Petikan Novel AIR
MATA TERAKHIR BUNDA (golden scene)
"IBU"tidak pernah menangis di depan kami, kalaupun ingin
menangis, ibu hanya menggigit bibirnya kuat-kuat hingga berdarah, agar
tangisnya tak terdengar oleh kami, anak-anak yang selalu dikuatkannya dengan
kata-kata….jangan pernah menjual kesedihan dan tangismu hanya untuk masa depan,
karena masa depan adalah rancangan, kehidupan adalah sekarang, hadapi!”
BEBERAPA PETIKAN NOVEL AMTB:
AKU BUKAN ANAK YATIM
(kenangan 17 tahun yang lalu)
Di balai desa nampak antrian panjang barisan fakir miskin dan anak yatim untuk
mendapatkan jatah beras miskin (raskin).
Terlihat Delta yang sedang kepanasan, beberapa kali mengelap keringat di
dahinya dengan kedua punggung tangannya. Sambil sesekali melihat ke depan dan
belakang barisannya, dia mencoba bersabar untuk mendapatkan jatah beras yang
menjadi haknya dan keluarganya.
Kini tiba gilirannya setelah dua jam mengantri dengan tertib.
Delta berharap segera mendapatkan apa yang diharapkannya, membawa pulang
sekantong beras untuk makan mereka beberapa hari ke depan.
Namun apa yang dialaminya sungguh menyayat hati kecilnya. Dengan
wajah bingung bercampur sedih, dia menatap dua perempuan di depannya yang
sedang bertengkar karenanya.
“Dia kan tidak yatim, nggak perlu disantuni.”
“Tapi dia anaknya janda bu, ya masuklah dalam daftar santunan kita.”
“Tapi bapaknya kan masih ada. Artinya masih ada yang wajib bertanggung jawab
atas mereka itu. Yok opo seh?”
“Yok opo? Gimana to? Bapake sudah nggak mau
bertanggung jawab kok. Malah kawin lagi dengan wanita lain.”
“Wes-wes. Ya sudah beri dia jatah satu jiwa saja. Yang lainnya masih
banyak yang antri ning!”
Delta masih ingat betul kejadian yang membuat hatinya sedih tujuh belas tahun
yang lalu itu. Seorang perempuan bertumbuh tambun, yang sesekali mengunyah
makanan, gethuk singkong yang terus dibawanya sambil wira wiri
mengatur antrian jatah raskin, bertengkar dengan seorang petugas
perempuan yang dia tahu membelanya untuk mendapatkan hak jatah raskin.
**********************************
MENGAJI
Sengaja sore itu dia mengaji untuk menumpahkan segala tanya yang selama ini
tidak pernah terjawab. Pikirnya, ustadz Iskan yang selama ini selalu
membesarkan hatinya bisa melegakan jawabannya. Informasi tentang keberadaan
ayahnya di Kludan sangat mengganggu pikirannya.
Selesai membaca Qur’an yang dipinjamnya dari musholla, Delta langsung bertanya
kepada ustadz yang sejak awal mengaji sudah menangkap kegelisahannya.
“Mbah, benarkah Allah itu Maha Adil?”
“Kenapa kamu ngomong begitu? Kalau Allah tidak Maha Adil, kalian tidak
ada di sini mengaji. Bersyukurlah dengan semua yang telah diberi, apapun
pemberiannya.”
“Kalau Allah Maha Adil, kenapa Allah tidak mengingatkan bapak saya ke saya,
anaknya? ”
Delta membantah, sudah lama kata-kata itu dipendamnya sendiri. Kalaupun dia
menangis saat sendirian di rumah, dia akan segera keluar dari rumah. Berlari
sekencang-kencangnya menuju sungai. Lalu menceburkan dirinya ke sungai,
berenang hingga kelelahan. Berteriak sekeras-kerasnya Tak peduli hari itu panas
terik atau hujan. Baginya hanya itu yang bisa menghiburnya, melupakan
kesedihannya, sedikit menyembuhkan lukanya.
**********************
SEPATU
Delta ingin bilang kepada ibunya, protes hatinya, Bapak punya toko sepatu
bu. Kenapa dia tidak peduli dengan kita? Setahuku jika orang punya toko sepatu
di Kludan, sudah pasti duitnya banyak, kaya. Lalu kenapa dia tidak mau
membiayai hidup kita? Apakah salah jika aku datang ke sana minta sepatunya
sepasang saja? Aku ingin ke sana, melihat bagaimana wajah bapak, bagaimana
merasakan dipeluk seorang bapak. Tapi apakah mungkin dia tahu dan ingat bahwa
aku adalah anak yang ditinggalkannya? Kenapa dia bisa melupakan kita bu?
Kenapa?
Dengan berat hati, Delta mengucapkan apa yang beberapa hari ini dipendamnya.
Dia sudah tak peduli lagi bagaimana respon ibunya, sakit hati, marah
atau sedih dengan kalimatnya. Yang jelas dia ingin haknya sebagai anak
terpenuhi dari seorang lelaki yang disebut “Ayah”.
“Bu…nggak usah beli sepatu di pasar Larangan.”
“Lho kenapa? Di sana banyak pilihan, harganyapun miring. Ukuran sepatumu
berarti 39 ya sekarang.”
Delta memberanikan diri menatap ibunya yang juga
menatapnya heran.
“Bu, kata bu haji Waroh, eeehmmm bapak ada di Kludan, punya toko
sepatu di Kludan. Nama tokonya Kludan Maju Jaya…”
Ibu Delta tanpa ekspresi apa-apa mendengar kalimat Delta. Dia terus menatap
wajah anak yang tak pernah tahu wajah ayahnya itu. Ayah yang konon dulu
menghilang di negeri antah berantah, nyatanya kini berada di desa tetangga,
sangat dekat dengan desa mereka. Hidup dengan janda kaya yang memang hanya
membutuhkannya sebagai lelaki, bukan sebagai suami.
Dia tahu wajah Delta menyiratkan ingin bertemu, melihat wajah ayahnya
dengan alasan ingin sepatu baru. Sebuah alasan yang masuk akal, permintaan yang
manusiawi. Seorang bocah yang rindu pelukan ayahnya. Siapapun ayahnya.
“Bu, Delta ingin melihat ayah sekaligus minta sepatu baru. Masak nggak boleh?”
Mata Delta tertuju kepada butiran-butiran beras
di dalam tampah yang dipangku ibunya. Dia semakin mendekatkan wajahnya
pada tampah. Matanya melihat beberapa kutu beras masih asyik
berselancar diantara butiran beras raskin itu.
“Berasnya kutuan ya bu?”
“Ah nggak, hanya sedikit saja. Besok yang penting saat kamu makan, kutunya
sudah nggak ada. Bersyukurlah masih diberi Allah beras ini. Kamu bisa bayangkan
mereka yang tidak bisa makan nasi. Sudahlah, sekarang kamu harus tidur.”
Ibunya berdiri, menaruh tampah beras di atas meja. Dia tidak ingin
anaknya sedih atau galau karena mereka makan beras berkutu. Beras yang tak
layak makan, beras yang sudah setengah busuk, dan membahayakan kesehatan
mereka. Namun mau bagaimana lagi, hal seperti itu sudah sangat biasa terjadi.
Lalu mereka sama-sama terdiam, membisu, melupakan percakapan tentang sepatu.
***************************
SANDAL TEROMPAH BERPENITI
Semua orang yang berada di lapangan, sangat tertarik dengan gemuruh Reog
Cemandi. Delta makin bangga dengan regunya. Beberapa guru pendamping, termasuk
Bu Siti, terus menyemangati murid-muridnya dengan membagi permen dan es teh
yang dibungkus plastik. Delta sangking bersemangatnya mengatur dan
membaur dengan group reog-nya, tidak menyadari posisinya hampir bertubrukan
dengan Ramli.
“Waw, duh! Loro rek!”
Delta meringis kesakitan saat Ramli yang bertubuh tambun sedang menabuh terbang,
berjingkrak di depannya, tanpa sengaja menginjak kakinya.
“Wes rek, siap-siap. Giliran kita maju. Delta ayo semangat!”
Delta yang masih memegangi kakinya. Langsung
mengatur baris teman-temannya. Dia sudah tak peduli lagi sakit kaki kanannya.
Giliran regu Lintang Renokenongo maju ke depan, memberi hormat kepada Bupati
dengan tamu undangan lainnya yang duduk di tribun utama.
Sambutan sorak sorai dan tepuk tangan penonton membuat mereka makin semangat
menebar senyum. Barisan nampak rapi, diiringi paduan musik etnik angklung dan terbang
yang mengiringi Fakhri dan Amin dengan tarian topengnya.
Reog Cemandi ala Delta menjadi tontonan yang menarik hari itu. Diantara sekian
regu yang kebanyakan nampak mewah dengan aneka baju modern dan kebarat-baratan,
regu Delta terlihat paling natural. Delta terus menebar senyum ke penonton,
berjalan tenang menuju rute yang ditentukan.
Setelah keluar dari alun-alun, dan tepat di depan dewan juri, hal yang tidak
terduga terjadi. Wajah Delta mulai terlihat resah, dia merasakan sesuatu di
kaki kanannya. Jalannya mulai pelan. Dia menengok ke bawah sedikit. Wajahnya
mendadak pucat. Karena ternyata, tali kulit sandal terompah yang
dipakai kaki kanannya putus, jalannya mulai terseok-seok. Nampaknya injakan kaki
besar Ramli membuat tali terompahnya rapuh dan putus. Dia tidak bisa
menyembunyikan cacat jalannya. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk melepas
kedua terompahnya, dengan kaki kepanasan, nyeker, dia tetap meneruskan
jalannya.
Sementara teman-temannya yang ada di barisan depan mulai ramai berbisik. Bu
Siti yang mengetahui kesulitan Delta, segera menenangkan murid-muridnya. Delta
merasakan ketidaknyamanan yang luar biasa. Dia ingin segera acara karnaval itu
berakhir. Beruntung, Bu Siti segera mengambil tindakan. Sandal terompah
Delta diambil dan disambung dengan peniti. Diberikannya kepada Delta
yang mulai kepanasan dan kesakitan telapak kakinya.
Delta sedikit lega setelah Bu Siti memberikan terompah-nya.
Dia kembali berjalan dengan tenang, namun semangatnya sudah mulai luntur.
Ketegangan di wajahnya tak bisa disembunyikannya.
Alunan musik reognya terasa terdengar fals, cempreng, kacau, tidak karuan.
Pikirannya kalut. Hatinya menciut. Jalannya terasa berat. Jarak yang mereka
tempuh terasa sangat panjang. Waktu terasa lama sekali untuk mencapai ke tempat
finish. Hingga tanpa terasa lagi, sorak sorai para ibu teman-temannya
memekakkan telinganya. Teman-temannya berhambur menuju supporter mereka
masing-masing. Bu Siti menenangkannya, memberinya minum, sepertinya guru muda
itu tahu kegalauan Delta.
Delta lalu duduk di sudut tribun alun-alun sambil minum es teh pemberian Bu
Siti. Fakhri mendatanginya. Dia tahu hati sahabatnya sedang kacau. Delta sedih
bukan karena ibunya tidak datang memberinyan support. Namun karena
hatinya kecewa, merasa gagal.
Dia menjauh dari teman-temannya, mengambil posisi jauh dari podium panitia. Dia
tidak ingin mendengar pengumuman pemenang. Fakhri duduk di sisi kanannya. Mata
mereka sama-sama melihat suasana ramai di depannya. Teman-teman mereka yang
berbagi suka dengan ibu mereka, atau kakak bahkan tante atau nenek mereka.
Suasana yang tak mereka dapatkan sore itu.
Tak berapa lama, terdengar sorak sorai regu Lintang Renokenongo, mereka saling
berpelukan. Bu Siti nampak mencari-cari Delta yang masih duduk, menundukkan
kepalanya sambil menatap sedih sandal terompah kanan dengan peniti-nya.
“Del,
kita menang! Selamat ya!”
Bu
Siti menjabat tangan Delta yang kaget dengan kabar tanpa duga itu. Fakhri
nampak senang, merangkul Delta.
“Juara berapa bu?”
Fakhri
bertanya, seakan mewakili tanya Delta.
“Juara harapan tiga.
Nggak papa ya?!”
Delta menunduk
lesu, matanya yang tadi terlihat sejenak berbinar, tiba-tiba redup kembali. Dia
sangat kecewa. Seharusnya, paling tidak regu mereka bisa menjadi juara satu
atau tiga. Dia melihat sandal terompah-nya, lalu melepasnya, dan
membuangnya jauh-jauh ke atas, setelah Bu Siti pergi meninggalkan mereka.
“Kok kon
buang seh sandal terompahe Cak Rosyid?”
“Wes
dikekno aku. Timbangane aku mangkel ndelok terompah iku.”
“Trus kon
mulih nyeker? Sinting!”
Fakhri kesal dengan apa yang dilakukan Delta
barusan. Bu Siti mendatangi mereka, memberi dua nasi bungkus dan dua air putih
yang dibungkus plastik.
“Habis
makan segera kumpul ke mobil pick up ya. Takut hujan turun kalau
kesorean pulang. Ibu tunggu di sana.”
“Ya
bu. Terima kasih.”
Fakhri menimpali kalimat Bu Siti yang mulai tahu kekecewaan Delta.
“Yuk mangan sek. Wes jo dipikir maneh. Lali ta kon omonge ibumu. Menang
kalah iku podo wae. Kon dewe sing sering ngomongi aku ngono.
Wes! Mangan sek saiki!”
Fakhri tetap setia menyemangati sahabat kecilnya itu. Dia mengajak Delta
makan dan mengendapkan pikiran. Delta dengan lesu membuka nasi bungkus,
menyuapkan nasi dan lauknya pelan-pelan. Pikirannya mulai mencair sejuk saat
Fakhri menyebut kata “ibumu”
**********************
TITIPAN IBU
Lewat teman Delta yang baru saja keluar dari kamar, Sriyani menitipkan
serantang lontong kupang, sebuah buku cerita tua dan sebuah amplop untuk
Delta.
“Assalamu’alaikum nak.”
“Wa’alaikum salam.”
“Maaf merepotkan, bisa titip ini buat Delta?”
“Oh bisa. Maaf Ibu ini siapanya Delta?”
“Saya hanya orang yang dititipi ini buat Delta. Tolong ya nak.”
Sriyani terpaksa berbohong karena dia tidak mau siapapun melihatnya sebagai ibu
Delta, aktifis kampus, mahasiswa cerdas yang smart dan energik, dikagumi banyak
orang jadi berkurang penilaiannya. Segera Sriyani berpamitan, dan buru-buru
keluar dari teras kos Delta. Dia tidak ingin teman Delta berpikir tentang siapa
dia lebih lama, karena dari matanya, teman Delta yang dititipinya tadi
menangkap sesuatu yang beda saat melihatnya. Sementara sore itu langit makin
gelap karena mendung pekat memayungi wilayah Surabaya Timur itu, hujan deras
akan turun, tinggal tunggu hitungan menit.
Sampai
di ujung jalan kecil di kawasan Keputih itu, Sriyani lamat-lamat mendengar
suara yang sangat dikenalnya, memanggilnya. Dia sedikit menghentikan langkahnya
tanpa menoleh ke belakang, namun segera dia mempercepat langkahnya menuju halte
tua di seberang jalan, menunggu angkutan kota membawanya ke terminal Joyoboyo
untuk transit dengan mobil colt diesel jurusan Surabaya – Porong.
“Ibuuuuuuu!
Buuuu tungguuuu!”
Saat suara itu semakin dekat, baru Sriyani
menoleh, menatap si pemilik suara yang tiba-tiba memegang erat, mencium tangan
kanannya. Di bawah rintik hujan dan gemuruh guntur, Delta mengajak ibunya
menepi di halte.
“Ibu kenapa nggak masuk ke kamar? Delta ada di kamar bu.”
Sriyani hanya tersenyum kecil menatap anaknya yang terlihat makin matang. Dia
belai rambut ikal Delta, lalu dia duduk di halte tua itu.
“Ibu
nggak ingin teman-temanmu tahu bahwa Sriyani ibumu.”
“Kenapa
ibu berpikir begitu? Saya tidak pernah malu memiliki ibu seorang pedagang
lontong kupang dan seorang buruh cuci. Ibu sangat terhormat di mata saya.”
Sambil berdiri dan melambaikan tangan kanannya, meminta sebuah angkutan kota
berhenti, Sriyani berkata lirih, “Belajarlah, jadilah
orang yang pintar. Oh ya, baca ya buku yang ibu berikan tadi.”
“Itu buku
apa bu?”
“Buku
dongeng, sengaja ibu simpan buatmu. Buat belajar tentang cinta dan kekuatan
anak seorang janda. Ibu pulang dulu ya!”
Delta
tak kuasa menahan tubuh ibunya yang sedikit berlari menerjang hujan, lalu masuk
ke dalam angkutan kota, menatapnya dengan harap.
Air
mata Delta menetes membaur dengan deras hujan yang menyejukkan wajah
simpatiknya. Sejuknya air hujan yang diterjangnya sore itu karena sentuhan
lembut, ketulusan kasih sang ibu yang tak pernah mau dianggap ada untuknya.
************************
MAKAM LUMPUR
Desa Renokenongo, termasuk desa yang hilang terendam lumpur. Sebuah makam
sederhana yang akan Delta bangun itu telah tiada. Entah kini berada di titik
mana, tak jelas pandangan mata melihat keberadaannya. Semua telah tenggelam,
membhumi dengan hadirnya gelombang lumpur raksasa tiada duga.
Sungguh takjub sekaligus mengerikan melihat fenomena yang terjadi di Sidoarjo
Jawa Timur itu. Desa yang sebelumnya ramai oleh denyut kehidupan, kini
tiba-tiba menjadi sunyi senyap. Hanya terdengar ratap kesedihan dari derita
luka yang selalu menghiasi kehidupan di desa – desa kecil itu. Sementara
semburan demi semburan lumpur tiada henti.
Delta tak lagi memikirkan penyebab lumpur yang menenggelamkan semua itu adalah
sebuah bencana atau kesalahan si Fulan mengebor. Baginya kini,
kenangan di Renokenongo adalah sebuah kekuatan hati, untuk mengingatkan sejarah
masanya. Jangan pernah lupa siapa dia, dan darimana berasal.
Satu hal yang sangat menyedihkannya adalah, ketika dia tidak bisa menemui
seseorang yang juga sangat berjasa bagi hidupnya. Sosok pengganti figur ayahnya
yang setia memberinya bahan bacaan.
Fakhri bercerita bahwa Cak Rosyid kini menderita schizophrenia.
Dia kadang berada di sekitar pasar Porong, tempat pengungsian. Tapi bisa juga
dia mendadak menghilang. Entah kemana alam bawah sadar membawanya pergi. Dia
jarang bicara, banyak merenung, namun tiba-tiba bisa menangis, meraung-raung
menyebut nama istri dan anaknya.
Rumah yang baru dia bangun untuk keluarganya, lenyap tertelan lumpur. Hilang
bersama dengan kepergian istri dan anaknya. Cak Rosyid yang baru
menikah dua tahun sebelum bencana lumpur, depresi melihat rumahnya terkubur
lumpur. Dan semakin parah depresinya saat istrinya pergi, meninggalkannya
begitu saja di barak pengungsian.
Konon istrinya tidak kuat dengan keadaan yang menimpa mereka. Cak
Rosyid, sosok yang ringan tangan, suka menolong dan selalu tulus kepada semua
orang itu kini telah memiliki dunia sendiri, dunia imajinasi yang dulu
sering dia ciptakan untuk menyemangati, menyenangkan hati Delta di kala sedih.
Delta tak ingin menjadi kacang yang lupa
kulitnya. Dia akan selalu mengingat siapa saja orang-orang yang telah berperan
di dalam hidupnya.
Selama satu minggu bersama Fakhri, dia berusaha mencari Cak Rosyid.
Bertanya ke sana ke mari. Namun selalu nihil informasi. Akhirnya Delta
dengan perasaan kecewa, menitip pesan kepada Fakhri.
“Tolong jika bertemu dengan Cak Rosyid, segera kabari aku. Atau kalau
kamu bisa, tolong bawa dia ke Jakarta. Aku ingin merawatnya, berusaha menyembuhkannya.
Bagiku, dialah ayahku.”
Fakhri sangat terharu akan kearifan sifat sahabatnya. Delta Santoso benar-benar
nama yang tepat. Dia akan ingat darimana dia berasal, darimana dia terbentuk.
Perjuangan ibunya melawan badai hidup, melindungi dan menyelamatkan
anak-anaknya dari kemiskinan layak mendapatkan lancana emas lebih dari 24 karat
jikalau ada! Kilau intan berlianpun tak akan mampu menandingi sinar jiwa,
cahaya hati yang dimiliki ibunya untuk dia dan Iqbal.
Senja kian merubung, Delta duduk tepekur menatap genangan lumpur, yang telah
menjadi danau kuasa. Masa kecilnya terkubur. Tempat bermainnya tenggelam.
Sekolahnya hilang. Rumahnyapun terbenam.
Masa lalu hanya sejarah. Kehidupan adalah
sekarang, masa depan adalah rancangan, kembali dia mengingat kata-kata bijak
ibunya yang sering terulang-ulang didengarkan ke telinganya dulu saat dia
sering mengeluh tidak bisa memiliki ini itu seperti teman-temannya yang lain.
**************************
PERTUNANGAN GAGAL
Ibu hanya perempuan kecil yang tak bisa
apa-apa kecuali memanjatkan doa di sela waktu ibu bekerja. Ibu berharap, jangan
pernah kau menjual derita masa lalu untuk sebuah masa depan. Semoga
karya-karyamu kelak bisa bermanfaat bagi bangsa dan agama. Pegangan hatimu adalah
keyakinan adanya Allah Yang Maha Kasih, pedoman hidupmu adalah cinta kepada
sesama.
Selamat anakku, kau telah jadi sarjana
Ibu, Sriyani
Sebuah kesalahan besar telah dibuatnya, dia tertunduk, menyesal tentang
kecemburuan yang membabi buta pada seseorang yang telah begitu berjasa untuk
hidup Delta. Dimana perasaanmu Lauren? Rutuknya pagi itu. Dia menatap Delta
yang masih berdiri, memunggunginya di tepi jendela. Dipeluknya Delta dari
belakang.
“Maafkan aku Del. Maaf…”
“Masih cemburukah kamu kepada perempuan utamaku itu?”
Terdengar tangis Lauren semakin menyesakkan dada Delta yang tidak pernah tahan
ketika melihat perempuan menangis.
“Maafkan aku…”
“Ibu adalah pahlawanku, perempuan utamaku, wanita pertamaku, kau tak perlu lagi
cemburu setelah tahu siapa Ibu.”
SELESAI
by: KIRANA KEJORA