EMBUN DAN JINGGA
BERBUKA PUASA
“Aku bersyukur,
sifat Embun seperti Ayah. Embun tidak pernah malu mengerjakan pekerjaan yang
seharusnya dilakukan oleh perempuan. Barusan dia membantuku menyapu dan
mengepel. Sekarang, dia mengantarku ke pasar. Bahkan katanya, dia mau memasak
untuk Ibu. Ha, betapa baiknya.” Batin Jingga.
Embun membeli
banyak bahan makanan untuk buka puasa nanti. Dan semuanya dia yang tenteng. Jingga
tidak diizinkan membawa satu kantong plastik pun. Ah, tumben. Biasanya dia
paling suka melihat Jingga kerepotan.
“Jangan melamun,
nanti kesandung.” Embun mengingatkan. Benar saja, alarmnya terkabul. Dan dia
tertawa kecil. Huh poor me, kesal Jingga.
Tak berapa lama,
Embun dan Jingga tiba di rumah. Ayah dan Ibu belum sampai. Masih diperjalanan pulang.
Sehabis sahur tadi, mereka pergi ke Depok. Sekadar menengok kakek-nenek dan
menjalani puasa pertama disana.
Tanpa
bertele-tele, Embun langsung masuk dapur dan mulai bersikap kejam. Dia ambil
sebuah pisau berukuran pas untuk mengupas, mengiris dan memotong beberapa bahan
makanan. Tampaknya lelaki yang satu ini terlihat lebih maskulin jika sedang memasak.
Sementara Jingga, masih kaku, bisu, seperti patung. Dia belum pernah
berekspresi sebodoh itu sebelumnya. Kecuali dalam kekosongan (bengong).
“Kamu tidak
sedang menonton acara memasak di televisikan?” Sindir Embun.
“Hu, aku kira
kamu bisa mengerjakannya sendiri.”
“Kalau begitu,
lebih baik kamu menata meja makan, lalu duduk manis disana. Aku tidak biasa
merepotkan seseorang.”
Menyindir lagi. Jingga
jadi cemberut. Baiklah, kali ini dia akan mengalah. Ah tidak, Jingga memang
sudah terlatih sejak awal untuk menurut pada Embun. Bahkan ketika di rumahnya
sendiri, Jingga merasa Embun punya wewenang.
“Ehm, boleh
tanya?” Kata Jingga sedikit ragu.
“Aku mau masak
tofu balado, sup bakso, ayam saus nanas sama acar. Nanti kamu bantu aku bikin
es campur ya?” Ungkap Embun.
“Wah, iya-iya.”
Jingga antusias.
Dua jam
kemudian, semuanya hampir siap. Embun menuangkan lauk-pauk ke piring dan
mangkuk. Lalu Jingga membawanya ke meja makan. Mereka rekan kerja yang serasi. Tidak
ada percekcokan, tidak ada kerecokan. Detik-detik menuju waktu berbuka, mereka
lewati dengan kebijaksanaan. Meskipun es campur yang mereka bikin, cukup kurang
memuaskan bagi Jingga. Karena pakai susu putih, Jingga tidak suka. Tetapi,
menghargai dan menghormati orang lain tidak sulit bukan? Maka, Jingga akan
menyantap apa yang telah ia dan Embun buat.
Alhamdulilah. Ayah
dan Ibu sampai juga di rumah. Mereka sempat bercerita tentang keadaan kakek dan
nenek di Depok. Lalu, adzan maghrib berkumandang. Mereka berbuka puasa dengan
penuh rasa syukur. Bagaimana tidak? Embun memasak untuk keluarga mereka. Dan Ibu
tak henti-hentinya memuji Embun di depan Ayah. Uh betapa bangganya lelaki ini,
batin Jingga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar