Kamis, 22 Mei 2014

EMBUN FEAT JINGGA 4



(Surat Kaleng dari Langit)

Selasa ini sebenarnya tidak ada mata kuliah. Tapi aku harus datang ke kampus untuk menonton pemutaran film-film pendek karya anak broadcast di gedung teater paling pojok dekat laboratorium bahasa. Penampilan Embun tampak 5 tahun lebih muda dari usianya. T-shirt merah lembayung dibalut sweter abu-abu dengan jeans hitam dan sepatu kets cukup terlihat berbeda. Sedangkan aku hanya mengenakan baju kurung oranye dengan tas selempang dan sepatu lars serasi.

Setibanya di kampus, beberapa teman menyapa kami. Mereka bilang kami cocok. Seperti sejoli di cerita-cerita cinta buatan anak sastra. Yang satunya dewasa, tampan, maskulin dan lebih tinggi dari si perempuan. Yang satunya lagi cantik, lemah lembut dan anggun.

“Pagi, Jingga. Ciyeee, tumben datang berdua.” Sapa Windy, sahabatku di fakultas bahasa dan seni. Di sampingnya ada Lean, teman dekat yang baru jadi pacarnya. Meski begitu, keduanya seperti pasangan lama yang semakin harmonis. Tetap kompak dan romantis.
“Iya, lagi sempat. Bella sama Danis kemana? Belum kelihatan.” Windy hanya mengangkat bahu.
“Hai bro, apa kabar?” Lean dan Embun berjabat tangan ala lelaki.
“Baik. Gimana bisnis? Lancar?” Tanya Embun.

Kami berjalan sejajar. Embun dan Lean membicarakan profesi masing-masing. Aku dan Windy sibuk menghubungi Bella. Bella, sahabatku di fakultas ekonomi. Berpacaran dengan Danis, anak fakultas kedokteran yang super-duper pintar. Tinggi, putih, berkacamata dan selalu membawa catatan kecil kemanapun ia pergi.

Di depan pintu teater, kami berkumpul. Menunggu Bella dan Danis. Tak lama kemudian, mereka muncul.

“Hallo, everyone. Maaf ya telat. Soalnya tadi ketemu teman SMA gitu.” Kata Bella sambil menyalami kami.
“Lho, kita kan satu SMA. Ketemu siapa tadi?” Tanyaku penasaran. Tapi pemutaran film akan segera dimulai, semua yang hadir masuk ke teater dengan antusias. Dan hal itu mencuri perhatian kami.
“Mau mulai tuh, masuk yuk.” Ajak Windy. Kami pun menghamburkan diri ke dalam. Duduk sebarisan seperti triple date.

Dari detik pertama hingga dua jam terakhir, acara berlangsung riuh dengan tepuk sorak yang meriah. Kami puas. Ternyata anak broadcast di kampus cukup berprestasi juga. Jalan ceritanya bagus, pengambilan gambarnya juga tepat, editing hingga soundtrack pun selaras. Akhir acara, tatap muka dengan tim produksi. Berforo bersama, wawancara televisi dan radio lokal.

Aku dan Embun foto berdua di depan slogan organisasi pembuat film. Lalu foto berenam dengan Windy, Lean, Bella dan Danis. Ups, aku lupa sesuatu. Tas selempangku tidak ada. Aku kebingungan. Aku putuskan untuk kembali ke tempat dudukku tadi. Huh, ternyata benar. Tasku ketinggalan. Tapi, seperti ada yang aneh.

“Kok kayak ada isinya? Padahal aku cuma bawa dompet sama handphone.” Aku raih sesuatu yang melembung. Ha, kaleng minuman ringan. Aku goyah sedikit dan menimbulkan suara. Ternyata ada selembar kertas, bisa dibilang ini surat.
“Dari siapa?” Tanya Embun mengejutkanku.
“Belum tahu. Coba ku baca ya.”

‘Senang bertemu denganmu lagi. Melihatmu seperti kembali ke masa kita SMA dulu. Surat Kaleng dari Langit.’ Begitu tulisannya.

“Biar ku tanya Bella.” Selidik Embun.
“Tidak perlu.” Aku mencegah. Rona wajahnya tidak tenang. Jadi lebih baik, jangan mempedulikan makna terselubung di balik tujuan si pengirim menyampaikan surat kaleng ini. Jika Embun tahu siapa pelakunya, aku khawatir dia akan menghakimi orang tersebut.
“Kenapa? Kamu tahu siapa orangnya?” Aku hanya menggelengkan kepala.
“Jangan sembunyikan apapun dariku, walaupun itu hal kecil. Aku tidak suka ada rahasia-rahasiaan.” Ujarnya dan berlalu.

Membuntutinya menuju parkiran kampus. Kali ini Embun tidak dengan mobil sport yang paling bertenaga atau motor sport touring bikenya. Tapi sebuah mobil berwarna putih dengan fitur jauh lebih lengkap dari para kompetitornya.

“Aku bisa buang surat kaleng ini kalau kamu tidak suka.” Kataku. Langkah kami pun terhenti di depan mobil Embun.
“Itu milikmu. Simpanlah.” Embun masuk ke mobilnya, menyalakan mesin tanpa mempersilahkanku untuk ikut. Kemudian, klaksonnya membuyarkan lamunanku.

Kami menuju Cake Shop di bilangan Jakarta Timur, tepatnya di Kalimalang. Minum jus buah dan kue cokelat kesukaan kami.

“Setelah ini aku langsung antar kamu pulang ya? Soalnya nanti sore mau ke studio.” Kata Embun sambil mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan.
“Iya.” Singkatku.

Setengah satu siang. Sesampainya di depan gerbang, Embun malah mengikutiku sampai depan pintu. Kadang dia memang berlebihan dalam mencemaskanku. Aku masih tidak enak hati tentang surat kaleng itu. Huft.

“Jangan lupa shalat.” Aku mengingatkan.
“Iya.” Embun melihat pengesat kaki. Ada kaleng minuman ringan disitu. Dia mengambilnya.
“Lagi.” Katanya sambil membaca isi surat.

‘Sore ini jam 4. Tunggu aku di rumah ya. Surat Kaleng dari Langit.’ Aish, apa si pengirim tidak sadar bahwa dia telah membuat bumerang? Begini terus aku bisa tegang. Lihat, Embun jadi dilema.

“Aku batal ke studio. Aku mau disini sampai orang ini datang.” Aku mengambil alih surat kaleng di tangan Embun. Ha, apakah sesuatu yang rumit akan terjadi beberapa saat lagi? Mengapa si pengirim rahasia ini begitu suka membuatku merasa was-was?
“Masuklah. Kita shalat berjamaah lalu makan siang.” Ajakku.

Setelah shalat dzuhur, makan siang dan menonton televisi. Di saat kami sedang melaksanakan shalat ashar, bel berbunyi dua kali. Bik Iyas mungkin masih mencuci dan menjemur baju di lantai atas. Jadi tidak tahu kalau ada tamu.

Selesai shalat, aku melipat mukena dan sajadah. Sedangkan Embun langsung bergegas ke pusat perhatiannya. Membuka pintu dan tidak menemukan siapapun ada disana. Lagi-lagi, ia hanya mendapati surat kaleng kedua di pengesat kaki.

“Siapa?” Tanyaku.
“Tidak ada. Coba baca suratnya.” Pinta Embun. Aku menuruti.

‘Aku takut mengganggu. Surat Kaleng dari Langit.’ Melihat rangkaian kata itu, spontan Embun melempar kaleng dan merobek suratnya kecil-kecil.

“Jangan marah begitu.” Aku memohon.
“Kita ke Bella sekarang.” Embun menarik tanganku. Sepertinya dia serius.

Ketika ingin memasuki mobil, seseorang muncul dari belakang kami. Motor sportnya yang mengadopsi MotoGP itu sangat ku kenal. Tidak asing lagi.

“Kalian mencariku?” Tanyanya.

Abid Zuhdi, pendampingku sebagai Raja 2010 di SMA Pandawa Lima.

Embun mengepalkan tangan kanannya. Aku menarik nafas dalam-dalam. Peperangan dimulai.

“Maksud kamu apa?” Embun menghampirinya. Aku menyusul sambil memegang tangan kiri Embun. Berharap emosinya tidak meluap.
“Aku rindu orang yang ku suka sejak SMA. Apa tidak boleh?” Abid mengesalkan. Seperti menantang dan sok berani.
“Caramu norak dan kampungan.” Ungkap Embun.
“Ohya? Lalu kakak ini apa?” Balas Abid.

Tubuhku lemas. Aku tidak bertenaga untuk melerai perdebatan mereka.

“A-abid. Please jangan buat masalah. Jika ada yang ingin disampaikan, katakan sekarang.” Sekuat hati aku meluahkan kalimat itu.
“Aku suka sama kamu. Sejak kita SMA. Tepatnya ketika kita dinobatkan sebagai Raja dan Ratu 2010.” Tegas Abid.

Embun membuang pandangan ke langit sore yang mendung. Air mukanya tampak geram. Aku tidak yakin sepulang dari sini Abid akan baik-baik saja.

“Maaf, bid. Sejak kamu suka sama aku, sejak itu pula aku suka sama kak Embun.” Kataku sedikit lega. Masih masa terkejut. Mengapa ada orang senekat ini? Menyatakan perasaannya pada perempuan di depan kekasih perempuan tersebut. Benar-benar gila.
“Aku tahu. Aku hanya ingin mengatakan ini. Ternyata aku terlambat. Semoga kalian selalu bersama.” Abid menepuk bahuku, melirik Embun sekilas lalu melaju pergi.

Motor sportnya sudah tidak terlihat. Aku dan Embun masih bungkam. Bahkan untuk ini dia sama sekali tidak berkomentar. Seharusnya dia tersanjung atau terharu atau berterima kasih begitu. Aku membalas pernyataan jujur Abid dengan pernyataan jujurku juga. Itu sebuah prestasi bukan? Aku patut diberi penghargaan.

Hey, lihat. Embun memelukku. Memasuki tahun kelima kedekatan kami, dalam pelukannya tinggiku tetap sedadanya. Tidak ada peningkatan. Sampai kapan aku menjadi orang pendek terus?

Heuh. Surat Kaleng dari Langit sangat berkesan. Aku baru tahu kalau Abid memiliki perasaan seperti itu padaku. 3 tahun menjadi teman sekelas, aku sama sekali tidak menyadarinya. Karena Abid pun tidak pernah menunjukkan gelagatnya. Maka yang dapat ku petik adalah, ‘Jika kamu menyukai seseorang, katakanlah. Diterima atau tidak, terbalas atau tidak, itu urusan belakang. Intinya kamu sudah menyampaikannya.’ Rasa lega itu menyenangkan lho.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar