(Surat
Kaleng dari Langit)
Selasa ini
sebenarnya tidak ada mata kuliah. Tapi aku harus datang ke kampus untuk
menonton pemutaran film-film pendek karya anak broadcast di gedung teater
paling pojok dekat laboratorium bahasa. Penampilan Embun tampak 5 tahun lebih
muda dari usianya. T-shirt merah lembayung dibalut sweter abu-abu dengan jeans
hitam dan sepatu kets cukup terlihat berbeda. Sedangkan aku hanya mengenakan
baju kurung oranye dengan tas selempang dan sepatu lars serasi.
Setibanya di
kampus, beberapa teman menyapa kami. Mereka bilang kami cocok. Seperti sejoli
di cerita-cerita cinta buatan anak sastra. Yang satunya dewasa, tampan,
maskulin dan lebih tinggi dari si perempuan. Yang satunya lagi cantik, lemah
lembut dan anggun.
“Pagi, Jingga.
Ciyeee, tumben datang berdua.” Sapa Windy, sahabatku di fakultas bahasa dan
seni. Di sampingnya ada Lean, teman dekat yang baru jadi pacarnya. Meski
begitu, keduanya seperti pasangan lama yang semakin harmonis. Tetap kompak dan
romantis.
“Iya, lagi
sempat. Bella sama Danis kemana? Belum kelihatan.” Windy hanya mengangkat bahu.
“Hai bro, apa
kabar?” Lean dan Embun berjabat tangan ala lelaki.
“Baik. Gimana
bisnis? Lancar?” Tanya Embun.
Kami berjalan
sejajar. Embun dan Lean membicarakan profesi masing-masing. Aku dan Windy sibuk
menghubungi Bella. Bella, sahabatku di fakultas ekonomi. Berpacaran dengan
Danis, anak fakultas kedokteran yang super-duper pintar. Tinggi, putih,
berkacamata dan selalu membawa catatan kecil kemanapun ia pergi.
Di depan pintu
teater, kami berkumpul. Menunggu Bella dan Danis. Tak lama kemudian, mereka
muncul.
“Hallo,
everyone. Maaf ya telat. Soalnya tadi ketemu teman SMA gitu.” Kata Bella sambil
menyalami kami.
“Lho, kita kan
satu SMA. Ketemu siapa tadi?” Tanyaku penasaran. Tapi pemutaran film akan
segera dimulai, semua yang hadir masuk ke teater dengan antusias. Dan hal itu
mencuri perhatian kami.
“Mau mulai
tuh, masuk yuk.” Ajak Windy. Kami pun menghamburkan diri ke dalam. Duduk
sebarisan seperti triple date.
Dari detik
pertama hingga dua jam terakhir, acara berlangsung riuh dengan tepuk sorak yang
meriah. Kami puas. Ternyata anak broadcast di kampus cukup berprestasi juga.
Jalan ceritanya bagus, pengambilan gambarnya juga tepat, editing hingga
soundtrack pun selaras. Akhir acara, tatap muka dengan tim produksi. Berforo
bersama, wawancara televisi dan radio lokal.
Aku dan Embun
foto berdua di depan slogan organisasi pembuat film. Lalu foto berenam dengan
Windy, Lean, Bella dan Danis. Ups, aku lupa sesuatu. Tas selempangku tidak ada.
Aku kebingungan. Aku putuskan untuk kembali ke tempat dudukku tadi. Huh,
ternyata benar. Tasku ketinggalan. Tapi, seperti ada yang aneh.
“Kok kayak ada
isinya? Padahal aku cuma bawa dompet sama handphone.” Aku raih sesuatu yang
melembung. Ha, kaleng minuman ringan. Aku goyah sedikit dan menimbulkan suara.
Ternyata ada selembar kertas, bisa dibilang ini surat.
“Dari siapa?”
Tanya Embun mengejutkanku.
“Belum tahu.
Coba ku baca ya.”
‘Senang
bertemu denganmu lagi. Melihatmu seperti kembali ke masa kita SMA dulu. Surat
Kaleng dari Langit.’ Begitu tulisannya.
“Biar ku tanya
Bella.” Selidik Embun.
“Tidak perlu.”
Aku mencegah. Rona wajahnya tidak tenang. Jadi lebih baik, jangan mempedulikan makna
terselubung di balik tujuan si pengirim menyampaikan surat kaleng ini. Jika
Embun tahu siapa pelakunya, aku khawatir dia akan menghakimi orang tersebut.
“Kenapa? Kamu
tahu siapa orangnya?” Aku hanya menggelengkan kepala.
“Jangan
sembunyikan apapun dariku, walaupun itu hal kecil. Aku tidak suka ada
rahasia-rahasiaan.” Ujarnya dan berlalu.
Membuntutinya
menuju parkiran kampus. Kali ini Embun tidak dengan mobil sport yang paling
bertenaga atau motor sport touring bikenya. Tapi sebuah mobil berwarna putih
dengan fitur jauh lebih lengkap dari para kompetitornya.
“Aku bisa
buang surat kaleng ini kalau kamu tidak suka.” Kataku. Langkah kami pun
terhenti di depan mobil Embun.
“Itu milikmu.
Simpanlah.” Embun masuk ke mobilnya, menyalakan mesin tanpa mempersilahkanku
untuk ikut. Kemudian, klaksonnya membuyarkan lamunanku.
Kami menuju
Cake Shop di bilangan Jakarta Timur, tepatnya di Kalimalang. Minum jus buah dan
kue cokelat kesukaan kami.
“Setelah ini
aku langsung antar kamu pulang ya? Soalnya nanti sore mau ke studio.” Kata
Embun sambil mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan.
“Iya.”
Singkatku.
Setengah satu
siang. Sesampainya di depan gerbang, Embun malah mengikutiku sampai depan pintu.
Kadang dia memang berlebihan dalam mencemaskanku. Aku masih tidak enak hati
tentang surat kaleng itu. Huft.
“Jangan lupa
shalat.” Aku mengingatkan.
“Iya.” Embun
melihat pengesat kaki. Ada kaleng minuman ringan disitu. Dia mengambilnya.
“Lagi.” Katanya
sambil membaca isi surat.
‘Sore ini jam
4. Tunggu aku di rumah ya. Surat Kaleng dari Langit.’ Aish, apa si pengirim
tidak sadar bahwa dia telah membuat bumerang? Begini terus aku bisa tegang.
Lihat, Embun jadi dilema.
“Aku batal ke
studio. Aku mau disini sampai orang ini datang.” Aku mengambil alih surat
kaleng di tangan Embun. Ha, apakah sesuatu yang rumit akan terjadi beberapa
saat lagi? Mengapa si pengirim rahasia ini begitu suka membuatku merasa
was-was?
“Masuklah.
Kita shalat berjamaah lalu makan siang.” Ajakku.
Setelah shalat
dzuhur, makan siang dan menonton televisi. Di saat kami sedang melaksanakan
shalat ashar, bel berbunyi dua kali. Bik Iyas mungkin masih mencuci dan
menjemur baju di lantai atas. Jadi tidak tahu kalau ada tamu.
Selesai shalat,
aku melipat mukena dan sajadah. Sedangkan Embun langsung bergegas ke pusat
perhatiannya. Membuka pintu dan tidak menemukan siapapun ada disana. Lagi-lagi,
ia hanya mendapati surat kaleng kedua di pengesat kaki.
“Siapa?”
Tanyaku.
“Tidak ada.
Coba baca suratnya.” Pinta Embun. Aku menuruti.
‘Aku takut
mengganggu. Surat Kaleng dari Langit.’ Melihat rangkaian kata itu, spontan
Embun melempar kaleng dan merobek suratnya kecil-kecil.
“Jangan marah
begitu.” Aku memohon.
“Kita ke Bella
sekarang.” Embun menarik tanganku. Sepertinya dia serius.
Ketika ingin memasuki
mobil, seseorang muncul dari belakang kami. Motor sportnya yang mengadopsi
MotoGP itu sangat ku kenal. Tidak asing lagi.
“Kalian
mencariku?” Tanyanya.
Abid Zuhdi,
pendampingku sebagai Raja 2010 di SMA Pandawa Lima.
Embun
mengepalkan tangan kanannya. Aku menarik nafas dalam-dalam. Peperangan dimulai.
“Maksud kamu
apa?” Embun menghampirinya. Aku menyusul sambil memegang tangan kiri Embun.
Berharap emosinya tidak meluap.
“Aku rindu
orang yang ku suka sejak SMA. Apa tidak boleh?” Abid mengesalkan. Seperti
menantang dan sok berani.
“Caramu norak
dan kampungan.” Ungkap Embun.
“Ohya? Lalu
kakak ini apa?” Balas Abid.
Tubuhku lemas.
Aku tidak bertenaga untuk melerai perdebatan mereka.
“A-abid.
Please jangan buat masalah. Jika ada yang ingin disampaikan, katakan sekarang.”
Sekuat hati aku meluahkan kalimat itu.
“Aku suka sama
kamu. Sejak kita SMA. Tepatnya ketika kita dinobatkan sebagai Raja dan Ratu
2010.” Tegas Abid.
Embun membuang
pandangan ke langit sore yang mendung. Air mukanya tampak geram. Aku tidak
yakin sepulang dari sini Abid akan baik-baik saja.
“Maaf, bid.
Sejak kamu suka sama aku, sejak itu pula aku suka sama kak Embun.” Kataku
sedikit lega. Masih masa terkejut. Mengapa ada orang senekat ini? Menyatakan
perasaannya pada perempuan di depan kekasih perempuan tersebut. Benar-benar
gila.
“Aku tahu. Aku
hanya ingin mengatakan ini. Ternyata aku terlambat. Semoga kalian selalu
bersama.” Abid menepuk bahuku, melirik Embun sekilas lalu melaju pergi.
Motor sportnya
sudah tidak terlihat. Aku dan Embun masih bungkam. Bahkan untuk ini dia sama
sekali tidak berkomentar. Seharusnya dia tersanjung atau terharu atau berterima
kasih begitu. Aku membalas pernyataan jujur Abid dengan pernyataan jujurku
juga. Itu sebuah prestasi bukan? Aku patut diberi penghargaan.
Hey, lihat. Embun
memelukku. Memasuki tahun kelima kedekatan kami, dalam pelukannya tinggiku
tetap sedadanya. Tidak ada peningkatan. Sampai kapan aku menjadi orang pendek
terus?
Heuh. Surat Kaleng
dari Langit sangat berkesan. Aku baru tahu kalau Abid memiliki perasaan seperti
itu padaku. 3 tahun menjadi teman sekelas, aku sama sekali tidak menyadarinya. Karena
Abid pun tidak pernah menunjukkan gelagatnya. Maka yang dapat ku petik adalah, ‘Jika
kamu menyukai seseorang, katakanlah. Diterima atau tidak, terbalas atau tidak,
itu urusan belakang. Intinya kamu sudah menyampaikannya.’ Rasa lega itu
menyenangkan lho.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar