Izinkan Aku Menjadi Sahabatmu
“Aku bisa benar-benar melepaskan seseorang, karena aku tidak
benar-benar mencintainya. Dan aku bisa sangat menginginkan seseorang, karena
aku sangat membutuhkannya.”
SMA
Satu Bangsa, istirahat pertama pukul Sembilan pagi.
Suasana
kantin tidak begitu ramai. Hanya tampak beberapa siswa-siswi bergerombol yang
menempati pusat jajan di sekolah ini. Sebagian lagi mungkin berhamburan ke
perpus, ruang guru, aula, taman, atau bahkan toilet.
Aldiya
dan Fahmi sedang makan bersama. Mereka berpacaran sejak kelas X. Meski sering
putus nyambung, teman-teman se-angkatan menobatkan mereka sebagai pasangan
paling serasi di kelas XII.
“Al,
aku pesan es krim dulu ya, bentar.” Kata Fahmi. Ia meninggalkan ponselnya yang
tergeletak di samping mangkok mie ayam.
Bersamaan
dengan perginya Fahmi, ponsel itu bergetar. Ada panggilan dari Shitta. Sekali dua
kali Aldiya membiarkannya. Dan nomor yang diberi nama Shitta itu masih terus
menelepon. Sampai di panggilan ketujuh Aldiya penasaran. Akhirnya ia mengklik
pilihan lihat, menyalin nomor Shitta ke dalam ponselnya. Lalu sosok Fahmi
dengan dua es krim di tangan mulai tampak. Aldiya segera menghapus panggilan
tak terjawab dari Shitta tersebut, kemudian meletakkan ponsel Fahmi ke tempat
semula.
“Nih,
cokelat buat kamu, vanilla buat aku.”
“Aww,
terima kasih.”
Aldiya
bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Dan Fahmi juga tidak merasa curiga atau
ada yang janggal.
Sepulang
sekolah, mereka bertemu di parkiran dekat lapangan basket. Kalau biasanya Fahmi
mengantar pulang Aldiya, kali ini berbeda. Fahmi bilang ia ada urusan keluarga.
“Kamu
enggak apa-apa kan pulang sendiri?”
“Iya,
enggak apa-apa kok,”
“Ya
sudah ya, aku duluan, daaah.”
Fahmi
berlalu dengan motor matic berwarna putih kesukaannya. Sementara Aldiya duduk
di kursi koridor di sebelah mading. Ia membuka ponselnya, mencari kontak Shitta
dan meneleponnya.
Sedangkan
di daerah seberang sana, tepatnya di terminal bis. Shitta baru saja turun dari
bis antar kota yang membuatnya tiba di kota Jakarta. Kota yang sudah lama ingin
ia sambangi.
Ada
panggilan dari nomor tak dikenal. Tanpa ragu Shitta menjawabnya, siapa tahu itu
dari Fahmi, pikirnya.
“Hallo,”
“Shitta?”
“Iya,
ini siapa ya?”
“Eum,”
Dengan
kaku Aldiya akhirnya menghirup napas terlebih dahulu. Ia bingung harus
memulainya dari mana. Beribu pertanyaan sebenarnya sangat ingin ia lontarkan
kepada perempuan bernama Shitta itu. Tetapi entah kenapa terasa begitu berat. Aldiya
menjadi tidak siap untuk mengetahui kenyataan bahwa firasatnya benar.
“Fahmi,”
Belum
selesai Aldiya berbicara, Shitta sudah memotongnya.
“Oh,
iya, kenapa sama Fahmi? Dia sudah di jalan kan buat jemput aku? Aku tunggu di
halte kok, sesuai sama apa yang dia bilang.”
Degh!
Aldiya
menelan salivanya susah payah. Fahmi menjemput Shitta. Padahal Fahmi bilang dia
ada urusan keluarga. Apakah Shitta bagian dari keluarganya? Sudaranya mungkin?
“Shitta,”
“Iya?”
“Aku
Aldiya, pacarnya Fahmi,”
Bugh!
Tas
besar yang Shitta pegang tiba-tiba terjatuh. Lidahnya mendadak kelu, tubuhnya
melemas, terik matahari terasa lebih panas siang ini, sampai membuat peluh di
dahinya bertetesan.
“A-apa
kamu bilang?” dengan lirih Shitta berusaha untuk meminta pengulangan.
Beberapa
menit Aldiya menjelaskan, Shitta juga menceritakan semuanya dari awal. Bagaimana
dia dan Fahmi berkenalan, sampai akhirnya mereka berpacaran. Kecurigaan Aldiya
terbukti sekarang. Sejak ganti ponsel ke yang lebih canggih, Fahmi memang aneh.
Dia jadi sibuk dengan ponselnya, segala aplikasi chatting dia punya.
Dan
agar lebih dipercaya, Aldiya pun mengirim MMS berisi foto-fotonya dengan Fahmi
kepada Shitta. Foto-foto itu sangat menyedihkan sebenarnya, ketika tahu bahwa
selama ini hubungan mereka telah dikhianati oleh salah satunya. Aldiya berusaha
tabah, kedua matanya yang mendung tak juga mau meneteskan deras hujan. Begitupun
dengan Shitta. Bahkan dia sama sekali tidak menangis. Dia hanya menyesal telah
datang ke Ibukota ini demi seseorang yang dianggapnya setia.
“Sekarang
kamu di mana?”
“Aku
di terminal bis,” kata Shitta, “Kamu bisa ke sini? Biar kita bertemu, dan aku akan
membatalkan pertemuanku dengan Fahmi.”
Aldiya
merasa itu bukan ide yang buruk.
Setengah
jam kemudian, mereka pun bertatap muka. Mungkin mereka sama-sama berpikir,
inikah orang yang telah Fahmi bohongi? Atau, bagaimana bisa kami bertemu? Bukankah
aku telah merebut pacarnya? Dia adalah selingkuhan pacarku? Dan lain-lain. Tetapi
nyatanya, mereka berhadapan sekarang. Duduk berdua di warung kopi dengan
perasaan yang tidak menentu. Namun Shitta terlihat baik-baik saja. Dia tidak
seperti orang yang patah hati. Kontras sekali dengan Aldiya. Aldiya jauh lebih
merasa tersakiti. Pasalnya dia dan Fahmi sudah berpacaran lebih dari 2 tahun.
Dan Fahmi selingkuh dengan seseorang yang jelas-jelas belum pernah ditemuinya. Mengesalkan!
“Apa
kamu sangat menyayanginya?”
“Dia
pacar pertamaku, kami dekat sejak MOS, dan mulai berpacaran ketika sama-sama
menjabat sebagai OSIS. Bagaimana mungkin kamu menanyakan itu lagi?” air mata
mulai menetes dari kedua mata Aldiya, membuat Shitta menyesal dan tidak enak
hati.
“A-aku
minta maaf,”
“Lalu,
kenapa kamu tampak baik-baik saja? Sudah jelas kan kalau kamu menjadi orang
ketiga dalam hubunganku dan Fahmi?”
“Bukan
itu yang kumau. Kalau aku tahu Fahmi sudah memiliki orang lain, aku juga tidak
akan mau menerimanya. Sudah terpaksa, harus merasa bersalah pula. Benar-benar
sial.”
“A-apa
maksudmu?”
“Menurutmu?”
Shitta tanya balik, “Apa aku tampak menyedihkan seperti dirimu? Menangis karena
dia. Dia sudah menduakanmu. Lupakan saja. Aku pantang menangis karena ketidakprikemanusiaan
seorang laki-laki.”
Aldiya
semakin bingung dengan perkataan Shitta. Apa Shitta tidak menyayangi Fahmi
seperti dirinya?
“Aku
sama sekali tidak menyayanginya. Aku menerima cintanya hanya karena kasihan. Dia
telah melakukan banyak hal untukku dan berusaha keras agar cintanya kuterima. Jadi,
apa sekarang kamu akan membenciku?”
“A-apa?”
Aldiya tertegun, “Aku tidak bisa membencimu sedikitpun. Aku juga tidak tahu
kenapa. Kalau aku membencimu, kita tidak akan berada di sini, berbicara berdua.”
“Haaa,
benar juga. Kalau begitu, maafkan aku.”
“Ah
tidak perlu meminta maaf, aku sudah merasa sedikit lega sekarang.”
“Lalu?”
“Apa
yang akan kamu lakukan?”
“Aku
akan melepaskannya,” Shitta terus terang.
“Aku
juga. Untuk saat ini, aku tidak benar-benar menginginkan seorang pacar.”
“Bagus-bagus.
Kalau begitu, kita?”
“Apa?”
Aldiya meliriknya penasaran.
“Sahabatan,”
Shitta mengacungkan jari kelingkang kanannya, dan Aldiya melakukan hal yang
sama. Mereka pun menjadi teman.
Fahmi
yang sudah tiba di terminal sejak satu jam lalu menjadi bosan dan kesal
menunggu. Akhirnya ia mengambil ponsel dari saku celana. Membuka dua pesan
masuk secara bergantian. Yang satu dari Aldiya, permintaan putus. Yang satu lagi
dari Shitta, ucapan selamat tinggal.
Note:
Cerpen
ini hadiah Ulang Tahun buat Ismiantie Richie. Sosok sahabat yang aku sendiri
bingung harus menceritakannya bagaimana. Kami bisa saling menerima satu sama
lain di saat sebuah kebohongan besar yang telah dilakukan seseorang kepada
kami. Aku bersyukur, masalah yang menimpa pada waktu itu terjadi kepada aku dan
Richie. Jika bukan Richie, belum tentu aku bisa bersahabat dengan orang itu.
Dan jika bukan aku, belum tentu Richie bisa bersahabat dengan orang itu.
Pokoknya, selamat ulang tahun Richie. Semoga lebih baik dari tahun lalu. Harus lebih
cerdas memilih pasangan, jangan mau dibodohi, jangan lagi melakukan banyak hal
untuk orang yang jelas-jelas sudah mengkhianti. Lupakan dia. Jalani hari-harimu
sebaik mungkin. Oke v (^_^) v
Depok, 07 Januari 2015
Delisa
dan Richie
“Persahabatan berawal dari sebuah pengkhianatan”
Aku beruntung telah dijauhkan dengannya
Kamu beruntung telah mampu melupakannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar