Selasa, 01 Juli 2014

EMBUN DAN JINGGA edisi Ramadhan (2)



EMBUN DAN JINGGA BERBUKA PUASA

“Aku bersyukur, sifat Embun seperti Ayah. Embun tidak pernah malu mengerjakan pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh perempuan. Barusan dia membantuku menyapu dan mengepel. Sekarang, dia mengantarku ke pasar. Bahkan katanya, dia mau memasak untuk Ibu. Ha, betapa baiknya.” Batin Jingga.

Embun membeli banyak bahan makanan untuk buka puasa nanti. Dan semuanya dia yang tenteng. Jingga tidak diizinkan membawa satu kantong plastik pun. Ah, tumben. Biasanya dia paling suka melihat Jingga kerepotan.

“Jangan melamun, nanti kesandung.” Embun mengingatkan. Benar saja, alarmnya terkabul. Dan dia tertawa kecil. Huh poor me, kesal Jingga.

Tak berapa lama, Embun dan Jingga tiba di rumah. Ayah dan Ibu belum sampai. Masih diperjalanan pulang. Sehabis sahur tadi, mereka pergi ke Depok. Sekadar menengok kakek-nenek dan menjalani puasa pertama disana.

Tanpa bertele-tele, Embun langsung masuk dapur dan mulai bersikap kejam. Dia ambil sebuah pisau berukuran pas untuk mengupas, mengiris dan memotong beberapa bahan makanan. Tampaknya lelaki yang satu ini terlihat lebih maskulin jika sedang memasak. Sementara Jingga, masih kaku, bisu, seperti patung. Dia belum pernah berekspresi sebodoh itu sebelumnya. Kecuali dalam kekosongan (bengong).

“Kamu tidak sedang menonton acara memasak di televisikan?” Sindir Embun.
“Hu, aku kira kamu bisa mengerjakannya sendiri.”
“Kalau begitu, lebih baik kamu menata meja makan, lalu duduk manis disana. Aku tidak biasa merepotkan seseorang.”

Menyindir lagi. Jingga jadi cemberut. Baiklah, kali ini dia akan mengalah. Ah tidak, Jingga memang sudah terlatih sejak awal untuk menurut pada Embun. Bahkan ketika di rumahnya sendiri, Jingga merasa Embun punya wewenang.

“Ehm, boleh tanya?” Kata Jingga sedikit ragu.
“Aku mau masak tofu balado, sup bakso, ayam saus nanas sama acar. Nanti kamu bantu aku bikin es campur ya?” Ungkap Embun.
“Wah, iya-iya.” Jingga antusias.

Dua jam kemudian, semuanya hampir siap. Embun menuangkan lauk-pauk ke piring dan mangkuk. Lalu Jingga membawanya ke meja makan. Mereka rekan kerja yang serasi. Tidak ada percekcokan, tidak ada kerecokan. Detik-detik menuju waktu berbuka, mereka lewati dengan kebijaksanaan. Meskipun es campur yang mereka bikin, cukup kurang memuaskan bagi Jingga. Karena pakai susu putih, Jingga tidak suka. Tetapi, menghargai dan menghormati orang lain tidak sulit bukan? Maka, Jingga akan menyantap apa yang telah ia dan Embun buat.

Alhamdulilah. Ayah dan Ibu sampai juga di rumah. Mereka sempat bercerita tentang keadaan kakek dan nenek di Depok. Lalu, adzan maghrib berkumandang. Mereka berbuka puasa dengan penuh rasa syukur. Bagaimana tidak? Embun memasak untuk keluarga mereka. Dan Ibu tak henti-hentinya memuji Embun di depan Ayah. Uh betapa bangganya lelaki ini, batin Jingga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar