Live to love
Betapa
pentingnya arti cinta pertama bagi seorang anak perempuan yang baru saja
mengenal makna hidup sebenarnya. Delisa, pengidap kanker stadium tiga. Hidupnya
terlihat sama seperti anak-anak sekolah lainnya. Bermain, ceria, riang, terasa
tanpa beban. Padahal hidupnya tidak akan lama lagi. Karena sakit yang ia
sembunyikan dari banyak orang itu.
Di
sekolah, Delisa membawa kotak kecil berisi jam tangan yang sudah ia bungkus rapi
dan indah. Hadiah kecil untuk orang yang berjiwa besar menurutnya. Farhan,
kakak kelas yang paling tampan dan popular. Siapa yang tidak menyukainya?
Dekat
perpustakaan, Delisa melihat Farhan bersandar di samping pintu sambil
celingak-celinguk seperti ada yang ditunggu. Dengan percaya diri, Delisa
menyerahkan keberaniannya penuh untuk memberikan kado itu. Tapi langkahnya
mati. Setelah Dini, senior yang sok berkuasa di sekolah muncul tiba-tiba dan
langsung memeluk Farhan dengan mesra. Mereka sangat bahagia. Mungkin mereka
pacaran? Entahlah. Delisa kecewa. Riangnya pudar begitu saja. Kado yang ia
bungkus selama tiga jam itu pun jatuh tak berharga.
Edo,
teman sekelas Delisa, yang juga seorang penyanyi jebolan sebuah audisi
pencarian bakat di salah satu stasiun televisi ternama, menyaksikan kesedihan
terdalamnya. Edo sudah lama mengagumi sosok Delisa karena sifat dan sikapnya
yang selalu ceria, tersenyum, ramah dan punya semangat hidup yang tinggi. Sebagai
pengagum rahasia, Edo sangat menjaga perasaan Delisa, takut kalau Delisa tahu,
Delisa pasti marah. Delisa tidak suka dilebih-lebihkan. Delisa suka yang biasa
saja.
Sepulang
sekolah, Delisa berjalan lemas, badannya panas, wajahnya pucat. Lalu ia
pingsan. Edo yang berada di lokasi terdekat, lantas berlari, membantu Delisa,
menggendongnya panik sambil teriak minta tolong pada yang lain. Di rumah sakit.
Edo seharian menemani Delisa yang belum juga sadarkan diri. Belum ada
keluarganya yang datang menengok. Hanya ada Edo, Indri dan Fia, sahabat-sahabat
Delisa.
Edo
berjalan keluar ruangan.
“Do,
kamu mau kemana?” Tanya Fia.
“Aku
mau di luar aja Fi. Kalau Delisa udah sadar, tolong panggil aku ya di depan.”
Indri
dan Fia tahu kalau Edo sebenarnya menyayangi Delisa lebih dari seorang teman. Mereka
tahu itu dari perjuangan Edo membawa Delisa ke rumah sakit dan keadaannya
sangat mengkhawatirkan kondisi fisik Delisa.
Edo
melamun di sepanjang koridor. Ia memutuskan untuk pulang ke rumah. Bermain gitar
dan menyanyikan lagu ‘Kaulah Segalanya’ by Kerispatih. Dedikasinya untuk
kesembuhan Delisa.
Indri
dan Fia panik bukan main, karena Delisa dinyatakan kritis. Fia langsung
menelepon Edo dan memberikan kabar itu. Mengetahuinya, Edo lekas pergi, berlari
sekuat tenaga sambil membawa gitar menuju rumah sakit. Setelah sampai, Edo
menangis. Karena mendapati kedua orang tua Delisa yang menangisi kesakitan
anaknya. Fia merangkul Edo, menyabarkan hatinya agar tidak pedih.
Indri
keluar, disusul Fia lalu Edo. Mereka bertiga berjalan berurutan menuju taman
rumah sakit.
Itu
3 tahun yang lalu.
Sekarang
Delisa tidak mempunyai rambut. Tapi ada wig cantik yang membuatnya terlihat
seperti abg lagi. Seperti memiliki rambut sehat dan akan hidup lebih lama lagi.
Edo bermain gitar sambil bernyanyi, Fia dan Indri ikut sebagai backing vocal. Delisa
hanya tersenyum bahagia mendengarkan lagu yang dinyanyikan sahabat-sahabatnya.
“Fia
sayang sama Delisa.” Fia memeluk Delisa.
“Indri
juga.” Sambung Indri.
“Akuuu,
aku juga.” Edo mau peluk tapi dihalangi Fia.
Keesokan
harinya. Delisa sedang menikmati panas segarnya mentari pagi. Ada yang menekan
bel, Delisa pun menghampirinya. Dari dekat gerbang, terlihat sosok di depannya
adalah Farhan. Cinta pertamanya tiga tahun lalu di SMA.
“Ada
apa kesini?”
“Del.
Aku…”
“Maaf
kak, aku lagi sibuk. Jangan datang kesini lagi ya.” Delisa membalikkan badan. Ia
tak sanggup melihat orang yang dicintainya dulu.
“Kenapa?
Del, please aku mau ngobrol sebentar sama kamu.” Farhan memohon sambil berusaha
membuka gerbang rumah Delisa.
Setelah
berhasil masuk, Farhan membatu. Air mata penyesalannya mulai deras karena Delisa
melepas wig dari kepalanya.
“Aku
gak akan hidup lebih lama lagi.”
Farhan
memeluk Delisa erat-erat. Tangisannya tak berarti bagi Delisa. Meski cinta
pertama tetap untuknya, tapi cinta sejati belum tentu menjadi miliknya juga.
“Maafin
aku del. Andai aja aku tau dari dulu kalau kamu sakit. Aku akan selalu ada di
dekatmu.”
Delisa
melepas paksa pelukan basi Farhan.
“Maaf
juga kak. Gak perlu kakak tau. Aku punya orang-orang yang tulus menyayangi aku
tanpa alasan apapun.”
Delisa
masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya benar-benar. Lalu ke kamar,
menghancurkan semua kenangannya di SMA, yang menyangkut tentang Farhan. Foto-foto,
surat cinta, kado jam tangan, semuanya dilempar jahat.
“Aku
benci, aku marah, aku kesel. Kenapa baru dateng sekarang? Kenapa?” Delisa
menangis sambil berteriak.
Teringat
segala kebersamaannya dengan Edo, Edo yang selalu menemaninya kemanapun, suka
duka, susah senang. Indri dan Fia, dua sahabat yang sangat baik hatinya. Mereka
tiada akhir. Mereka adalah cinta dari tuhan. Mereka orang-orang yang menghargai
hari-hari Delisa sebelum waktunya Delisa pergi untuk selamanya.
Beberapa
hari kemudian. Delisa diajak jalan-jalan sama Indri, Fia dan Edo. Mereka ke
pantai, ke dufan, ke taman mini. Tak sedikit pun terlintas di pikiran mereka
kalau Delisa sedang sakit. Disana, mereka terasa memiliki hidup sepenuhnya. Mereka
bercanda, berbagi, berbuat baik dan bersenang-senang. Tapi senyuman Delisa
tidak lepas, Edo tahu itu berbeda.
“Kamu
kenapa Del?” Tanya Edo.
“Aku
gak papa kok.”
“Kalau
kamu mau ice cream kayak gini (menyodorkan ice cream ke hidung Delisa) boleh
kok. Hehehehe.”
“Hey.
Jahat.” Hidung Delisa lucu seperti hidung badut. Ada tandanya.
Pulang
dari jalan-jalan, Delisa sampai di depan rumah. Setelah mobil Edo melaju
kencang dan tak terlihat jejaknya. Tiba-tiba seseorang datang mengejutkannya.
“Delisa.”
“Kakak
lagi.”
“Aku
punya ini buat kamu.” Farhan memberikan sebuah kotak besar.
Delisa
membukanya. Surat-surat cinta Delisa buat Farhan. Ternyata itu disimpan rapi
oleh Farhan. Delisa kira Farhan tidak membacanya sama sekali atau bahkan malah
membuangnya setelah menerima. Tiga tahun. Tiga tahun kenangan cinta pertama itu
dibangunkan lagi. Delisa muak. Delisa mengembalikan kotak itu.
“Ini
buat kakak. Jangan dikembalikan. Kalau mau, buang aja.”
Delisa
masuk ke dalam rumah, di depan pintu, Delisa pingsan lagi setelah sekian lama
kekebalan tubuhnya meningkat baik.
“Del.”
Farhan panik tingkat menara Eiffel.
Kotak
itu ia jatuhkan tanpa sadar.
Di
kamar. Farhan duduk di samping Delisa, berharap Delisa bangun dan melihat orang
yang menyelamatkannya adalah cinta pertamanya. Tak lama kemudian, Indri, Fia
dan Edo datang. Mereka diberitahukan orang tua Delisa.
“Kak
Farhan.” Kata Fia.
Mereka
tak menduga. Farhan ada bersama Delisa.
Emosi
Edo mulai mengaum. Ditariknya tubuh Farhan keluar kamar dan menghajar habis
sampai Edo merasa puas. Itu saja belum cukup untuk membalas sakit hati Delisa
yang dikecewakannya selama tiga tahun belakangan.
“Edo,
berhenti. Edo udah do. Jangan bertengkar disini.” Fia meringankan sakit kepala
Edo yang sempat naik.
“Awas
ya loe, berani muncul di hadapan Delisa lagi, gue…”
“Gue
apa? Gue terlanjur jatuh cinta sama Delisa gitu.”
Satu
pukulan di wajah untuk pernyataan yang benar yang diucapkan Farhan barusan.
Pagi
hari yang cerah. Suasana berbeda karena di kamar Delisa penuh banyak orang. Ada
Indri dan Fia yang tidur di bawah. Mama di sofa dan Papa yang terbaring nyenyak
di pojokan. Ada Edo juga yang duduk tertidur di pinggir kasur.
Delisa
bangun dengan rasa haru. Ia lihat satu per satu orang-orang yang menyayanginya
dan dicintainya itu.
“Banguuun.
Woy udah pagi nih. Delisa lapeeer.”
Teriakan
Delisa membangunkan jahat seisi kamar. Mereka melongo. Delisa senyam-senyum tak
ada dosa.
Siang
harinya, mereka bernyanyi lagi di halaman depan rumah. Orang tua Delisa
menyediakan banyak makanan dan minuman. Di tengah lagu, orang-orang menghilang,
tersisihkan hanya Edo dan Delisa berdua. Lagu ‘always be my baby’ by David Cook
mewakili perasaan Edo untuk nembak Delisa diam-diam. Tapi Delisa memang sangat
percaya diri, bahkan percaya dirinya itu melewati batas.
“Kamu
suka ya sama aku?” Tanya Delisa sambil menatap Edo dalam-dalam.
Edo
tercekik. Susah bicara. Tak ada kata yang sanggup memisahkannya dari kedua mata
Delisa.
“Kalau
cinta pertama kamu itu Farhan. Cinta pertama aku itu kamu.”
Delisa
mengkerutkan dahi. Ia lesu mendengar nama cinta pertama di masa lalu itu. Farhan.
Disebut-sebut lagi. Membosankan!
“Jangan
pernah sebut nama itu lagi. Okey.”
“I-iya
del.”
Ide
ide. Dengan gitar simfoni terbaik, Edo menyanyikan lagu ‘Wajahmu Mengalihkan Duniaku’
by Afgan. Delisa tersenyum malu.
Tak
lama kemudian. Delisa dibawa ke rumah sakit, tubuhnya sangat lemah. Ia mengalami
koma. Sebulan, dua bulan, tiga bulan, empat bulan. Delisa belum juga sadar. Dalam
sebuah mimpi, Delisa menemui Fia. Saat itu, Delisa mengatakan bahwa dirinya
ingin pulang, pulang kembali ke sisi tuhan atau kembali ke dunia bersama
orang-orang yang mencintainya. Tapi ada satu hal yang masih memikulnya dan itu
yang membuat berat. Farhan. Delisa ingin Farhan melepaskannya dan merelakannya
bersama yang lain. Lupakan kisah cinta pertama itu. Tak ada lagi surat cinta,
jam tangan. Yang ada hanya cinta untuk kehidupan, hidup di dunia dan di
keabadian.
Mimpi
itu membawa Fia untuk mendatangi Farhan ke rumahnya. Setelah menjelaskan soal
mimpinya semalam pada Farhan, Farhan tak terima.
“Delisa
itu masih cinta sama gue. Loe gak ada hak buat ngelarang gue memperjuangkan
cinta pertamanya. Ngerti.”
“Eh,
asal loe tau ya. Delisa itu udah lama banget ngubur perasaannya ke loe. Loe sih,
sok kegantengan, sok popular. Sekarang aja, ngejar-ngejar delisa. Kemana tiga
tahun yang lalu. Mati loe ya. Kok bisa hidup lagi? Ajaib.”
Farhan
membelalak, ia kesal atas sindiran Fia yang menyinggungnya.
“Apa
loe? Mau berantem sama cewek? Rok mini loe.” Ujar Fia.
Beberapa
jam kemudian. Farhan menjenguk Delisa di rumah sakit. Yang lain menunggu di luar.
Sementara Edo masih tertidur pulas di sofa kamar rawat. Farhan menghiraukannya.
“Hay
de. Jangan marah sama aku lagi ya. Aku masih cinta pertama kamu kan? Kalau begitu.
Aku gak papa. Aku ikhlas, aku rela. Aku percaya, Edo adalah cinta sejati kamu. Udah
ya de. Aku cuma mau bilang itu aja. Aku minta maaf untuk empat tahun lalu. Kamu
cepet sadar ya de, sembuh terus sehat lagi. Aku mau kok dateng ke pernikahan
kamu sama Edo. Aku tunggu ya de.”
Farhan
melangkah pergi. Keluarnya dari kamar disambut biasa saja oleh orang tua
Delisa, Indri dan Fia. Tak lama, Delisa pun sadar. Setelah empat bulan koma. Edo
terbangun gembira. Ia semangat memanggil dokter dan suster untuk mengecek
keadaan Delisa. Mama, Papa, Indri dan Fia semuanya buru-buru masuk ke kamar. Farhan
bersyukur, ia memang harus melepaskan Delisa, merelakan Delisa untuk jatuh
cinta lagi.
Beberapa
bulan kemudian. Edo dan Delisa menikah. Lalu mereka memiliki seorang anak
laki-laki. Di usia Fedi (Fia, Edo, Delisa, Indri) yang ketiga tahun, Ibunya
(Delisa) pun meninggal dunia. Sebagai single father, Edo menjadi ayah sekaligus
ibu bagi Fedi. Ada kakak nenek yang senantiasa menjaga dan melindungi Fedi.
Hidup untuk cinta. Meninggalpun dengan cinta. SEKIAN
Petra Sihombing as EDO
Nina Zatulini as DELISA
Nadya Almira as FIA
Wichita Satari as INDRI
Nino Kayam as FARHAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar