Kadang lelah, yu.
Mencari arti untuk memaknai hidup ini
Mencari jati diri untuk menemukan jalan hidup ini
Mencari sesuatu yang sebenarnya selalu menetap disini
Di hati ini
Tentang kemunafikan yang kamu bilang
Tentang kedustaan yang kamu maksud
Tentang cinta yang sesungguhnya, yang kekal dan abadi
Manusia mengejar manusia
Menusia melupakan surga dan neraka
Manusia yang mengingat dunia dan mengabaikan akhirat
Manusia yang memberi dan mengharap balasan
Manusia yang membicarakan manusia yang lain
Manusia yang dengki, yang dangkal
Aku muak, yu.
Adakalanya seseorang menangis menyesali
Namun setelahnya ia kembali seperti dulu
Tidak tulus
Sebuah penghinaan terhadap diri sendiri di hadapan-Nya
Sungguh semu, jemu, tidak dapat dipercaya
Perang dimana-mana, yu.
Yang menjelekkan orang lainlah
Yang membohongi orang lainlah
Yang menghasut orang lainlah
Yang mengabaikan orang lainlah
Segalanya bentuk sikap hitam yang tidak nyata
Tidak ada manfaatnya, malah menghancurkan
Bawa aku terbang, yu.
Dengan sayap yang pernah kamu ceritakan
Ke istana yang pernah kamu khayalkan
Ayo, yu.
Disana pasti damai dan sejahtera
Minggu, 13 Juli 2014
Selasa, 01 Juli 2014
EMBUN DAN JINGGA edisi Ramadhan (2)
EMBUN DAN JINGGA
BERBUKA PUASA
“Aku bersyukur,
sifat Embun seperti Ayah. Embun tidak pernah malu mengerjakan pekerjaan yang
seharusnya dilakukan oleh perempuan. Barusan dia membantuku menyapu dan
mengepel. Sekarang, dia mengantarku ke pasar. Bahkan katanya, dia mau memasak
untuk Ibu. Ha, betapa baiknya.” Batin Jingga.
Embun membeli
banyak bahan makanan untuk buka puasa nanti. Dan semuanya dia yang tenteng. Jingga
tidak diizinkan membawa satu kantong plastik pun. Ah, tumben. Biasanya dia
paling suka melihat Jingga kerepotan.
“Jangan melamun,
nanti kesandung.” Embun mengingatkan. Benar saja, alarmnya terkabul. Dan dia
tertawa kecil. Huh poor me, kesal Jingga.
Tak berapa lama,
Embun dan Jingga tiba di rumah. Ayah dan Ibu belum sampai. Masih diperjalanan pulang.
Sehabis sahur tadi, mereka pergi ke Depok. Sekadar menengok kakek-nenek dan
menjalani puasa pertama disana.
Tanpa
bertele-tele, Embun langsung masuk dapur dan mulai bersikap kejam. Dia ambil
sebuah pisau berukuran pas untuk mengupas, mengiris dan memotong beberapa bahan
makanan. Tampaknya lelaki yang satu ini terlihat lebih maskulin jika sedang memasak.
Sementara Jingga, masih kaku, bisu, seperti patung. Dia belum pernah
berekspresi sebodoh itu sebelumnya. Kecuali dalam kekosongan (bengong).
“Kamu tidak
sedang menonton acara memasak di televisikan?” Sindir Embun.
“Hu, aku kira
kamu bisa mengerjakannya sendiri.”
“Kalau begitu,
lebih baik kamu menata meja makan, lalu duduk manis disana. Aku tidak biasa
merepotkan seseorang.”
Menyindir lagi. Jingga
jadi cemberut. Baiklah, kali ini dia akan mengalah. Ah tidak, Jingga memang
sudah terlatih sejak awal untuk menurut pada Embun. Bahkan ketika di rumahnya
sendiri, Jingga merasa Embun punya wewenang.
“Ehm, boleh
tanya?” Kata Jingga sedikit ragu.
“Aku mau masak
tofu balado, sup bakso, ayam saus nanas sama acar. Nanti kamu bantu aku bikin
es campur ya?” Ungkap Embun.
“Wah, iya-iya.”
Jingga antusias.
Dua jam
kemudian, semuanya hampir siap. Embun menuangkan lauk-pauk ke piring dan
mangkuk. Lalu Jingga membawanya ke meja makan. Mereka rekan kerja yang serasi. Tidak
ada percekcokan, tidak ada kerecokan. Detik-detik menuju waktu berbuka, mereka
lewati dengan kebijaksanaan. Meskipun es campur yang mereka bikin, cukup kurang
memuaskan bagi Jingga. Karena pakai susu putih, Jingga tidak suka. Tetapi,
menghargai dan menghormati orang lain tidak sulit bukan? Maka, Jingga akan
menyantap apa yang telah ia dan Embun buat.
Alhamdulilah. Ayah
dan Ibu sampai juga di rumah. Mereka sempat bercerita tentang keadaan kakek dan
nenek di Depok. Lalu, adzan maghrib berkumandang. Mereka berbuka puasa dengan
penuh rasa syukur. Bagaimana tidak? Embun memasak untuk keluarga mereka. Dan Ibu
tak henti-hentinya memuji Embun di depan Ayah. Uh betapa bangganya lelaki ini,
batin Jingga.
EMBUN DAN JINGGA edisi Ramadhan (1)
EMBUN DAN JINGGA
TARAWIH BERSAMA
Malam minggu 1
Ramadhan 1435 H, umat Islam menyambut gembira kedatangan bulan puasa bulan suci
Ramadhan. Sejak siang, Jingga sudah sibuk mempersiapkan mukena mana yang akan
ia dan Ibu kenakan di shalat tarawih pertama nanti malam. Jingga juga mulai mencoba
baju-baju muslim dan belajar memakai hijab.
Beberapa menit
sebelum adzan maghrib. Jingga masih di depan cermin. Kali ini ia terlihat lebih
cantik, bahkan bisa dibilang indah.
“Begini lebih
tepatkan? Bukankah perempuan muslim memang diwajibkan berjilbab? Dan Embun
menyukai perempuan yang menutup aurat mahkotanya. Seperti Senja. Apa kata Embun
jika dia melihat penampilanku seberubah ini?” Jingga bertanya-tanya. Menatap
bola matanya lekat-lekat. Memohon kebijaksanaan dan kepercayaan diri.
Tiba-tiba Ibu
masuk kamar. Tanpa ketuk pintu. Jingga jadi salah tingkah.
“Wah, anak ibu
cantik sekali. Sudah pandai memakai hijab rupanya. Mau kemana sayang?” Ibu
hampir membuat Jingga ingin terbang. Terbang ke kamar mandi, ganti baju biasa
lagi. Habisnya, ditanya mau kemana. Apa sebegitu anehnya ya seorang Jingga
mendadak religius seperti ini?
Adzan maghrib
pun berkumandang. Jingga lega. Akhirnya ia dapat melihat kedua mata ibunya
berbinar-binar. Mereka shalat maghrib berjamaah. Setelah itu, seseorang datang
dengan sholehnya. Embun. Baju lengan panjang bersulam, jeans hitam, kopiah dan
sandal jepit membuatnya tampak lebih gagah. Ini dia calon menantuku, batin Ibu
Jingga.
“Assalamulaikum.”
Salam Embun sambil mencium tangan Ibu Jingga dan Jingga melakukan hal yang sama
terhadapnya.
“Waalaikumsalam.”
Jawab Ibu dan Jingga serentak.
“Ayah belum
pulang kerja bu?” Tanya Embun. Pandangannya menyelidik.
“Belum. Shalat
tarawih di masjid kantor katanya. Yuk, kita berangkat. Bertiga saja tidak apa-apa.
Ohya nak, kamu sudah makan? Atau mau minum dulu?”
“Sudah bu,
terima kasih.”
“Oh. Baiklah.
Ibu ke belakang sebentar. Kalian langsung ke mobil ya.”
Ditinggal Ibu
sejenak, Embun menyebalkan. Lihat, bagaimana dia menatap Jingga dari atas
sampai bawah? Buat risi saja.
“Hey, siapa
malaikat yang menyihirmu jadi begini?” Bisik Embun. Padahal dalam hati, ia
terus berdecak kagum. Rasanya Jingga ingin pakai helm agar Embun tidak tahu
wajahnya mulai memerah.
“Se-se-senja.”
Jawab Jingga putus-putus. Embun terperanjat.
Lagi, Ibu datang
mengejutkan. Memang sebuah tradisi.
“Lho, kalian
masih disini. Ayo pergi.” Ajak Ibu.
Di Masjid
Al-Azhar, mereka melaksanakan shalat tarawih. Ini pertama kalinya Jingga
melewati bulan puasa dengan seorang musisi, sang pemilik daun, Embun. Dan bisa
tarawih bersama, adalah kesenangan yang sulit diungkapkan. Mereka berdoa dan
bersujud di dalam masjid yang sama. Ada Ibu juga, seseorang yang paling
mengharapkan hubungan mereka bisa segera sampai pada pernikahan. Jodoh, maut
dan rezeki, menjadi rahasia Allah SWT.
Tepat setengah
sembilan malam, mereka selesai menunaikan shalat tarawih pertama di bulan
Ramadhan 2014 ini. Dan berlanjut ke sebuah restoran padang. Makan malam,
sekalian membungkus beberapa menu untuk sahur nanti.
“Jadi, adakah
yang mau kamu ceritakan? Misalnya, mengenai perubahan dari seorang puteri yang
manja ke seorang puteri yang elegan seperti ini?” Embun menginterogasi.
“Aku hanya ingin
menjadi lebih baik.” Singkat Jingga.
“Karena ini
bulan puasa?”
“Tidak.
Seseorang telah menyadarkanku sejak lama. Tetapi, baru sekarang aku
melakukannya. Aku tidak terlambatkan?” Ungkap Jingga.
“Ah, tidak sama
sekali. Kamu sudah memilih yang seharusnya dipilih. Itu jalan yang benar.”
Tak lama, Ibu
datang ke meja mereka, dengan sedemikian banyaknya makanan yang ibu bawa
pulang.
“Tadi ibu sempat
bicara dengan mba kasirnya. Katanya, masjid Al-Azhar akan mengadakan I’tikaf
masjid selama tiga hari dan terbuka untuk umum. Apa kalian bisa hadir?” Tanya
Ibu.
Embun dan Jingga
saling melirik. Mereka sama-sama berpikir, sebelum menjawab.
Bulan Ramadhan
memang bulan yang paling berkah. Setiap kebaikan dilipatgandakan pahalanya.
Bahkan, banyak orang yang berlomba-lomba dalam menjalankan ibadah. Seperti
mengkhatam Al-Qur’an, berbagi makanan berbuka dan sahur, sedekah, melaksanakan
shalat sunnah, I’tikaf masjid dan lain-lain.
Tinggal
bagaimana kita memaknainya, menghargainya, menghormatinya, sebagai bulan yang
suci, bulan yang penuh kebaikan dan bulan yang menuntun kita sampai pada
kemenangan. Yaitu idul fitri.
Semoga kita
semua selalu diberi kekuatan dan kesabaran.
Selamat
menunaikan ibadah puasa, Ramadhan 1435 H.
Mohon maaf lahir
dan batin.
Langganan:
Postingan (Atom)