Minggu, 16 Maret 2014

Thanksgiving (SYUKUR)



Aku lahir 19 tahun yang lalu, pada 11 November 1994. Jumat sewaktu subuh. Ibu (Lilis Suryani) dan Bapak (Samin Sagita), mereka memberiku sebuah nama dengan tiga kata Delisa Novarina Sagita. Di kala SD (SDN Jaka Mulya 1 – Bekasi Selatan), teman-teman biasa memanggilku dengan sebutan Chacha. Masa-masa SD adalah masa kekanak-kanakkanku. Saat itulah aku menemukan sahabat-sahabat kecil yang begitu berkisah bagiku. Ketika itu juga aku jatuh cinta, cinta pertama. Tepatnya setelah kelulusan SD. Sungguh hal yang paling sulit diterima, yaitu perpisahan. Aku harus melanjutkan SMP ke Bekasi Barat, kami pun pindah rumah disana.

SMP. Masa dimana aku benar-benar telah berubah. Berubah menjadi yang lebih baik. Aku berprestasi, awalnya masuk peringkat 10 besar, lalu ke-5 besar. Di kelas 2, seseorang hadir dengan apa adanya. Ya, seseorang yang keras kepala, kepala batu, egois, aneh, sulit ditebak dan bodohnya lagi, kami sering bertengkar. Tak terasa aku sudah melaksanakan Ujian Nasional. Semua teman-temanku sibuk mencari SMA yang mereka idamkan. Semuanya ingin masuk sekolah yang paling favorite, popular, famous, dan bla bla bla. Sampai akhirnya kami (sahabat yang ku panggil De’Rainbee – Lila, Kamelia, Masulah) dipisahkan. Kami berbeda SMA.

SMA. Masa yang selalu aku tunggu, selalu aku bayangkan, selalu aku impikan. Kisahnya yang katanya menarik, menyenangkan, baik buruk, pintar bodoh, nakal penurut, lengkap bakalan aku hadapi. Kelas 10, aku masih polos banget. Penampilan seadanya, jilbab berantakan aku tidak peduli. Aku jelek, aku cuek, aku sederhana. Lalu, seseorang di musim kemarin datang menghampiriku. Dia menyatakan cintanya. Ya, seseorang yang menyebalkan itu.

Betapa hebatnya dia muncul di saat aku sedang lupa pada cinta pertamaku. Parahnya lagi, aku langsung terharu dan menerima cintanya sebegitu mudah. Dia yang selalu membuatku kesal, dia yang sama sekali tidak pernah ada di khayalanku, dia yang bukan seorang pangeran, dia yang sudah cukup menyakitiku dengan kata-kata hinanya kala itu. Aku menerimanya. Dia adalah pacar pertamaku.

Hukuman. Mungkin Tuhan ingin menyadarkanku tentang satu hal. TAHU DIRI. Entah bagaimana ceritanya, lima hari telah aku jalani hubunganku dengan dia. Kami berpacaran. Kami seperti pasangan anak muda biasanya yang sedang kasmaran. Tapi dua hari kemudian, dia tidak ada kabar. Tiba-tiba dia menjemput ke rumah dan kami bicara di luar. Bicara tentang kebohongan. Tentang omong kosong yang nyaris membuatku ingin menggantung kepalanya di atas jembatan tol. Dia memberiku pilihan, yaitu teman, sahabat atau tetap pacaran. Sumpah. Apa namanya kalau bukan kemunafikan? Kami berpacaran lho, meski baru seminggu. Dia tidak mengungkapkan alasannya memutuskan hubungan kami. Tidak, tidak, dia tidak menyebutkan ‘kita putus’. Dia hanya ingin aku memilih salah satu dari three points itu. Sudahlah, aku memilih kita berteman. Ya, hanya berteman. Bukan teman dekat, sahabat, apalagi pacaran. Ini cukup yang terakhir aku melewati sebuah kisah yang benar-benar memalukan.

Kelas 11, aku sangat aktif. Bersama beberapa sahabatku di sekolah, kami produktif. Kami sering ikut olimpiade, lomba-lomba akademik, kami menjadi OSIS. Bernarsis ria, ikut apa saja yang tidak mengeluarkan biaya. Artinya, kami aktif di dalam sekolah, juga aktif di luar sekolah. Dengan kesibukan tersebut, aku bisa menyegarkan pikiranku dan membebaskan bebanku dari permasalahan pacar pertama yang sia-sia itu. Di sela-sela rutinitasku, dia menampakkan dirinya lagi. Dia, dia yang mengecewakan, pacar pertama yang luar biasa berkesan.

Satu kali, dua kali, tiga kali, dia mengajakku kembali, kembali mengisi lembaran baru yang berjudul ‘pacaran’. Tanpa ragu, aku menolaknya mentah-mentah. Aku muak, aku murka padanya. Aku tidak sakit hati, tidak juga menyesal karena pernah diputuskan olehnya. Aku hanya merenung, untuk apa menjalin status yang sebenarnya belum kami mengerti? Buang-buang waktu saja. Akhirnya, kami membuat sebuah perjanjian. Jika aku memiliki pacar, dia juga harus memiliki pacar. Kami harus berlabuh di cinta orang lain. Kami harus belajar, memahami apakah kami memang saling mencintai? Begitu. Tak lama, seorang teman memperkenalkanku pada temannya. Aku dan temannya itu pun berpacaran. Selang beberapa hari, dia berpacaran juga dengan perempuan lain. Dunia ini sempit, itu benar. Pacarku ternyata satu sekolah dengan pacarnya, bahkan mereka sekelas. Mereka juga saling mengenal. Alhasil, ketemulah kami berempat. Ada resah, ada gelisah, ada perasaan yang tidak enak pokoknya. Ini lelucon bukan? Aku dengan si A, dia dengan si B. Si A dan si B teman sekelas di sekolahnya. Mengagumkan. Tuhan mempertemukan kami dalam kisah yang begini. Begini membingungkan.

Beberapa bulan kemudian. Aku tak sanggup, aku tak mampu berbohong demi kebaikan. Kebaikan siapa? Pikirku. Aku pun memutuskan pacarku. Alasannya karena aku ingin serius belajar, fokus ke Ujian Nasional. Aku mengira dia juga akan memutuskan pacarnya setelah aku memutuskan pacarku. Sial, ternyata tidak. Dia bertahan dengan perempuan itu. Perempuan yang sudah menganggapku sebagai seorang sahabat. Aku semakin kacau memikirkannya. Apa sih yang ada di isi kepala perempuan itu? Aku ini mantan pacar kekasihnya. Mereka bermesraan, mereka berbincang seru di depanku. Hah. Aku hampir gila.

Dua tahun berjalan sebegitu cepatnya. Aku masih sendiri. Mereka masih merajut kisah cinta berdua. Anggap saja kesendirianku ini adalah toleransi. Suatu saat nanti Tuhan akan memberiku laki-laki yang jauh lebih baik dari dia, laki-laki yang tidak sekonyol dia, laki-laki yang tahu bagaimana caranya mencintai. Semoga.

Kini, aku menjadi diriku sendiri. Dengan sekian banyak rencana-rencanaku, resolusiku di setiap tahunnya, impian-impian, aku bangun dan berdiri, mulai berlari walau lambat, namun pasti dan bertujuan. Ini aku, ini diriku. Ini hidup, maka jalani saja.

Sampai jumpa, wahai pintu yang terbuka. Aku bersyukur aku telah dilahirkan. Berharap pada waktunya nanti, ketika aku pergi untuk selamanya, surga menyambutku dengan suka cita dan keagungan-Nya. Terima kasih. Aku mencintai-Mu.

AKU sewaktu SMP

 AKU sewaktu SMA

 AKU kini

Perubahan pasti ada. Namun watak dan karakter masih sama.
Aku hanya ingin terus belajar, belajar dan selalu belajar.
Semakin berusaha, bekerja keras, dekat dengan-Nya dan lebih baik lagi.
Delisa Novarina.
Perempuan dari imaji sang pemimpi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar