Jumat, 23 Januari 2015

KATAKAN TIDAK



Cerpen edisi LIVE TO LOVE @Afgansyah_Reza




Dodit, lelaki 25 tahun dengan ketampanan yang paspasan dan bersuara medok khas Jawa itu berjalan penuh semangat. Ia tidak berjalan sendirian. Seseorang berada di sampingnya. Mereka saling bergandengan tangan. Menurutnya, berpacaran dengan siswi SMA itu keren. Perbedaan usia hanya 8 atau 9 tahun. Dan ia bisa membuktikan kepada teman-temannya, kalau lelaki dengan tampang paspasan tidak melulu mendapat perempuan yang paspasan juga.

Sementara Nina, siswi SMA kelas 3 yang memiliki paras secantik Yuki Kato-menurutnya sendiri-bukan sebuah keberuntungan berpacaran dengan lelaki dewasa yang jauh lebih tua darinya. Dodit memang cukup mapan. Nina tidak perlu takut kelaparan kalau berjalan dengannya. Tetapi, satu kekurangan Dodit yang bagi Nina sangat fatal. Yaitu penampilan. Itu mengapa Nina tidak punya keberanian yang cukup untuk memperkenalkannya kepada teman-teman.

Hari ini mereka ke Dufan. Pertama kalinya bagi Dodit, namun ke sekian kali bagi Nina. Dodit begitu norak, membuat Nina malu dan bergidik.

“Mana teman kamu? Katanya ada yang ke sini juga,” tanya Nina.

“Iya, di mana ya?”

Dodit melirik ke sana kemari, mencari seorang teman kerjanya yang juga berlibur ke sini dan sempat meminta untuk bertemu. Tentu Dodit dengan senang hati ingin menemuinya. Mau menunjukkan betapa cantiknya kekasihnya.

“Nah itu,” tunjuk Dodit, “Deva.”

Ketika melihat orang yang dicari, Dodit langsung memanggilnya.

Deva, teman kerja Dodit, sangat berbeda dengannya. Nina sampai melongo. Kok bisa Dodit punya teman seganteng itu?

“Loe sendiri?”

“Iya, dit.”

“Eh, kenalin, ini pacar gue, dev. Namanya Nina.” Dodit memperkenalkan Nina kepada Deva.

“Nina,” sambil memasang senyum paling manis yang pernah ia punya.

“Deva,” sedikit syok memang, namun Deva berusaha untuk biasa saja.

Setelah berjabat tangan, Nina merasa ada sesuatu yang menyetrum perasaannya. Dan berpikir kalau Deva juga merasakan hal yang sama.

Lalu, mereka bertiga mengunjungi beberapa wahana permainan. Lucunya, ketika selesai menaiki Tornado, Dodit merasa kepalanya begitu berat, penglihatannya tidak jelas, dunia terasa berputar, dan perutnya begah. Akhirnya, ia pun muntah. Sedangkan, Nina dan Deva sudah pergi ke wahana permainan yang lain, meninggalkan Dodit. Atau lebih tepatnya, lupa kalau ada Dodit.

“Nin, Nina,”

Mendengar teriakan Dodit memanggilnya, Nina baru ingat kalau Dodit ketinggalan. Membuat Deva menahan tawanya dan bergeleng.

Sesudah asyik bermain, mereka pun makan siang. Sesekali Dodit memergoki Nina tengah memperhatikan Deva, juga melihat Nina begitu sibuk dengan ponselnya.

“Ke toilet dulu ya, sebentar,” izin Deva.

Ketika ia pergi, Dodit baru bisa berbicara.

“Nin, kalau di depan teman aku, jangan smsan terus dong, kan enggak enak.”

“Siapa yang smsan? Aku chatting sama teman sekolah, besok ada ujian praktik, aku harus sudah hafal.”

“Oh, ya tapi jangan terlalu diam ya, nanti kesannya jutek.”

“Iyaaa,”

Tanpa sepengetahuan Dodit, ternyata Nina dan Deva sudah bertukar nomor handphone. Bahkan sekarang mereka saling chatting di Line. Mengirim stiker untuk mengolok Dodit. Membuat lelaki itu terlihat kasihan dan benar-benar tidak peka.

Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore. Nina meminta untuk segera pulang. Dodit mengantarnya. Sementara Deva pulang ke arah yang berbeda. Dengan sebuah motor sport berwarna hitam, pengendara yang memakai helm tampak begitu maskulin. Nina boleh berbangga. Ketika sampai di depan rumahnya, Nina turun, dan Dodit mengucapkan beberapa hal.

“Nin, kamu sayang sama aku kan?”

“Iyalah,”

“Jangan pernah bohongin aku ya. Kalau ada apa-apa bilang aja.”

“Siap, bos.”

Dodit merasa lega sudah mengatakannya. Ia sangat berharap Nina menjadi kekasih yang jujur dan tulus menyayanginya. Tanpa berlama-lama, Dodit pun pamit. Ketika motornya sudah tak terpandang lagi, sebuah motor sport berwarna biru muncul dan berhenti tepat di depan Nina. Dan ya, itu Deva.

Tanpa basa-basi, Nina langsung naik ke boncengan motor. Membuat Deva lantas melaju dengan kecepatan sedang.

“Katakan tidak pada selingkuh.”

Rabu, 07 Januari 2015

Persahabatan Berawal dari Sebuah Pengkhianatan



Izinkan Aku Menjadi Sahabatmu

“Aku bisa benar-benar melepaskan seseorang, karena aku tidak benar-benar mencintainya. Dan aku bisa sangat menginginkan seseorang, karena aku sangat membutuhkannya.”

SMA Satu Bangsa, istirahat pertama pukul Sembilan pagi.
Suasana kantin tidak begitu ramai. Hanya tampak beberapa siswa-siswi bergerombol yang menempati pusat jajan di sekolah ini. Sebagian lagi mungkin berhamburan ke perpus, ruang guru, aula, taman, atau bahkan toilet.
Aldiya dan Fahmi sedang makan bersama. Mereka berpacaran sejak kelas X. Meski sering putus nyambung, teman-teman se-angkatan menobatkan mereka sebagai pasangan paling serasi di kelas XII.

“Al, aku pesan es krim dulu ya, bentar.” Kata Fahmi. Ia meninggalkan ponselnya yang tergeletak di samping mangkok mie ayam.

Bersamaan dengan perginya Fahmi, ponsel itu bergetar. Ada panggilan dari Shitta. Sekali dua kali Aldiya membiarkannya. Dan nomor yang diberi nama Shitta itu masih terus menelepon. Sampai di panggilan ketujuh Aldiya penasaran. Akhirnya ia mengklik pilihan lihat, menyalin nomor Shitta ke dalam ponselnya. Lalu sosok Fahmi dengan dua es krim di tangan mulai tampak. Aldiya segera menghapus panggilan tak terjawab dari Shitta tersebut, kemudian meletakkan ponsel Fahmi ke tempat semula.

“Nih, cokelat buat kamu, vanilla buat aku.”

“Aww, terima kasih.”

Aldiya bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Dan Fahmi juga tidak merasa curiga atau ada yang janggal.

Sepulang sekolah, mereka bertemu di parkiran dekat lapangan basket. Kalau biasanya Fahmi mengantar pulang Aldiya, kali ini berbeda. Fahmi bilang ia ada urusan keluarga.

“Kamu enggak apa-apa kan pulang sendiri?”

“Iya, enggak apa-apa kok,”

“Ya sudah ya, aku duluan, daaah.”

Fahmi berlalu dengan motor matic berwarna putih kesukaannya. Sementara Aldiya duduk di kursi koridor di sebelah mading. Ia membuka ponselnya, mencari kontak Shitta dan meneleponnya.

Sedangkan di daerah seberang sana, tepatnya di terminal bis. Shitta baru saja turun dari bis antar kota yang membuatnya tiba di kota Jakarta. Kota yang sudah lama ingin ia sambangi.

Ada panggilan dari nomor tak dikenal. Tanpa ragu Shitta menjawabnya, siapa tahu itu dari Fahmi, pikirnya.

“Hallo,”

“Shitta?”

“Iya, ini siapa ya?”

“Eum,”

Dengan kaku Aldiya akhirnya menghirup napas terlebih dahulu. Ia bingung harus memulainya dari mana. Beribu pertanyaan sebenarnya sangat ingin ia lontarkan kepada perempuan bernama Shitta itu. Tetapi entah kenapa terasa begitu berat. Aldiya menjadi tidak siap untuk mengetahui kenyataan bahwa firasatnya benar.

“Fahmi,”

Belum selesai Aldiya berbicara, Shitta sudah memotongnya.

“Oh, iya, kenapa sama Fahmi? Dia sudah di jalan kan buat jemput aku? Aku tunggu di halte kok, sesuai sama apa yang dia bilang.”

Degh!

Aldiya menelan salivanya susah payah. Fahmi menjemput Shitta. Padahal Fahmi bilang dia ada urusan keluarga. Apakah Shitta bagian dari keluarganya? Sudaranya mungkin?

“Shitta,”

“Iya?”

“Aku Aldiya, pacarnya Fahmi,”

Bugh!

Tas besar yang Shitta pegang tiba-tiba terjatuh. Lidahnya mendadak kelu, tubuhnya melemas, terik matahari terasa lebih panas siang ini, sampai membuat peluh di dahinya bertetesan.

“A-apa kamu bilang?” dengan lirih Shitta berusaha untuk meminta pengulangan.

Beberapa menit Aldiya menjelaskan, Shitta juga menceritakan semuanya dari awal. Bagaimana dia dan Fahmi berkenalan, sampai akhirnya mereka berpacaran. Kecurigaan Aldiya terbukti sekarang. Sejak ganti ponsel ke yang lebih canggih, Fahmi memang aneh. Dia jadi sibuk dengan ponselnya, segala aplikasi chatting dia punya.

Dan agar lebih dipercaya, Aldiya pun mengirim MMS berisi foto-fotonya dengan Fahmi kepada Shitta. Foto-foto itu sangat menyedihkan sebenarnya, ketika tahu bahwa selama ini hubungan mereka telah dikhianati oleh salah satunya. Aldiya berusaha tabah, kedua matanya yang mendung tak juga mau meneteskan deras hujan. Begitupun dengan Shitta. Bahkan dia sama sekali tidak menangis. Dia hanya menyesal telah datang ke Ibukota ini demi seseorang yang dianggapnya setia.

“Sekarang kamu di mana?”

“Aku di terminal bis,” kata Shitta, “Kamu bisa ke sini? Biar kita bertemu, dan aku akan membatalkan pertemuanku dengan Fahmi.”

Aldiya merasa itu bukan ide yang buruk.

Setengah jam kemudian, mereka pun bertatap muka. Mungkin mereka sama-sama berpikir, inikah orang yang telah Fahmi bohongi? Atau, bagaimana bisa kami bertemu? Bukankah aku telah merebut pacarnya? Dia adalah selingkuhan pacarku? Dan lain-lain. Tetapi nyatanya, mereka berhadapan sekarang. Duduk berdua di warung kopi dengan perasaan yang tidak menentu. Namun Shitta terlihat baik-baik saja. Dia tidak seperti orang yang patah hati. Kontras sekali dengan Aldiya. Aldiya jauh lebih merasa tersakiti. Pasalnya dia dan Fahmi sudah berpacaran lebih dari 2 tahun. Dan Fahmi selingkuh dengan seseorang yang jelas-jelas belum pernah ditemuinya. Mengesalkan!

“Apa kamu sangat menyayanginya?”

“Dia pacar pertamaku, kami dekat sejak MOS, dan mulai berpacaran ketika sama-sama menjabat sebagai OSIS. Bagaimana mungkin kamu menanyakan itu lagi?” air mata mulai menetes dari kedua mata Aldiya, membuat Shitta menyesal dan tidak enak hati.

“A-aku minta maaf,”

“Lalu, kenapa kamu tampak baik-baik saja? Sudah jelas kan kalau kamu menjadi orang ketiga dalam hubunganku dan Fahmi?”

“Bukan itu yang kumau. Kalau aku tahu Fahmi sudah memiliki orang lain, aku juga tidak akan mau menerimanya. Sudah terpaksa, harus merasa bersalah pula. Benar-benar sial.”

“A-apa maksudmu?”

“Menurutmu?” Shitta tanya balik, “Apa aku tampak menyedihkan seperti dirimu? Menangis karena dia. Dia sudah menduakanmu. Lupakan saja. Aku pantang menangis karena ketidakprikemanusiaan seorang laki-laki.”

Aldiya semakin bingung dengan perkataan Shitta. Apa Shitta tidak menyayangi Fahmi seperti dirinya?

“Aku sama sekali tidak menyayanginya. Aku menerima cintanya hanya karena kasihan. Dia telah melakukan banyak hal untukku dan berusaha keras agar cintanya kuterima. Jadi, apa sekarang kamu akan membenciku?”

“A-apa?” Aldiya tertegun, “Aku tidak bisa membencimu sedikitpun. Aku juga tidak tahu kenapa. Kalau aku membencimu, kita tidak akan berada di sini, berbicara berdua.”

“Haaa, benar juga. Kalau begitu, maafkan aku.”

“Ah tidak perlu meminta maaf, aku sudah merasa sedikit lega sekarang.”

“Lalu?”

“Apa yang akan kamu lakukan?”

“Aku akan melepaskannya,” Shitta terus terang.

“Aku juga. Untuk saat ini, aku tidak benar-benar menginginkan seorang pacar.”

“Bagus-bagus. Kalau begitu, kita?”

“Apa?” Aldiya meliriknya penasaran.

“Sahabatan,” Shitta mengacungkan jari kelingkang kanannya, dan Aldiya melakukan hal yang sama. Mereka pun menjadi teman.

Fahmi yang sudah tiba di terminal sejak satu jam lalu menjadi bosan dan kesal menunggu. Akhirnya ia mengambil ponsel dari saku celana. Membuka dua pesan masuk secara bergantian. Yang satu dari Aldiya, permintaan putus. Yang satu lagi dari Shitta, ucapan selamat tinggal.

Note:
Cerpen ini hadiah Ulang Tahun buat Ismiantie Richie. Sosok sahabat yang aku sendiri bingung harus menceritakannya bagaimana. Kami bisa saling menerima satu sama lain di saat sebuah kebohongan besar yang telah dilakukan seseorang kepada kami. Aku bersyukur, masalah yang menimpa pada waktu itu terjadi kepada aku dan Richie. Jika bukan Richie, belum tentu aku bisa bersahabat dengan orang itu. Dan jika bukan aku, belum tentu Richie bisa bersahabat dengan orang itu. Pokoknya, selamat ulang tahun Richie. Semoga lebih baik dari tahun lalu. Harus lebih cerdas memilih pasangan, jangan mau dibodohi, jangan lagi melakukan banyak hal untuk orang yang jelas-jelas sudah mengkhianti. Lupakan dia. Jalani hari-harimu sebaik mungkin. Oke v (^_^) v

Depok, 07 Januari 2015
Delisa dan Richie
“Persahabatan berawal dari sebuah pengkhianatan”
Aku beruntung telah dijauhkan dengannya
Kamu beruntung telah mampu melupakannya