita belum putus?” Tanya Aditya. Aku sedikit takut dan kebingungan.
“Maaf, aku
bercanda.” Lanjutnya. Aku bisa tenang.
“Oo-okey.
Sekarang kamu sibuk apa?” Tanyaku basa-basi. Padahal aku mulai resah. Raut
wajah Embun gusar, seperti membara atau curiga atau cemburu. Entahlah, aku
hanya khawatir bila terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan.
“Aku pemilik
café ini.” Singkat Aditya.
“Benarkah?
Tapi selama beberapa bulan Embun disini, aku tidak pernah melihatmu.”
“Jadi namanya
Embun?”
“I-iya.”
“Aku punya
orang kepercayaan, sesekali aku kesini jika ada keperluan.”
“Oh.”
Pandanganku mengarah ke lelaki yang akan menghampiri kami.
Embun. Aku
bisa lihat ada warna merah di kedua matanya. Tubuhnya memanas. Detak jantungnya
tidak beraturan. Tapi dia berusaha menyembunyikan itu semua. Pura-pura baik-baik
saja.
“Aku sudah
selesai. Ayo pulang.” Ajak Embun. Tatapannya seperti ingin memangsaku.
Sedikitpun dia tidak menoleh ke arah Aditya. Ha, andai Embun tahu. Lelaki yang
bersamaku ini adalah pemilik café tempat ia bekerja. Kalau tidak sopan, apalagi
tidak ramah, ia bisa disingkirkan.
“Baiklah. Aku
pulang. Senang bertemu denganmu lagi Aditya. Sampai jumpa.” Ujarku.
Aku bangkit
dan Embun langsung menarik tanganku, membawaku pergi. Baru beberapa langkah,
Aditya menghentikan kami.
“Apa kalian
punya urusan penting? Jika tidak, aku masih ingin bicara banyak.”
Aku bisa
merasakan, Embun memegang tanganku begitu erat. Sepertinya dia tidak ingin
kehilangan. Sesekali bertatapan lalu Embun mendekati Aditya, tentu masih
menggandengku.
“Aku pemilik
café ini, Aditya Putera.” Aditya mengulurkan tangan, Embun belum juga
meraihnya. Ah, orang ini. Apa perlu aku yang teriak dan mengatakannya.
“Dia teman
SD-ku.” Ucapku siapa tahu bisa menyelamatkan.
“Embun
Dirgantara.” Akhirnya mereka berjabat tangan.
“Duduklah
sebentar. Aku dan Jingga lama tidak bertemu.” Pinta Aditya.
Aku
mengeluarkan sesuatu dari dalam tasku dan memberikannya pada Aditya. Sebuah
kartu nama. Semoga bisa memuaskannya dan segera enyah dari keadaan yang sungguh
menyiksa ini.
“Kami harus
pergi sekarang. Kamu bisa menghubungiku di nomor handphone yang tertera.
Tetaplah menjadi Aditya yang ku kenal. Kami permisi.” Kali ini aku yang menarik
tangan Embun, meninggalkan suasana yang mengepung amarahnya dalam emosi semata.
Sesampainya di
parkiran, aku dan Embun masih bungkam. Lihat, bahkan saat menaiki motor sport
touring bikenya, Embun tak juga menatapku. Ha, seperti berjalan dengan patung.
Mesin sudah dinyalakan, tapi aku belum mau dibonceng. Dia masih kaku dan
dingin. Aku jadi canggung.
“Kenapa? Kamu
ragu? Kalau begitu, kembalilah. Kamu boleh menemui lelaki itu sepuas yang kamu
mau. Aku bisa pulang sendiri.” Kesal Embun.
Benar saja.
Dia berlalu dengan cepat. Aku ditinggalkan. Ah, tidakkah dengar sedikit
penjelasan dariku. Jika begitu, aku yang rugi.
Tak berapa
lama, aku memutuskan untuk pulang berjalan kaki. Perjalanan yang cukup lama
bisa menjadi perenunganku. Tidak peduli bagaimana kedua kakiku akan pegal atau
tubuhku akan lemah, kecapaian dan semacamnya. Aku hanya perlu mengoreksi diri.
Berteman pada sepi dan situasi malam yang penuh teka-teki.
1 kilometer
telah ku lintasi. Aku cek handphone, tidak ada pesan atau panggilan dari Embun.
Ternyata dia marah sungguhan. Apa begini cara memperlakukan seorang perempuan?
Seorang kekasih atau apalah sebutannya. Intinya aku ini orang yang dicintainya.
Setidaknya begitu isi dari lagu Naff yang ia nyanyikan di café tadi.
Di
persimpangan jalan dekat perumahan elite, ada seekor anjing hitam besar yang
sedang memburu makanan atau sedang menyelidik atau apapun itu, yang pasti, aku
takut. Aku lirik sekelilingku, tak ada orang selain aku dan suara jangkrik yang
terus meramaikan langkahku. Ya, aku berlari, balik arah. Beruntung, aku pernah
menang lomba lari di jam pelajaran olahraga sewaktu SMA dulu. Jadi, anjing itu
tidak mudah mengejarku.
Ha, betapa
terkejutnya. Aku melihat Embun menuntun motor sport bikenya. Aku berjalan
tergesa-gesa hingga kami saling berpas-pasan.
“Motormu
kenapa?” Tanyaku.
“Kamu yang
kenapa? Seperti ketakutan.”
“A-aku tadi,
di-dikejar anjing.”
Lihat. Embun
tertawa terbahak-bahak. Apa dia tidak tahu seberapa takutnya aku terhadap
binatang mengerikan itu? Hitam besar, berbulu lebat dan giginya runcing.
Kalaupun ada yang kecil, imut, lucu, berbulu halus putih dan cukup
menggemaskan, pastilah anak anjing itu cerewet. Hah.
“Apa ada yang
lucu?” Aku cemberut.
“Aku
membayangkan bagaimana kamu berlari secepat mungkin untuk menyelamatkan diri.
Apa barang-barangmu masih lengkap? Tidak ada yang ketinggalan?” Tanya Embun,
masih dengan tawa yang ia coba lenyapkan.
Tiba-tiba aku
sedih, aku ingat kejadian di masa kecilku dengan Aditya. Saat aku mengejarnya
sepulang menghadiri pentas seni sekolah. Aditya tidak bilang kalau ia akan
pergi ke Pekanbaru. Ia hanya memberiku gantungan kunci, itupun tak sengaja aku
hilangkan. Aku lupa terjatuh dimana.
Sejenak Embun
iba dengan ekspresi wajahku. Lalu ia meraih tubuhku ke dalam pelukannya. Dan
air mataku pun keluar, aku menangis.
“Maaf, aku
tidak ada maksud membuatmu bersedih.” Ungkapnya.
“Aditya itu
bukan siapa-siapaku. Kamu jangan begitu. Seenaknya meninggalkanku. Aku kan jadi
dikejar anjing.”
“Iyaaa. Ini
aku mengikutimu. Kamu tenang saja.”
Sekarang aku
yang menertawainya. Lucu sekali. Dia menuntun motornya, demi mengikutiku. Ha,
aku terharu.
“Kenapa
tertawa?” Embun melepas pelukannya.
“Kamu bilang
kamu mengikutiku? Aku kira motormu ini mogok.”
“Mana mungkin
aku benar-benar meninggalkanmu sendirian. Aku tidak rela kamu bicara lama
dengan lekaki itu. Aku bisa lihat, dari tatapannya, dia sangat merindukanmu.”
“Wah, manis
sekali. Kamu cemburu ya?”
“Apa-apan ini?
Aku hanya tidak suka cara dia memaksamu untuk bersama.”
“Wajar saja.
Dia pacar pertamaku, aku pun pacar pertamanya. 10 tahun berpisah dan kami baru
bertemu kembali di café tadi. Ternyata itu miliknya. Dunia memang sempit ya.”
Ups. Aku tidak sadar, aku telah menambah rasa cemburu di hatinya.
“Maksudmu apa?
Dia cinta masa kecil yang masih kau harapkan begitu?”
“Tidak tidak.
Jangan salah sangka.”
Embun menaiki
motor sport bike hitam yang gagah dan stylish itu. Lalu menyalakan mesin.
“Ayo pulang.
Sebelum anjing itu berhasil mendapatkanmu lagi.” Ajak Embun
Ha, akhirnya.
Aku diboncengi dengan kekasih hati yang setia ada selama beberapa tahun
belakangan ini. Tersenyum bersama, tertawa bersama, menangis bersama, marah bersama,
kesal bersama, kecewa bersama, berjuang bersama dan semoga selalu bersama.
Kami pun
melaju. Menyatukan kembali segala rasa yang kami lewati hari ini.
Di sepanjang
perjalanan, aku terus merayunya agar melupakan kisahku dengan Aditya. Biarlah
itu menjadi masa laluku dengannya. Dan Embun adalah orang yang ku pilih untuk
menjadi masa depanku. Masa laluku adalah masa laluku, masa lalunya adalah masa
lalunya. Tidak bisa masa laluku menjadi masa lalunya atau masa lalunya menjadi
masa laluku. Karena setiap orang memiliki jalan hidupnya masing-masing.
“Siapapun
pasti punya cinta di masa kecil. Termasuk kamu, termasuk aku. Yang penting
sekarang, menatap mantap ke depan. Menoleh ke belakang bukan berarti kembali,
tapi mempelajari. Bahwa masa lalu adalah pengalaman yang mencerdaskan kita di
masa depan.”
Begitu Embun
berujar. Aku jadi tahu, seberapa besar perasaannya untukku. Dan seberapa banyak
peranku mempengaruhi jalan hidupnya saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar