Kamis, 03 Oktober 2013

Afgansyah Reza - SABAR #SabarGan Cerpen 2



 A PROMISE 
 


“Liaaan.”

Safaa berhasil keluar rumah dengan sembunyi-sembunyi. Sudah tengah malam, kalau Safaa bilang sama Ayah pasti tidak akan diijinkan. Lian menjemputnya untuk melihat pesta kembang api di pelepasan malam tahun baru 2013.

“Kamu yakin mau pergi?” Tanya Lian sambil memakaikan helm di kepala Safaa.

“Iya. Udah yuk cepetan berangkat, takut Ayah kebangun dan lihat kita disini.”

Motor ninja hitam itu melaju kencang. Dari atas bukit, Safaa menikmati keindahan langit di malam hari sangat begitu indah, apalagi ini malam tahun baru. Banyak kembang api yang warna-warni dalam keramaian menyambut datangnya 2013.

“Wah bagus banget. Ini pertama kalinya aku keluar malem dan bisa liat pesta kembang api sama kamu, Lian. Makasih ya sayang.” Safaa memeluk Lian.

“Tapi ini yang terakhir juga ya. Kamu gak boleh keluar malem lewat dari jam 09. Ini udah jam 01 loh.”

“Iya deh.” Safaa menjawab ragu. Bersama Lian, seperti berada di dunia baru yang jauh berbeda dari dunianya bersama Ayah.

Senin pagi. Safaa bersiap-siap ke kantor. Ayah sudah rapi sedari tadi.

“Safaa. Jangan lupa nanti makan siang sama teman kantor Ayah ya. Ayah jemput kamu di kantor jam 12.”

“Iya ayah.”

Siangnya. Ayah mengajak Safaa makan siang di sebuah restoran Padang. Sekaligus mempertemukannya dengan Pak Andy dan Billy. Setelah mereka berkenalan, mereka makan siang bersama sambil mengobrol.

“Waktu kamu kuliah di California, gimana perasaan kamu Bill setelah kembali lagi ke Indonesia?”

“Biasa aja om. Disana kan buat kuliah jadi pas balik kesini, aku lebih ngerasa bahwa aku punya tanggungjawab yang besar untuk menggantikan Papa di perusahaan.”

“Kamu pekerja keras sekali ya berarti. Baru selesai kuliah langsung sigap mengurus perusahaan. Bagus. Anak muda yang begini yang seharusnya lebih banyak ada di Indonesia. Pemikirannya maju terus. Hahahahahaha.”

“Billy ini anaknya pemalu loh, Johan. Dia tidak bisa dekat dengan perempuan. Makanya dia lebih suka bekerja ketimbang cari pacar. Hehehehe.” Sambung Andy, Papanya Billy.

“Ohya. Safaa juga sama. Dia tidak pernah keluar sampai larut malam. Jam 09 maksimal dia sudah ada di rumah. Kalau dia mau pergi kemana-mana, dia selalu ijin sama saya. Kalau gak saya ijinkan, dia tidak pergi.”

“Penurut ya?” Tanya Andy.

“Iya. Bagaimana kalau Billy nanti malam ajak Safaa keliling Jakarta? Ke café, makan malam, sebagai tanda pertemanan yang baru dimulai.” Usul Johan, Ayah Safaa.

“Hhm boleh om. Kalau gitu, jam 07 aku jemput kamu ya Safaa.” Kata Billy.

Safaa tidak setuju, dalam benaknya sebenarnya ingin menolak. Tapi Ayah terus-menerus menjebloskannya masuk ke dalam lingkaran persahabatan dengan Billy. Selama beberapa minggu kedekatan Safaa dan Billy semakin memuncak, hal itu nyatanya membuat Johan dan Andy merasa senang. Tujuan mereka untuk menjodohkan Safaa dengan Billy akan bisa tercapai. Setelah Johan mengungkapkan hal itu pada Safaa, Safaa lantang menolaknya.

“Ayah. Ayah tau kan, aku punya Lian yah. Lian satu-satunya orang yang selalu ada buat Safaa. Safaa gak mau dijodohin sama Billy. Safaa bisa pilih pasangan hidup Safaa sendiri yah.”

“Anak itu tidak jelas masa depannya. Dari dulu ayah gak suka. Semenjak SMA, kamu berteman dengan anak itu, kamu mulai ngelawan Ayah. Ayah gak suka.”

“Ayaaah. Lian masih kuliah, kalau dia lulus nanti, dia bakalan kerja yah. Dia mau ngelamar Safaa, nikahin Safaa. Please ayah, dengerin Safaa sekali ini aja.” Safaa memohon. Ayah sudah jera.

Suatu hari ketika Lian menjemput Safaa untuk mengantarnya pulang ke rumah, di kantor, Lian bertemu Pak Johan.

“Om.” Lian ingin mencium tangan Ayah Safaa. Tapi diabaikannya.

“Untuk apa kamu disini? Apa sebenarnya tujuan kamu mendekati anak saya?”

“Maaf om. Saya terbiasa menjemput Safaa disini. Dan saya gak ada tujuan apapun untuk mendekati Safaa. Karena dari SMA, kita memang sudah berteman baik.”

“Kalau begitu berteman biasa saja. Jangan memacarinya sehingga dia mampu melawan saya demi kamu.”

Lian sangat tersinggung tapi tetap menghormati Pak Johan sebagai Ayah Safaa.

“Minggu depan Safaa akan bertunangan dengan Billy. Anak laki-laki yang jauh lebih baik daripada kamu. Saya harap setelah itu, kamu benar-benar menjauhinya. Jangan dekati perempuan yang punya tunangan. Ingat itu.”

Pak Johan lekas pergi. Lian memikirkan teguran Pak Johan barusan. Setelah sampai di depan rumah Safaa, mengantarnya pulang dengan membisu selama di perjalanan, Lian terlihat lesu.

“Ini terakhir kalinya aku antar kamu pulang. Maaf kalau besok-besok aku gak bisa antarjemput kamu lagi.”

“Oh iya. Kamu kan minggu depan uas ya. Iya deh gak papa. Kamu semangat ya belajarnya. Semoga nilai kamu bagus-bagus, ujiannya lancar. Pokoknya kalau nanti nilainya udah ketauan, kamu harus traktir aku loh. 

Hehe” Safaa menanggapinya dengan positif dan ceria.

“Aku mau kita putus.”

“Ih kamu jangan bercanda. Aku lagi seneng tau, tadi aku dapet…”

“Aku serius, Safaa.”

Tanpa memberi alasan, Lian pergi begitu saja. Safaa kebingungan, apa yang terjadi dalam hubungannya?

Di hari pertunangan Safaa dengan Billy yang hanya dihadiri oleh keluarga juga kerabat dekat, Safaa menyempatkan diri keluar kamar diam-diam dengan loncat dari atas, sekuat tenaga dan keberaniannya, Safaa akhirnya bisa menemui Lian di persimpangan jalan.

“Lian.”

“Safaa.” Lian melihat Safaa dari ujung kaki sampai ujung rambut. Hari ini penampilan Safaa lebih cantik, tidak seperti biasanya yang sederhana dan cuek.

“Aku mau tunangan sama Billy.” Safaa menangis. Berat hati untuk mengucap kenyataan yang tidak diinginkannya.

“Hey. Ini pertama kalinya kamu nangis di depan aku. Aku gak suka.”

Safaa mengusap air matanya lalu memeluk erat tubuh Lian.

“Udah ya, kamu jangan nangis lagi.” Lian melepaskan pelukan Safaa.

“Aku gak mau, aku gak suka sama Billy.”

“Kenapa? Billy ganteng kok, dia baik sama kamu, dia kelihatannya juga sayang banget sama kamu.”

“Ih pokoknya aku gak suka.”

“Udah gak papa. Kamu turutin kemauan Ayah kamu. Setelah aku lulus kuliah, aku bakalan kerja di astra. Kalau aku kerja, aku kumpulin uang buat ngelamar kamu. Aku janji.”

“Janji?” Tanya Safaa.

“Janji.” Tegas Lian.

Hari itu, pertunangan Safaa dengan Billy lancar. Pernikahan mereka akan berlangsung tahun depan, tepat di usia Safaa yang ke-24.

Tanpa Lian, hidup Safaa sangat biasa. Safaa menciptakan keceriaannya sendiri. Billy memang anak yang baik dan sangat menyayangi Safaa dengan tulus. Tapi Billy tidak tahu cara membahagiakan Safaa. Safaa hanya akan tertawa lepas dengan orang yang dicintainya, Lian.

Setahun kemudian. Beberapa hari lagi Safaa berulang tahun dan pernikahannya dengan Billy akan digelar bulan depan.

“Sureprizeee.” Lian datang ke kantor Safaa.

“Liaaan.” Safaa gembira dan langsung meraih tubuh Lian untuk dipeluknya.

Di puncak bukit tempat Lian mengajak Safaa bertahun baru 2013. Lian menceritakan semua hal yang ia lakukan setahun belakangan ini. Safaa menjadi pendengar yang baik dan cukup antusias dengan usaha keras Lian hingga akhirnya ia bisa bekerja di Astra dan sudah memiliki rumah minimalis mewah persembahan untuk Safaa ketika menjadi isterinya nanti.

“Kalau Ayah tau, pasti Ayah setuju sama hubungan kita. Waaaaah. Aku gak sabar mau kasih tau Ayah.”

“Tapi faa. Billy?”

“Billy biarin aja. Siapa suruh dia mau tunangan sama aku. Padahal kan dia tau aku udah punya pacar.”

“Iya? Jadi kamu bilang sama Billy?”

“He’eh. Aku certain semuanya dengan jujur ke Billy tanpa aku lebih-lebihin sedikit pun.”

“Kayaknya dia udah sayang banget sama kamu ya?”

“Entahlah.”

“Ih jahat kamu.”

“Ih enak aja. Enggak.”

Mereka asik bercanda. Di perjalanan pulang. Safaa terus mengganggu Lian hingga konsentrasinya berkendara tidak terkendali. Sebuah mobil kijang di depannya pun ditabrak.

Di rumah sakit, dirawat di ruang yang berbeda. Safaa mengalami kritis dan beberapa hari tak sadarkan diri. Sedangkan Lian, ia luka berat tapi bisa sembuh dalam waktu cepat. Pak Johan sangat membenci Lian atas kejadian yang menimpa anaknya. Billy selalu ada di samping Safaa, berharap Safaa cepat sadar dan lekas sembuh. Lalu mereka menikah dan hidup bahagia. Billy membayangkan hal-hal baik yang akan terjadi di kehidupannya dan Safaa setelah pernikahan. Dengan kesedihan yang amat dalam, Billy shalat, Billy berdoa, Billy memohon kesembuhan Safaa pada yang maha kuasa. Untuk menyatukan mereka kembali, membuat Safaa menjadi milik Billy.

Di hari ulang tahun Safaa. Lian datang membawa birthday’s cake dan seikat bunga kesukaan Safaa. Kedatangannya justru menimbulkan keributan, hingga ia diusir dari ruangan dan tak diijinkan masuk menjenguk Safaa. Billy melihat air mata yang keluar dari mata Safaa, berharap Safaa akan sadar. Billy terus berdoa, sampai akhirnya Safaa menyebut nama Lian. Billy pun mengajak Lian masuk dengan persetujuan Pak Johan yang terpaksa ia dapatkan.

“Happy Birthday Safaa. Hey. Ini tangisan kedua kamu di hadapan aku. Kamu tau kan? Aku gak suka liat cewek nangis. Kamu pasti sembuh. Kamu ingat janji aku sebelum kamu dan Billy bertunangan? Di persimpangan jalan di dekat rumah kamu. Aku punya janji yang harus aku tepati. Kalau kamu mau aku menepati janji itu, kamu sadar ya, kamu cepet sembuh. Kita akan menikah.”

Di ruangan itu hanya ada Safaa yang tak berdaya, Lian yang terus menangis sambil berbicara pada Safaa dan Billy yang respect dengan cinta Lian dan Safaa. Tak lama kemudian, Safaa menggerakkan jari-jarinya, lalu matanya terbuka, dan ia pun sadar. Billy memanggil dokter dan suster, Pak Johan pun langsung mengusir Lian lagi. Safaa membaik, keadaannya mulai pulih setelah Lian mengingatkan janjinya.

Billy yang merawat Safaa mulai dari makan, minum obat, membacakan cerita lucu, bernyanyi, membantu berjalan hingga apapun yang Safaa butuhkan, Billy selalu menyiapkannya. Di kamar Safaa. Safaa dan Billy sedang menonton film drama komedi Thailand. Tiba-tiba Safaa memegang tangan Billy.

“Bil. Kamu laki-laki yang baik. Kamu pantas dicintai. Tapi maaf, aku gak bisa mencintai kamu. Aku yakin, kamu akan mendapatkan perempuan yang lebih baik dari aku. Tolong batalkan pernikahan kita ya?”

Billy sangat terkejut mendengar perkataan Safaa. Ada rasa kecewa, marah, kesal, kasihan, satu padu bercampur dalam kecintaannya pada Safaa.

“Aku sudah membatalkannya tanpa perlu kamu minta.”

Safaa tak percaya. Setelah menyadari cincin di jarinya dan di jari Billy tidak ada, Safaa heran.

“Cincinnya udah aku jual terus uangnya aku tabung lagi deh.”

Safaa tertawa kecil.

“Maksud kamu?”

Lian, Pak Johan dan Pak Andy datang tiba-tiba. Mengejutkan Safaa dan mereka membawa hadiah yang banyak sekali. Ada bunga, cokelat, boneka, buku, buah-buahan dll.

“Safaaa.” Teriak Pak Andy.

“Anakku.” Sambung Pak Johan.

“Faa. Aku bawa banyak makanan buat kamu. Dibantu Ayah sama Pak Andy.” Kata Lian.

Safaa gembira. Tapi ia masih bingung.

“Jadi kapan kamu menikahi putriku? Katanya laki-laki, jangan menunda hal baik, secepatnyalah, sebelum didului sama yang lain. Hahahahaha” Tanya Pak Johan.

“Iya loh, atau enggak nanti aku sama Papa yang bertindak duluan.” Billy bercanda.

“Hehehe boleh-boleh.” Ujar Pak Andy.

“Tunggu deh. Maksudnya apa sih? Ayah udah setuju hubungan aku sama Lian?”

“Iya. Dan ayah mau, bulan depan kalian menikah. Kamu itukan sudah 24 tahun Safaa. Udah tua, ayah pengen cepet dapet cucu.”

“Ayaaah.” Safaa berlari memeluk Ayah penuh rasa sayang, bahagia dan terima kasih.

“Pak Andy, Billy, Safaa minta maaf ya kalau selama ini Safaa ada salah.”

“Iya Safaa.” Kata Pak Andy.

Safaa langsung memeluk Lian. Rasanya ini takkan berakhir. Kisah cinta mereka sejak pertama di masa SMA, hingga kini saatnya mereka menikah, masih sama. Cinta tiada akhir. Hanya maut yang memisahkan. Di kehidupan abadi pun, mereka tetap sepasang bidadari dan bidadara yang sejati. SEKIAN.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar