Rabu, 23 April 2014

HARI BUKU SE-DUNIA 2014









Pertama kali saya membaca novel, ketika SMP. Judulnya ‘Ijinkan Aku Mencintaimu’. Lalu saya tidak menghendaki diri untuk membaca novel lagi atau mau menyukai buku atau ingin membeli buku. Sebagai pemilik rangking 5, saya merasa bahwa saya memang harus menjadi pintar di sekolah. Bukan di kegiatan non akademik seperti menulis, ikut acara-acara bedah buku dan semacamnya.

Masuk SMA, seorang teman memperkenalkan novel berjudul Surat Kecil Untuk Tuhan. Karena saya dan teman-teman suka sama jalan ceritanya yang merupakan kisah nyata juga, kami menunjukkan apresiasi kami terhadap novel tersebut dengan mendukung progress novel ke film. Acara pelepasan 1000 balon SKUT di FX Senayan, kami terlibat, kami hadir, kami ada. Kemudian, face to face crew dan pemain di bioskop-bioskop (Mall Metropolitan, Mega Bekasi, Tamini Square), kami pun menampakkan diri.

Desember 2010, saya selaku tim mading di sekolah, mengadakan lomba mading edisi jadwal kerja angkatan saya. Saya mengangkat tema bebas, yang tidak mengandung hal-hal negative sekecil apapun. Setelah ketahuan siapa pemenangnya, saya beride bahwa juara 1 harus mendapatkan hadiah berupa sebuah novel. Tapi bukan sekadar novel. Saya berpikir keras, bagaimana caranya sebuah novel itu menjadi luar biasa berkesan bila diberikan kepada juara 1 nanti?

Dan, saat saya ke toko buku. Kedua mata saya langsung jatuh hati atau terpikat pada sebuah novel bersampul ibu dan anak perempuannya. Sebuah novel berjudul Bintang Anak Tuhan. Karya Kirana Kejora. Saya baca backcovernya, saya lihat profil penulisnya. Saya menemukan alamat email yang tercantum dan apa yang terlintas di benak saya? Saya harus bertemu dengannya, dengan si penulis novel ini, dengan beliau. Awalnya, saya hanya ingin bilang bahwa saya suka novel BATnya. Tapi, ketika saya mendiskusikan dengan teman-teman OSIS saya. Saya ingin membeli novel itu untuk hadiah juara 1 lomba mading. Teman-teman saya setuju. Dan akhirnya, saya berhasil bertemu dengan penulis novel Bintang Anak Tuhan. Beliau memberi memo dan tanda tangan di novelnya tersebut.

Lama-kelamaan, saya mengenal ibu dua anak itu dengan sebutan ‘key’. Di depannya saya tambah ‘mba’ jadi ‘mba key’. Beliau menumbuhkan semangat dalam diri saya untuk menulis. Beliau membangun optimisme dalam jiwa saya. Dan beliau memberi saya energi bahwa ‘Derita adalah kekuatan, bukan kematian’.

Ini hidup, kisah terbaik sepanjang masa. Ada suka, ada duka, ada senang, ada sedih. Hidup tidak lurus putih begitu saja seperti selembar kertas polos yang belum tertimpa huruf-huruf menyakitkan. Pastinya banyak air mata yang telah kita teteskan, banyak kepahitan dalam hari-hari yang pernah kita lewati. Dan mba key merupakan salah satu motivasi saya dalam menulis. Tapi tidak menggeser posisi orang tua saya. Tetap, orang tua adalah guru terbaik bagi anaknya.

Kini tahun 2014, 4 tahun lebih saya mengenal sosok yang menginspirasi itu. Dengan sekian karyanya, sekian kisah di hidupnya, sekian kenyataan yang ia punya, sekian fase atau perjalanan dalam menghadapi ini semua. Saya bersyukur sudah dipertemukan Allah SWT dengannya.

Saya menulis, saya membaca, saya menjalani hari-hari, menikmati hidup saya, mencintai apa yang saya punya, apa yang saya suka, apa yang saya bisa, apa yang Allah SWT berikan pada saya. Saya berterima kasih atas segalanya, atas jiwa raga ini, atas takdir-takdirnya, kepada Allah SWT.

Saya bertekad bahwa karya adalah cermin diri. Bagaimana nanti saya dikenang, bagaimana nanti saya diingat, bagaimana nanti saya bermanfaat, bagaimana nanti saya berarti. Seberapa pantaskah saya mendapatkan perlakuan baik dari setiap orang yang mengenal saya, yang menyukai karya saya, yang menghargai dan menghormati saya sebagai seseorang yang patut diapresiasi. Saya memikirkan itu semua.

Saya menjadi tanggungjawab dari apa yang saya ciptakan. Saya yang harus mempertanggungjawabkan jalan hidup saya. Jalan hidup yang Allah SWT tuliskan.

Dan lagi, hari ini Hari Buku Se-Dunia.

Saya berharap bahwa saya akan selalu menyukai rutinitas-rutinitas gratis seperti membaca, menulis, menciptakan hal-hal baru, berkreatifitas, mengapresiasi karya orang lain dan lain-lain.

Semoga saya bisa punya rak buku besar di rumah, yang isinya semua buku-buku bergizi. Aamiin.

HATI YANG MANA?



Aku pernah bertengkar dengan embun di kala senja
Pada waktu itu, embun ingin kami jalan berempat
Ya, berempat.
Aku, embun, senja dan peri kecilnya

Tapi aku menolak
Aku bilang ‘Aku punya hati’
Embun tanya, hati yang mana?
Aku semakin bingung
Di satu sisi, aku ingin menjadi bagian dari mereka
Tanpa perlu status atau sebutan bahwa aku ini siapa
Di sisi lain, aku tidak punya keberanian sedikitpun
Aku takut menyakiti senja dan peri kecil
Aku tidak mau menjadi alasan dari sendu mereka

Hati Kecilkah? -Hati yang sebenarnya-
Hati Nuranikah? -Hati yang sedalam-dalamnya-
Sanubarikah? -Perasaan batin-
Atau hati yang kau buat sendiri maknanya?
Empat pilihan yang embun sodorkan padaku
Ia memaksaku untuk menjawab
Bahkan sampai menekanku, membuatku menangis

Dan lihat, untuk pertama kalinya embun kehabisan kata-kata
Karena aku bilang, aku jawab dengan kalimat putus-putus
‘Ha-ti ya-ng ka-u mi-li-ki’

CANDU IDEOLOGI



Saya tahu candu, sesuatu yang sudah menjadi kegemaran
Saya juga tahu ideologi, cara berpikir seseorang
Dan anda adalah ‘Candu Ideologi’

Kenapa begitu?
Hanya anda dan Tuhan yang punya jawaban sebenarnya

Anda terlalu yakin, terlalu percaya diri
Bahkan anda tidak pernah tahu bahwa ada orang di sekitar anda yang menyadari hal itu
Orang yang selalu bertengkar dengan anda
Orang yang selalu anda salahkan
Orang yang anda anggap anak kecil, yang cuma bisa menulis dan bagaimana anda menyebutnya?
Lingkaran Retak

Lingkaran dari garis-garis yang tidak konsisten
Lingkaran dari huruf-huruf yang pecah
Lingkaran dari bentuk yang tidak punya pendirian
Lalu apalagi anda mengatakannya? Saya sampai lupa

Tapi sungguh, saya bersyukur telah dipertemukan dengan orang seperti anda
Saya pun tidak menyesal atas peristiwa jatuh cinta yang kelam itu
Terutama tentang syair-syair lirih yang anda bilang tegas itu
Semuanya sudah saya bungkus menjadi satu
Dan saya menamakannya ‘Kesenduan Gelap’

“Meski mengesalkan, anda tetap bagian dari cerita hidup saya.”
R-D

Kamis, 17 April 2014

Embun feat Jingga



Mungkin kali ini memang bukan cinta pertamaku, bukan juga cinta pertamanya. Tapi kita sama-sama sadar. Perasaan yang kita punya itu adalah perasaan yang kita setujui masing-masing. Dan ternyata kita sejalan, kita memiliki prinsip atau komitmen yang searah. Kita menyepakati bahwa cinta yang ada di antara kita hanyalah cinta yang patut dirahasiakan. Artinya, kita membiarkan cinta ini ada, tumbuh atau tetap hidup sampai kapanpun. Tapi kita tidak menuntut cinta itu untuk saling memiliki atau harus selalu bersama.

Usiaku 10 tahun di bawahnya. Aku mengerti benar, bagaimana anak seusiaku belajar mengenal cinta. Cinta yang sesungguhnya adalah rasa. Bukan sebuah ucapan atau permainan atau pertunjukkan yang selayaknya dipertontonkan.

Aku menyebutnya embun. Embun menyebutku jingga. Pertemuan pertama kami terbilang cukup berkesan. Buktinya sampai sekarang hubungan kami masih berlanjut dengan baik.

Ya. Aku melihatnya bermain gitar, bernyanyi, menyanyikan lagu yang ku suka. Dari situlah aku tertarik untuk mengenalnya lebih jauh. Awalnya, tidak ada pikiran untuk mau memahaminya lebih dalam lagi atau sampai berujung pada jatuh cinta. Tapi ternyata, suasana hati dan keadaan di sekitar kami mendukung hal itu untuk terjadi.

Hari demi hari, embun dan jingga pun bersahabat. Hanya sahabat. Mungkin itu sudah lebih dari teman, tapi tidak lebih dari teman dekat.

Kami saling bercerita, berbagi, bertukar pikiran. Embun, laki-laki dewasa yang pintar, teguh pendirian, tidak mudah terpengaruh dan apa adanya. Menurut embun, jingga itu perempuan yang kurang konsisten. Meski begitu, embun mengakui bahwa jingga adalah perempuan yang tangguh dan penyabar. Jingga pekerja keras, mau berjuang dan simpati/empati terhadap siapapun.

Suatu ketika, kami bertemu. Berbicara tentang hubungan kami, tentang bagaimana nanti dan nantinya. Sebagai yang lebih muda, tentu aku yang harus menyesuaikan diri dengannya.

Aku benar-benar terkejut. Embun memiliki rencana-rencana hidup yang sama denganku. Pemikiran-pemikiran kita tentang dunia ini, persepsi-persepsi kita mengenai impian dan cita-cita, itu semua sama persis. Tapi untuk selera musik, buku, film, makanan, tempat wisata, Negara impian, selera embun jauh lebih fenomenal dibanding seleraku. Mungkin karena embun terlahir lebih dulu kali ya daripada aku. Embun mengagumkan, memukau, membuat jingga sampai terdiam beberapa lama dan akhirnya merenung.
Ada satu hal yang mengharuskan aku dan embun untuk tidak meneruskan cerita cinta ini. Ya, embun sudah dimiliki orang lain. Aku tahu orang lain itu siapa. Aku pernah bertemu dengannya. Kami pernah berbicara berdua, kami pernah makan bersama. Bertiga, eh berempat.

Aku bersyukur, aku menikmati sekali apa yang telah terjadi di antara kami. Dari perjalanan ini, aku belajar bagaimana itu besar hati, bagaimana itu ikhlas, bagaimana itu bersabar, bagaimana itu menyayangi dengan tulus, bagaimana itu berteman dengan siapa saja, bagaimana itu menjadi dewasa sebelum waktunya, bagaimana itu menerima kenyataan pahit, bagaimana itu menjaga kisah cinta yang harus dirahasiakan dan lain-lain.

Embun yang membuka pintu hatiku kembali. Embun juga yang bisa menutupnya. Embun yang mengajarkanku banyak hal tentang cinta. Cinta pada diri sendiri, cinta pada keluarga dan cinta pada Tuhan.
Kami sering bertengkar, kami pernah tidak bersama dalam waktu yang lama. Dan itu semua ulah embun. Tapi tujuannya baik, agar aku dapat mengambil hikmah dari apa yang aku alami.

Beberapa bulan yang lalu, aku bilang pada embun. Aku ingin menulis sebuah novel, novel tentang kisah cinta kita. Embun mendukung, embun senang jika aku bangkit lagi, semangat lagi. Dan pada saatnya, aku menemukan seseorang, seseorang yang menginspirasi. Seseorang yang memberi judul pada novelku tentang embun dan jingga. Seseorang yang kebetulan juga seusianya, seprofesi dengannya, sekritis caranya dan seperjuangan dengannya.

Berhari-hari aku menyusun bab dan kalimat-kalimat puitis yang ku kumpulkan dari percakapanku dengan embun. Kurang dari dua bulan, novel itu pun selesai. Aku kirim ke penerbit dan tinggal menunggu edar.

Aku menghela nafas dalam-dalam. Karena aku merasa aku telah melakukan hal yang tepat dan pantas untuk mengabadikan kisah embun dengan jingga.

Kami memiliki rasa yang tidak bisa dirasakan oleh orang lain, selain diri kami berdua.

Sejak menulis novel, aku dan embun tidak pernah bertemu lagi. Kami menjalani kehidupan kami sendiri-sendiri. Embun dengan jalan hidupnya, aku dengan jalan hidupku. Tapi kami tetap berkomunikasi. Di email, sms, telepon, dm twitter, inbox facebook dan sebagainya.

Aku sangat menanti kehadiran novelku ini, novel tentang embun dan jingga. Karena embun bilang, ia akan muncul jika aku menginginkannya terus-menerus.

Embun dan Jingga

“Hanya kita yang tahu arti cinta yang kita punya.”