Kamis, 22 Mei 2014

EMBUN FEAT JINGGA 5



(Twin Love)

Pulang kuliah aku memutuskan untuk ke rumah Embun. Taksi berhenti tepat di depan gerbang rumah putih berhalaman luas dengan pohon mangga dan pohon rambutan memadatinya. Aku tekan bel, lalu Bik Ida membuka gerbangnya sedikit.

“Eh, mba Jingga. Masuk mba.” Ajak Bik Ida.
“Iya bik.” Jawabku sambil mengikutinya ke dalam.
“Mas Embun tadi berangkat pagi-pagi sekali. Katanya mau antar Icha ke sekolah. Mungkin sebentar lagi balik.” Ungkap Bik Ida.
“Okey, kalau gitu aku tunggu aja bik.” Aku duduk di sofa ruang tamu.
“Ya mba. Mau saya buatkan jus jambu biji? Kebetulan semalam mas Embun beli buahnya banyak.” Tawarnya. Aku asyik bersandar sambil memainkan handphone.
“Boleh. Tanpa gula ya bik.”
“Baik mba.” Bik Ida berlalu.

Aku menghubungi Embun, tapi tidak diangkat. Ingin kirim pesan tapi malas mengetik. Sabarlah. Embun pasti segera pulang.

Ha, ada suara musik dari kamar Embun di lantai dua. Agak bising dan terdengar rusuh. Sepertinya itu lagu rock. Karena penasaran, aku melangkahkan kaki menuju pusat perhatian. Pintunya tertutup. Apa Embun lupa mematikan dvdnya sebelum pergi? Dasar sembrono, batinku.

Mungkin tidak sopan jika aku masuk ke kamar anak laki-laki tanpa seizin pemiliknya. Ah, aku hanya ingin membantu. Niatku baik, ingin mematikan dvd itu. Volumenya terlalu keras untuk rumah besar berpenghuni dua orang begini (Embun dan Bik Ida).

Klik. Dvdnya mati. Sekarang tenang. Aku lihat kotak kaset yang ada di samping televisi. Semuanya lagu-lagu rock, dalam dan luar negeri.

Seseorang dengan kaos dan celana pendek datang membawa secangkir kopi panas. Dia cukup heran, mengapa lagunya berhenti begitu saja? Tanpa berpikir panjang, dia masuk dan mengunci pintu kamarnya. Kunci itu diletakkan di atas meja dekat tumpukan buku tebal bertaraf internasional.

Aku melongo. Bik Ida bilang Embun ke rumah Icha. Tapi kenapa Embun ada? Apa iya Embun pergi hanya dengan kaos dan celana pendek? Bukan tipenya sekali. Embun memang bersahaja tapi tidak sesederhana ini untuk bepergian jauh.

“Hey apa-apaan ini. Kamu siapa? Masuk ke kamar orang tanpa permisi. Kamu kira ini kamar nenek moyangmu?” Teriaknya.

Sulit dipercaya. Embun menghakimiku sedemikian gusar.

“Ha, kenapa begitu? Apa kamu lupa ingatan?” Balasku tak mau kalah.
“Maksudmu apa? Pergi-pergi. Aku tidak mengenalmu.” Usirnya tidak halus.
“Embun. Jangan begini. Apa salahku?” Aku menepis.

Mendengar itu sontak dia menyerah. Kedua tangannya tak lagi memaksaku untuk keluar dari kamar. Benar-benar tidak sopan. Memperlakukan kekasih seperti memperlakukan maling atau orang asing yang tidak disukai. Apa dia sudah gila? Melupakanku secepat kilat. Memangnya selama ini aku apa?

Bik Ida memegang segelas jus jambu biji, dia tidak menemukanku di tempat semula. Tak lama ia kebingungan, Embun muncul dengan raut wajah lelah yang coba disembunyikannya.

“Ada siapa bik?” Tanya Embun.
“Tadi mba Jingga tunggu disini mas. Tapi sekarang gak ada.”

Lelaki jelmaan Embun, begitu aku menyebutnya. Habis, aneh sekali. Dia kembali menyalakan dvd dengan volume tinggi. Spontan kedua tanganku menutup kedua telinga.

“Sebelum telingamu pecah, lebih baik kamu keluar.” Usulnya.
“Aish, menyebalkan.” Batinku. Aku mau keluar tapi pintunya dikunci.

Mendengar kegaduhan dari kamarnya, Embun langsung menelusur. Diikuti Bik Ida yang sempat menaruh jus jambu bijinya di atas meja.

“Jingga. Kamu di dalam? Buka pintunya?” Embun menggedor.
“Saya lupa bilang mas, ada mas Fajar baru datang dari… dari mana ya tadi, hhm ba-bel. Iya, dari Babel mas.” Kata Bik Ida. Embun hanya mendengus kesal.
“Jingga. Buka pintunya.” Teriak Embun.

Fajar, si jelmaan Embun itu. Mencium bau tidak menyenangkan. Dia pun mengambil kunci dan membuka pintunya. Benar saja. Dilihatnya dua orang yang membosankan tengah berdiri menanti pintu neraka terbuka. Embun dan Bik Ida. Ups tambah satu lagi, perempuan yang memanggilnya Embun.

Betapa terkejutnya aku? Embun ada dua. Ha, aku jadi pusing.

“Jingga. Kamu gak apa-apa?” Embun khawatir. Aku menggeleng. Masih tak menyangka. Aku tidak sedang di dalam dunia dongengkan?

Embun mengecilkan volume dvdnya. Lalu memasang tampang penuh emosi. Dan kembali menatap Fajar.

“Sekali saja tidak buat onar, tidak bisa ya?” Embun kesal.
“Bukan aku, tapi perempuan itu. Masuk kamar orang tanpa permisi. Asal mematikan dvd pula.” Jawab Fajar.
“Dia Jingga. Pacarku.” Embun menarik lenganku untuk lebih dekat dengan Fajar.
“Oh. Sudah move on rupanya. Kalau begitu, beri tahu dia mana Embun mana Fajar. Agar kejadian lampau tidak terulang lagi.” Tegas Fajar. Embun membalasnya dengan sebuah hantaman. Fajar terkapar di lantai. Sudut bibirnya sedikit berdarah.
“Aku tidak akan memaafkanmu.” Pelan Embun kemudian pergi. Bik Ida membuntuti.

Aku tidak mengerti apa yang telah terjadi. Mereka membicarakan apa? Aku kebingungan sendiri.

“Aku yang tidak akan memaafkanmu.” Gumam Fajar.
“Ma-maaf. Ini salahku.” Sekuat hati aku memberanikan diri untuk merendah.
“Pergilah. Ikuti pacarmu yang keras kepala itu.” Fajar memegangi pipinya yang kesakitan.

Jalan tergesa-gesa. Aku mencari letak Embun berada.

“Mas Embun di lobi mba.” Sorak Bik Ida dari dapur utama.

Huft. Ini pertama kalinya aku lihat Embun terpuruk. Entah apa yang dipikirkannya. Dia seperti sangat penat.

Aku duduk di sampingnya tanpa sepatah kata pun.

“Dia Fajar. Saudara kembarku.” Begitu Embun berucap. Aku menelan ludah. Pantas saja paras mereka mirip. Tapi Fajar sedikit keras. Ah tidak, mereka sama-sama keras.
“Tadi itu, aku yang salah. Seharusnya kamu jangan memukul dia.”
“Dia membuatku kesal. Selalu membuatku kesal.”
“Kamu yang sabar. Bagaimanapun dia adalah saudaramu.”
“Kesabaranku terbatas untuknya.”

Ide bagus melintas di benakku. Syukurlah. Semoga ini berhasil.

“Mau ke Mall dekat rumahku? Ada akustik disana.”
“Biar aku yang nyetir.” Lanjutku.
“Yuk.” Embun bangkit meski masih lesu.

Dia menggandengku sampai ke mobil. Seseorang mengintip kami. Ya, siapa lagi kalau bukan Fajar. Lelaki itu cukup misterius. Setelah ini, tugasku adalah menyatukan Embun dan Fajar kembali.

Sesampainya di Mall, kami menonton pentas sebentar lalu makan siang, makan es krim dan pulang. Kami pulang ke rumah Embun. Lagi, ya. Aku membeli selusin donat. Setengahnya untuk Bik Ida, setengahnya untuk Fajar.

“Embun bilang Bik Ida suka sama donat. Nih.” Aku menyodorkannya setengah lusin donat. Masing-masing beda rasa.
“Terima kasih mba. Jadi merepotkan.” Terimanya.
“Sama-sama bik. Ohya, lihat kak Fajar?”
“Kayaknya barusan ke belakang deh mba. Mungkin nengokin kelinci-kelincinya.”
“Okey, terima kasih.”
“Iya mba.”

Aku melintas ke halaman belakang rumah. Disana memang terdapat sebuah kandang yang lumayan besar, yang menampung sepasang kelinci jantan dan betina, juga anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Ada pula kolam ikan mas di pojokan. Karena lokasinya terlalu ujung, aku jarang kesana.

Setelah menemukan orang yang ku cari, aku jadi ingat cerita Embun di restoran tadi.

“Waktu SMA, aku suka sama teman sekelasku. Tapi dia suka sama Fajar. Dan mereka pacaran. Padahal Fajar tahu, kalau aku suka sama cewek itu. Sampai akhirnya, di kampus, kami bertemu lagi. Satu fakultas pula. Aku tidak tahan melihat Fajar dengan orang yang ku suka. Hingga hubungan kami menjadi renggang. Sering bertengkar, tidak pernah cocok, selalu berbeda dan menjalani hidup masing-masing. Fajar seorang crew di sebuah production house. Dua minggu dia shooting di Bangka Belitung. Sekarang baru balik. Biasanya dia pulang ke rumah orang tua. Tapi entah kenapa, dia pulang kesini. Rumah kami yang kelam semenjak menyukai orang yang sama.” Jelas Embun.
“Sekarang bagaimana? Apa mereka masih bersama?” Tanyaku.
“Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu.”
“Oh. Karena sudah ada aku ya?”
“Jangan terlalu percaya diri begitu. Aku jadi muak.”
“Ish, aku kan cuma bangga.”

“Tadi kak Embun beli donat banyak. Nih untuk kak Fajar.” Kataku.
“Tidak diracunikan?” Tanya Fajar sinis sambil meninggalkan kelinci-kelincinya berkeliaran.
“Tidak, tenang saja. Embun bilang kakak suka cokelat kacang, jadi aku pilih cokelat kacangnya lebih banyak.”
“Terima kasih.” Singkatnya dan berlalu. Tanpa lupa menerima pemberianku. Dia memakan satu donatnya sembari berjalan menuju kamar. Kamar Embun.

Aku mengekor.

“Boleh pinjam kaset westlife? Lusa aku kembalikan.” Siasatku.
“Ambillah.” Katanya.

Yeay. Sementara aku mengotak-atik keset-kasetnya, dia hanya asyik berteman dengan sekian donat.

“Kak Fajar kapan balik ke Bogor? Aku ikut ya? Kak Embun belum pernah mengajakku kesana. Padahal aku sangat ingin bertemu dengan orang tuanya.” Misi pertamaku.
“Sabtu ini paling. Boleh. Tapi aku tidak ikut campur jika pacarmu itu geram. Dia memang hobi memarahi orang lain.”
“Iyaaa. Kalau boleh tahu, orang tua kalian itu seperti apa? Aku takut mereka tidak menerimaku.”
“Kamu kan supel, dan mereka welcome sama siapa saja kok, termasuk orang di sekitar kita.”

Embun menguping dari samping pintu. Dia tersenyum kecil.

Sabtu telah datang. Perjalanan Jakarta – Bogor kurang lebih hanya dua jam. Tiba di perumahan asri yang penuh dengan nuansa islami. Aku merasa tenang saat menjejakkan kaki di pelataran rumah ini. Seperti ketenangan yang lama ku rindukan, kini kembali ku rasakan.

Embun memperkenalkanku pada orang tuanya. Orang tua yang sangat mendambakan wangi dan tangisan bayi dalam keluarganya. Artinya, cucu. Cucu dari dua lelaki bujang yang masih senang bergelut kesendirian dan kesepian. Tapi anak-anak mereka punya pujaan hati. Pujaan hati yang entah sampai kapan menunggu menjadi pendamping hidup mereka.

“Kamu cerdik ya. Banyak akal.” Puji Embun.
“Ah biasa saja.” Aku mengelak.

Kami duduk di teras samping yang menghadap perkebunan, bukit dan pegunungan. Ha, aku menghirup nafas kuat-kuat. Damai sekali. Udaranya sejuk. Suasananya tidak begitu ramai seperti di Jakarta.

“Mau kue mau kue. Ini buatan Ibu. Ayo dimakan calon menantu.” Tawar Fajar sambil meledek.

Kue lapis kesukaan Embun. Fajar duduk memisahkan kami. Dia memang resek, usil, jail, semuanya lengkap. Tapi aku lega, akhirnya mereka akur kembali. Semoga ini tidak hanya di depan orang tua mereka. Tapi ini sungguhan, yang sebenarnya ada dari dasar hati mereka.

Ayah dan Ibu melihat gerak-gerik kami. Mereka tersenyum bahagia. Kedua anaknya ternyata baik-baik saja. Rumor tak sedap itu ternyata palsu. Yang mereka sadari saat ini adalah, anak-anak mereka sudah dewasa. Kelak, mereka akan menemukan pelabuhan hati mereka masing-masing. Tanpa tekanan, paksaan atau keterburu-buruan.

“Jangan dihabiskan kak Fajar.” Sorakku.
“Dia itu rakus. Kamu harus terbiasa.” Kata Embun.
“Lalu siapa bilang kamu tidak rakus? Kita itu sama. Kamu lupa.” Protes Fajar. Embun mendengus kesal. Aku menahan tawa. Serasa ada di antara dua Embun. Ha, tidak tidak. Embunku hadir di pagi buta dan setelah hujan. Sedangkan Fajar, dia hanya hadir sebelum matahari terbit.

Embun dan Fajar, mereka kembar identik. Mereka pernah menyukai perempuan yang sama. Mereka juga pernah tidak merasakan kebersamaan yang utuh. Tapi kini, aku pastikan mereka akan bertahan sebagai dua bersaudara yang sejati. Yeah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar