(Twin
Love)
Pulang kuliah aku memutuskan
untuk ke rumah Embun. Taksi berhenti tepat di depan gerbang rumah putih
berhalaman luas dengan pohon mangga dan pohon rambutan memadatinya. Aku tekan
bel, lalu Bik Ida membuka gerbangnya sedikit.
“Eh, mba Jingga. Masuk mba.”
Ajak Bik Ida.
“Iya bik.” Jawabku sambil mengikutinya
ke dalam.
“Mas Embun tadi berangkat
pagi-pagi sekali. Katanya mau antar Icha ke sekolah. Mungkin sebentar lagi
balik.” Ungkap Bik Ida.
“Okey, kalau gitu aku tunggu aja
bik.” Aku duduk di sofa ruang tamu.
“Ya mba. Mau saya buatkan jus
jambu biji? Kebetulan semalam mas Embun beli buahnya banyak.” Tawarnya. Aku
asyik bersandar sambil memainkan handphone.
“Boleh. Tanpa gula ya bik.”
“Baik mba.” Bik Ida berlalu.
Aku menghubungi Embun, tapi
tidak diangkat. Ingin kirim pesan tapi malas mengetik. Sabarlah. Embun pasti
segera pulang.
Ha, ada suara musik dari kamar
Embun di lantai dua. Agak bising dan terdengar rusuh. Sepertinya itu lagu rock.
Karena penasaran, aku melangkahkan kaki menuju pusat perhatian. Pintunya
tertutup. Apa Embun lupa mematikan dvdnya sebelum pergi? Dasar sembrono,
batinku.
Mungkin tidak sopan jika aku
masuk ke kamar anak laki-laki tanpa seizin pemiliknya. Ah, aku hanya ingin
membantu. Niatku baik, ingin mematikan dvd itu. Volumenya terlalu keras untuk
rumah besar berpenghuni dua orang begini (Embun dan Bik Ida).
Klik. Dvdnya mati. Sekarang
tenang. Aku lihat kotak kaset yang ada di samping televisi. Semuanya lagu-lagu
rock, dalam dan luar negeri.
Seseorang dengan kaos dan celana
pendek datang membawa secangkir kopi panas. Dia cukup heran, mengapa lagunya
berhenti begitu saja? Tanpa berpikir panjang, dia masuk dan mengunci pintu
kamarnya. Kunci itu diletakkan di atas meja dekat tumpukan buku tebal bertaraf
internasional.
Aku melongo. Bik Ida bilang
Embun ke rumah Icha. Tapi kenapa Embun ada? Apa iya Embun pergi hanya dengan
kaos dan celana pendek? Bukan tipenya sekali. Embun memang bersahaja tapi tidak
sesederhana ini untuk bepergian jauh.
“Hey apa-apaan ini. Kamu siapa?
Masuk ke kamar orang tanpa permisi. Kamu kira ini kamar nenek moyangmu?”
Teriaknya.
Sulit dipercaya. Embun
menghakimiku sedemikian gusar.
“Ha, kenapa begitu? Apa kamu
lupa ingatan?” Balasku tak mau kalah.
“Maksudmu apa? Pergi-pergi. Aku
tidak mengenalmu.” Usirnya tidak halus.
“Embun. Jangan begini. Apa
salahku?” Aku menepis.
Mendengar itu sontak dia
menyerah. Kedua tangannya tak lagi memaksaku untuk keluar dari kamar.
Benar-benar tidak sopan. Memperlakukan kekasih seperti memperlakukan maling
atau orang asing yang tidak disukai. Apa dia sudah gila? Melupakanku secepat
kilat. Memangnya selama ini aku apa?
Bik Ida memegang segelas jus
jambu biji, dia tidak menemukanku di tempat semula. Tak lama ia kebingungan,
Embun muncul dengan raut wajah lelah yang coba disembunyikannya.
“Ada siapa bik?” Tanya Embun.
“Tadi mba Jingga tunggu disini
mas. Tapi sekarang gak ada.”
Lelaki jelmaan Embun, begitu aku
menyebutnya. Habis, aneh sekali. Dia kembali menyalakan dvd dengan volume
tinggi. Spontan kedua tanganku menutup kedua telinga.
“Sebelum telingamu pecah, lebih
baik kamu keluar.” Usulnya.
“Aish, menyebalkan.” Batinku.
Aku mau keluar tapi pintunya dikunci.
Mendengar kegaduhan dari
kamarnya, Embun langsung menelusur. Diikuti Bik Ida yang sempat menaruh jus
jambu bijinya di atas meja.
“Jingga. Kamu di dalam? Buka
pintunya?” Embun menggedor.
“Saya lupa bilang mas, ada mas
Fajar baru datang dari… dari mana ya tadi, hhm ba-bel. Iya, dari Babel mas.”
Kata Bik Ida. Embun hanya mendengus kesal.
“Jingga. Buka pintunya.” Teriak
Embun.
Fajar, si jelmaan Embun itu.
Mencium bau tidak menyenangkan. Dia pun mengambil kunci dan membuka pintunya.
Benar saja. Dilihatnya dua orang yang membosankan tengah berdiri menanti pintu
neraka terbuka. Embun dan Bik Ida. Ups tambah satu lagi, perempuan yang
memanggilnya Embun.
Betapa terkejutnya aku? Embun
ada dua. Ha, aku jadi pusing.
“Jingga. Kamu gak apa-apa?”
Embun khawatir. Aku menggeleng. Masih tak menyangka. Aku tidak sedang di dalam
dunia dongengkan?
Embun mengecilkan volume dvdnya.
Lalu memasang tampang penuh emosi. Dan kembali menatap Fajar.
“Sekali saja tidak buat onar,
tidak bisa ya?” Embun kesal.
“Bukan aku, tapi perempuan itu.
Masuk kamar orang tanpa permisi. Asal mematikan dvd pula.” Jawab Fajar.
“Dia Jingga. Pacarku.” Embun
menarik lenganku untuk lebih dekat dengan Fajar.
“Oh. Sudah move on rupanya.
Kalau begitu, beri tahu dia mana Embun mana Fajar. Agar kejadian lampau tidak
terulang lagi.” Tegas Fajar. Embun membalasnya dengan sebuah hantaman. Fajar
terkapar di lantai. Sudut bibirnya sedikit berdarah.
“Aku tidak akan memaafkanmu.”
Pelan Embun kemudian pergi. Bik Ida membuntuti.
Aku tidak mengerti apa yang
telah terjadi. Mereka membicarakan apa? Aku kebingungan sendiri.
“Aku yang tidak akan
memaafkanmu.” Gumam Fajar.
“Ma-maaf. Ini salahku.” Sekuat
hati aku memberanikan diri untuk merendah.
“Pergilah. Ikuti pacarmu yang
keras kepala itu.” Fajar memegangi pipinya yang kesakitan.
Jalan tergesa-gesa. Aku mencari
letak Embun berada.
“Mas Embun di lobi mba.” Sorak
Bik Ida dari dapur utama.
Huft. Ini pertama kalinya aku
lihat Embun terpuruk. Entah apa yang dipikirkannya. Dia seperti sangat penat.
Aku duduk di sampingnya tanpa
sepatah kata pun.
“Dia Fajar. Saudara kembarku.” Begitu
Embun berucap. Aku menelan ludah. Pantas saja paras mereka mirip. Tapi Fajar
sedikit keras. Ah tidak, mereka sama-sama keras.
“Tadi itu, aku yang salah. Seharusnya
kamu jangan memukul dia.”
“Dia membuatku kesal. Selalu membuatku
kesal.”
“Kamu yang sabar. Bagaimanapun dia
adalah saudaramu.”
“Kesabaranku terbatas untuknya.”
Ide bagus melintas di benakku. Syukurlah.
Semoga ini berhasil.
“Mau ke Mall dekat rumahku? Ada akustik
disana.”
“Biar aku yang nyetir.”
Lanjutku.
“Yuk.” Embun bangkit meski masih
lesu.
Dia menggandengku sampai ke
mobil. Seseorang mengintip kami. Ya, siapa lagi kalau bukan Fajar. Lelaki itu
cukup misterius. Setelah ini, tugasku adalah menyatukan Embun dan Fajar
kembali.
Sesampainya di Mall, kami
menonton pentas sebentar lalu makan siang, makan es krim dan pulang. Kami pulang
ke rumah Embun. Lagi, ya. Aku membeli selusin donat. Setengahnya untuk Bik Ida,
setengahnya untuk Fajar.
“Embun bilang Bik Ida suka sama
donat. Nih.” Aku menyodorkannya setengah lusin donat. Masing-masing beda rasa.
“Terima kasih mba. Jadi
merepotkan.” Terimanya.
“Sama-sama bik. Ohya, lihat kak
Fajar?”
“Kayaknya barusan ke belakang
deh mba. Mungkin nengokin kelinci-kelincinya.”
“Okey, terima kasih.”
“Iya mba.”
Aku melintas ke halaman belakang
rumah. Disana memang terdapat sebuah kandang yang lumayan besar, yang menampung
sepasang kelinci jantan dan betina, juga anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Ada
pula kolam ikan mas di pojokan. Karena lokasinya terlalu ujung, aku jarang
kesana.
Setelah menemukan orang yang ku
cari, aku jadi ingat cerita Embun di restoran tadi.
“Waktu
SMA, aku suka sama teman sekelasku. Tapi dia suka sama Fajar. Dan mereka
pacaran. Padahal Fajar tahu, kalau aku suka sama cewek itu. Sampai akhirnya, di
kampus, kami bertemu lagi. Satu fakultas pula. Aku tidak tahan melihat Fajar
dengan orang yang ku suka. Hingga hubungan kami menjadi renggang. Sering bertengkar,
tidak pernah cocok, selalu berbeda dan menjalani hidup masing-masing. Fajar seorang
crew di sebuah production house. Dua minggu dia shooting di Bangka Belitung. Sekarang
baru balik. Biasanya dia pulang ke rumah orang tua. Tapi entah kenapa, dia
pulang kesini. Rumah kami yang kelam semenjak menyukai orang yang sama.” Jelas
Embun.
“Sekarang
bagaimana? Apa mereka masih bersama?” Tanyaku.
“Aku
tidak tahu dan tidak ingin tahu.”
“Oh.
Karena sudah ada aku ya?”
“Jangan
terlalu percaya diri begitu. Aku jadi muak.”
“Ish,
aku kan cuma bangga.”
“Tadi kak Embun beli donat
banyak. Nih untuk kak Fajar.” Kataku.
“Tidak diracunikan?” Tanya Fajar
sinis sambil meninggalkan kelinci-kelincinya berkeliaran.
“Tidak, tenang saja. Embun bilang
kakak suka cokelat kacang, jadi aku pilih cokelat kacangnya lebih banyak.”
“Terima kasih.” Singkatnya dan
berlalu. Tanpa lupa menerima pemberianku. Dia memakan satu donatnya sembari
berjalan menuju kamar. Kamar Embun.
Aku mengekor.
“Boleh pinjam kaset westlife? Lusa
aku kembalikan.” Siasatku.
“Ambillah.” Katanya.
Yeay. Sementara aku
mengotak-atik keset-kasetnya, dia hanya asyik berteman dengan sekian donat.
“Kak Fajar kapan balik ke Bogor?
Aku ikut ya? Kak Embun belum pernah mengajakku kesana. Padahal aku sangat ingin
bertemu dengan orang tuanya.” Misi pertamaku.
“Sabtu ini paling. Boleh. Tapi aku
tidak ikut campur jika pacarmu itu geram. Dia memang hobi memarahi orang lain.”
“Iyaaa. Kalau boleh tahu, orang
tua kalian itu seperti apa? Aku takut mereka tidak menerimaku.”
“Kamu kan supel, dan mereka
welcome sama siapa saja kok, termasuk orang di sekitar kita.”
Embun menguping dari samping
pintu. Dia tersenyum kecil.
Sabtu telah datang. Perjalanan Jakarta
– Bogor kurang lebih hanya dua jam. Tiba di perumahan asri yang penuh dengan
nuansa islami. Aku merasa tenang saat menjejakkan kaki di pelataran rumah ini.
Seperti ketenangan yang lama ku rindukan, kini kembali ku rasakan.
Embun memperkenalkanku pada
orang tuanya. Orang tua yang sangat mendambakan wangi dan tangisan bayi dalam
keluarganya. Artinya, cucu. Cucu dari dua lelaki bujang yang masih senang
bergelut kesendirian dan kesepian. Tapi anak-anak mereka punya pujaan hati. Pujaan
hati yang entah sampai kapan menunggu menjadi pendamping hidup mereka.
“Kamu cerdik ya. Banyak akal.”
Puji Embun.
“Ah biasa saja.” Aku mengelak.
Kami duduk di teras samping yang
menghadap perkebunan, bukit dan pegunungan. Ha, aku menghirup nafas kuat-kuat. Damai
sekali. Udaranya sejuk. Suasananya tidak begitu ramai seperti di Jakarta.
“Mau kue mau kue. Ini buatan
Ibu. Ayo dimakan calon menantu.” Tawar Fajar sambil meledek.
Kue lapis kesukaan Embun. Fajar duduk
memisahkan kami. Dia memang resek, usil, jail, semuanya lengkap. Tapi aku lega,
akhirnya mereka akur kembali. Semoga ini tidak hanya di depan orang tua mereka.
Tapi ini sungguhan, yang sebenarnya ada dari dasar hati mereka.
Ayah dan Ibu melihat gerak-gerik
kami. Mereka tersenyum bahagia. Kedua anaknya ternyata baik-baik saja. Rumor tak
sedap itu ternyata palsu. Yang mereka sadari saat ini adalah, anak-anak mereka
sudah dewasa. Kelak, mereka akan menemukan pelabuhan hati mereka masing-masing.
Tanpa tekanan, paksaan atau keterburu-buruan.
“Jangan dihabiskan kak Fajar.” Sorakku.
“Dia itu rakus. Kamu harus
terbiasa.” Kata Embun.
“Lalu siapa bilang kamu tidak
rakus? Kita itu sama. Kamu lupa.” Protes Fajar. Embun mendengus kesal. Aku
menahan tawa. Serasa ada di antara dua Embun. Ha, tidak tidak. Embunku hadir di
pagi buta dan setelah hujan. Sedangkan Fajar, dia hanya hadir sebelum matahari
terbit.
Embun dan Fajar, mereka kembar identik.
Mereka pernah menyukai perempuan yang sama. Mereka juga pernah tidak merasakan
kebersamaan yang utuh. Tapi kini, aku pastikan mereka akan bertahan sebagai dua
bersaudara yang sejati. Yeah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar