Selasa, 20 Mei 2014

EMBUN FEAT JINGGA 2



(Cinta Masa Kecil)

“Lagu terakhir, untuk seseorang di table 11, Jingga Yasmina. Akhirnya ku menemukanmu, dari Naff.”

Perkataan Embun itu membuatku jadi pusat perhatian para pengunjung di You Rock Café ini. Sebagai vokalis band, suaranya memang pantas disebut ‘berciri khas’. Bagus, tapi tidak terlalu merdu. Hanya saja, dia kekasihku. Hal yang biasa bagi orang lain, akan luar biasa bagiku bukan. Hal kecil yang tidak dilihat orang lain, akan terlihat di mataku bukan.

Lagu Naff yang sedang dinyanyikannya nyaris menerbangkanku. Beruntung aku cepat sadar, bahwa aku tidak punya sayap.

“10 tahun tidak bertemu, rasanya seperti mimpi. Ternyata bertemu di tempat seperti ini.” Ucap seorang lelaki dengan penampilan yang sangat rapi bak pengusaha muda atau seorang pemimpin berkekuasaan tinggi.

Aku memperhatikannya dari atas kepala sampai ujung kaki. Beberapa detik kemudian, aku seperti kembali ke masa lalu. Ketika kelas 5 SD. Ya, lelaki yang menghadapku ini bernama Aditya Putera. Lebih tepatnya, dia cinta masa kecilku.

“Hey, Aditya. Apa kabar?” Aku menyapanya dengan senang hati.
“Baik. Boleh duduk disini?”
“Oh, ya. Silahkan.” Aditya duduk di sebelahku.

Embun bernyanyi sambil menatap kami sinis. Mau menjelaskan pun belum ada waktu. Biarlah. Ini pertama kalinya aku dan Aditya bertemu lagi. 10 tahun berpisah, kami sama-sama mengalami banyak perubahan.

Kenaikan kelas 6 SD Aditya pindah ke Pekanbaru, Riau. Tahun lalu dia baru pulang ke Jakarta. Dan sekarang kami bertemu disini. Ah, padahal aku sudah lupa dengan lelucon cinta masa kecil kami. Aku pernah pipis di celana ketika Aditya menembakku di depan semua anak-anak kelas 5. Tahukah, yang lebih memalukan adalah, buku diaryku tentang Aditya ketahuan sama guru olahraga. Sejak saat itu, dibuat peraturan dilarang pacaran. Hubunganku dengan Aditya jadi tidak jelas. Sampai akhirnya dia pindah sekolah, pindah tempat tinggal, dan kami benar-benar hilang komunikasi.

“Aku harus berterima kasih pada vokalis band itu. Karena dia menyebut namamu, kita bisa bertemu sekarang.” Kata Aditya.
“Dia pacarku.” Kataku malu-malu.
“Ohya? Bukankah kita belum putus?” Tanya Aditya. Aku sedikit takut dan kebingungan.
“Maaf, aku bercanda.” Lanjutnya. Aku bisa tenang.
“Oo-okey. Sekarang kamu sibuk apa?” Tanyaku basa-basi. Padahal aku mulai resah. Raut wajah Embun gusar, seperti membara atau curiga atau cemburu. Entahlah, aku hanya khawatir bila terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan.
“Aku pemilik café ini.” Singkat Aditya.
“Benarkah? Tapi selama beberapa bulan Embun disini, aku tidak pernah melihatmu.”
“Jadi namanya Embun?”
“I-iya.”
“Aku punya orang kepercayaan, sesekali aku kesini jika ada keperluan.”
“Oh.” Pandanganku mengarah ke lelaki yang akan menghampiri kami.

Embun. Aku bisa lihat ada warna merah di kedua matanya. Tubuhnya memanas. Detak jantungnya tidak beraturan. Tapi dia berusaha menyembunyikan itu semua. Pura-pura baik-baik saja.

“Aku sudah selesai. Ayo pulang.” Ajak Embun. Tatapannya seperti ingin memangsaku. Sedikitpun dia tidak menoleh ke arah Aditya. Ha, andai Embun tahu. Lelaki yang bersamaku ini adalah pemilik café tempat ia bekerja. Kalau tidak sopan, apalagi tidak ramah, ia bisa disingkirkan.
“Baiklah. Aku pulang. Senang bertemu denganmu lagi Aditya. Sampai jumpa.” Ujarku.

Aku bangkit dan Embun langsung menarik tanganku, membawaku pergi. Baru beberapa langkah, Aditya menghentikan kami.

“Apa kalian punya urusan penting? Jika tidak, aku masih ingin bicara banyak.”

Aku bisa merasakan, Embun memegang tanganku begitu erat. Sepertinya dia tidak ingin kehilangan. Sesekali bertatapan lalu Embun mendekati Aditya, tentu masih menggandengku.

“Aku pemilik café ini, Aditya Putera.” Aditya mengulurkan tangan, Embun belum juga meraihnya. Ah, orang ini. Apa perlu aku yang teriak dan mengatakannya.
“Dia teman SD-ku.” Ucapku siapa tahu bisa menyelamatkan.
“Embun Dirgantara.” Akhirnya mereka berjabat tangan.
“Duduklah sebentar. Aku dan Jingga lama tidak bertemu.” Pinta Aditya.

Aku mengeluarkan sesuatu dari dalam tasku dan memberikannya pada Aditya. Sebuah kartu nama. Semoga bisa memuaskannya dan segera enyah dari keadaan yang sungguh menyiksa ini.

“Kami harus pergi sekarang. Kamu bisa menghubungiku di nomor handphone yang tertera. Tetaplah menjadi Aditya yang ku kenal. Kami permisi.” Kali ini aku yang menarik tangan Embun, meninggalkan suasana yang mengepung amarahnya dalam emosi semata.

Sesampainya di parkiran, aku dan Embun masih bungkam. Lihat, bahkan saat menaiki motor sport touring bikenya, Embun tak juga menatapku. Ha, seperti berjalan dengan patung. Mesin sudah dinyalakan, tapi aku belum mau dibonceng. Dia masih kaku dan dingin. Aku jadi canggung.

“Kenapa? Kamu ragu? Kalau begitu, kembalilah. Kamu boleh menemui lelaki itu sepuas yang kamu mau. Aku bisa pulang sendiri.” Kesal Embun.

Benar saja. Dia berlalu dengan cepat. Aku ditinggalkan. Ah, tidakkah dengar sedikit penjelasan dariku. Jika begitu, aku yang rugi.

Tak berapa lama, aku memutuskan untuk pulang berjalan kaki. Perjalanan yang cukup lama bisa menjadi perenunganku. Tidak peduli bagaimana kedua kakiku akan pegal atau tubuhku akan lemah, kecapaian dan semacamnya. Aku hanya perlu mengoreksi diri. Berteman pada sepi dan situasi malam yang penuh teka-teki.

1 kilometer telah ku lintasi. Aku cek handphone, tidak ada pesan atau panggilan dari Embun. Ternyata dia marah sungguhan. Apa begini cara memperlakukan seorang perempuan? Seorang kekasih atau apalah sebutannya. Intinya aku ini orang yang dicintainya. Setidaknya begitu isi dari lagu Naff yang ia nyanyikan di café tadi.

Di persimpangan jalan dekat perumahan elite, ada seekor anjing hitam besar yang sedang memburu makanan atau sedang menyelidik atau apapun itu, yang pasti, aku takut. Aku lirik sekelilingku, tak ada orang selain aku dan suara jangkrik yang terus meramaikan langkahku. Ya, aku berlari, balik arah. Beruntung, aku pernah menang lomba lari di jam pelajaran olahraga sewaktu SMA dulu. Jadi, anjing itu tidak mudah mengejarku.

Ha, betapa terkejutnya. Aku melihat Embun menuntun motor sport bikenya. Aku berjalan tergesa-gesa hingga kami saling berpas-pasan.

“Motormu kenapa?” Tanyaku.
“Kamu yang kenapa? Seperti ketakutan.”
“A-aku tadi, di-dikejar anjing.”

Lihat. Embun tertawa terbahak-bahak. Apa dia tidak tahu seberapa takutnya aku terhadap binatang mengerikan itu? Hitam besar, berbulu lebat dan giginya runcing. Kalaupun ada yang kecil, imut, lucu, berbulu halus putih dan cukup menggemaskan, pastilah anak anjing itu cerewet. Hah.

“Apa ada yang lucu?” Aku cemberut.
“Aku membayangkan bagaimana kamu berlari secepat mungkin untuk menyelamatkan diri. Apa barang-barangmu masih lengkap? Tidak ada yang ketinggalan?” Tanya Embun, masih dengan tawa yang ia coba lenyapkan.

Tiba-tiba aku sedih, aku ingat kejadian di masa kecilku dengan Aditya. Saat aku mengejarnya sepulang menghadiri pentas seni sekolah. Aditya tidak bilang kalau ia akan pergi ke Pekanbaru. Ia hanya memberiku gantungan kunci, itupun tak sengaja aku hilangkan. Aku lupa terjatuh dimana.

Sejenak Embun iba dengan ekspresi wajahku. Lalu ia meraih tubuhku ke dalam pelukannya. Dan air mataku pun keluar, aku menangis.

“Maaf, aku tidak ada maksud membuatmu bersedih.” Ungkapnya.
“Aditya itu bukan siapa-siapaku. Kamu jangan begitu. Seenaknya meninggalkanku. Aku kan jadi dikejar anjing.”
“Iyaaa. Ini aku mengikutimu. Kamu tenang saja.”

Sekarang aku yang menertawainya. Lucu sekali. Dia menuntun motornya, demi mengikutiku. Ha, aku terharu.

“Kenapa tertawa?” Embun melepas pelukannya.
“Kamu bilang kamu mengikutiku? Aku kira motormu ini mogok.”
“Mana mungkin aku benar-benar meninggalkanmu sendirian. Aku tidak rela kamu bicara lama dengan lekaki itu. Aku bisa lihat, dari tatapannya, dia sangat merindukanmu.”
“Wah, manis sekali. Kamu cemburu ya?”
“Apa-apan ini? Aku hanya tidak suka cara dia memaksamu untuk bersama.”
“Wajar saja. Dia pacar pertamaku, aku pun pacar pertamanya. 10 tahun berpisah dan kami baru bertemu kembali di café tadi. Ternyata itu miliknya. Dunia memang sempit ya.” Ups. Aku tidak sadar, aku telah menambah rasa cemburu di hatinya.
“Maksudmu apa? Dia cinta masa kecil yang masih kau harapkan begitu?”
“Tidak tidak. Jangan salah sangka.”

Embun menaiki motor sport bike hitam yang gagah dan stylish itu. Lalu menyalakan mesin.

“Ayo pulang. Sebelum anjing itu berhasil mendapatkanmu lagi.” Ajak Embun

Ha, akhirnya. Aku diboncengi dengan kekasih hati yang setia ada selama beberapa tahun belakangan ini. Tersenyum bersama, tertawa bersama, menangis bersama, marah bersama, kesal bersama, kecewa bersama, berjuang bersama dan semoga selalu bersama.

Kami pun melaju. Menyatukan kembali segala rasa yang kami lewati hari ini.

Di sepanjang perjalanan, aku terus merayunya agar melupakan kisahku dengan Aditya. Biarlah itu menjadi masa laluku dengannya. Dan Embun adalah orang yang ku pilih untuk menjadi masa depanku. Masa laluku adalah masa laluku, masa lalunya adalah masa lalunya. Tidak bisa masa laluku menjadi masa lalunya atau masa lalunya menjadi masa laluku. Karena setiap orang memiliki jalan hidupnya masing-masing.

“Siapapun pasti punya cinta di masa kecil. Termasuk kamu, termasuk aku. Yang penting sekarang, menatap mantap ke depan. Menoleh ke belakang bukan berarti kembali, tapi mempelajari. Bahwa masa lalu adalah pengalaman yang mencerdaskan kita di masa depan.”

Begitu Embun berujar. Aku jadi tahu, seberapa besar perasaannya untukku. Dan seberapa banyak peranku mempengaruhi jalan hidupnya saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar