Jumat, 23 Mei 2014

EMBUN FEAT JINGGA 6



(Puisi Tanpa Judul)

Kembali ke Jakarta.

“Hey, apa kalian tidak punya tempat favorite yang lebih menarik daripada Anyer? Semua gambar-gambar disini hanya pemandangan pantai. Membosankan. Aku heran dengan gaya berpacaran kalian.” Celoteh Fajar ketika melihat foto-foto di kamera Embun.

Embun tak mempedulikannya. Sementara aku, aku membenarkan pendapat Fajar.

“Kamukan tahu seperti apa kembaranmu itu.” Balasku.
“Ya, aku tahu persis. Dari dulu dia memang tidak berubah.”

Sebentar lagi kami sampai di daerah rumahku. Kami melewati sebuah sekolah SMA swasta. Sudah lewat jam pulang, ternyata masih ada beberapa siswi yang bertengger di pinggir jalanan. Letaknya memang di depan jalan raya besar. Dan lihat, Fajar berulah. Dia membuka kaca mobilnya dan mendongak ke arah siswi-siswi SMA itu. Tak lupa melambaikan tangan. Ha, tebar pesona sekali. Dasar resek.

“Mereka bukan fansmu. Tidak perlu bertingkah bak seorang superstar. Memalukan.” Cibir Embun.
“Syirik saja.” Fajar mendengus kesal. Aku hanya menggelengkan kepala. Keduanya selalu punya topik untuk dipermasalahkan. Apa ini menyenangkan? Sebuah permainan begitu? Hu.

Okay, tiba di rumah. Aku turun dari mobil setelah berpamitan dengan Embun dan Fajar.

“Akhir bulan kalian boleh ikut aku ke Ambon. Kebetulan aku ada kerjaan disana. Sesekalilah liburan ke luar kota.” Teriak Fajar.
“Ha, yang benar? Antusias banget nih.”
“Iya. Seminggu saja. Persiapkan dari sekarang.”
“Siaaap.” Aku mengacungkan jempol.

Embun menatapku pergi sampai tak terpandang lagi. Fajar sangat baik. Dia mengerti apa yang ku mau dan apa yang ku inginkan dari Embun. Akhirnya akan ada waktu dimana aku dan Embun bersama dalam waktu yang lama. 7 hari.

“Tidak ada cium tangan, cium kening atau cipika-cipiki gitu? Hampa rasanya melihat hubungan kalian yang begini-begini saja.” Ulas Fajar, seketika Embun melajukan mobilnya dengan cepat.
“Memangnya kenapa?”
“Bukan seperti orang pacaran. Kalian lebih mirip om dengan keponakannya.”
“Ah, sial.” Embun kesal. Dia melempar Fajar dengan kotak tisu.

17 jam kemudian.

Pagi yang sama menurut Indah. Penjual Koran di sekitar Pancoran yang masih berusia 10 tahunan. Menulis puisi sebelum berangkat bekerja, lalu mulai menjual koran sampai petang. Kegiatannya hanya itu semenjak dua tahun silam. Tepatnya ketika dia berhenti sekolah karena kekurangan biaya.

Indah tinggal di sebuah panti asuhan di Tebet. Bersama 12 anak lainnya, hanya Indah yang mau bekerja sebagai penjual koran. Teman-temannya tetap betah berdiam diri di rumah sambil menjahit dan menyulam yang hasilnya akan dijual ke para donator.

Indah berbeda. Dia memilih banyak hidup di luar daripada di dalam atau disitu-situ saja. Karena hal itu dia lakukan untuk sebuah misi. Misinya demi persahabatan.

“Hey, ada berita apa pagi ini?” Tanyaku seraya membuka kaca mobil.

Lampu merah yang mengambil waktu ratusan detik itu cukup sia-sia jika tidak digunakan sebaik-baiknya. Ketika melihat anak penjual koran ini, aku merasa dia berusaha menyampaikan sesuatu. Jadi, aku putuskan untuk memanggilnya sebentar.

“Menteri agama ketahuan korupsi bu.” Jawabnya sambil menyodorkan koran yang dia pegang. Dia juga menggendong banyak koran. Hu, pasti butuh perjuangan ya agar bisa makan dan minum selayaknya.
“Selain itu?” Aku cukup terharu. Kasihan anak ini, batinku.
“Kekalahan tim Uber Indonesia.” Sebutnya lagi, polos sekali.
“Anak pintar.” Kataku, menepuk bahunya.
“Dua koran.” Lanjutku.

Indah memberiku dua koran dan aku memberinya selembar uang seratus ribuan. Mungkin karena terlalu gembira. Kertas yang mengepal di tangan kanannya sampai terjatuh ke pangkuanku. Dan detik-detik lampu merah pun berakhir. Embun melajukan kendaraannya.

“Ini apa?” Gumamku sambil membuka kertas kusut itu.

Kita dipertemukan
Lalu dipisahkan
Apa akan ada pertemuan kembali?
Setelah aku tahu kita benar-benar berpisah

Begitu isinya. Aku dan Embun saling menatap.

“Apa?” Tanya Embun. Aku menyodorkan kertas tersebut. Dia membacanya cepat, hingga aku menerimanya lagi.
“Nanti kita kembalikan.” Kata Embun. Dia sadar raut wajahku cemas dan khawatir. Aku hanya tidak tenang. Kertas ini pasti teramat penting bagi pemiliknya.

Siang yang mencekam. Di perempatan lampu merah baru saja terjadi sebuah kecelakaan motor. Embun memarkir mobilnya ke sebuah pertokoan. Lalu menggandeng tanganku untuk menyeberang jalan dan mencari keberadaan anak penjual koran tadi.

Ternyata, Indah ada di antara kerumunan orang yang mengerubungi si korban kecelakaan. Aku yang melihatnya lantas menarik tubuhnya menjauh dari peristiwa tersebut. Dan kami menepi di dekat halte busway.

“Ibu yang tadi pagi?” Tanyanya.
“Iya. Melihat kejadian begitu, kamu hanya menonton saja?”
“Tidak. Aku yang memanggil polisi untuk menolongnya.”
“Bagus. Ohya, ini punyamu?” Aku mengembalikan kertas kusut yang kemungkinan adalah miliknya. Ah, memang benar miliknya. Kalau bukan, siapa lagi? Apa kertas kusut itu turun dari langit?
“Wah, terima kasih. Aku kira kertas ini sudah hilang.” Senangnya.

Embun menyaksikan percakapan kami dengan senyum yang tertahan. Dia aneh. Selalu aneh.

“Kamu tidak sadar? Anak itu memanggilmu ibu. Sudah dua kali. Tadi pagi dan siang ini.” Ungkap Embun. Aku pun cemberut.
“Karenamu aku jadi terlihat lebih tua. Pekalah sedikit.” Protesku.
“Ha, apa iya? Banyak yang tidak menyangka bahwa aku sudah 29 tahun. Mereka mengira aku masih 20 tahunan.” Embun mengelak.
“Kalau 20 tahunan sepertimu, lalu aku ini berapa? 10 tahunan begitu?”

Kami ceroboh. Bodoh sekali. Anak itu pergi tapi kami tidak tahu. Benar-benar orang dewasa yang penuh lelucon. Ups, lihat di bawah. Gumpalan kertas lagi. Apa mungkin anak itu hobi menjatuhkan barang-barang kecil yang dia pegang?

Hari ini kecelakaan kedua yang ku lihat secara langsung
Setelah kecelakan yang mengambilmu dariku

Begitu isinya. Embun jalan lebih dulu, dia meninggalkanku. Ah, tega.

Kami mencari anak penjual koran itu. Dan menemukannya di sebuah halte depan universitas.

Ini makan siang ternikmat bagi Indah. Es soda, es krim, nasi dan dada ayam goreng. Juga beberapa snack ringan yang sempat ku beli tadi di minimarket sebelah.

“Kapan-kapan, boleh kakak main ke panti asuhan kamu?” Tanya Embun.

Ouh, manisnya. Haruskah memasang tampang sekeren itu saat bicara dengan seorang belia? Aku pun masih belia sebenarnya. Hanya saja, aku lebih banyak bergaul dengan orang-orang dewasa. Jadi, aku terlihat sedikit lebih tua.

“Boleh saja.” Singkat Indah. Dia sibuk dengan puing-puing makanannya.
“Biasanya, Indah kalau malam melakukan apa di panti asuhan?” Tanyaku kali ini.
“Merapikan rajutan-rajutan yang sudah jadi.”
“Oh.” Panjangku.
“Kalau boleh tahu, kenapa Indah hobi menjatuhkan kertas puisi yang Indah buat?” Embun bercanda. Aku menyenggol lengannya.
“Ehm, maksud kak Embun, Indah menulis puisi itu untuk siapa?” Sambungku.

Spontan, Indah terdiam. Melirik kami sekilas lalu pergi mencuci tangan. Aku dan Embun cuma bisa kebingungan.

Menjelang sore, kami mengantar Indah pulang. Panti asuhan tempat tinggalnya ternyata tidak semenyedihkan apa yang ku bayangkan. Disana, kami disambut beberapa anak yang lucu-lucu. Juga seorang wanita paruh baya yang menjadi bunda bagi mereka semua.

“Indah memang gemar membuat puisi. Setahu saya, itu dia lakukan semenjak kehilangan orang yang disayanginya.” Ujar Bundadari. Begitu dia disapa.

Kami diajak berkeliling panti. Dan pemberhentian terakhir adalah, kamar Indah dan tiga anak lainnya. Bundadari memperlihatkan dinding kamar yang dipenuhi dengan tulisan-tulisan tangan Indah. Tembok bercat warna putih itu menjadi sangat seni. Banyak coretan pulpen disana. Ada gambar-gambar dua orang yang bergandengan pula. Tampak seperti sepasang sahabat.

Nama lengkapnya, Indah Sifwa. Dia ditemukan Bundadari di depan gerbang panti asuhan. Tak lama kemudian, Bundadari kedatangan seorang ibu yang sakit-sakitan. Ibu itu menitipkan Dinda, anak satu-satunya pada Bundadari. Hingga mereka pun tumbuh dalam kebersamaan. Tidak bisa dipisahkan. Kemana-mana selalu berdua. Makan berdua, mandi berdua, main berdua, tidur berdua.

Suatu ketika, Indah menyaksikan kematian menjemput Dinda. Dinda kecelakaan, tertabrak mobil saat mereka sedang membeli makanan di warung persimpangan jalan.

Sejak itulah, Indah merasa sangat kehilangan. Kehilangan sosok yang menjadi sahabatnya, belahan jiwanya, teman seperjuangannya, teman sepermainannya, teman sehati sepikirannya. Indah menjadi penyendiri. Berteman dengan koran-koran. Berharap ia bisa sangat pintar, seperti apa yang selalu Dinda inginkan.

Menulis puisi tanpa judul adalah pelampiasan perasaannya terhadap kesepian. Indah tidak pernah memberi judul pada setiap puisinya, itu karena Indah merasa bahwa Tuhan-lah yang lebih tahu judul apa yang pantas untuk puisi-puisinya tersebut.

Mendengar segalanya tentang Indah, aku jadi berpikir keras. Seberapa kuat Indah tetap menjalani hidupnya tanpa seseorang yang cocok dengan dirinya? Seberapa tegar Indah melewati hari-harinya tanpa keceriaan bersama seorang sahabat? Seberapa mampu Indah mewujudkan mimpi-mimpi Dinda yang selamanya tidak akan pernah bisa ditemuinya kembali? Mungkin Indah terlalu hebat untuk menjadi seperti sekarang. Dia anak perempuan yang benar-benar tangguh.

“Belajar apa saja hari ini?” Tanya Embun mengetes.
“Aku… tidak boleh kalah dari anak usia sepuluh tahunan. Dia, Indah. Luar biasa. Menerima hal yang paling sulit dalam hidup ini yaitu kehilangan, memang seperti puisi tanpa judul. Tapi pada akhirnya, dia menjadi cermin untuk siapa saja. Dan akan ada indah-indah yang lain, yang sama kuatnya, yang sama tegarnya, yang sama mampunya.” Aku hampir mengeluarkan air mata.

Embun menatapku lekat-lekat.

“Jika ingin menangis, menangis saja. Tidak perlu gengsi begitu.” Ujarnya.
“Ish, kamu ini. Jangan menjatuhkanku, bisa tidak?” Aku lekas mengusap air mata yang menetes.
“Siapa yang menjatuhkanmu? Aku hanya memastikan, bahwa canggung itu sudah punah sejak lama.”
“Ya, nih, aku menangis, puas!” Aku menyerah.

Kami beranjak dari panti asuhan ke rumah. Embun mengantarku sampai depan gerbang. Lalu dia pulang. Indah memberiku sebuah pelajaran hari ini. Pelajaran hidup, pelajaran yang tidak didapat di sekolah. Tapi di lingkungan sekitar, tepatnya dimanapun kita berada.

Kamis, 22 Mei 2014

EMBUN FEAT JINGGA 5



(Twin Love)

Pulang kuliah aku memutuskan untuk ke rumah Embun. Taksi berhenti tepat di depan gerbang rumah putih berhalaman luas dengan pohon mangga dan pohon rambutan memadatinya. Aku tekan bel, lalu Bik Ida membuka gerbangnya sedikit.

“Eh, mba Jingga. Masuk mba.” Ajak Bik Ida.
“Iya bik.” Jawabku sambil mengikutinya ke dalam.
“Mas Embun tadi berangkat pagi-pagi sekali. Katanya mau antar Icha ke sekolah. Mungkin sebentar lagi balik.” Ungkap Bik Ida.
“Okey, kalau gitu aku tunggu aja bik.” Aku duduk di sofa ruang tamu.
“Ya mba. Mau saya buatkan jus jambu biji? Kebetulan semalam mas Embun beli buahnya banyak.” Tawarnya. Aku asyik bersandar sambil memainkan handphone.
“Boleh. Tanpa gula ya bik.”
“Baik mba.” Bik Ida berlalu.

Aku menghubungi Embun, tapi tidak diangkat. Ingin kirim pesan tapi malas mengetik. Sabarlah. Embun pasti segera pulang.

Ha, ada suara musik dari kamar Embun di lantai dua. Agak bising dan terdengar rusuh. Sepertinya itu lagu rock. Karena penasaran, aku melangkahkan kaki menuju pusat perhatian. Pintunya tertutup. Apa Embun lupa mematikan dvdnya sebelum pergi? Dasar sembrono, batinku.

Mungkin tidak sopan jika aku masuk ke kamar anak laki-laki tanpa seizin pemiliknya. Ah, aku hanya ingin membantu. Niatku baik, ingin mematikan dvd itu. Volumenya terlalu keras untuk rumah besar berpenghuni dua orang begini (Embun dan Bik Ida).

Klik. Dvdnya mati. Sekarang tenang. Aku lihat kotak kaset yang ada di samping televisi. Semuanya lagu-lagu rock, dalam dan luar negeri.

Seseorang dengan kaos dan celana pendek datang membawa secangkir kopi panas. Dia cukup heran, mengapa lagunya berhenti begitu saja? Tanpa berpikir panjang, dia masuk dan mengunci pintu kamarnya. Kunci itu diletakkan di atas meja dekat tumpukan buku tebal bertaraf internasional.

Aku melongo. Bik Ida bilang Embun ke rumah Icha. Tapi kenapa Embun ada? Apa iya Embun pergi hanya dengan kaos dan celana pendek? Bukan tipenya sekali. Embun memang bersahaja tapi tidak sesederhana ini untuk bepergian jauh.

“Hey apa-apaan ini. Kamu siapa? Masuk ke kamar orang tanpa permisi. Kamu kira ini kamar nenek moyangmu?” Teriaknya.

Sulit dipercaya. Embun menghakimiku sedemikian gusar.

“Ha, kenapa begitu? Apa kamu lupa ingatan?” Balasku tak mau kalah.
“Maksudmu apa? Pergi-pergi. Aku tidak mengenalmu.” Usirnya tidak halus.
“Embun. Jangan begini. Apa salahku?” Aku menepis.

Mendengar itu sontak dia menyerah. Kedua tangannya tak lagi memaksaku untuk keluar dari kamar. Benar-benar tidak sopan. Memperlakukan kekasih seperti memperlakukan maling atau orang asing yang tidak disukai. Apa dia sudah gila? Melupakanku secepat kilat. Memangnya selama ini aku apa?

Bik Ida memegang segelas jus jambu biji, dia tidak menemukanku di tempat semula. Tak lama ia kebingungan, Embun muncul dengan raut wajah lelah yang coba disembunyikannya.

“Ada siapa bik?” Tanya Embun.
“Tadi mba Jingga tunggu disini mas. Tapi sekarang gak ada.”

Lelaki jelmaan Embun, begitu aku menyebutnya. Habis, aneh sekali. Dia kembali menyalakan dvd dengan volume tinggi. Spontan kedua tanganku menutup kedua telinga.

“Sebelum telingamu pecah, lebih baik kamu keluar.” Usulnya.
“Aish, menyebalkan.” Batinku. Aku mau keluar tapi pintunya dikunci.

Mendengar kegaduhan dari kamarnya, Embun langsung menelusur. Diikuti Bik Ida yang sempat menaruh jus jambu bijinya di atas meja.

“Jingga. Kamu di dalam? Buka pintunya?” Embun menggedor.
“Saya lupa bilang mas, ada mas Fajar baru datang dari… dari mana ya tadi, hhm ba-bel. Iya, dari Babel mas.” Kata Bik Ida. Embun hanya mendengus kesal.
“Jingga. Buka pintunya.” Teriak Embun.

Fajar, si jelmaan Embun itu. Mencium bau tidak menyenangkan. Dia pun mengambil kunci dan membuka pintunya. Benar saja. Dilihatnya dua orang yang membosankan tengah berdiri menanti pintu neraka terbuka. Embun dan Bik Ida. Ups tambah satu lagi, perempuan yang memanggilnya Embun.

Betapa terkejutnya aku? Embun ada dua. Ha, aku jadi pusing.

“Jingga. Kamu gak apa-apa?” Embun khawatir. Aku menggeleng. Masih tak menyangka. Aku tidak sedang di dalam dunia dongengkan?

Embun mengecilkan volume dvdnya. Lalu memasang tampang penuh emosi. Dan kembali menatap Fajar.

“Sekali saja tidak buat onar, tidak bisa ya?” Embun kesal.
“Bukan aku, tapi perempuan itu. Masuk kamar orang tanpa permisi. Asal mematikan dvd pula.” Jawab Fajar.
“Dia Jingga. Pacarku.” Embun menarik lenganku untuk lebih dekat dengan Fajar.
“Oh. Sudah move on rupanya. Kalau begitu, beri tahu dia mana Embun mana Fajar. Agar kejadian lampau tidak terulang lagi.” Tegas Fajar. Embun membalasnya dengan sebuah hantaman. Fajar terkapar di lantai. Sudut bibirnya sedikit berdarah.
“Aku tidak akan memaafkanmu.” Pelan Embun kemudian pergi. Bik Ida membuntuti.

Aku tidak mengerti apa yang telah terjadi. Mereka membicarakan apa? Aku kebingungan sendiri.

“Aku yang tidak akan memaafkanmu.” Gumam Fajar.
“Ma-maaf. Ini salahku.” Sekuat hati aku memberanikan diri untuk merendah.
“Pergilah. Ikuti pacarmu yang keras kepala itu.” Fajar memegangi pipinya yang kesakitan.

Jalan tergesa-gesa. Aku mencari letak Embun berada.

“Mas Embun di lobi mba.” Sorak Bik Ida dari dapur utama.

Huft. Ini pertama kalinya aku lihat Embun terpuruk. Entah apa yang dipikirkannya. Dia seperti sangat penat.

Aku duduk di sampingnya tanpa sepatah kata pun.

“Dia Fajar. Saudara kembarku.” Begitu Embun berucap. Aku menelan ludah. Pantas saja paras mereka mirip. Tapi Fajar sedikit keras. Ah tidak, mereka sama-sama keras.
“Tadi itu, aku yang salah. Seharusnya kamu jangan memukul dia.”
“Dia membuatku kesal. Selalu membuatku kesal.”
“Kamu yang sabar. Bagaimanapun dia adalah saudaramu.”
“Kesabaranku terbatas untuknya.”

Ide bagus melintas di benakku. Syukurlah. Semoga ini berhasil.

“Mau ke Mall dekat rumahku? Ada akustik disana.”
“Biar aku yang nyetir.” Lanjutku.
“Yuk.” Embun bangkit meski masih lesu.

Dia menggandengku sampai ke mobil. Seseorang mengintip kami. Ya, siapa lagi kalau bukan Fajar. Lelaki itu cukup misterius. Setelah ini, tugasku adalah menyatukan Embun dan Fajar kembali.

Sesampainya di Mall, kami menonton pentas sebentar lalu makan siang, makan es krim dan pulang. Kami pulang ke rumah Embun. Lagi, ya. Aku membeli selusin donat. Setengahnya untuk Bik Ida, setengahnya untuk Fajar.

“Embun bilang Bik Ida suka sama donat. Nih.” Aku menyodorkannya setengah lusin donat. Masing-masing beda rasa.
“Terima kasih mba. Jadi merepotkan.” Terimanya.
“Sama-sama bik. Ohya, lihat kak Fajar?”
“Kayaknya barusan ke belakang deh mba. Mungkin nengokin kelinci-kelincinya.”
“Okey, terima kasih.”
“Iya mba.”

Aku melintas ke halaman belakang rumah. Disana memang terdapat sebuah kandang yang lumayan besar, yang menampung sepasang kelinci jantan dan betina, juga anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Ada pula kolam ikan mas di pojokan. Karena lokasinya terlalu ujung, aku jarang kesana.

Setelah menemukan orang yang ku cari, aku jadi ingat cerita Embun di restoran tadi.

“Waktu SMA, aku suka sama teman sekelasku. Tapi dia suka sama Fajar. Dan mereka pacaran. Padahal Fajar tahu, kalau aku suka sama cewek itu. Sampai akhirnya, di kampus, kami bertemu lagi. Satu fakultas pula. Aku tidak tahan melihat Fajar dengan orang yang ku suka. Hingga hubungan kami menjadi renggang. Sering bertengkar, tidak pernah cocok, selalu berbeda dan menjalani hidup masing-masing. Fajar seorang crew di sebuah production house. Dua minggu dia shooting di Bangka Belitung. Sekarang baru balik. Biasanya dia pulang ke rumah orang tua. Tapi entah kenapa, dia pulang kesini. Rumah kami yang kelam semenjak menyukai orang yang sama.” Jelas Embun.
“Sekarang bagaimana? Apa mereka masih bersama?” Tanyaku.
“Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu.”
“Oh. Karena sudah ada aku ya?”
“Jangan terlalu percaya diri begitu. Aku jadi muak.”
“Ish, aku kan cuma bangga.”

“Tadi kak Embun beli donat banyak. Nih untuk kak Fajar.” Kataku.
“Tidak diracunikan?” Tanya Fajar sinis sambil meninggalkan kelinci-kelincinya berkeliaran.
“Tidak, tenang saja. Embun bilang kakak suka cokelat kacang, jadi aku pilih cokelat kacangnya lebih banyak.”
“Terima kasih.” Singkatnya dan berlalu. Tanpa lupa menerima pemberianku. Dia memakan satu donatnya sembari berjalan menuju kamar. Kamar Embun.

Aku mengekor.

“Boleh pinjam kaset westlife? Lusa aku kembalikan.” Siasatku.
“Ambillah.” Katanya.

Yeay. Sementara aku mengotak-atik keset-kasetnya, dia hanya asyik berteman dengan sekian donat.

“Kak Fajar kapan balik ke Bogor? Aku ikut ya? Kak Embun belum pernah mengajakku kesana. Padahal aku sangat ingin bertemu dengan orang tuanya.” Misi pertamaku.
“Sabtu ini paling. Boleh. Tapi aku tidak ikut campur jika pacarmu itu geram. Dia memang hobi memarahi orang lain.”
“Iyaaa. Kalau boleh tahu, orang tua kalian itu seperti apa? Aku takut mereka tidak menerimaku.”
“Kamu kan supel, dan mereka welcome sama siapa saja kok, termasuk orang di sekitar kita.”

Embun menguping dari samping pintu. Dia tersenyum kecil.

Sabtu telah datang. Perjalanan Jakarta – Bogor kurang lebih hanya dua jam. Tiba di perumahan asri yang penuh dengan nuansa islami. Aku merasa tenang saat menjejakkan kaki di pelataran rumah ini. Seperti ketenangan yang lama ku rindukan, kini kembali ku rasakan.

Embun memperkenalkanku pada orang tuanya. Orang tua yang sangat mendambakan wangi dan tangisan bayi dalam keluarganya. Artinya, cucu. Cucu dari dua lelaki bujang yang masih senang bergelut kesendirian dan kesepian. Tapi anak-anak mereka punya pujaan hati. Pujaan hati yang entah sampai kapan menunggu menjadi pendamping hidup mereka.

“Kamu cerdik ya. Banyak akal.” Puji Embun.
“Ah biasa saja.” Aku mengelak.

Kami duduk di teras samping yang menghadap perkebunan, bukit dan pegunungan. Ha, aku menghirup nafas kuat-kuat. Damai sekali. Udaranya sejuk. Suasananya tidak begitu ramai seperti di Jakarta.

“Mau kue mau kue. Ini buatan Ibu. Ayo dimakan calon menantu.” Tawar Fajar sambil meledek.

Kue lapis kesukaan Embun. Fajar duduk memisahkan kami. Dia memang resek, usil, jail, semuanya lengkap. Tapi aku lega, akhirnya mereka akur kembali. Semoga ini tidak hanya di depan orang tua mereka. Tapi ini sungguhan, yang sebenarnya ada dari dasar hati mereka.

Ayah dan Ibu melihat gerak-gerik kami. Mereka tersenyum bahagia. Kedua anaknya ternyata baik-baik saja. Rumor tak sedap itu ternyata palsu. Yang mereka sadari saat ini adalah, anak-anak mereka sudah dewasa. Kelak, mereka akan menemukan pelabuhan hati mereka masing-masing. Tanpa tekanan, paksaan atau keterburu-buruan.

“Jangan dihabiskan kak Fajar.” Sorakku.
“Dia itu rakus. Kamu harus terbiasa.” Kata Embun.
“Lalu siapa bilang kamu tidak rakus? Kita itu sama. Kamu lupa.” Protes Fajar. Embun mendengus kesal. Aku menahan tawa. Serasa ada di antara dua Embun. Ha, tidak tidak. Embunku hadir di pagi buta dan setelah hujan. Sedangkan Fajar, dia hanya hadir sebelum matahari terbit.

Embun dan Fajar, mereka kembar identik. Mereka pernah menyukai perempuan yang sama. Mereka juga pernah tidak merasakan kebersamaan yang utuh. Tapi kini, aku pastikan mereka akan bertahan sebagai dua bersaudara yang sejati. Yeah.

EMBUN FEAT JINGGA 4



(Surat Kaleng dari Langit)

Selasa ini sebenarnya tidak ada mata kuliah. Tapi aku harus datang ke kampus untuk menonton pemutaran film-film pendek karya anak broadcast di gedung teater paling pojok dekat laboratorium bahasa. Penampilan Embun tampak 5 tahun lebih muda dari usianya. T-shirt merah lembayung dibalut sweter abu-abu dengan jeans hitam dan sepatu kets cukup terlihat berbeda. Sedangkan aku hanya mengenakan baju kurung oranye dengan tas selempang dan sepatu lars serasi.

Setibanya di kampus, beberapa teman menyapa kami. Mereka bilang kami cocok. Seperti sejoli di cerita-cerita cinta buatan anak sastra. Yang satunya dewasa, tampan, maskulin dan lebih tinggi dari si perempuan. Yang satunya lagi cantik, lemah lembut dan anggun.

“Pagi, Jingga. Ciyeee, tumben datang berdua.” Sapa Windy, sahabatku di fakultas bahasa dan seni. Di sampingnya ada Lean, teman dekat yang baru jadi pacarnya. Meski begitu, keduanya seperti pasangan lama yang semakin harmonis. Tetap kompak dan romantis.
“Iya, lagi sempat. Bella sama Danis kemana? Belum kelihatan.” Windy hanya mengangkat bahu.
“Hai bro, apa kabar?” Lean dan Embun berjabat tangan ala lelaki.
“Baik. Gimana bisnis? Lancar?” Tanya Embun.

Kami berjalan sejajar. Embun dan Lean membicarakan profesi masing-masing. Aku dan Windy sibuk menghubungi Bella. Bella, sahabatku di fakultas ekonomi. Berpacaran dengan Danis, anak fakultas kedokteran yang super-duper pintar. Tinggi, putih, berkacamata dan selalu membawa catatan kecil kemanapun ia pergi.

Di depan pintu teater, kami berkumpul. Menunggu Bella dan Danis. Tak lama kemudian, mereka muncul.

“Hallo, everyone. Maaf ya telat. Soalnya tadi ketemu teman SMA gitu.” Kata Bella sambil menyalami kami.
“Lho, kita kan satu SMA. Ketemu siapa tadi?” Tanyaku penasaran. Tapi pemutaran film akan segera dimulai, semua yang hadir masuk ke teater dengan antusias. Dan hal itu mencuri perhatian kami.
“Mau mulai tuh, masuk yuk.” Ajak Windy. Kami pun menghamburkan diri ke dalam. Duduk sebarisan seperti triple date.

Dari detik pertama hingga dua jam terakhir, acara berlangsung riuh dengan tepuk sorak yang meriah. Kami puas. Ternyata anak broadcast di kampus cukup berprestasi juga. Jalan ceritanya bagus, pengambilan gambarnya juga tepat, editing hingga soundtrack pun selaras. Akhir acara, tatap muka dengan tim produksi. Berforo bersama, wawancara televisi dan radio lokal.

Aku dan Embun foto berdua di depan slogan organisasi pembuat film. Lalu foto berenam dengan Windy, Lean, Bella dan Danis. Ups, aku lupa sesuatu. Tas selempangku tidak ada. Aku kebingungan. Aku putuskan untuk kembali ke tempat dudukku tadi. Huh, ternyata benar. Tasku ketinggalan. Tapi, seperti ada yang aneh.

“Kok kayak ada isinya? Padahal aku cuma bawa dompet sama handphone.” Aku raih sesuatu yang melembung. Ha, kaleng minuman ringan. Aku goyah sedikit dan menimbulkan suara. Ternyata ada selembar kertas, bisa dibilang ini surat.
“Dari siapa?” Tanya Embun mengejutkanku.
“Belum tahu. Coba ku baca ya.”

‘Senang bertemu denganmu lagi. Melihatmu seperti kembali ke masa kita SMA dulu. Surat Kaleng dari Langit.’ Begitu tulisannya.

“Biar ku tanya Bella.” Selidik Embun.
“Tidak perlu.” Aku mencegah. Rona wajahnya tidak tenang. Jadi lebih baik, jangan mempedulikan makna terselubung di balik tujuan si pengirim menyampaikan surat kaleng ini. Jika Embun tahu siapa pelakunya, aku khawatir dia akan menghakimi orang tersebut.
“Kenapa? Kamu tahu siapa orangnya?” Aku hanya menggelengkan kepala.
“Jangan sembunyikan apapun dariku, walaupun itu hal kecil. Aku tidak suka ada rahasia-rahasiaan.” Ujarnya dan berlalu.

Membuntutinya menuju parkiran kampus. Kali ini Embun tidak dengan mobil sport yang paling bertenaga atau motor sport touring bikenya. Tapi sebuah mobil berwarna putih dengan fitur jauh lebih lengkap dari para kompetitornya.

“Aku bisa buang surat kaleng ini kalau kamu tidak suka.” Kataku. Langkah kami pun terhenti di depan mobil Embun.
“Itu milikmu. Simpanlah.” Embun masuk ke mobilnya, menyalakan mesin tanpa mempersilahkanku untuk ikut. Kemudian, klaksonnya membuyarkan lamunanku.

Kami menuju Cake Shop di bilangan Jakarta Timur, tepatnya di Kalimalang. Minum jus buah dan kue cokelat kesukaan kami.

“Setelah ini aku langsung antar kamu pulang ya? Soalnya nanti sore mau ke studio.” Kata Embun sambil mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan.
“Iya.” Singkatku.

Setengah satu siang. Sesampainya di depan gerbang, Embun malah mengikutiku sampai depan pintu. Kadang dia memang berlebihan dalam mencemaskanku. Aku masih tidak enak hati tentang surat kaleng itu. Huft.

“Jangan lupa shalat.” Aku mengingatkan.
“Iya.” Embun melihat pengesat kaki. Ada kaleng minuman ringan disitu. Dia mengambilnya.
“Lagi.” Katanya sambil membaca isi surat.

‘Sore ini jam 4. Tunggu aku di rumah ya. Surat Kaleng dari Langit.’ Aish, apa si pengirim tidak sadar bahwa dia telah membuat bumerang? Begini terus aku bisa tegang. Lihat, Embun jadi dilema.

“Aku batal ke studio. Aku mau disini sampai orang ini datang.” Aku mengambil alih surat kaleng di tangan Embun. Ha, apakah sesuatu yang rumit akan terjadi beberapa saat lagi? Mengapa si pengirim rahasia ini begitu suka membuatku merasa was-was?
“Masuklah. Kita shalat berjamaah lalu makan siang.” Ajakku.

Setelah shalat dzuhur, makan siang dan menonton televisi. Di saat kami sedang melaksanakan shalat ashar, bel berbunyi dua kali. Bik Iyas mungkin masih mencuci dan menjemur baju di lantai atas. Jadi tidak tahu kalau ada tamu.

Selesai shalat, aku melipat mukena dan sajadah. Sedangkan Embun langsung bergegas ke pusat perhatiannya. Membuka pintu dan tidak menemukan siapapun ada disana. Lagi-lagi, ia hanya mendapati surat kaleng kedua di pengesat kaki.

“Siapa?” Tanyaku.
“Tidak ada. Coba baca suratnya.” Pinta Embun. Aku menuruti.

‘Aku takut mengganggu. Surat Kaleng dari Langit.’ Melihat rangkaian kata itu, spontan Embun melempar kaleng dan merobek suratnya kecil-kecil.

“Jangan marah begitu.” Aku memohon.
“Kita ke Bella sekarang.” Embun menarik tanganku. Sepertinya dia serius.

Ketika ingin memasuki mobil, seseorang muncul dari belakang kami. Motor sportnya yang mengadopsi MotoGP itu sangat ku kenal. Tidak asing lagi.

“Kalian mencariku?” Tanyanya.

Abid Zuhdi, pendampingku sebagai Raja 2010 di SMA Pandawa Lima.

Embun mengepalkan tangan kanannya. Aku menarik nafas dalam-dalam. Peperangan dimulai.

“Maksud kamu apa?” Embun menghampirinya. Aku menyusul sambil memegang tangan kiri Embun. Berharap emosinya tidak meluap.
“Aku rindu orang yang ku suka sejak SMA. Apa tidak boleh?” Abid mengesalkan. Seperti menantang dan sok berani.
“Caramu norak dan kampungan.” Ungkap Embun.
“Ohya? Lalu kakak ini apa?” Balas Abid.

Tubuhku lemas. Aku tidak bertenaga untuk melerai perdebatan mereka.

“A-abid. Please jangan buat masalah. Jika ada yang ingin disampaikan, katakan sekarang.” Sekuat hati aku meluahkan kalimat itu.
“Aku suka sama kamu. Sejak kita SMA. Tepatnya ketika kita dinobatkan sebagai Raja dan Ratu 2010.” Tegas Abid.

Embun membuang pandangan ke langit sore yang mendung. Air mukanya tampak geram. Aku tidak yakin sepulang dari sini Abid akan baik-baik saja.

“Maaf, bid. Sejak kamu suka sama aku, sejak itu pula aku suka sama kak Embun.” Kataku sedikit lega. Masih masa terkejut. Mengapa ada orang senekat ini? Menyatakan perasaannya pada perempuan di depan kekasih perempuan tersebut. Benar-benar gila.
“Aku tahu. Aku hanya ingin mengatakan ini. Ternyata aku terlambat. Semoga kalian selalu bersama.” Abid menepuk bahuku, melirik Embun sekilas lalu melaju pergi.

Motor sportnya sudah tidak terlihat. Aku dan Embun masih bungkam. Bahkan untuk ini dia sama sekali tidak berkomentar. Seharusnya dia tersanjung atau terharu atau berterima kasih begitu. Aku membalas pernyataan jujur Abid dengan pernyataan jujurku juga. Itu sebuah prestasi bukan? Aku patut diberi penghargaan.

Hey, lihat. Embun memelukku. Memasuki tahun kelima kedekatan kami, dalam pelukannya tinggiku tetap sedadanya. Tidak ada peningkatan. Sampai kapan aku menjadi orang pendek terus?

Heuh. Surat Kaleng dari Langit sangat berkesan. Aku baru tahu kalau Abid memiliki perasaan seperti itu padaku. 3 tahun menjadi teman sekelas, aku sama sekali tidak menyadarinya. Karena Abid pun tidak pernah menunjukkan gelagatnya. Maka yang dapat ku petik adalah, ‘Jika kamu menyukai seseorang, katakanlah. Diterima atau tidak, terbalas atau tidak, itu urusan belakang. Intinya kamu sudah menyampaikannya.’ Rasa lega itu menyenangkan lho.